Tarian yang mengandung unsur kepercayaan animisme dalam sejarah tari Indonesia terdapat pada masa

Jakarta -

Tari sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Bali, karena hampir di semua rutinitas upacara adat maupun upacara adat di dalamnya mengandung unsur tari. Salah satu tarian asal Bali tersebut adalah tari Legong.

Tari Legong merupakan tarian tradisional Bali yang dibawakan oleh dua atau tiga penari wanita, dengan ciri pokok gerakan yang luwes pada kaki yang diiringi permainan musik.

Kata legong sendiri berasal dari kata "leg" berarti gerak tari yang luwes (lentur), dan "gong" artinya gamelan yang merupakan instrumen pengiringnya.

Sehingga, "Legong" mengandung makna gerak tari yang menekankan pada keluwesan penari dengan diiringi oleh musik gamelan. Gamelan yang dipakai untuk mengiringi tari legong disebut dengan Gamelan Semar Pagulingan.

Sejarah dan Perkembangan Tari Legong Bali

Dikutip dari buku bertajuk 'Tiga Genre Tari Bali' oleh Damardjati Kun Marjanto, S.Sos, dan kawan-kawan, tari Legong berasal dari desa Sukawati, di Puri Paang Sukawati. Lalu, dari desa Sukawati legong berkembang di berbagai pelosok desa yang ada di Bali.

Melansir situs Kementerian dan Kebudayaan (Kemendikbud), tari Legong dipersembahkan sebagai hiburan bagi masyarakat yang berpartisipasi dalam upacara keagamaan.

Zaman dahulu tari Legong hanya boleh ditarikan oleh para wanita yang menjadi abdi keraton saja. Awalnya, para petugas istana di Bali akan mencari wanita-wanita yang paling cantik dan berbakat, untuk dilatih sebagai penari Legong lalu kemudian dijadikan abdi keraton.

Sejak abad ke-19, para wanita yang dilatih di keraton kemudian mengajarkan dan mengembangkan kembali gerakan tari Legong kepada generasi berikutnya di desa-desa.

Sejak saat itu, tari Legong telah mengalami pergeseran dengan berpindah dari istana ke desa, sehingga menjadi bagian utama setiap upacara odalan di desa-desa.

Murid-murid didatangkan dari seluruh Bali untuk mempelajari tari Legong. Hal tersebut kemudian berhasil membentuk banyak sakeha (kelompok) Legong, khususnya di daerah Gianyar dan Badung.

Guru tari Legong juga banyak bermunculan, khususnya dari desa Bedulu, Saba, Peliatan, Klandis, dan Sukawati.

Dalam perkembangan selanjutnya, tari Legong bukan lagi menjadi kesenian istana saja, melainkan telah menjadi milik masyarakat umum.

Tari legong dikembangkan dari sebuah tari upacara, yakni dari tari Sang Hyang. Saat ini hubungan tari Legong dengan agama Hindu sifatnya sudah beda, karena tari Legong tidak lagi menjadi manifestasi dari leluhur.

Namun, kini tari Legong berhubungan dengan agama Hindu Dharma yang lebih bersifat sekuler yang dijadikan pertunjukkan untuk menghibur para leluhur yang turun dari kahyangan, termasuk para raja yang hadir pada upacara odalan yang datangnya setiap 210 hari.

Memiliki Nilai-Nilai Sakral

Pertunjukan tari Legong masih erat hubungannya dengan sejarah dan agama, sehingga dalam setiap gerak tarinya menyimpan nilai-nilai yang sakral.

Nilai kepercayaan maupun keagamaan dalam tari Legong adalah kebudayaan keraton Hindu-Jawa. Kedua kebudayaan tersebut, memiliki sifat yang berbeda kalau dibandingkan dengan kebudayaan pra-Hindu di Bali yang ekspresinya terungkap dalam tari Sang Hyang.

Awalnya tari Legong difungsikan sebagai suatu tradisi dalam bentuk pameran, yang mencerminkan kekayaan dan kemampuan para raja di Bali pada zaman dahulu.

Sekarang seni tari Legong dipergelarkan untuk kepentingan upacara keagamaan, sedangkan leluhurnya Sang Hyang, dipentaskan dalam hubungan dengan kepercayaan animisme.

Tari Legong kini telah dipercaya menjadi sumber inspirasi munculnya tari-tari kreasi baru di Bali. Legong yang sekarang merupakan percampuran dari jenis elemen-elemen tari yang berbeda, yaitu elemen yang berasal dari kebudayaan Hindu-Jawa dalam bentuk tari klasik yang disebut Gambuh.

Gambuh adalah tipe drama tari yang berasal dari zaman pra-Islam Jawa, yang telah dikenal di Bali sejak awal abad ke-15.

Cerita yang umumnya dipakai sebagai lakon dari tari Legong biasanya bersumber dari cerita Panji dan cerita Malat khususnya kisah Subali Sugwira, Prabu Lasem, Legod Bawa (kisah Brahma Wisnu mencari ujung dan pangkal Lingganya Siwa), Kuntul (kisah burung), dan lain sebagainya.

Sebelum tarian dimulai, kedua penari Legong akan duduk pada kursi di muka gamelan, sambil berayun ke kiri dan ke kanan, sebagai peniruan tari kerawuhan.

Penari tari Legong ditarikan oleh anak gadis. Kalangan ini sering dibuat di luar halaman tempat persembahyangan dalam kepercayaan orang-orang Bali.

Busana dan Properti Tari Legong Bali

Ciri khas genre Legong terdapat pada hiasan kepala dan busananya. Busana yang dikenakan pada tari Legong sangatlah khas, yakni busana yang berwarna cerah seperti merah, hijau, atau ungu.

Ada pula tambahan hiasan dan lukisan dedaunan dan bunga-bunga emas di kepala, yang akan bergoyang mengikuti setiap gerakan dan getaran bahu penari. Properti yang digunakan pada tari Legong adalah kipas.

Tari Legong sendiri termasuk dalam penetapan tiga genre tari tradisi Bali ke dalam daftar ICH UNESCO, yakni Tari Legong Kraton (Kota Denpasar), Joged Bumbung (Kabupaten Jembrana), dan Tari Barong Ket Kuntisraya (Kabupaten Badung).

Simak Video "Tarian Tradisional Desa Lombasana, Makassar"



(faz/faz)

8

1. Perkembangan Kuda Lumping

a. Sejarah Kuda Lumping Sejak jaman dulu manusia tidak lepas dari kepercayaan akan kekuatan di luar dirinya, hal ini ditandai dengan adanya kepercayaan animisme dan dinamisme. Awal mula bentuk kepercayaan adalah timbulnya kekaguman emosigetaran jiwa manusia terhadap hal-hal dan gejala tertentu yang sifatnya luar biasa, dan tidak dapat diterangkan dengan akal manusia, dan yang ada di atas kekuatan-kekuatan alamiah biasa yaitu kekuatan supranatural Koentjaraningrat, 1993:19. Kepercayaan manusia primitif atau manusia kuno, yang berpusat pada kekuatan gaib yang serupa dengan kekuatan mana dan kekuatan supranatural. Manusia primitif atau manusia kuno pada umumnya yakin akan adanya sesuatu zat halus zielestof yang memberi kekuatan hidup dan gerak kepada banyak hal didalam alam semesta ini Koentjaraningrat, 1993:20. Manusia kuno juga mempunyai keyakinan lain yaitu adanya berbagai macam makhluk halus yang menempati alam sekeliling tempat tinggalnya, diantara makhluk halus ada banyak yang merupakan penjelmaan dari jiwa orang yang telah meninggal Kryut dalam Koentjaraningrat, 1993:19. Memuja arwah nenek moyang atau leluhur adalah cara mereka beragama, hal ini dikarenakan kepercayaan masyarakat setempat terhadap arwah nenek moyang atau leluhur yang pernah hidup sebelum mereka dianggap lebih banyak pengalaman sehingga perlu dimintai berkah atau petunjuk Budiono, 2000:88. Dengan keyakinan itu manusia melakukan komunikasi dengan dunia roh sesuai dengan kebutuhan rohaninya. Sampai sekarang masih juga ada bentuk komunikasi dengan roh, 9 meskipun masih melekat dengan budaya yang tidak lepas dari bentuk kesenian tari, yang sekarang dikenal dengan nama Kuda Lumping Soedarsono, 1976:10. Beberapa sarana yang ditempuh untuk mendatangkan arwah nenek moyang adalah dengan membuat sesaji dan membakar kemenyan atau bau-bauan lainnya yang digemari oleh nenek moyang atau leluhur, dan mengiringi upacara tersebut dengan bunyi-bunyian dan tarian agar arwah nenek moyang atau leluhur yang dipanggil gembira dan berkenan memberikan rahmatnya Budiono, 2000:89. Kuda Lumping adalah salah satu contoh dari bentuk kesenian yang merupakan peninggalan budaya kuno dimana di dalamnya terdapat unsur-unsur tari dan mengandung kekuatan magis. Tari adalah suatu dari benang-benang kesinambungan yang paling kokoh pada kebudayaan Indonesia. Hal ini banyak dipengaruhi dari budaya Hinduistik pada masa 1500 SM, dimana tari merupakan komponen esensial dari semua kehidupan ritual. Pada jaman kuno tari Kuda Lumping dipakai untuk kepentingan totemisme, upacara ritus inisiasi bagi seorang yang sudah menginjak dewasa Soedarsono, 1972:8. Sejak dahulu tari merupakan gerakan dari sebuah perwujudan, apakah itu sebuah keinginan, ketakutan, atau kegembiraan. Di dunia yang belum beradab, tari merupakan jampi-jampi pembebasan seperti nyanyian, dan doa-doa, dimana semuanya itu merupakan ungkapan aspek-aspek religiusnya. Tari banyak ditemui dalam upacara-upacara dari semua aspek penting kehidupan, seperti kelahiran, inisiasi, dan kematian Holt, 2000:124. Tarian tidak hanya bersifat profan tetapi juga magis. Tari-tari yang dilakukan merupakan bentuk komunikasi terhadap roh-roh nenek moyang, sesuai dengan kepentingan atau tujuan ritual yang dilakukan. Tari-tarian trance 10 memainkan peran dalam komunitas dengan kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi. Tari memiliki banyak fungsi, seringkali tarian itu ditampilkan untuk menolak bencana dengan harapan agar tercapai keseimbangan alam, seperti epidemi, dan seringkali untuk maksud misterius, bahkan ada yang hanya bersifat menghibur atau sebagai tontonan. Penari trance menikmati prestise yang sungguh-sungguh karena ketika mereka kerasukan, mereka telah menjadi sarana dari kekuatan supernatural Holt, 2000:125. b. Macam-macam Kuda Lumping Kuda lumping merupakan tarian rakyat Jawa Barat yang populer sejak dari masa kuno sampai dengan sekarang, ditarikan oleh 4 atau 8 orang penari laki-laki berpasangan, menggunakan tarian kuda dari anyaman bambu.Tari Kuda Lumping merupakan peninggalan dari tarian kuno pada jaman masyarakat primitif yang bersifat ekstase. Ada pula kemungkinan bahwa tari ini merupakan bentuk tari kepahlawanan Irawati, 1998:12. Tari Kuda Lumping sendiri terdapat dibeberapa daerah tertentu dengan nama yang berbeda dan memiliki ciri khas tersendiri. Di daerah Jawa Tengah, khusus untuk Surakarta dan Magelang, disebut Kuda Kepang yang dalam pertunjukannya diiringi alat musik angklung, satu gendang, satu gong bumbung, dan dibawakan oleh penari wanita atau pria. Hal ini serupa dengan daerah Yogjakarta, namun namanya berbeda yaitu Jathilan, sedangkan Yogjakarta bagian barat menyebutnya dengan nama Injling. Di daerah Kediri kuda lumping dikenal dengan nama Jaranan dan di daerah Banyuwangi disebut ebleg Soedarsono, 1972:11. 11 Daerah Jawa Barat menyebutnya Kuda Lumping, khusus di daerah Bandung dimainkan dengan menggunakan iringan musik dari terbang, gendang, dan terompet. Sedangkan Cirebon diiringi orkes gamelan pelog Irawati, 1998:12. Jenis Kuda Lumping juga sesuai dengan misi yang dibawakan, contoh Kuda Lumping di daerah Dusun Krandegan, Magelang, dimana Kuda Lumping digunakan masyarakat setempat untuk mengundang roh, digunakan jika terdapat pesan oleh orang terpilih dengan tujuan mencari hubungan dengan alam gaib. Hal ini dilakukan untuk mencari pesan yang disampaikan oleh roh nenek moyang atau leluhur orang yang sudah meninggal dan ditujukan untuk kepentingan masyarakat Dusun Krandengan Periscope, Metro TV:2005. Menurut Soedarsono 1976:10, Kuda Lumping atau Jathilan adalah jenis tarian rakyat yang paling tua, dengan tindak tanduk dan dengus penari yang intrance mirip kuda, sangatlah mungkin jathilan merupakan tarian upacara pada jaman kuno. Ciri-ciri khas pertunjukan ini adalah kostum yang dipakai lebih sederhana, dan lebih ditonjolkan pada ritual tarian untuk mengundang roh. Penari yang terpilih oleh roh untuk dijadikan media adalah orang yang dianggap dewasa wawasan luastidak sempit, lebih siap membuka diri terhadap apa yang akan dihadapi. Penari harus laki-laki dan dalam keadaan bersih sebagai medium trance.

2. Pandangan Masyarakat terhadap Kuda Lumping

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA