Pandangan politik sunni dapat diperoleh dari gagasan-gagasan

Seperti yang telah kita ketahui bersama dan pada umumnya oleh kalangan umat muslim dunia, bahwa setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW akan banyak sekali golongan-golongan dalam umat muslim, ketika Islam dalam tahap perkembangan kebeberapa wilayah semasa Khulafa al-Rasyidun bermunculanlah golongan-golongan itu, salah satunya dari beberapa golongan tersebut termasuk yang paling menarik untuk dibahas ialah golongan Syi’ah dan Sunni.

Sejarah politik Islam banyak diwarnai oleh pemikiran politik Syiah dan Sunni. Walaupun majoriti negara umat Islam hari ini mengamalkan politik demokrasi Barat, namun perbahasan mengenai politik Islam sentiasa menjadi mauduk penting dalam dunia Islam. 

Pemahaman Islam sebagai satu sistem hidup merangkumi semua aspek kehidupan menjadi faktor peting isu mengenai politik dan negara Islam sentiasa hangat diperbahasakan.

Dari beberapa aliran atau kelompok muslim  tersebut telah memiliki banyak sekali pengikut diberbagai kalangan umat muslim dunia. Masing-masing kelompok ini memiliki pandangan tersendiri dalam memahami makna dan pedoman dalam menjalankan agama Islam. Tentunya ini yang menjadikan Islam terbagi-bagi dan diragukan untuk kesahihannya untuk dicari dan dipelajari. Dari golongan-golongan tersebut dapat kita maknai dan pelajari untuk memahami dan mempelajari Islam lebih dalam.


2.1. Pemikiran Politik Syi’ah

Mengenai kelahiran kelompok ini banyak sekali aneka ragamnya, sebagaimana dijelaskan oleh Iqbal yang mengatakan bahwasannya Syi’ah lahir sebagai reaksi atas mayoritas kelompok Sunni yang sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW telah mendominasi dalam percaturan politik Islam , selanjutnya Munawir Sjadzali mengatakan titik awal dari lahirnya Syi’ah karena berawal dari ketidak setujuan atas kekhalifahan Abu Bakar dan berpendirian bahwa yang berhak menjadi khalifah adalah Ali , para ahli penulis sejarah sebagaimana dijelaskan dalam Ensiklopedi Islam sebagian menganggap Syi’ah lahir setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, yaitu pada saat perebutan kekuasaan antara golongan Muhajirin dan Anshor di Balai pertemuan Saqifah Bani Sa’idah , yang diselenggarakan di gedung pertemuan yang dikenal dengan Dar al – Nadwa di Madinah , dan lebih jauh dijelaskan sebagian ahli sejarah menganggap Syi’ah lahir pada masa akhir khalifah Usman bin Affan atau pada masa awal kepemimpinan Ali bin Abi Thalib dan dijelaskan dalam Ensiklopedi itu lebih jauh mengatakan bahwasannya pendapat yang paling populer adalah bahwa Syi’ah lahir setelah gagalnya perundingan antara pihak pasukan Ali dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan di Siffin, yang lazim disebut sebagai peristiwa at – Tahkim atau arbitasi.Dan Abu Zahroh memperkuat atas pendapat ini dengan mengatakan bahwasannya Syi’ah adalah mazhab politik pertama lahir dalam Islam, mazhab mereka tampil pada akhir pemerintahan Utsman, kemudian tampil pada akhir masa Ali.

Perang shiffin berakhir dengan arbitrase dan berakibat pada lahirnya tiga fraksi politik, yaitu : pertama, golongan Khawarij. Kedua, golongan Mu’awiyah yang berhasil membentuk Dinasti Ummayah dan menjadi imperial Islam pertama dalam sejarah. Ketiga, golongan Ali yang kemudian dikenal dengan sebutan Syi’ah. Kaum Syi’ah ini pecah kedalam beberapa golongan. Golongan terbesar dan berpengaruh adalah syi’ah dua belas, syi’ah tujuh yang disebut juga syi’ah Ismailiyah dan syi’ah Fathimiyah dan syi’ah Zaidiyah. Pertama dan kedua disebut juga Syi’ah Immamiyah.

Kaum syi’ah adalah para pengikut setia Ali bin abi tholib . keyakinan mereka yang amat tinggi kepadanya membawa mereka pada suatu keyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah al-khalifat al-mukhtar (khalifah terpilih) dari Nabi Muhammad SAW, karena ia dianggap sahabat terbaik diantara sahabat-sahabat Nabi. Artinya mereka meyakini  yang berhak mengendalikan pemerintahan paska Nabi, adalah imam baik pemegang kepemimpinan politik maupun kepemimpinan spiritual(agama). Dan hak istimewa Ahl al-bait, yaitu Ali bin Abi Thalib dan keturunannya. Al-Muzaffar mengatakan: “kami menyakini bahwa imamah adalah salah satu dari ajaran Islam yang fundamental (ushul al-din) dan keyakinan seseorang tak pernah menjadi sempurna tanpa meyakini Imamah itu. Itulah sebabnya Sy’iah Dua belas dan syi’ah tujuh disebut juga syi’ah imamiyah.

Pengikut Syiah dua belas mengakui adanya 12 Imam, yaitu Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan bin Ali, Al-Husein bin Ali, Ali Zain bin al-Abidin bin Al-Husein, Muhammad al-Baqir bin Ali Zain Al-Abidin, Ja’far al-Shadiq bin Muhammad Al-Baqir, Musa Al-Kazim bin Ja’far al-Shodiq, Ali al-Riba bin Musa al-Kazim, Muhammad al-Jawwad bin Ali al-Rida, Ali al-Hadi bin Muhammad al-Jawwad, Al-Hasan Al-Askari bin Ali al-Hadi, dan Muhammad al-Muntazhar bin Al-Hasan al-Askari.

Paradigma pemikiran syi’ah imamiyah tentang imamah adalah bukan urusan yang bersifat umum yang diserahkan kepada umat, dan menentukan orang untuk memegang jabatan itu menurut kehendak mereka. Sebab masalah imamah adalah rukun agama dan  kaidah islam. Karena itu Nabi tidak boleh melupakannya dan menyerahkannya kepada umat. Bahkan Nabi wajib menentukan imam bagi umat islam, dan imim adalah ma’shum (suci) dari dosa-dosa besar dan kecil. Untuk meletigimasi keyakinan ini kaum syi’ah mengemukakan nash dari Nabi yang menetapkan Ali dan keturunannya untuk menjadi imam atau khalifah menggantikan Nabi setelah beliau wafat

              Nash ucapan Nabi yang mereka kemukakan adalah:

من كنت مو لاه فعلى مو لاه, اللهم وال من ولاه وعاد من عاداه

‘’Barangsiapa menganggapku pemimpinnya maka ali juga adalah pemimpinnya. Ya Allah, jadilah penolong terhadap orang yang mengikutinya,dan jauhilah orang yang memusuhinya.’’

Hadist itulah yang menjadi dasar keyakinankaum syi’ah bahwa Nabi muhammad,sebelum wafat menetapkan ali sebagai pengganti beliau. Kedudukan Ali dalam hal ini adalah sebagai washi Nabi muhammad,yang menerima wasiat beliau. Ia menerima kepercayaan sepenuhnya dari beliau untuk menggantikan beliau dalam memimpin umat. Washi sesudah Ali adalah hasan,kemudian husein dan seterusnya. Jadi washi ini berlangsung secara berantai. Dan kenapa Ali yang menjadi washi diurutan pertama,karena Nabi tidak mempunyai anak laki-laki yang hidup. sehingga washi otomatis beralih kepda keluarga terdekat. Keluarga terdekat beliau adalah ali abi thalib,anak paman beliau sekaligus menantu beliau. Ali dan penerusnya sebagai imam disamping mewarisi sifat kepemimpinan juga diyakini oleh pengikut Syi’ah mereka mewarisi sifat kekudusan dari Nabi. Perbedaanya terletak pada Nabi menerima wahyu, sedangkan imam tidak.

Dengan posisi yang  demikian itu, imam mempunyai kekuasaan dan peran penting dalam menetapkan hukum dan undang-undang. Imam mempunyai kekuasan paripurna dalam menetapkan undang-undang,dan setiap yang dikatakannya termasuk bagian dari syariat. Dalam kaitan ini, imam mempunyai peranan penting dibidang undang-undang dan hukum. Petama, Nabi menitipkan rahasia-rahasia syariat kepada para imam sebagai  washi. Sebab, menurut keyakinan kaum syi’ah, Nabi tidak menjelaskan seluruh syariat yang ada, melainkan sebagian saja yang yang menjadi tuntutan di zamannya. Sebagiannya beliau tinggalkan untuk para washi agar mereka menjelaskannya kepada manusia sesuai tuntutan zaman mereka sesudah beliau. Kedua, diyakini oleh penganut syi’ah apa yang di ucapkan para washi merupakan syariat islam untuk menyempurnakan risalah kenabian Muhammad. Ketiga,para imam mempunyai wewenang untuk mengkhususkan nash-nash yang bersifat umum dan memberi batasan nash-nash yang bersifat mutlak.

Menurut kaum syiah imam merupakan sumber hukum dan undang-undang. Karena itu kaum syiah menetapkan bahwa seorang imam: 1. harus ma’sum dari berbuat salah, lupa dan maksiat. 2) seorang imam boleh membuat hal yang luar biasa dari adat kebiasaan yang mereka sebut mu’jizat yang terjadi kepada para nabi-nabi Allah; 3) seorang imamharus memiliki ilmu yang meliputi sesuatu yang berhubungan dengan syariat ; 4) imam adalah pembela agama dan pemelihara kemurnian dan kelestariannya agar terhindar dari penyelewengan.

Itulah doktrin-doktrin pokok Syi’ah Imamiyah. Pengikutnya sekarang ini banyak terdapat terutama di Iran, Irak, Pakistan, dan India. Kepemimpinan imam adalah pemegang kekuasaan spiritual dan kekuasaan politik sekaligus.

Iqbal menulis, secara sosio – politik, berkembangnya doktrin Syi’ah dipengaruhi oleh beberapa faktor.Pertama, imam – imam Syi’ah, selain Ali Ibn Abi Thalib, tidak pernah memegang kekuaaan politik.Mereka lebih memperlihatkan sosoknya yang memiliki integritas dan kesalehan yang tinggi.Mereka tidak memiliki pengalaman praktis dalam memerintah dan menangani permaslahan politik riil. Ketika mereka melihat realitas politik tidak sesuai dengan nilai – nilai keislaman sebagaiman mereka inginkan, maka mereka mengembangkan doktrin kema’shuman imam. Kedua, sebagian pengikut syi’ah berasal dari Persia ikut membentuk paradigma dalam corak pemikiran Syi’ah, yang diketahui mereka dahulukalanya yakni mengagungkan raja dan menganggapnya sebagai manusia suci, hal ini terlihat pada salah satu kelompok ini yang mempunyai suatu paradigma yakni imam Ali adalah penjelmaan Tuhan yang tinggi martabatnya bahkan dari Nabi Muhammad sendiri. Ketiga, pengalaman pahit yang selalu dialami pengikut Syi’ah dalam percaturan politik ikut mempengaruhi berkembangnya doktrin al – Mahdi al – Muntatazhar yang akan melepaskan mereka dari penderitaan.

Dari sekian banyak kelompok ditubuh syi’ah, Iqbal mengelompokkan golongan ini menjadi tiga aliran:pertama: Moderat, umumnya memandang Ali sebagai manusia biasa, dapat menerima kekhalifahan Abu Bakar dan Umar. Kedua, Ekstrem, menempatkan Ali sebagai seorang nabi yang lebih tinggi dari Nabi Muhammad sendiri, bahkan ada yang mengnggap Ali sebagai penjelmaan tuhan. Diantara kelompok syi’ah yang paling ekstrem adalah Al-Sabaiyah yang menganggap Ali adalah Tuhan. Pemimpin kelompok ini adalah Abdullah bin Saba. Ada pula kelompok yang berkeyakinan bahwa Jibril telah berbuat salah memberikan wahyu pada Muhammad, seharusnya wahyu tersebut diberikan kepada Ali, dua kelompok ini dianggap telah keluar dari Islam. Ketiga, diantara kedua kelompok diatas, Ali sebagai pewaris yang sah jabatan khalifah dan menuduh Abu Bakar dan Umar telah merebutnya dari tangan Ali, tidak memperlakukan Ali tidak seperti nabi yang lebih utama dari Nabi Muhammad, apa lagi penjelmaan Tuhan.

Kepemimpinan imam adalah pemegang kekuasaan spiritual dan kekuasaan poliitik sekaligus. Walaupun terjadi kegaiban pada diri imam (imam mahdi), politik tidak berarti berhenti. Kepemimpinan gaib itu dilaksanakan  oleh faqih. Tidak seperti syiah imamiyah, syiah zaidiyah tidak menganut paham dan teori imam bersembunyi. Bagi mereka imam harus langsung memimpin umat,dan berasal dari keturunan Ali dan fatimah . para pengikutnya tidak menempatkanya pada tingkat  martabat kenabian. Mereka mempersamakannya seperti seluruh manusia. Hanya saja para imam itu adalah manusia terbaik sesudah rasulullah. Jadi golongan ini tidak sempat mengkhususkan imam secara berlebihan. Syiah zaidah juga tidak meyakini bahwa nabi telah menetapkan orang dan nama tertentu untuk menjadi imam. Tidak ada teori washi dalam pemikiran politik mereka. Ali diangkat menjadi imam, karena sifat-sifat yang ditetapkan oleh nabi  terdapat dalam dirinya. Akan tetapi persyaratan tersebut tidak mutlak. Seorang pemuka masyarakat tidak dapat memenuhi klasifikasi tersebut dapat menjadi imam yang disebut imam al-mafdul ats dasar ini syiah zaidiyah mengakui keabsahan khalifah Abu Bakar, Umar dan Usman sebagai imam al-mafdul ,bukan imam al- afdol adalah Ali bin abi thalib.imam al mafdhul berada setingkat dibawah imam al-afdhul.

2.2. Pemlikiran Politik Sunni

Pertemuan di Tsaqifah Bani Saidah, pelaksanaan syura yang pertama dilakukan oleh umat islam sejak wafatnya Nabi untuk memilih khalifah beliau, dan peritiwa tahkim antara Ali dan Muawiyah, menjadi titik tolak yang penting bagi sejarah perpolitikan umat islam. Meski begitu, di masa khulafa al- Rasyidin dan era Dinasti Umayah belum dikenal pemikiran politik islam yang dirumuskan secara sistematis. Ia baru muncul pada periode Dinasti Abbasiyah. Namun prosedur pengangkatan khulafa al-Rasyidin secara ijmak oleh sahabat dan kaum muslimin, sebagai telah dikemukakan, menjadi dasar bagi teori politik para juris Sunni.

Sunni merupakan paham yang berdasarkan pada tradisi Nabi Muhammad SAW, disamping berdasar pada Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam yang pertama. Sunni lebih di kenal dengan sebutan Ahli Sunnah Wal Jama’ah. Ahlussunnah memiliki makna orang-orang yang mengikuti sunah Nabi, dan wal Jama’ah berarti mayoritas umat. Dengan demikan makna kata Ahlussunah wal Jamaah adalah orang-orang yang mengikuti sunah Nabi Muhammad SAW dan mayoritas sahabat, baik dalam syariat (hukum agama Islam) maupun aqidah (kepercayaan).

Sehubungan dengan itu, paradigma pemikiran politik Sunni, menurut Abu Zahroh, secara umum didasarkan pada empat prinsip umum. Petama, berdasarkan keutamaan keturunan. Khalifah atau imam (kepala negara) harus dari keturunan Quraisy. Penetapan prinsip ini mereka dasarkan pada hadits-hadits Nabi: “Manusia mengikuti kaum Quraisy dalam urusan ini, mereka menjadi muslim karena mereka (Quraisy) muslim, dan mereka menjadi kafir, karena mereka (Quraisy) menjadi kafir.” “Manusia mengikuti kaum Quraisy dalam kebaikan dan kejahatan.”

Dua hadits pertama menunjukkan keutamaan kaum Quraisy, dan Nabi berasal dari suku itu. Berarti tidak sah seseorang menjadi kepala negara yang tidak berasal dari kaum Quraisy. Tapi masih perlu dipertanyakan apakah hadits-hadits itu bermakna bahwa kepala negara mesti dari Quraisy, dalam konteks apa hadits itu, dan bagaimana tingkat nilai dan validitasnya.

Kedua, baiat sebagai syarat yang disepakati oleh mayoritas umat islam dalam  pemilihan kepala negara  yang dilakukan oleh ahl al-hall wa al-‘aqad. Dengan baiat itu, mereka mengadakan kontrak sosial dengan kepala negara terpilih baik disukai atau tidak, selama ia tidak melakukan perbuatan maksiat. Prinsip baiat ini didasarkan pada beberapa peristiwa baiat yang terjadi di masa Nabi dan sahabat. Demikian juga para sahabat dan kaum muslimin memberi baiat kepada Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali ketika mereka terpilih menjadi khalifah.

Ketiga, prinsip syura (musyawarah atau konsultasi), yakni pemilihan khalifah melalui musyawarah atau konsultasi. Prinsip didasarkan pada nash al-Qur’an yang menekankan  pentingnya mengadakan musyawarah dalam berbagai urusan (Q.S. al-Syura/42:38, dan Ali Imran/3:159), dan praaktek musyawarah Nabi dan sahabat.

Keempat, prinsip keadilan. Prinsip ini didasarkan pada nash al-Qur’an (Q.S. al-Nisa’/4:135, al-Maidah/5:8) dan lain-lain. Keadilan menurut Islam bersifat universal baik dalam perundang-undangan maupun dalam praktek, bahkan terhadap musuh sekali pun harus berlaku adil. Dalam kaitan ini Nabi bersabda: “Ada tiga orang yang tidak ditolak doanya yaitu doa orang yang berpuasa, doa kepala negara yang adil dan doa orang yang teraniaya.

Walaupun mayoritas kaum Sunni menerima prinsip-prinsip umum tersebut, namun perbedaan-perbedaan dalam banyak detail dalam masalah politik dan pemerintahan ini tetap tak terhindarkan. Hal ini akan terlihat nanti dalam bahasan pemikiran politik mereka. Boleh dikatakan mereka tidak mencapai kesepakatan kecuali dalam dua hal, yaitu keharusan adanya kepala negara dan pemerintahan itu sendiri guna mencegah kekacauan, dan keinginan mereka untuk menjalankan prinsip-prinsip ajaran islam. Meski ada perbedaan dalam detail. Lambton menulis: “Para juris (Sunni) mengklaim bahwa doktrin mereka tentang imamah khalifah didasarkan pada praktek masyarakat islam pertama. “ Untuk rasionalisasi bagi pengembangan doktrin tersebut, mereka mendasarkannya pada interpretasi wahyu, diperkuat pula dengan petunjuk wahyu tentang kehidupan bermasyarakat, dan ijmak yang didasarkan pula pada hadits Nabi: “Umatku tidak akan bersepakat berbuat salah”. Dan timbulnya pertentangan-pertentangan antara Umayah dan Abbasiyah, Syi’ah dak Khawarij serta gerakan intelektual Muktazilah, mendorong para juris Sunni mengembangkan teori-teori politik mereka tentang khalifah.

Melihat begitu beragamnya akar dan dasar  bagi perumusan teori-teori politik mereka, yaitu tradisi politik umat Islam generasi pertama, penginterpretasian terhadap wahyu yang berkaitan dengan tata kehidupan bermastarakat, dan serangan intelektual mereka terhadap gerakan agama dan politik serta intelektual non-Sunni. Hal itu tampaknya, disebabkan  pemikiran dan gagasan mereka tidak lebih dari sekedar reaksi terhadap gerakan-gerakan tersebut dalam rangka mempertahankan status quo kekuasaan politik yang ada. Nash-nash al-Qur’an dan hadits serta tradisi politik umat Islam awal tidak dikembangkan secara luas, melainkan hanya dijadikan sebagai legalitas terhadap pandangan mereka. Akibatnya, kajian ilmu politik, pada saat Dunia Islam mencapai puncak kemajuan di bidang ilmu pengetahuan,tidak begitu berkembang.

Sekarang kita ikuti pemikiran-pemikiran politik para juris Sunni terkemuka dalam sejarah Islam yang hidup di abad klasik dan abad tengah, yaitu Al-Baghdadi, Ibn Abi Rabi, Al-Mawardi, Al-Juwaini, Al-Ghazali, Ibn-Taimiyah dan Ibn-Khaldun.

 Proses Terbentuknya Negara

Robi’ melalui pembahasannya tentang negara atau kota (al-daulat au al madinah) berdasarkan kenyataan sosial, bahwa manusia adalah jenis makhluk yang saling memerlukan sesamanya untuk mencukupi segala kebutuhannya. Keinginan mencukupi kebutuhan agar bertahan hidup dan untuk memperolehnya memerlukan kerjasama, mendorong mereka berkumpul disuatu tempat, agar mereka bisa saling tolong menolong dan memberi. Proses itulah yang menurut Rabi’ membawa terbentuknya kota-kota dan akhirnya menjadi Negara.

Menurut Al-Ghazali manusia suka berkumpul karena didorong oleh dua sebab. Pertama, kebutuhan untuk mempertahankan kelangsungan keturunan. Kedua, untuk mengadakan kerjasama atau tolong-menolong dalam rangka mempertahankan hidup.

Kebutuhan manusia tidak hanya berkumpul dan berkerjasama. Mereka juga membutuhkan seorang pemimpin yang memiliki kekuasaan untuk mengatur segala urusan yang berkaitan dengan kehidupan mereka. Para pemikir sunni sependapat bahwa manusia itu adalah makhluk sosial yang mempunyai kecenderungan berkumpul dan bermasyarakat. Makhluk sosial yang menurut tabiatnya memerlukan kerjasama untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka lahir dan batin. Proses inilah, menurut mereka yang menjadi akar dan factor terbentuknya kumpulan atau masyarakat manusia disuatu tempat tertentu yang kemudian menjelma menjadi Negara. Pandangan mereka ini sejalan dengan pendapat Plato dan Aristoteles tentang asal-usul Negara yang berakar pada tabiat manusia sebagai makhluk sosial.

Unsur-Unsur dan Sendi-Sendi Negara

Untuk mendirikan Negara, menurut Rabi’ diperlukan beberapa unsur dan sendi, Pertama harus ada wilayah. Kedua, harus ada Raja atau penguasa sebagai pengelola negara yang akan menyelenggarakan segala urusan negara dan rakyat. Tidak mungkin terbentuk suatu negara tanpa ada penguasa sebagai otak penggerak urusan rakyat dan negara. Penguasa bertugas melindungi rakyatnya dari tindakan aniaya yang timbul dari mereka sendiri dan dari luar. Ketiga, rakyat yang merupakan unsur pokok sebuah negara yaitu kumpulan manusia atau masyarakat. Keempat, keadilan. Keadilan yang mencakup melaksanakan kewajiban-kewajiban yang diperintahkan oleh Allah dan RosulNya. Unsur kelima dari sendi negara adalah pengelola negara. Unsur ini merupakan perwujudan hubungan kuat antara penguasa dan rakyatnya.

Setelah terbentuknya negara, menurut Al-Mawardi, ia harus memiliki unsur-unsur sebagai sendinya dalam rangka menjamin kerjasama dan ikatan-ikatan sesama anggota masyarakat dalam kehidupan bernegara. Pertama, berlandaskan agama yang berfungsi untuk mengendalikan diri dari godaan hawa nafsu dan menjadi tiang penyangga bagi kemaslahatan dan keutuhan negara. Kedua, negara harus memiliki raja atau penguasa. Ia berperan mengintegrasikan keinginan-keinginan rakyat yang beragam, membimbing negara merealisir tujuannya, memelihara agama, melindungi keamanan dan sumber rezeki rakyat. Raja adalah imam atau khalifah. Ketiga, keadilan yang  menyeluruh. Terwujudnya keadilan akan menciptakan persatuan, membangkitkan kesetiaan rakyat, memakmurkan negeri, yang akhirnya mengamankan kedudukan penguasa. Keadilan harus dimulai dari diri sendiri yang tercermin pada melakukan kebaikan dan meninggalkan perbuatan buruk, kemudian berlaku adil terhadap orang lain. Keempat, keamanan negara. Keamanan akan mewujudkan ketentraman batin rakyat dan cita-cita mereka dalam memperoleh kemaslahatan hidup. Kelima, wilayah yang memiliki tanah subur. Tanah subur merupakan salah satu potensi yang dapat memberikan kesejahteraan atau kekayaan materil kepada rakyat atau negara. Keenam, harapan yang optimis.



Eksistensi  Lembaga Pemerintah

Pemerintahan (imamah, khalifah) adalah kepemimpinan umum bagi umat islam dalam urusan agama dan urusan dunia sebagai pengganti fungsi Nabi SAW. Kebutuhan kepada pembentukan imamah, kata Al-Baghdadi, secara umum telah menjadi teori sunni. Jumhur ulama mutakallimin (kaum teolog) dan fuqoha sepakat bahwa adanya imamah itu wajib. Mengangkat seorang imam dan taat kepadanya adalah wajib dan penting. Karena ia berperan untuk melaksanakan undang-undang dan peraturan, melaksanakan hukum bagi pelanggar hukum, mengatur militer dan pajak serta lembaga perkawinan.

Dasar pembentukan imamah itu, kata Al-Mawardi, bagi umat wajib secara ijma’. Ia membenarkan hal ini diperselisihkan. Apakah menjadi wajib karena pertimbangan akal atau berdasarkan hukum agama. Menurutnya ada dua golongan, pertama wajib karena pertimbangan akal. Alasannya manusia itu adalah makhluk sosial. Dalam berhubungan dan pergaulan di antara mereka mungkin terjadi perselisihan, permusuhan dan penganiayaan. Karenanya diperlukan seorang pemimpin yang akan mencegah kemungkinan-kemungkinan itu. Seandainya tidak ada penguasa niscaya masyarakat menjadi kacau balau dan mereka menjadi perusak. Kedua, kewajiban adanya imamah berdasarkan hukum agama bukan karena pertimbangan akal. Karena eksistensi imamah untuk melaksanakan syari’at.

Apabila penetapan hukum adanya imamah itu wajib, maka wajibnya menurut Al-Mawardi adalah fardhu kifayah (kewajiban seluruh umat). Jika ada diantara anggota masyarakat yang melakukannya maka gugurlah kewajiban itu dari seluruh anggota masyarakat.

Al-Ghazali mengemukakan pemikirannya bahwa agama dan politik, dunia dan akhirat mempunyai kaitan erat yang tidak dapat dipisahkan. Karena menurutnya tujuan manusia dalam bermasyarakat bukan hanya memenuhi kebutuhan dan mencari kebahagiaan materil saja, tapi lebih dari itu untuk mempersiapkan kehidupan yang lebih sejahtera dan abadi di akhirat. Hidup dan kehidupan didunia bukan untuk dunia semata, tapi dunia adalah untuk agama dan agama untuk mengatur dunia. Keduanya harus dipenuhi secara seimbang dan adil.

Pengangkatan Kepala Negara

Pengangkatan kepala negara dengan sistem pemilihan merupakan materi bahasan para juris sunni. Al-Baqillani menolak doktrin syi’ah tentang penunjukan imam berdasarkan nash (bukti tekstual). Karena keyakinan ini menurutnya didasarkan atas khabar ahad dan bukan khabar mutawatir. Artinya tak ada orang yang mengetahui tentang penunjukan Ali oleh Nabi untuk memangku jabatan imam.

Menurut Al-Mawardi, untuk mengangkat kepala negara terdapat dua cara. Pertama, cara pemilihan oleh ahl al aqd wa al halli (memreka yang berwenang mengikat dan melepaskan) yakni para ulama, cendekiawan dan pemuka masyarakat. Kedua, cara penunjukan atau wasiat oleh kepala negara yang sedang berkuasa. Jika pengangkatan dilakukan dengan pemilihan, menurutnya terdapat perbedaan pendapat diantara ulama. Pertama, sekelompok ulama berpendapat pemilihan hanya sah jika dilakukan oleh wakil-wakil ahl al aqd wal halli dari seluruh negeri dengan persetujuan yang bulat (ijma’). Pendapat ini didasarkan pada pemilihan dan baiat Abu Bakar di Tsaqifah Bani Sa’idah secara ijma’ oleh umat islam yang hadir. Kedua, golongan ulama fikih dan kalam Basrah berpendapat pemilihan sah paling kurang dilakukan oleh lima orang dari ahl al aqd wal halli. Golongan ini juga mendasarkan pada pembaiatan Abu Bakar yang pada mulanya hanya dilakukan oleh lima orang kemudian diikuti oleh rakyat. Ketiga, kelompok ulama Kuffah berpendapat bahwa pemilihan itu sah dilakukan oleh tiga orang, seorang dari mereka terpilih menjadi khalifah dengan persetujuan dua orang. Pendapat ini didasarkan pada pelaksanaan akad nikah dengan seorang wali dan dua orang saksi. Keempat, kelompok ulama lain berpendapat bahwa pemilihan sah sekalipun dilakukan oleh seorang saja. Alasan dikemukakan karena Ali dulu diangkat oleh Abbas, paman Nabi. Ia berkata pada Ali :”Ulurkan tangganmu aku akan membaiatmu.” Melihat yang dilakukan Abbas orang yang hadir serentak memberi baiat pada Ali.

Satu hal yang menarik dari gagasan Al-Mawardi adalah dalam hal seorang calon yang akan diorbitkan jadi kepala negara. Menurut pandangannya, calon yang akan dipilih harus sesuai dengan kebutuhan yang mendesak saat itu. Jika negara dalam keadaan bahaya karena timbul berbagai aniaya, kejahatan, atau pemberontakan dalam arti negara tidak stabil, maka yang diperlukan adalah pemimpin yang berani bertindak. Tapi jika negara menghadapi ahli bid’ah maka yang dibutuhkan adalah kepala negara yang berilmu pengetahuan. Bila dikaitkan dengan zaman sekarang, pemerintahan militer dibutuhkan untuk memelihara stabilitas keamanan negara. Sebaliknya bila negara aman maka lebih baik pemerintahan sipil. Atau baik militer maupun sipil sama-sama mengambil posisi dan peran yang sama dalam menjalankan roda pemerintahan untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan.



Syarat-Syarat Kepala Negara

Para juris sunni mencita-citakan terwujudnya pelaksanaan syari’at islam, keadilan, dan kesejahteraan rakyat melalui kekuasaan politik dan pemerintahan. Hal ini tercermin dalam syarat-syarat kepala negara yang mereka kemukakan. Kepala negara bagi Al-Baqillani harus berilmu pengetahuan yang luas, karena ia memerlukan para hakim yang berlaku adil. Dengan ilmunya itu ia dapat mengetahui apakah putusan hakim sesuai dengan ketentuan hukum atau tidak dan apakah sesuai dengan asas keadilan. Syarat lain, kepala negara harus bertindak adil dalam segala urusan, berani dalam peperangan, dan bijaksana dalam mengorganisir militer yang bertugas melindungi rakyat dari gangguan musuh. Dan dalam segala tindakannya bertujuan untuk melaksanakan syari’at. Artinya dalam mengatur kepentingan umat harus sesuai dengan syari’at. Disamping syarat-syarat tersebut, ia berpendapat bahwa kepala negara harus dari Quraisy. Persyaratan terakhir ini merupakan penolakkannya terhadap doktrin Khawarij bahwa setiap muslim dari kalangan manapun berhak menjadi kepala negara. Sekaligus penolakannya terhadap Syi’ah bahwa kepala negara terbatas pada keturunan Ali.

Mayoritas sunni, katanya mengakui bahwa orang yang paling utama (most exellent, al fadhil) pada masanya harus dipilih jadi imam. Tapi bila tidak ada, boleh orang yang kurang utama dan pantas untuk memangku jabatan imam.

Tugas dan Tujuan Pemerintahan

Pembentukan khilafah atau pemerintahan dalam pandangan para juris sunni wajib menurut hukum agama sebagai pengganti tugas kenabian mengatur kehidupan dan urusan umat baik keduniaan maupun keagamaan dan untuk memelihara agama. Umat wajib mewujudkan kepatuhan dan ketaatan kepadanya. Bagi mereka kekuasaan politik merupakan alat untuk melaksanakan syari’at islam, memelihara persatuan umat lewat kerjasama dan tolong menolong, dan menciptakan keamanan dan ketenangan.

Sejalan dengan persyaratan kepala pemerintahan, tugas dan tujuan utama pemerintahan dalam pandangan Ibn Taimiyah untuk melaksanakan syari’at Islam demi terwujudnya kesejahteraan umat, lahir dan batin, serta tegaknya keadilan dan amanah dalam masyarakat. Paradigmaa pemikiran ini banyak disandarkan kepada ayat-ayat Al-Quran dan As-Sunnah. Tidak berbeda dari pendahulunya, Ibn Khaldun menyatakan sesungguhnya kehidupan di dunia ini bukanlah tujuan akhir dari keberadaan manusia. Kehidupan manusia di dunia ini adalah satu marhalah yang dijalani menuju kehidupan lain, yaitu kehidupan akhirat. Undang-undang Islam yang bersifat politik menaruh perhatian terhadap kehidupan dunia. Maka imamah, warisan yang ditinggalkan oleh Nabi, adalah untuk melaksanakan hukum-hukum Allah demi terwujudnya kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.

Pemberhentian Kepala Negara

Para juris sunni yang ditampilkan dalam tulisan ini tidak ada yang membicarakan bagaimana cara dan mekanisme pemberhentian kepala negara. Mereka hanya membahas kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkan terjadinya hal tersebut.

Walaupun umat memiliki hak untuk menetapkan seseorang yang memiliki kualifikasi untuk menduduki jabatan khalifah, namun menurut Al-Baqillani tidak punya hak untuk membatalkan kontrak atau perjanjian dua belah pihak yang telah dibuat. Hal ini hanya bisa dilakukan bila ada kasus atau keadaan yang mengharuskan untuk itu. Kasus dan keadaan yang menyebabkan pemberhentian kepala negara, karena : 1. Tiak jujur, berbuat bid’ah, tidak adil dan berbuat dosa. 2. Lemah fisik dan mental, seperti gila dan kehilangan kemampuan, tuli dan bisu atau lanjut usia sehingga tidak lalgi mampu melaksanakan tanggung jawab dan tugasnya. 3. Kehilangan kebebasan karena ditawan oleh musuh. Al-Baghdadi menjelaskan seorang imam yang tanpa cacat dan tindakannya tidak bertentangan dengan syari’at umat wajib mendukung dan mentaatinya. Tapi bila ia menyimpang dari ketetapan syari’at, masyarakat harus memilih diantara dua tindakan kepadanya, yaitu mengembalikannya dari berbuat salah kepada kebaikan, atau mencopot jabatannya dan memberikannya kepada yang lain.

Menurut teori ketuhanan, kekuasaan berada dari Tuhan (devine rights of kings). Penguasa bertahta atas kehendak Tuhan sebagai pemberi kekuasaan kepadanya. Teori kekuatan adalah suatu teori yang mengatakan kekuasaan politik diperoleh melalui kekuatan dalam persaingan antar kelompok. Negara dibentuk oleh pihak yang menang, dan kekuatanlah yang membentuk kekuasaan dan pembuat hukum. Teori ini dikemukakan oleh Ibd Khaldun. Menurutnya masyarakat manusia memerlukan al-wazi’ (pemimpin) untuk melaksanakan kekuasaan dan memperbaiki kehidupan masyarakat dan mencegah perbuatan aniaya di antara sesama. Al-wazi’ diikuti karena memiliki kekuatan dan pengaruh atas masyarakatanya. Hubungan sosial masyarakatnya berdasarkan hubungan keturunan yang disebutnya ashabiyat (solidaritas kelompok) sebagai perekat kekuatan kelompok itu. Dengan demikian, suatu daulah (pemerintahan) dapat berbentuk apabila suatu kelompok masyarakat mampu mengalahkan kelompok masyarakat lainnya. Dan dengan kemenangan itu ia memperoleh kekuasaan politik. Sedangkan teori kontrak sosial adalah suatu teori yang menerangkan kekuasaan diperoleh melalui perjanjian masyarakat. Artinya kekuasaan politik bersumber dari rakyat, dan legitimasinya melalui perjanjian masyarakat. Dengan kata lain terjadinya penyerahan kekuasaan oleh anggota masyarakat kepada seseorang atau lembaga.

Untuk mengklasifikasikan bentuk-bentuk pemerintahan dapat dilihat pada beberapa orang yang memegang kekuasaan tertinggi. Aristoteles dalam bukunya Politica menyebutkan beberapa kemungkinan pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara : 1. Kekuasaan tertinggi dalam negara berada di tangan satu orang. 2. Kekuasaan tertinggi dalan suatu negara berada di tanggan beberapa orang. 3. Kekuasaan tertinggi dalam negara berada di tanggan banyak orang. Lebih lanjut ia jelaskan, jika kategori pertama dan tujuan pemerintahannya adalah untuk kepentingan, kebaikan dan kesejahteraan umum maka bentuk pemerintahan yang demikian disebut monarki. Apabila kategori kedua dan tujuan pemerintahan adalah untuk kepentingan , kebaikan dan kesejahteraan umum, maka bentuk pemerintahan yang demikian itu disebut aristokrasi. Dan jika kategori ketiga dan tujuan pemerintahan untuk kepentingan, kebaikan dan kesejahteraan umum, maka bentuk pemerintahan ini disebut politeia (kata yunani) yang berarti konstitusi.

Dalam kaitan itu, di antara pemikir sunni, hanya Rabi’ yang bebicara soal bentuk pemerintahan. Dari berbagai bentuk pemerintahan yang ada, bagi Rabi’ bentuk pemerintahan yang begitu ideal adalah bentuk monarki. Kekuasaan tertinggi dipegang oleh satu orang saja, yaitu Raja. Ia menolak pemerintahan aristokrasi. Suatu pemerintahan yang berada di bawah pimpinan sekelompok orang terpilih, bangsawan atau ningrat. Ia juga tidak menerima bentuk pemerintahan oligarki. Model pemerintahan ini kekuasaan tertinggi berada di tangan kelompok kecil orang-orang yang berpengaruh atas masyarakat. Dan ia juga tidak dapat membenarkan pemerintahan demokrasi yang diperintah oleh rakyat.

2.3. Perbedaan Pemikiran Syi’ah dan Sunni

Sebenarnya tidak ada perbedaan berarti antara golongan Syi’ah dan Sunni dalam hal inti keimanan. Al-Qur’an dipandang oleh kedua golongan itu sebagai peran suci Allah Swt, dengan kata lain konsep ideal golongan Sunni juga disepakati oleh golongan Syi’ah. Permasalahan sebenarnya bersumber pada sejarah masa lalu yang sangat bersifat politis, bukan dari segi teologi Islam, walaupun legitimasinya secara teologis akan dicari .  Fraksi politik kedua golongan tersebut menurut Abd. Salam Arief dalam buku Negara Tuhan:  The Tematic Encyclopaedia, diawali dengan kemelut politik sejak pengangkatan Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah dan disusul kemudian dengan penolakan Muawiyah bin Abu Sufyan terhadap eksistensi kekhalifahan Ali, telah menimbulkan ketegangan politik yang akut dari kedua belah pihak yang akhirnya terjadinya perang Siffin.  Perang Siffin inilah yang oleh sementara kalangan sejarawan disebut al-fitnah al-kubra dan berpengaruh besar dalam mewarnai perjalanan panjang sejarah politik umat Islam dari generasi ke generasi sesudahnya.[19]

Fraksi politik dalam Islam antara kedua kelompok yaitu Sunni dan Syi’ah, disebabkan perbedaan pendapat mengenai masalah imamah, seperti yang dikatakan oleh salah satu ulama Syi’ah, A. Syarifuddin al-Mussawi, yang mengakui bahwa tiada suatu penyebab perpecahan di antara umat Islam yang lebih hebat dari pada perbedaan pendapat yang berhubungan dengan soal imamah.  Tiada bentrokan dalam Islam demi suatu prinsip agama, yang lebih parah daripada yang terjadi di sekitar persoalan ini.  Persoalan imamah menurut al-Mussawi, adalah penyebab utama yang secara langsung menimbulkan perpecahan selama ini. Tetapi pendapat Syi’ah seperti itu ditolak oleh kalangan Sunni yang meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW, tidak mewariskan kepemimpinan dan juga tidak menunjuk seseorang pengganti, tetapi ia membiarkan masalah kepemimpinan sepeninggalnya diserahkan kepada ummat.

Ayatullah Imam Khomeini, pemimpin besar revolusi Islam juga mengemukakan pandangannya mengenai paham dan aliran Syi’ah, menurutnya: “Sejak awal mula sejarahnya, aliran syi’ah, yang merupakan aliran yang lazim dianut di Iran, telah memiliki ciri khas tertentu, jika beberapa aliran lain menganjurkan kepatuhan terhadap penguasa (meskipun mereka curang dengan bersifat menekan), maka Syi’ahisme menganjurkan perlawanan terhadap para penguasa seperti itu dan mencela mereka sebagai penguasa yang tidak sah.  Sejak dulu orang Syi’ah selalu menentang pemerintahan yang menekan”.



Menurut beberapa pemikir Islam, bila dicari perbedaan antara Syiah dan Suni, akan bisa diurai panjang lebar dan tidak ada habisnya. Ujung-ujungnya, konflik berdarah berkepanjangan. Ia menunjuk kasus Irak, Pakistan, Lebanon, dan di negara-negara lain. Di negara-negara tersebut, konflik antarkelompok Islam telah banyak memakan korban. Padahal, Islam seharusnya menjadi agama yang memberi kedamaian.

Berangkat dari fakta itu, para tokoh pemikir kaum muslimin berusaha mengampanyekan modernisasi Islam. Islam adalah agama rahmatan lilalamin, agama yang memberi rahmat, bukan memberi kesengsaraan dan penderitaan. Modernisasi pemikiran, khususnya dalam pemikiran Islam, diyakini dapat memberi basis toleransi dan keterbukaan berpikir. Dengan pikiran yang luas, diharapkan kesenjangan antara kaum Sunni dan Syiah perlahan-perlahan bisa direduksi.

Selain itu, dengan adanya modernisasi pemikiran, barangkali yang diperlukan bukan lagi bagaimana mempertemukan Suni dengan Syiah, tapi bagaimana menggalang kerja sama yang lebih menguntungkan, tanpa menyentuh perbedaan prinsipil masing-masing.



Pulungan, J. Suyuti. 1999. Fiqh Siyasah. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada


Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA