Salah satu keutamaan yang dimiliki para Rasul adalah maksum Apa yang dimaksud dengan maksum *?


Maksum (Jawi:[1] معصوم) di dalam Islam adalah istilah daripada bahasa Arab yang bermaksud terpelihara atau bebas daripada dosa, tidak tercela, tidak berdosa.[2]

  1. ^ Mohd. Zamri Murah. "AppEngine Rumi Jawi Transliterasi". Diarkibkan daripada yang asal pada 2021-03-01. Dicapai pada 2 Mei 2013.
  2. ^ "maksum - Pusat Rujukan Persuratan Melayu @ DBP". Kamus Dewan Edisi Keempat. Dewan Bahasa dan Pustaka. Dicapai pada 2 Mei 2013.

Rencana ini ialah rencana tunas. Anda boleh membantu Wikipedia dengan mengembangkannya.

  • l
  • b
  • s

Jika anda melihat rencana yang menggunakan templat {{tunas}} ini, gantikanlah ia dengan templat tunas yang lebih spesifik.

Diambil daripada "//ms.wikipedia.org/w/index.php?title=Maksum&oldid=5368950"

Rep: A Syalaby Ichsan Red: Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Istilah maksum menjadi sifat para nabi yang ter jaga dari kesalahan dalam menyampaikan agama. Mereka juga terjaga dari dosa-dosa besar. Para Na bi memang terka dang mengalami dosa kecil berupa lupa atau keliru. Hanya, Allah SWT melu rus kan mereka jika mereka ber buat ke salahan.


Kemaksuman menjadi bentuk keterja gaan para nabi dan rasul dari kesalahan dan dosa ketika menerima wahyu dan menyam paikan wahyu. Dengan demikian, nabi dan rasul bisa menyampai kan semua wahyu dengan jujur tanpa ada yang disembunyikan. Nabi dan rasul diberikan hafalan yang sangat kuat. Ketika mene rima wahyu, mereka hafal kecuali Allah menghapus ingatan mereka.

Beberapa ulama mengung kap kan jika Nabi SAW langsung ditegur Allah SWT manakala perilakunya harus diluruskan. Kisah tentang Abdullah Ibnu Ummi Mak tum dalam surah Abasa me nunjukkan bagaimana Nabi SAW mendapat evaluasi dari Allah SWT melalui malaikat-Nya. Imam Ibnu Katsir menulis dalam tafsirnya jika suatu hari, Ra sulullah SAW berbicara de ngan seorang pembesar Quraisy yang sangat diinginkan Nabi SAW un tuk masuk Islam. Di te ngah per bincangan tersebut, da tang Ibnu Ummi Maktum, se orang sahabat yang buta, tetapi sudah masuk Islam sejak lama.

Ibnu Ummi Maktum hendak bertanya kepada Rasulullah SAW tentang sesuatu pertanyaan yang mendesak. Nabi SAW ketika itu menginginkan andai kata Ummi Maktum diam dan tidak meng gang gunya. Dengan demikian, Nabi SAW bisa ber bicara dengan tamunya dari Quraisy. Karena itu, Nabi SAW bermuka masam ke pada Ummi Maktum dan mema lingkan wajahnya serta hanya melayani tamu dari Quraisy itu. Nabi SAW lantas mendapat wah yu berupa peringatan atas si kapnya kepada Ummi Maktum.

"Dan adapun orang yang da tang kepadamu dengan bersegera (untuk men dapatkan pengajaran), sedangkan ia takut kepada (Allah), maka kamu mengabai kannya. Sekali-kali jangan (de mikian)! Sesungguhnya, ajaran-ajar an Tuhan itu adalah suatu peringatan, maka barang siapa yang menghendaki, tentulah ia mem perhatikannya, di dalam ki tab-kitab yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disu cikan, di tangan para penulis (malaikat), yang mulia lagi berbakti."

Doktrin tentang maksum ini rupanya coba ditunggangi sege lintir oknum. Di tengah masya rakat, muncul keyakinan jika pemimpin agama atau imam terpelihara dari salah dan dosa. Mereka pun wajib diikuti dalam situasi dan kondisi apa pun. Anggapan ini memicu timbulnya kebi ngung an, keresahan, dan ketegangan di masyarakat, khu susnya terkait dengan 'ishmatul imam atau imam yang maksum. Padahal, setiap manusia ada lah tempat salah dan dosa. Dari Anak bin Malik RA, ia berkata, Ra sulullah SAW bersabda: Se tiap bani Adam itu salah, dan sebaik-baik orang yang berbuat salah ada lah mereka yang bertobat. (HR al-Turmudzi, Ibn Ma jah, dan al-Hakim dan menshahihkan nya).

Doktrin kemaksuman para imam ini memang lahir dari pa ham syiah. Bertolak belakang dengan ahlusunnah, Syiah perca ya bahwa dalam seluruh tingkat annya Imam sama dan sejajar dengan Rasulullah SAW kecuali dalam masalah wahyu. Oleh ka rena itu, imam juga harus seperti rasul yang maksum dan suci dari kesalahan, penyim pangan dan dosa, sebagaimana hal nya Ra sulullah SAW dan para na bi Allah yang lainnya pun de mikian. Imam Ali RA pun menda pat gelar mak sum karena di per caya kaum Syiah sebagai bagian dari ima mah.

Padahal, Imam Ali sendiri mencegah kaum Muslimin untuk mencintainya berlebihan. Imam Hakim menyampaikan riwayat yang dinyatakannya shahih dan dinyatakan hasan oleh yang lain tentang Ali RA yang mengatakan, "Celakalah orang yang berlebihan mencintaiku, ia me nyanjung dan mengangkatku pada ke dudukan yang tidak layak bagiku. Dan celakalah pula orang yang meng ada-ada kan kebencian kepadaku dengan mela kukan kebohongan mengenai apa yang tidak ada padaku". Kemudian, ia berkata, "Apa pun yang aku telah pe rintahkan kepadamu, kalau itu dur haka maka bagi seseorang tidak boleh taat dalam durhaka ke pada Allah Ta'ala". Dari per kataan Ali ra tersebut, diketahui bahwa ia tidak per nah mengaku dirinya maksum.

Abdul Malik ibn 'Abdullah ibn Yusuf ibn Muhammad Al-Juwainiy, Abul Ma'aliy (Imam al-Haramain), di dalam Ghiyatsul Umam menjelaskan, orang-orang yang memilih imam tidaklah dapat melihat halhal rahasia pada saat itu. Imam masjid suci itu mengungkapkan, bagaimana mereka menjamin ia bersih dari dosa pada masa mendatang? Tidak seorang pun yang mampu melihat cela yang sangat rahasia secara pasti dan sesuai akal. Dia pun meyakini, sesungguhnya Ali RA dan kedua putranya, Hasan dan Husain, serta anakanak me reka tidaklah mengakui dirinya mas'hum dan suci dari dosa. Bah kan, secara tersembunyi dan nya ta mereka mengakui sebagai ham ba yang lemah, senantiasa rendah hati di hadapan Allah SWT, memohon ampunan, tunduk dan patuh kepada-Nya. "Jika du gaan mereka benar maka itu lah yang diharapkan. Dan jika tidak, maka itulah kebohongan dan kesalahan yang mewajibkannya mohon ampunan dan tobat," ujar dia.

Untuk meredam paham ter sebut, komisi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menge luar kan fatwa bernomor 11 tahun 2017. Menurut MUI, meyakini bahwa seorang pemimpin atau imam adalah terpelihara dan ter bebas dari salah dan dosa (ma'shum) serta wajib diikuti dalam situasi dan kondisi apa pun merupakan keyakinan yang salah (batil), hukumnya haram. MUI pun menjelaskan, kewajiban taat kepada pemimpin atau Imam hanya terbatas jika imam taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.

Tak hanya itu, meyakini bah wa pe mimpin atau imam mene rima wahyu se perti nabi adalah dhalal (sesat) dan me nyebab kannya kafir. Sementara itu, meng afirkan (takfir) orang Islam yang tidak mengakui ishmatul imam , menyebabkan penuduh menjadi kafir. MUI pun mere komendasi kan masyarakat agar mewas padai penyebaran setiap paham yang bertentangan dengan ketentuan fatwa ini. MUI juga meminta pemerintah agar bertin dak tegas terhadap setiap penye baran pa ham yang dapat dikate gorikan penodaan dan/atau pe nis taan aga ma. ¦ wallahualam


Ilustrasi kata Maksum. Foto: Pixabay.

Maksum merupakan salah satu sifat yang dimiliki para nabi dan rasul Allah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, maksum artinya terbagi, terpisah, tercerai, dan lepas. Sedangkan secara istilah, maksum berarti bebas dari segala dosa.

Dikutip dari Jurnal yang berjudul Kemaksuman Nabi: Kajian Terhadap Ayat-Ayat ‘Itâb Terhadap Nabi Muhammad SAW oleh Sriwahyuni, bila ditinjau dari akar kata yang membentuknya, maksum berasal dari kata Ashoma atau Ashama yang juga mengakar pada kata Ish-mah yang artinya memelihara. Dalam Alquran, kata maksum disebutkan sebanyak 13 kali yang kesimpulannya adalah menahan diri.

Mengutip dari buku Dengan siapa kita menikah? oleh Imam Muhammad Shirazi, dkk, maksum berarti bebas dari dosa dan kesalahan. Sedangkan secara istilah, maksum berarti suci dari berbuat dosa atau terpelihara dari berbuat dosa, kesalahan, dan kekeliruan.

Dalam jurnal Kemaksuman Nabi: Kajian Terhadap Ayat-Ayat ‘Itâb Terhadap Nabi Muhammad SAW, sifat maksum hanya berlaku bagi para nabi dan rasul. Sebab, para nabi dan rasul dimaksumkan Allah SWT agar terbebas dari dosa dan kekeliruan saat menyampaikan firman-Nya.

Para nabi dan rasul merupakan manusia pilihan yang diutus oleh Allah SWT untuk memperbaiki umat manusia. Mereka adalah pendidik, pendakwah, pembimbing, sekaligus pemberi contoh kebaikan. Maka, sudah sepatutnya sifat maksum ini melekat pada diri mereka untuk menyampaikan segala risalah-Nya.

Lalu, apa saja sifat rasul selain maksum yang dimiliki para nabi dan rasul? Untuk mengetahui lebih lanjut, simak ulasan berikut.

Ilustrasi kata Maksum. Foto: Shutterstock.

Nabi dan rasul adalah manusia pilihan Allah SWT. Sebagai manusia, mereka juga mempunyai sifat yang sama seperti manusia lainnya. Selain sifat maksum, mereka mempunyai sifat khusus lainnya yang disebut sifat wajib.

Dikutip dari buku Takdir dan Mukjizat Manusia Tertampan Yusuf Alaihi Salam oleh Sulistyawati Khairu, sifat-sifat wajib bagi rasul adalah sebagai berikut:

Shiddiq berarti benar dalam perkataan. Maksudnya, para nabi dan rasul selalu jujur dalam setiap ucapan dan perbuatannya. Maka, mustahil bagi mereka untuk berbohong.

Amanah artinya terpercaya atau dapat dipercaya. Nabi dan rasul selalu memelihara keutuhan wahyu Allah sesuai dengan kehendak-Nya. Dengan demikian, mustahil bagi para nabi dan rasul memiliki sifat khianat.

Fathonah berarti cerdas, pandai, atau pintar. Mustahil bagi nabi dan rasul memiliki sifat baladah atau bodoh. Sebab, para nabi dan rasul adalah orang-orang yang bijaksana dalam semua sikap, perkataan, dan perbuatan atas kecerdasan yang mereka miliki.

Tabligh maksudnya adalah nabi dan rasul menyampaikan segala perintah dan larangan Allah SWT kepada umat manusia. Mereka menyampaikan ajaran Allah SWT tanpa merahasiakan apapun. Sehingga, mustahil para nabi dan rasul memiliki sifat khitman atau menyembunyikan risalahnya.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA