Sebutkan etika apa saja saat kita melakukan dakwah kepada orang lain

Dakwah merupakan ajakan kebaikan untuk taat kepada Allah dan nilai Islam, yang dilakukan dengan berbagai macam penyampaian. Ada da’i yang menyampaikannya secara lemah lembut, serta ada yang tegas maupun intonasi tinggi. Penyampaian dakwah dengan intonasi yang tinggi, tak jarang disalahartikan oleh sebagian orang, karena dianggap terlalu ‘keras’ dalam menyampaikan kebaikan dan hal tersebut pun menuai pro kontra di masyarakat.

Dosen Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIKOM), Rubiyanah, M. A., menyampaikan, dakwah merupakan bentuk ajakan manusia kepada sesamanaya menuju kepada jalan yang Allah ridhoi. Apapun bentuk, metode, dan media penyampaiannya, selama yang disampaikan adalah ajaran kebaikan itu disebut dengan dakwah.

“Namun, meskipun seseorang atau suatu media menyatakaan bahwa apa yang dilakukannya adalah dakwah, tetapi apa yang disampaikannya bukan ajaran atau ajakan kepada kebaikan, maka itu tidak bisa disebut sebagai dakwah dan kita boleh untuk tidak mengikutinya,” jelasnya.

Menurut Rubiyanah, dakwah yang umumnya dapat diterima adalah dakwah yang disampaikan dengan damai dan bahasa menyejukkan. Namun, dakwah dengan intonasi tinggi bukan berarti tidak diperbolehkan. Boleh tegas, asal tidak keras seperti menghina, mencela, menjelekkan kelompok lain atau justru memecah belah.

“Namun, kalau keras dalam artian intonasi atau penggunaan retorika dengan nada tinggi guna membangkitkan semangat terutama dalam kebaikan itu boleh saja. Hal yang perlu digaris  bawahi adalah seorang da’i tidak sekadar memiliki retorika yang baik, tetapi juga memiliki ilmu yang mumpuni supaya isi dakwahnya tidak melanggar etika di masyarakat,” ujarnya.

Mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), jurusan Pendidikan Islam Anak Usia Dini (PIAUD) semester lima, Hidayatun Nadiyah menyampaikan, dirinya tidak mempermasalahkan penyampaian dakwah dengan intonasi yang tinggi.

“Dakwah yang berkembang sekarang ditunjang dengan perkembangan tekonologi dan informasi yang artinya dakwah sekarang dapat dengan mudah diakses oleh siapa saja dan dimana saja,” jelasnya.

Nadiyah mengungkapkan, sebagai pendengar kita juga dapat memilah siapa pendakwah yang akan kita dengarkan. Hal yang perlu digarisbawahi ketika mendengarkan da’i adalah siapa pendakwahnya, bagaimana beliau mendapatkan ilmu yang kemudian dijadikan bahan dakwahnya, dan apakah yang di dakwahkannya sudah sesuai dengan apa yang diajarkan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam.

(Kiki Farika G)

Red: Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID, JAKKARTA -- Kata dakwah merupakan masdar (kata benda) dari kata kerja da'a yad'u yang berarti panggilan, seruan atau ajakan. Jadi, dakwah adalah kegiatan yang bersifat menyeru, mengajak dan memanggil orang untuk beriman dan taat kepada Allah SWT sesuai garis akidah, syariat dan akhlak Islam.

Dalam perkembangannya, kata dakwah sering dirangkaikan dengan kata 'Ilmu' dan 'Islam', sehingga menjadi 'ilmu dakwah' dan 'ilmu Islam' atau ad-dakwah al-Islamiyah.

Tujuan utama dakwah yakni mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat yang diridhai Allah SWT. Nabi Muhammad SAW mencontohkan dakwah kepada umatnya dengan berbagai cara melalui lisan, tulisan dan perbuatan.

Dimulai dari istrinya, keluarganya, dan teman-teman karibnya hingga raja-raja yang berkuasa pada saat itu. Di antara raja-raja yang mendapat surat atau risalah Nabi SAW adalah kaisar Heraklius dari Byzantium, Mukaukis dari Mesir, Kisra dari Persia (Iran) dan Raja Najasyi dari Habasyah (Ethiopia).

Adapun dakwah bisa dipelajari, dan ini menyangkut ilmu dakwah. Di dalamnya, mencakup pemahaman terhadap aspek hukum dan tatacara berdakwah, sehingga para mubalig bukan saja paham tentang kebenaran Islam, akan tetapi mereka juga didukung oleh kemampuan yang baik dalam menyampaikan risalah al Islamiyah.

Terdapat beberapa metode dakwah. Pertama, dakwah Fardiah merupakan metode dakwah yang dilakukan seseorang kepada orang lain (satu orang) atau kepada beberapa orang dalam jumlah yang kecil dan terbatas.

Kedua, dakwah Ammah yang dilakukan oleh seseorang dengan media lisan yang ditujukan kepada orang banyak dengan maksud menanamkan pengaruh kepada mereka. Mereka biasanya menyampaikan khotbah (pidato).

Ketiga, dakwah bil-Lisan, yakni penyampaian informasi atau pesan dakwah melalui lisan (ceramah atau komunikasi langsung antara subyek dan obyek dakwah). Keempat, dakwah bil-Haal, dengan mengedepankan perbuatan nyata.

Yang kelima, dakwah bit-Tadwin, atau pola dakwah melalui tulisan, baik dengan menerbitkan kitab-kitab, buku, majalah, internet, koran, dan tulisan-tulisan yang mengandung pesan dakwah.

Keenam adalah dakwah bil Hikmah, yang berdakwah dengan cara arif bijaksana, semisal melakukan pendekatan sedemikian rupa sehingga pihak obyek dakwah mampu melaksanakan dakwah atas kemauannya sendiri, tidak merasa ada paksaan, tekanan maupun konflik.

  • ensiklopedia islam
  • metode dakwah

Silakan akses epaper Republika di sini Epaper Republika ...

Sabtu , 16 Jun 2012, 13:59 WIB

Midori ISC

Kajian Midori Sangat Spesial (KMSS) yang menghadirkan para aktivis gerakan dakwah di Jepang.

Red: Heri Ruslan

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Prof KH Ali Mustafa Yaqub MA
Pada 1996, Ittihadul Muballighin, organisasi para mubaligh yang dipimpin KH Syukron Ma’mun menyelenggarakan musyawarah nasional (munas). Salah satu keputusan penting yang diambil dalam munas itu adalah merumuskan kode etik dakwah untuk para dai.Keputusan ini diambil karena pada waktu itu mulai muncul dai walakedu (ju[w]al agama kejar duit). Rumusan kode etik itu diharapkan dapat menjadi pedoman para dai atau mubaligh dalam menjalankan dakwahnya sehingga mereka dapat mewarisi tugas para nabi, bukan justru mendapat laknat dari Allah SWT dalam berdakwah.Sekurang-kurangnya, ada tujuh kode etik dakwah. Kode etik pertama, tidak memisahkan antara perbuatan dan ucapan. Kode ini diambil dari Alquran surah al-Shaff ayat 2-3. “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan hal-hal yang kalian tidak melakukannya? Amat besar murka di sisi Allah SWT karena kalian mengatakan hal-hal yang tidak kalian kerjakan.”Kode pertama ini juga diambil dari perilaku Rasulullah SAW di mana secara umum beliau tidak memerintahkan sesuatu, kecuali beliau melakukannya. Kode etik kedua, tidak melakukan toleransi agama. Toleransi antarumat beragama memang sangat dianjurkan sebatas tidak menyangkut masalah akidah dan ibadah.Dalam masalah keduniaan (muamalah), Islam sangat menganjurkan adanya toleransi. Bahkan, Nabi SAW banyak memberikan contoh tentang hal itu, sementara toleransi dalam akidah dan ibadah dilarang dalam Islam.Hal itu berdasarkan firman Allah SWT dalam surah al-Kafirun ayat 6, “Bagi kamu agama kamu dan bagiku agamaku.” Dalam Hadis Riwayat Imam ibn Hisyam juga disebutkan, “Orang-orang Yahudi Kabilah Bani Auf adalah satu bangsa bersama orang-orang mukmin, bagi orang-orang Yahudi agama mereka dan bagi orang-orang mukmin agama mereka.”Kode etik ketiga, tidak mencerca sesembahan agama lain. Ini diambil dari surah al-An’am ayat 108. “Dan, janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.”Kode etik keempat, tidak melakukan diskriminasi. Ketika Nabi SAW masih berada di Makkah dan mengajarkan Islam kepada orang-orang miskin, antara lain, Bilal al-Habsyi, Shuhaib al-Rumi, Salman al-Farisi, dan lain-lain, tiba-tiba datang kepada Nabi SAW sejumlah tokoh bangsawan Quraisy yang juga hendak belajar Islam dari beliau.Namun, bangsawan Quraisy ini tidak mau berdampingan dengan rakyat kecil. Mereka minta kepada Nabi SAW untuk mengusir Bilal dan kawan-kawannya itu. Nabi kemudian menyetujui permintaan tersebut, namun akhirnya Allah menurunkan ayat yang mengkritik perilaku Nabi itu, yaitu surah al-An’am ayat 52. “Dan, janganlah kamu mengusir orang-orang yang selalu menyembah Tuhannya pada pagi hari dan petang sedangkan mereka menghendaki keridaan-Nya. Kamu tidak memikul tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatan mereka dan mereka tidak memikul tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatan kamu yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka sehingga kamu termasuk orang-orang zalim.”Kode etik kelima, tidak memungut imbalan. Kode ini diambil antara lain dari Alquran surah Saba’ ayat 47. “Katakanlah, upah apa pun yang aku minta kepadamu maka hal itu untuk kamu (karena aku pun tidak minta upah apa pun kepadamu). Upahku hanya dari Allah. Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”Demikian pula perilaku para Nabi, termasuk Nabi Muhammad SAW dalam berdakwah, mereka tidak pernah memungut imbalan, apalagi pasang tarif, tawar-menawar, dan lain sebagainya. Kode etik keenam, tidak mengawani pelaku maksiat. Para dai yang runtang-runtung, gandeng renceng dengan pelaku maksiat, mereka menjadi tidak mampu untuk melakukan amar makruf dan nahi mungkar. Akhirnya, justru Allah SWT melaknat mereka semua. Hal itulah yang telah terjadi atas kaum Bani Israil seperti diceritakan dalam surah al-Maidah ayat 78-79.“Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan ‘Isa bin Maryam. Hal itu karena mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain tidak melarang perbuatan mungkar yang mereka lakukan. Sesungguhnya, sangatlah buruk apa yang mereka lakukan itu.”Dan, kode etik ketujuh, tidak menyampaikan hal-hal yang tidak diketahui. Kode etik ini diambil dari surah al-Isra ayat 36. “Dan, janganlah kamu mengikuti apa yang tidak kamu ketahui. Karena, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semua itu akan dimintai pertanggungjawabannya.”

Munas Ittihadul Muballigin dengan keputusan kode etik dakwah telah berlalu 16 tahun yang lalu. Apakah dai-dai walakedu menjadi lenyap? Tampaknya tidak demikian, justru semakin mendekat ke hari kiamat fenomena munculnya dai walakedu semakin ramai. Bahkan, sering dibarengi dengan apa yang disebut dengan management walakedu. Wallahul muwaffiq.


*Penulis adalah Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta

  • kode etik
  • dakwah
  • rasulullah
  • prof kh ali mustafa yaqub

Silakan akses epaper Republika di sini Epaper Republika ...

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA