Seseorang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama setelah terlebih dahulu

Penyebab Gugurnya Hak Menuntut dan Gugurnya Menjalani Pidana

Untuk menjawab pertanyaan Anda, hal pertama yang perlu Anda pahami ialah mengenai macam-macam keadaan yang dapat menyebabkan gugurnya hak menuntut pidana kepada seseorang.

BAB VIII Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) mengatur 3 hal yang dapat menyebabkan gugurnya hak menuntut, yaitu:

  1. Suatu perbuatan yang telah diputus oleh pengadilan dan telah memiliki kekuatan hukum tetap (Pasal 76 KUHP).
  2. Si tertuduh meninggal dunia (Pasal 77 KUHP).
  3. Daluwarsa atau lampau waktu (Pasal 78 KUHP).

Di sisi lain, ada pula hal-hal yang dapat menyebabkan seseorang gugur menjalani pidana ialah:

  1. Terpidana meninggal dunia (Pasal 83 KUHP).
  2. Daluwarsa (Pasal 84 KUHP).

Berdasarkan beberapa penyebab gugurnya hak menuntut pidana sebagaimana disebutkan di atas, dalam kasus Anda, terkait penyebab “suatu perbuatan yang telah diputus oleh pengadilan dan telah memiliki kekuatan hukum tetap” secara jelas diatur  dalam Pasal 76 KUHP yang berbunyi :

  1.  
  2. Kecuali dalam hal putusan hakim masih mungkin diulangi, orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap.
    Dalam artian hakim Indonesia, termasuk juga hakim pengadilan swapraja dan adat, ditempat-tempat yang mempunyai pengadilan-pengadilan tersebut;
  3. Jika putusan yang menjadi tetap berasal dari hakim lain, maka terhadap orang itu dan karena tindak pidana itu pula, tidak boleh diadakan penuntutan dalam hal:
    1. putusan berupa pembebasan dari tuduhan atau lepas dari tuntutan hukum;
    2. putusan berupa pemidanaan dan telah dijalani seluruhnya atau telah diberi ampun atau wewenang untuk menjalankannya telah hapus karena daluwarsa.

Asas Ne Bis In Idem

Dalam Pasal 76 KUHP di atas terkandung asas yang disebut dengan ne bis in idem. Menurut R. Soesilo, asas ini berarti orang tidak boleh dituntut sekali lagi lantaran perbuatan (peristiwa) yang baginya telah diputuskan oleh hakim.[1]

Sehingga, makna yang terkandung dalam asas ne bis in idem ialah terhadap seseorang yang pernah diadili atas suatu perbuatan dan telah ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap, tidak dapat diadili lagi atas tuduhan perbuatan yang sama.[2]

Keberlakuan ne bis in idem tersebut digantungkan kepada hal bahwa terhadap orang tersebut  juga mengenai peristiwa tertentu telah diambil keputusan oleh hakim yang  berisi:[3]

  1. Penjatuhan hukuman (veroordeling).
  2. Pembebasan dari penuntutan hukuman (onslag van rechtsvervolging).
  3. Putusan bebas (virjspraak).

Tujuan dari asas ne bis in idem ialah:[4]

  1. Untuk menjunjung tinggi kehormatan dan keluhuran peradilan;
  2. Untuk memberikan kepastian hukum bagi seseorang yang pernah dijatuhi putusan, terlebih lagi ialah putusan bebas. Sehingga kepadanya harus diberikan ketenangan hati, agar tidak gelisah terhadap bahaya penuntutan ulang.

Kemudian, waktu (tempus delicti) dan tempat (locus delicti) dilakukannya tindak pidana menjadi unsur penting dan dapat dijadikan dasar untuk mengetahui apakah sebuah perbuatan dapat dikatakan ne bis in idem atau tidak.

Apabila terdapat seseorang yang perbuatannya telah diputus oleh pengadilan dan terhadap putusan tersebut telah memiliki kekuatan hukum tetap, maka terhadap orang tersebut tidak dapat dilakukan penuntutan untuk kedua kalinya terhadap perkara yang sama.

Kesimpulan

Menyambung pertanyaan Anda, perlu dicermati terlebih dahulu, meskipun korban adalah sama (perusahaan), namun apakah kedua perkara memiliki waktu dan tempat yang sama pula?

Jika perkara kedua berupa penggelapan uang senilai Rp27 juta adalah bagian dari Rp60 juta yang pada perkara sebelumnya sudah pernah diputus, maka Pasal 76 KUHP berlaku bagi Anda. Sehingga menurut hemat kami, Anda tidak dapat lagi dilakukan penuntutan untuk yang kedua kalinya.

Hal ini dikarenakan perkara kedua merupakan bagian dari perkara pertama yang telah dijatuhkan putusan berupa vonis 14 bulan kepada Anda, dengan waktu dan tempat kejadian yang sama

Namun, dalam hal perkara penggelapan uang senilai Rp27 juta adalah bukan bagian dari Rp60 juta pada perkara sebelumnya atau singkatnya kedua perkara tersebut adalah perkara yang masing-masing berdiri sendiri walaupun dengan korban yang sama, maka terhadap Anda dapat dilakukan penuntutan.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Referensi:

  1. Aristo M.A. Pangaribuan, dkk. Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2017;
  2. Masruchin Ruba’i. Buku Ajar Hukum Pidana. Malang: Media Nusa Creative. 2015;
  3. R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politea, 1995.

[1] R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politea, 1995, hal. 90

[2] Aristo M.A. Pangaribuan, dkk. Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2017, hal. 214

[3] R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politea, 1995, hal. 90

[4] Masruchin Ruba’i. Buku Ajar Hukum Pidana. Malang: Media Nusa Creative. 2015, hal. 155

2012-05-29 00:00:00

Ne Bis in Idem

Dalam Hukum Pidana

(Rahmat S. Sokonagoro, S.H., LL.M.)

Bag. Hukum Setda Kota Yogyakarta, Arbiter pada IFSC Arbitration Council

PENDAHULUAN

Dalam hukum pidana, asas ne bis in idem seringkali dipergunakan dalam dasar eksepsi persidangan oleh terdakwa. Hal ini terjadi karena penyidik dan penuntut umum mengajukan lagi terdakwa dalam perbuatan pidana yang sama dan telah diputus oleh hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pada asasnya, semua terdakwa yang diduga dan didakwa sebagai pelaku suatu tindak pidana harus dituntut di depan persidangan. Namun daripada itu, baik secara umum dan khusus, Undang-undang telah menentukan adanya suatu pengecualian yaitu peniadaan atau penghapusan suatu penuntutan terhadap terdakwa dalam hal-hal tertentu.

Adanya suatu penghapusan tuntutan terhadap terdakwa secara umum dilakukan karena:

1.       Telah ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap (de krahct van een rechtelijk gewijsde) mengenai tindakan (feiten) yang sama (Pasal 76 KUHP);

2.       Terdakwa meninggal dunia (Pasal 77 KUHP);

3.       Perkara tersebut daluwarsa (Pasal 78 KUHP);

4.       Terjadinya penyelesaian diluar persidangan (Pasal 82 KUHP)

Dengan demikian, salah satu penyebab penghapusan atau penidadaan penuntutan terhadap terdakwa adalah adanya asas ne bis in idem. Selanjutnya dalam pembahasan akan ditelaah lebih lanjut mengenai penerapan asas tersebut dalam hukum pidana.

 PEMBAHASAN

Dalam KUHP, setiap perkara pidana hanya dapat disidangkan, diadili dan diputus satu kali saja atau dengan kata lain, suatu perkara pidana yang telah diputuskan oleh hakim tidak dapat diperiksa dan disidangkan kembali untuk yang kedua kalinya. Ketentuan tersebut secara tegas dinyatakan dalam Pasal 76 ayat (1) KUHP, BAB VIII tentang Gugurnya Hak Menuntut Hukuman Dan Gugurnya Hukuman. Pasal tersebut menyatakan bahwa (1) Kecuali dalam keputusan hakim masih boleh diubah lagi, maka orang tidak boleh dituntut sekali lagi lantaran perbuatan yang baginya telah diputuskan oleh hakim Negara Indonesia, dengan keputusan yang tidak boleh diubah lagi (in kracht van gewijsde). Dalam ayat (2) menyatakan: jika putusan itu berasal dari hakim lain, maka penuntutan tidak boleh dijalankan terhadap orang itu oleh sebab perbuatan itu juga dalam hal:

a.       Pembebasan atau pelepasan dari penuntutan hukum;

b.      Putusan hukuman dan hukumannya habis dijalankannya, atau mendapat ampun atau hukuman tersebut gugur (karena daluwarsa penuntutan);

Ketentuan hukum diatas dalam hukum pidana disebut dengan asas Ne bis in Idem, yang artinya orang tidak boleh dituntut sekali lagi karena perbuatan (peristiwa) yang baginya telah diputuskan oleh hakim. Berlakunya asas hukum ne bis in idem tersebut dikarenakan, terhadap seseorang itu terkait suatu perbuatan pidana tertentu telah diambil putusan oleh hakim dengan vonis yang sudah berkekuatan hukum tetap dan tidak dapat diubah lagi, baik itu putusan yang bersifat penjatuhan hukuman (veroordering), putusan bebas (vrijspraak), dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslaag van rechtsvervolging).

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dalam pasal 18 (5) menyatakan bahwa “Setiap orang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama atas suatu perbuatan yang telah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap”. Pasal ini mengatur tentang Hak Memperoleh Keadilan.

Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa asas ne bis in idem adalah asas yang mengatur tentang bahwa seseorang tidak dapat dituntut sekali lagi atas perbuatan atau peristiwa yang baginya telah diputuskan oleh hakim. Asas ini merupakan salah satu bentuk penegakan hukum bagi terdakwa dalam menciptakan kepastian hukum. Pentingnya perlindungan terdakwa dari kepastian hukum dikaitkan terhadap asas ne bis in idem mendapat perhatian yang serius, yakni bentuk perlindungan yang diberikan mengalami perluasan tidak hanya di tujukan pada terdakwa dalam proses persidangan, apalagi terdakwa dituntut untuk yang kedua kalinya dalam peristiwa yang sama, sehingga perlu juga perlindungan terhadap terdakwa akibat penyalahgunaan kekuasaan di pengadilan.

 Tujuan Ne Bis In Idem

Setiap putusan yang telah dijatuhkan oleh hakim terhadap diri terdakwa baik putusan yang meruupakan pemidanaan ataupun putusan yang lainnya adalah sebagai bentuk pertanggungjawaban yang diberikan oleh undang-undang terhadap terdakwa yang telah terbukti secara sah dan berdasarkan bukti yang kuat telah melakukan atau tidak melakukan suatu tindak pidana. Setiap terdakwa yang telah terbukti melakukan satu tindak pidana hanyalah dapat dipertanggungjawabkan terhadap peristiwa atau tindak pidana yang telah dilakukannya, dan tidak dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang tidak pernah dilakukannya, dan juga hanya berhak menjalani hukuman yang dijatuhkan oleh hakim atas peristiwa dan tindak pidana yang dilakukannya.

KUHP sebagai hukum positif yang berlaku di negara Indonesia, menyatakan secara tegas dalam Pasal 76, terhadap diri terdakwa hanya diperbolehkan diperiksa dalam persidangan, sekali saja terhadap peristiwa pidana yang dilakukan dan secara tegas KUHP melarang terdakwa untuk diperiksa dan disidangkan kembali yang kedua kalinya dengan peristiwa dan tindak pidana yang sama. Penerapan asas ne bis in idem dalam perkara pidana adalah mempunyai suatu tujuan tertentu. Tujuannya antara lain:

1.       Jangan sampai pemerintah berulang-ulang membicarakan tentang peristiwa pidana yang sama, sehingga dalam suatu peristiwa pidana ada beberapa putusan-putusan yang kemungkinan akan mengurangkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintahannya;

2.       Sekali orang sebagai terdakwa harus diberi ketenangan hati, janganlah orang dibiarkan terus menerus dengan perasaan terancam oleh bahaya penuntutan kembali dalam peristiwa yang sekali telah diputus.

Dengan demikian jelas bahwa tujuan penerapan asas ne bis in idem dalam perkara pidana adalah untuk memberikan perlindungan hukum terhadap diri terdakwa agar tidak dapat dituntut dan disidangkan kembali dalam peristiwa dan perkara pidana yang sama dan yang sebelumnya telah pernah diputus dan juga menghindari agar pemerintah tidak secara berulang-ulang memeriksa perkara yang telah pernah diperiksa sebelumnya yang pada akhirnya menimbulkan beberapa putusan berbeda-beda.

Syarat-syarat Ne bis In Idem

Suatu perkara pidana yang dituntut dan disidangkan kembali baru dapat dinyatakan sebagai perkara yang ne bis in idem apabila telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Menurut M. Yahya Harahap dalam bukunya menyatakan unsur ne bis in idem baru dapat dianggap melekat pada suatu perkara mesti memenuhi syarat-syarat yang ditentukan pasal 76 KUHP yakni:

1.       Perkaranya telah diputus dan diadili dengan putusan positif, yakni tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa telah diperiksa materi perkaranya di sidang pengadilan, kemudian atas hasil pemeriksaan hakim telah dijatuhkan putusan;

2.       Putusan yang dijatuhkan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

Jadi agar dalam suatu perkara melekat unsur ne bis in idem merti terdapat kedua (2) syarat tersebut.

Dalam perkara pidana putusan pengadilan atau putusan hakim yang bersifat positif terhadap peristiwa pidana yang dilakukan dan didakwakan dapat berupa:

1.       Pemidanaan (sentencing);

2.       Putusan pembebasan (vrisjpraak);

3.       Putusan Lepas dari segala tuntutan (ontslaag van rechts vervolging)

Meskipun salah satu syarat agar suatu putusan perkara pidana dapat dinyatakan telah ne bis in idem adalah putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, akan tetapi tidak semua jenis putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan kemudian terhadap terdakwa dan perkara pidana yang sama tidak dapat dituntut dan disidangkan kembali atau dinyatakan sebagai perkara pidana yang telah ne bis in idem.

Oleh karena itu sekiranya putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana itu bukan berdasarkan putusan yang positif atas peristiwa pidana yang didakwakan kepada terdakwa, akan tetapi berada diluar peristiwa pidananya yakni berupa putusan yang dijatuhkan dari segi formal atau putusan yang dijatuhkan bersifat negatif. Putusan tersebut adalah:

1.       Putusan yang menyatakan Surat Dakwaan Batal demi Hukum;

2.       Putusan yang menyatakan Surat Dakwaan tidak dapat diterima;

3.       Putusan yang menyatakan pengadilan tidak berwenang mengadili.

KESIMPULAN

Jadi suatu perkara tidak dapat diajukan kembali untuk yang kedua kalinya atau dapat dikatakan sebagai ne bis in idem jika perkara sebelumnya sudah pernah diperiksa, diadili dan telah diputus di Pengadilan yang sama dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), dan yang tetap bertalian dengan tindak pidana yang sama, terhadap orang yang sama dalam hal ini pelapor, pengadu, saksi dan terhadap terdakwa yang sama pula. Begitu pula terhadap waktu (tempus delicti), dan tempat kejadian (locus delicti) yang sama pula, atau peristiwa pidana maupun delik-delik yang disangkakan tetap bertalian dengan tindak pidana yang terdahulu.

DAFTAR PUSTAKA:

  1. M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, Edisi Ke II, Sinar Grafika, Jakarta, 2003;
  2. R Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-komentarnya lengkap Pasal demi Pasal, Politeia, Bogor, 1980.

_____________________________

______________________

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA