Orang yang meminta kembali barang yang Sudah diberikan kepada orang lain seperti

Umat Muslim merupakan umat yang sangat menyayangi terhadap sesama. Maka tidak heran jikalau sesama muslim memberikan sesuatu berupa hadiah maupun sedekah. Hal itu diharapkan didasari dengan rasa senang dan timbulnya rasa kasih sayang. Tapi apabila suatu saat kita meminta kembali apa yang telah kita berikan kepada seseorang dalam bentuk hadiah maupun sedekah itu, bolehkah hal ini dilakukan?

Dalam kitab Sunan at-Tirmidzi yang diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwasannya Rasulullah SAW bersabda yang artinya, “Permisalan seseorang yang memberikan pemberian kemudian mengambil kembali hal itu darinya maka ia seperti seekor anjing yang memakan makanan hingga kenyang lalu memuntahkan makanan itu, maka kemudian ia memakan muntahannya kembali. (HR.Tirmidzi)”.

Dalam hadis ini dijelaskan bahwa larangan mengambil kembali hadiah yang telah diberikan ini merupakan perkataan jumhur ulama. Mengapa demikian? Karena apapun yang telah diberikan baik itu berupa hadiah maupun sedekah, secara keseluruhan itu sudah menjadi hak penerimanya, dan secara tidak langsung kita sudah meridhai pemberian itu secara fisik dan kepemilikan. Hal itu merupakan contoh yang buruk dan bukan termasuk akhlak seorang muslim. 

Akan tetapi ada kondisi-kondisi tertentu yang membuat perbuatan menarik pemberian itu diperbolehkam. Misalnya apabila seorang ayah memberikan sesuatu kepada anaknya lalu si ayah berubah pikiran, maka ayahnya bisa menarik kembali pemberiannya untuk tujuan kemaslahatan.

Disebutkan dalam riwayat muslim mengatakan “Berlaku adil lah terhadap anak anakmu”. Ketika orang tua memberikan hadiah kepada anaknya maka harus bersikap adil dan tidak ada yang diistimewakan. Kecuali apabila kebutuhan keluarga lebih diperlukan pada saat itu, dan kemudian si anak pun punya kebutuhan, maka dari itu lebih baik memberikannya sesuai kebutuhannya dan tidak berlebihan.

Baca Juga:   Manisnya Cinta Allah Ta'ala kepada Hamba-Nya

Kemudian hal lainnya jika orang yang diberi atau yang menerima hadiah atau sedekah itu secara sukarela tanpa paksaan ingin menyerahkan kembali barang pemberian itu kepada orang yang memberi maka hal itu dibolehkan. Dalam hal ini tidak ada masalah antara pemberi dan penerima. 

Kesimpulannya bisa dikatakan bahwa secara umum, pemberian kita kepada seseorang baik itu hadiah ataupun sedekah merupakan suatu hal yang menyenangkan. Namun apabila hal itu diminta kembali oleh kita , maka hukumnya haram dan Rasulullah memisalkannya seperti Anjing yang memakan kembali muntahannya.

Pengecualian bagi seorang ayah yang memberikan hadiah kepada anaknya, dikarenakan berbagai sebab seperti untuk kemaslahatan keluarga. Karena sesungguhnya harta anak itu adalah milik ayahnya, karena berasal darinya, dan  seoarang ayah juga yang menafkahinya. 

Dizaman sekarang ini, media social menjadi bahan bagi masyarakat untuk saling bertukar informasi, berbagi pengalaman dan lain-lainnya sampai hal-hal lain yang berbau privasi pun, sering kita dapatkan tersebar di beranda para Fesbuker . Entah apa yang jadi inspirasi mereka untuk menyebarkan hal-hal itu, yang pasti semuanya kembali pada niatnya.

Kalo bicara soal niat nih, ane jadi inget beberapa iklan yang suka disebarin dimedia social, tentang acara social untuk masyarakat menengah kebawah. Biasanya kan ada acara serah terimanya tuh, sambil di photo,ckiss.. dibelakangnya ada sepanduk bertuliskan ”acara ini, didanai oleh Syekh Bapak Haji 2x Kyai Al-Mukarrom Al-Ustadz. “Muhiddin”. Waduh, kira-kira gimana nih hukumnya?, padahal katanya “niat saya ihklas”. Kok malah diumbar-umbar amal baiknya.

Ya, itu sekilas gambaran prilaku masyarakat kita, yang memang sudah menjadi kebiasaan dan dianggap wajib. Sebagaimana jabatan “Bpk.HAJI” yang selalu dijadikan cantumkan pada setiap orang yang telah melaksanakan ibadah haji. Padahal, hal itu bisa merusak nilai ibadah haji yang sudah dilakukannya lho.. Capek dech..

Oke, kita kembali ke judul materi kita, Apa Hukumnya meminta kembali sesuatu   yang sudah kita berikan?

Mengenai hal ini, ada hadits dari Ibnu Abbas yag diriwayatkan oleh Bukhari & Muslim, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda :”

Al Aa’idu fii hibatihi kal kalbi yaqii’u, tsumma ya’uudu fii qoy’ihi”(Orang yang meminta kembali apa yang telah ia berikan, laksana seekor anjing yang muntah, kamudian ia kembali menelan muntahannya tersebut).

Sebagian besar kalangan ulama pun telah bersepakat bahwa hukum meminta kembali apa yang sudah diberikan oleh seseorang adalah MAKRUH (karahatut tanziih). Kesepakatan ini diperkuat oleh perkataan Syek Ibnu Taimiyyah bahwasanya “haram” hukumnya meminta kembali suatu pemberian walaupun belum terjadi serah terima.

Begitu pula hukum mewaqapkan dalam bentuk wasiat, wajib bagi ahli waris untuk melaksanakan wasiat sang mayit. Jangan sampai sang ahli waris tersebut mengambil kembali dengan dalih belum dibuatkan aktanya dll. Contohnya seperti itu..

Sekilas, mudah-mudahan bermanfaat buat ikhwah semua..

Penulis : Ustadz A. Muslim Nurdin, S.Pd (Mudir Pesantren MAQI)

PERTANYAAN :

Assalamu'alaikum,

1.Bagaimana hukum nya meminta kembali barang yang telah diberikan? Yang terkadang barang nya telah habis, rusak atao hilang. Deskripsi : si A memberikan barang kepada si B setelah beberapa bulan mereka renggang. Dan karena kesel si A meminta kembali barang yang telah diberikan ke B.

2.Apakah yang seperti ini dinyatakan memakan bangkai sendri ? maaf bukan cinta ato keperawanan yang saya maksud adalah barang misal makanan, Uang Dan barang-barang semacam baju dan elektronik, bukan juga ketika tunangan tapi lebih umum seperti teman atau pacaran atau saudara. 

JAWABAN :

Wa alaikumus salaamw arohmatulloh. Hibbah tidak bisa diminta lagi, kecuali hibbah dari orang tua pada anaknya.

(وإذا قبضها الموهوب له لم يكن للواهب أ ن يرجع فيها إلا أن يكون والداً) وإن علا

Keterangan, dalam kitab:

- Roudhotut Tholibin :

روضة الطالبين أبو زكريا يحيى بن شرف النووي

الموهوب ، إما أن لا يكون باقيا في سلطنة المتهب ، وإما أن يكون . القسم الأول : أن لا يكون بأن أتلف ، أو زال ملكه عنه ببيع ، أو غيره ، أو وقفه ، أو أعتقه ، أو كاتبه ، أو استولدها ، أو وهبه وأقبضه ، أو رهنه وأقبضه ، فلا رجوع له ، ولا قيمة أيضا

Barang yang diberikan itu ada kalanya tidak langgeng di tangan orang yang diberi dan ada kalanya masih tetap ada, bagian petama, yang tidak langgeng misalnya menjadi rusak atau hilang kepemilikan sebab dijual atau yang lainnya sebab diwakafkan, sebab dimerdekakan, sebab di-akadi mukatab, sebab diberikan lagi atau sebab digadaikan maka tidak boleh diminta kembali dan juga tidak ada ganti rugi.

.حدثنا حامد بن عمر حدثنا أبو عوانة عن حصين عن عامر قال سمعت النعمان بن بشير رضي الله عنهما وهو على المنبر يقول: أعطاني أبي عطية فقالت عمرة بنت رواحة لا أرضى حتى تشهد رسول الله صلى الله عليه و سلم فأتى رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال إني أعطيت ابني من عمرة بنت رواحة عطية فأمرتني أن أشهدك يا رسول الله قال ( أعطيت سائر ولدك مثل هذا ) . قال لا قال ( فاتقوا الله واعدلوا بين أولادكم ) . قال فرجع فرد عطيته

Artinya : Telah menceritakan kepada kami Hamid bin 'Umar telah menceritakan kepada kami Abu 'Awanah dari Hushain dari 'Amir berkata; aku mendengar An Nu'man bin Basyir radliallahu 'anhuma berkhutbah diatas mimbar, katanya: Bapakku memberiku sebuah hadiah (pemberian tanpa imbalan). Maka 'Amrah binti Rawahah berkata; Aku tidak rela sampai kamu mempersaksikannya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Maka bapakku menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata: Aku memberi anakku sebuah hadiah yang berasal dari 'Amrah binti Rawahah, namun dia memerintahkan aku agar aku mempersaksikannya kepada anda, wahai Rasulullah. Beliau bertanya : Apakah semua anakmu kamu beri hadiah seperti ini ?. Dia menjawab : Tidak. Beliau bersabda : Bertaqwalah kalian kepada Allah dan berbuat adillah diantara anak-anak kalian. An-Nu'man berkata: Maka dia kembali dan Beliau menolak pemberian bapakku. (HR. Bukhori No. 2447 Juz 2 Halaman 914)

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدَةَ الضَّبِّيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ الثَّقَفِيُّ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ لَنَا مَثَلُ السُّوءِ الْعَائِدُ فِي هِبَتِهِ كَالْكَلْبِ يَعُودُ فِي قَيْئِهِ

Artinya : telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Abdah Adh-Dhabbi menceritakan kepada kami, Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi menceritakan kepada kami, Ayyub menceritakan kepada kami, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Kami tidak memiliki contoh yang buruk; Orang yang mengambil kembali pemberiannya seperti anjing yang menjilat muntahnya sendiri". (HR. Tirmidzi No. 1298)

قال وفي الباب عن ابن عمر عن النبي صلى الله عليه و سلم أنه قال لا يحل لأحد أن يعطي عطية فيرجع فيها إلا الوالد فيما يعطي ولده صحيح

Artinya : Ia (Tirmidzi) berkata, "Pada bab ini ada riwayat lain dari Ibnu Umar, dari Nabi SAW, beliau bersabda, "Tidak halal bagi seseorang memberi suatu pemberian lalu ia mengambilnya kembali, kecuali orangtua, dia boleh mengambil kembali apayang telah diberikan kepada anaknya". (Lihat Kitab Sunan Tirmidzi Juz 3 Halaman 592).

قال أبو عيسى حديث ابن عباس رضي الله عنهما حديث حسن صحيح والعلم على هذا الحديث عند بعض أهل العلم من بعض أصحاب النبي صلى الله عليه و سلم وغيرهم قالوا من وهب هبة لذي رحم محرم فليس له أن يرجع فيها ومن وهب هبة لغير ذي رحم محرم فله أن يرجع فيها ما لم يثب منها وهو قول الثوري وقال الشافعي لا يحل لأحد أن يعطي عطية فيرجع فيها إلا الوالد فيما يعطي ولده واحتج الشافعي بحديث عبد الله بن عمرو عن النبي صلى الله عليه و سلم قال لا يحل لأحد أن يعطي عطية فيرجع فيها إلا الوالد فيما يعطي ولده صحيح

Artinya : Abu Isa (Tirmidzi) berkata, "Hadits Ibnu Abbas ini adalah hasan shahih". Para ulama dari sahabat nabi dan yang lainnya mengamalkan hadits ini: mereka berkata, "Orang yang memberi suatu pemberian kepada mahramnya (keluarga yang haram menikah dengannya), boleh mengambil kembali pemberian tersebut, sementara orang yang memberi suatu pemberian kepada orang lain yang bukan mahramnya, maka ia tidak boleh mengambil kembali pemberian tersebut. Demikian pula pendapat Ats-Tsauri. Asy-Syafi'i berkata, "Tidak halal bagi seseorang yang memberi suatu pemberian. lalu mengambilnya kembali. kecuali orangtua, dia boleh mengambil apa yang telah diberikan kepada anaknya." Asy-Syaffi berdalih dengan hadits Abdullah bin Umar, dari Nabi SAW, beliau bersabda, "Tidak halal bagi seseorang memberikan snatu pemberian lalu mengambilnya kembali, kecuali orangtua. ia boleh mengambil kembali apayang telah diberikan kepada anaknya. (Lihat Kitab Sunan Tirmidzi Juz 3 Halaman 593).  Wallohu a'lam bis showab.

Sumber: Pustaka Ilmu Sunni Salafiyah

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA