Sebutkan upaya upaya pengelolaan sumber daya Kelautan di Indonesia

Posted on Januari 18, 2008 by aminev



a. Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan merupakan salah satu amanat dari pertemuan Bumi (Earth Summit) yang diselenggarakan tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brazil. Dalam forum global tersebut, pemahaman tentang perlunya pembangunan berkelanjutan mulai disuarakan dengan memberikan definisi sebagai pembangunan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang dengan tanpa mengabaikan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya.

Pengelolaan sumberdaya laut perlu diarahkan untuk mencapai tujuan pendayagunaan potensi untuk meningkatkan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi nasional dan kesejahteraan pelaku pembangunan kelautan khususnya, sertauntuk tetap menjaga kelestarian sumberdaya kelautan khususnya sumberdaya pulih dan kelestarian lingkungan.

b. Keterpaduan
Sifat keterpaduan dalam pembangunan kelautan menghendaki koordinasi yang mantap, mulai tahapan perencanaan sampai kepada pelaksanaan dan pemantauan serta pengendaliannya. Untuk itu , dibutuhkan visi, misi, strategi, kebijakan dan perencanaan program yang mantap dan dinamis. Melalui koordinasi dan sinkronisasi dengan berbagai pihak baik lintas sektor maupun subsektor, tentu dengan memperhatikan sasaran, tahapan dan keserasian antara rencanan pembangunan kelautan nasional dengan regional, diharapkan diperolah keserasian dan keterpaduan perencanaan dari bawah (bottom up) yang bersifat mendasar dengan perencanaan dari atas ( top down) yang bersifat policy, sebagai suatu kombinasi dan sinkronisasi yang lebih mantap.

Keterpaduan dalam pengelolaan sumberdaya kelautan meliputi (1) keterpaduan sektoral yang mensyaratkan adanya koordinasi antar sektor dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan, (2) keterpaduan pemerintahan melalui integrasi antara penyelenggara pemerintahan antarlevel dalam sebuah konteks pengelolaan kelautan tertentu, (3) keterpaduanspasial yang memberikan arah pada integrasi ruang dalam sebuah pengelolaan kawasan laut, (4) keterpaduan ilmu dan manajemen yang menitikberatkan pada integrasi antarilmu dan pengetahuan yang terkait dengan pengelolaan kelautan, dan (5) keterpaduan internasional yang mensyaratkan adanya integrasi pengelolaan pesisir dan laut yangmelibatkan dua atau lebih negara, seperti dalam konteks Transboundary species, high migratory species maupun efek polusi antar ekosistem.

c. Desentralisasi Pengelolaan
Dari 400-an lebih kabupaten dan kota di Indonesia, maka 240-an lebih memiliki wilayah laut. Memperhatikan hal ini maka dalam bagian kesungguhan mengelola kekayaan laut Diharapkan stabilitas politik di negara kita dapat ditingkatkan, penegakan hukum dapat segera dilaksanakan sehingga segala upaya dalam pembangunan SDM, pembangunan ekonomi dapat memperoleh hasil yang optimal. Budaya negeri kita paternalistik, sehingga perilaku pemimpin nasional dan daerah, perilaku pejabat pusat dan daerah akan menjadi refleksi masyarakat luas.

Usaha pemberian otonomi yang nyata dan bertanggung jawab dalam urusan pemerintahan dan pembangunan merupakan isu pemerintahan yang lebih santer di masa-masa yang akan datang. Proses perencanaan dan penentuan kebijaksanaan pembangunan yang sekarang masih nampak sentralistis di pemerintahan pusat kiranya perlu didorong untuk mendesentralisasikan ke daerahdaerah.

Selain itu, peranan daerah juga sangat besar dalam proses pemberdayaan masyarakat untuk ikut serta secara aktif dalam proses pembangunan, termasuk di dalamnya pembangunan wilayah pesisir dan lautan. Namun peran tersebut masih perlu ditingkatkan di masa mendatang mengingat peranan sumberdaya pesisir dan lautan dalam pembangunan di masa mendatang makin penting. Peranan daerah juga makin penting, terutama apabila dikaitkan dengan pembinaan kawasan, baik yang berkaitan dengan pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya alam maupun masyarakat di daerah, terutama yang berada di kawasan pesisir, yang kehidupannya sangat tergantung pada lingkungan di sekitarnya (lingkungan pesisir dan lautan).
Daerah juga harus dapat meningkatkan peranannya melalui pembinaan dunia usaha di daerah untuk mengembangkan usahanya di bidang kelautan. Artinya proses pemberdayaan bukan hanya diperuntukkan bagi masyarakat pesisir atau masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sektor kelautan (nelayan), tetapi juga para usahawan (misalnya perikanan) mengantisipasi potensi pasar dalam negeri maupun luar negeri yang cenderung meningkat. Di sektor lain, misalnya budidaya laut juga merupakan potensi untuk mendorong pembangunan baik secara nasional maupun untuk kepentingan masyarakat pesisir.

Secara empiris, trend menuju otonomisasi pengelolaan sumberdaya kelautan ini pun di beberapa negara sudah teruji dengan baik. Contoh bagus dalam hal ini adalah Jepang. Dengan panjang pantai kurang lebih 34.590 km dan 6.200 pulau besar kecil, Jepang menerapkan pendekatan otonomi melalui mekanisme “coastal fishery right”-nya yang terkenal itu. Dalam konteks ini, pemerintah pusat hanya memberikan “basic guidelines” dan kemudian kebijakan lapangan diserahkan kepada provinsi atau kota melalui FCA (Fishebry Cooperative Association). Dengan demikian, terdapat mozaik pengelolaan yang bersifat site-spesific menurut kondisi lokasi di wilayah pengelolaan masing-masing.

d. Pengelolaan Berbasis Masyarakat
Pendekatan pembangunan termasuk dalam konteks sumberdaya kelautan, seringkali meniadakan keberadaan organisasi lokal (local organization). Meningkatnya perhatian terhadap berbagai variabel local menyebabkan pendekatan pembangunan dan pengelolaan beralih dari sentralisasi ke desentralisasi yang salah satu turunannya adalah konsep otonomi pengelolaan sumberdaya kelautan.

Dalam konteks ini pula, kemudian konsep CBM (community based management) dan CM (Co-Management) muncul sebagai “policy badies” bagi semangat ”kebijakan dari bawah” (bottom up policy) yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam. Hal ini diarahkan sesuai dengan tujuan pengelolaan sumberdaya kelautan yang dilakukan untuk mencapai kesejahteraan bersama sehingga orientasinya adalah pada kebutuhan dan kepentingan masyarakat sehingga tidak hanya menjadi objek, melainkan subjek pengelolaan.

e. Isu Global
Memasuki abad ke-21, Indonesia dihadapkan pada tantangan internasional sehubungan dengan mulai diterapkannya pasar bebas, mulai dari AFTA (pasar bebas ASEAN) hingga APEC (pasar bebas Asia Pasifik). Seiring dengan itu, terjadi berbagai perkembangan lingkungan strategis internasional, antara lain (1) proses globalisasi, (2) regionalisasi blok perdagangan, (3) isu politik perdagangan yang menciptakan non-tariff barier, dan (4) isu tarifikasi dan tariff escalation bagi produk agroindustri, dan (5) perkembangan kelembagaan perdagangan internasional.

Terdapat dua aspek globalisasi yang terkait dengan sektor kelautan dan perikanan, yakni aspek ekologi dan ekonomi. Secara ekologi, terdapat berbagai kaidah internasional dalam pengelolaan sumberdaya perikanan (fisheries management), seperti adanya Code of Conduct for Responsible Fisheries yang dikeluarkan FAO (1995). Aturan ini menuntut adanya praktek pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan, dimana setiap negara dituntut untuk memenuhi kaidah-kaidah tersebut, selanjutnya dijabarkan di tingkat regional melalui organisasi/komisi-komisi regional (Regional Fisheries Management Organizations-RFMOs) seperti IOTC (Indian Ocean Tuna Comission) yang mengatur penangkapan tuna di perairan India, CCSBT, dll. Selain itu, Committee on Fisheries FAO telah menyepakati tentang International Plan of Action on Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing yang mengatur mengenai (1) praktek ilegal seperti pencurian ikan, (2) praktek perikanan yang tidak dilaporkan atau laporannya salah, atau laporannya di bawah standar, dan (3) praktek perikanan yang tidak diatur sehingga mengancam kelestarian stok ikan global.

Sementara itu dalam aspek ekonomi, liberalisasi perdagangan merupakan ciri utama globalisasi. Konsekuensinya adalah ketatnya persaingan produk-produk perikanan pada masa datang. Oleh karenanya produk-produk perikanan akan sangat ditentukan oleh berbagai kriteria, seperti (1) produk tersedia secara teratur dan berkesinambungan, (2) produk harus memiliki kualitas yang baik dan seragam, dan (3) produk dapat disediakan secara masal. Selain itu, produk-produk perikanan harus dapat pula mengantisipasi dan mensiasati segenap isu perdagangan internasional, termasuk: isu kualitas (ISO 9000), isu lingkungan (ISO 14000), isu property right, isu responsible fisheries, precauteonary approach, isu hak asasi manusia (HAM), dan isu ketenagakerjaan.

Filed under: kelautan, perikanan |

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia baik dalam ukuran maupun populasi, Indonesia sangat bergantung pada sumber daya laut untuk makanan, mata pencaharian, dan nilai-nilai budaya. Lautan Indonesia adalah rumah dari terumbu karang dan mangrove terbesar di dunia dan salah satu produsen makanan laut terbesar di dunia. Masyarakat pesisir merupakan ujung tombak sektor kelautan dan perikanan Indonesia, dengan sekitar 80% tangkapan makanan laut diproduksi oleh sektor perikanan skala kecil.

Gangguan pada sektor kelautan dan perikanan akan berdampak terhadap jutaan mata pencaharian, ketahanan pangan, dan ekonomi Indonesia. COVID-19 bukanlah satu-satunya gangguan. Ke depan, akan ada banyak gangguan dan krisis lain, termasuk ancaman global perubahan iklim, di antaranya kenaikan muka air laut hingga 0,46 meter yang dapat menyebabkan hilangnya pulau-pulau dan tempat tinggal masyarakat pesisir serta degradasi terumbu karang hingga 99% yang dapat mengakibatkan hilangnya habitat ikan dan objek wisata, mengancam ketahanan pangan dan sumber mata pencaharian masyarakat pesisir.

Dampak Pandemi COVID-19 terhadap Sektor Kelautan dan Perikanan

Pembatasan sosial skala besar yang diberlakukan di beberapa daerah untuk memutus rantai penyebaran virus telah mengganggu aktivitas produksi makanan laut, termasuk kegiatan melaut dan budi daya. Sebagai contoh, nelayan di Jakarta Utara tidak dapat melakukan aktivitas penangkapan ikan, sehingga berdampak pada pendapatan mereka.

Selain dari sisi produksi, proses distribusi dan pemasaran makanan laut pun tersendat. Mayoritas pasar tradisional ditiadakan untuk menghindari interaksi tatap muka. Tutupnya rumah makan dan penginapan serta pembatasan sosial di negara tujuan ekspor berakibat pada turunnya permintaan komoditas makanan laut. Belum lagi sebagian besar komoditas hasil laut tidak bertahan lama, sehingga banyak yang terbuang. Dengan melimpahnya pasokan dan waktu simpan yang singkat, harga komoditas makanan laut turun hingga 50%, menurunkan penghasilan nelayan.

Tidak hanya komoditas makanan laut, kegiatan wisata bahari juga terkena dampaknya. Bali sebagai salah satu destinasi wisata bahari utama di Indonesia mengalami penurunan pengunjung penginapan hingga 60-80%. Akibatnya, banyak pengusaha pariwisata skala kecil dan medium yang pendapatannya menurun tajam.

Dengan memahami peran penting sektor kelautan dan perikanan terhadap pasokan pangan, pendapatan masyarakat, dan penopang perekonomian negara, sektor kelautan dan perikanan memerlukan sebuah transformasi sistem yang dapat menciptakan ketangguhan, terutama saat krisis terjadi. Pandemi ini memberikan kesempatan untuk memperbaiki sistem yang selama ini berjalan dan mengubahnya dengan pendekatan yang lebih keberlanjutan untuk membangun sektor kelautan dan perikanan yang lebih Tangguh (Build Back Better).

1. Menurunkan emisi dari kegiatan kelautan dan perikanan

Selain sebagai sumber emisi terbesar dalam kegiatan perikanan tangkap, bahan bakar minyak (BBM) juga mengeluarkan biaya operasional terbesar. Industri perikanan skala besar menghabiskan biaya hingga 60% dan nelayan tradisonal menghabiskan 30-50% biaya untuk BBM. Oleh karena itu, konsumsi BBM kapal dapat dikurangi, di antaranya dengan mengurangi kecepatan kapal, menjaga agar lambung serta baling-baling bebas dari kotoran bawah air, dan mengurangi waktu jelajah. Di wilayah tropis, konsumsi BBM dapat naik sebesar 7%/bulan jika lambung kapal tidak terjaga kebersihannya. Selain itu, pemasangan alat deteksi (fishfinder) dapat mengurangi waktu jelajah, sehingga mengurangi konsumsi BBM. Penggantian BBM dengan bahan bakar alternatif seperti gas alam cair, tenaga angin, dan energi matahari dapat juga dilakukan untuk mengurangi emisi. Pada tahun 2019, Kementerian Ristekdikti menguji pemasangan ‘Converter Kit Diesel Dual Fuel’ untuk kapal diatas 30GT, yang memungkinkan penggabungan solar diesel dengan bahan bakar gas sehingga dapat menghemat bahan bakar hingga 35%. Selain itu, penggunaan panel surya sebagai energi penerangan ketika melaut telah diadopsi oleh nelayan di Pantai Utara Jawa. Prototipe mesin perahu motor tempel bertenaga matahari juga telah diujicobakan.

2. Insentif finansial untuk perbaikan tata kelola sumber daya pesisir

Insentif fiskal dapat diberikan pada kawasan yang berhasil melakukan konservasi dan pengelolaan sumber daya pesisir secara berkelanjutan. Secara praktis, pemberian insentif dapat diberikan kepada kawasan konservasi perairan laut (KKPL) berdasarkan kriteria pada Evaluasi Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (E-KKP3K). Insentif ini dapat mendorong pengelola untuk kian memperbaiki pengelolaan kawasan sembari memberi suntikan dana bagi kawasan dan masyarakat yang telah mencapai kriteria pengelolaan tertentu.

3. Inovasi digital untuk membantu produksi dan distribusi makanan laut

Selain itu, inovasi berupa pasar digital, yang berisi informasi mengenai jenis dan harga ikan, menjadi inovasi kunci untuk menyambungkan produsen/penjual dengan pembeli. Pasar digital tidak hanya memperluas jangkauan pasar tetapi juga mengurangi kehilangan dan pemborosan pangan akibat hasil tangkapan laut yang tidak bertahan lama. Kini, terdapat beberapa start-up digital yang menyambungkan ikan hasil tangkapan kepada konsumen melalui sebuah aplikasi, baik untuk pasar domestik yaitu menyambungkan langsung nelayan/pembudidaya lokal dengan konsumen di kota besar, maupun menyambungkan hasil tangkapan dengan pasar ekspor.

4. Menjadikan valuasi ekonomi sebagai instrumen pengelolaan ekosistem pesisir dan laut

Ekosistem pesisir dan laut yang sehat adalah kunci bagi rantai makanan biota laut dan merupakan daya tarik pariwisata bahari. Valuasi ekonomi, atau menghitung nilai ekonomi atas jasa lingkungan ekosistem pesisir, dapat menjadi salah satu instrumen pengelolaan ekosistem pesisir dan laut. Contoh penerapannya secara praktis yaitu menggunakan valuasi untuk menentukan harga tiket masuk lokasi pariwisata bahari. Dengan memperhitungkan jasa lingkungan, pengelola dapat menentukan peningkatan tarif seperti yang diterapkan di taman nasional di Belanda serta dapat menentukan kuota pengunjung per suatu waktu. Selain itu, valuasi juga menghasilkan analisis biaya dan manfaat dalam evaluasi alokasi ruang pesisir dan menjadi masukan terhadap Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Ketangguhan pada sektor kelautan dan perikanan perlu dibentuk karena setiap gangguan yang terjadi berdampak pada jutaan mata pencaharian masyarakat, ketahanan pangan, dan ekonomi. Kita tidak boleh melewatkan kesempatan untuk mengarahkan pemulihan pascapandemi kepada pertumbuhan ekonomi, ketahanan pangan, serta pengelolaan laut dan sumberdayanya secara berkelanjutan.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA