Naskah pemboikotan yang dilakukan oleh kaum kafir ditulis oleh?

Piagam Kezaliman dan Kesewenang-Wenangan

Pada permulaan tahun keempat dari kenabian, perjalanan dakwah Rasulullah telah memasuki tahapan kedua. Rasulullah menyebarkan Islam secara terang-terangan, baik di kalangan kerabat besar (keluarga Bani Hasyim, Bani Al-Muththalib, dan Bani Abdu Manaf), kalangan sahabat, maupun para budak dan orang miskin.

Dakwah Rasulullah semakin berkembang, terbukti ketika dua tokoh besar yang cukup disegani dan ditakuti akan keberaniannya menyatakan masuk Islam. Mereka adalah Hamzah bin Abdul Muththalib dan Umar bin Khattab. Bersamaan dengan itu, api kemarahan dan kebencian tersulut semakin besar. Orang-orang kafir Quraisy merasa bahwa dakwah Rasulullah mulai mengancam eksistensi dan kekuasaan mereka. Sehingga berbagai cara dilakukan untuk menghentikan dakwah Rasulullah, mulai dari ejekan, hinaan, penertawaan, berbagai tekanan dan penyiksaan, hingga melakukan percobaan pembunuhan terhadap Rasulullah.

Hal ini tentu membuat Abu Thalib selalu dibayangi oleh kekhawatiran atas keselamatan Rasulullah. Ia akhirnya melakukan kesepakatan bersama anggota keluarganya (Bani Hasyim, Bani Abdul Muththalib, dan Bani Abdu Manaf) untuk meminta kesediaannya melindungi Rasulullah dan mereka pun menyanggupinya, baik dari keluarga yang kafir maupun yang muslim, atas dasar tali kekerabatan (orang Arab memang menjunjung tinggi ikatan kekerabatan). Tetapi tidak dengan Abu Lahab dan beberapa lainnya, mereka lebih memilih untuk memisahkan diri dan bergabung dengan kaum Quraisy. Kesepakatan itu di satu sisi mampu membuat kaum Quraisy kehilangan keberanian untuk mencelakakan Rasulullah secara terang-terangan. Namun di sisi lain, hal ini justru menjadi bumerang yang seakan mengantar orang-orang Quraisy beralih ke bentuk kezaliman lain yang bahkan lebih kejam dari sebelumnya.

Pada tahun ketujuh dari kenabian, di malam bulan Muharram, di kediaman Bani Kinanah yang terletak di lembah Al-Mahshib, mereka sepakat untuk melakukan pemboikotan ekonomi dan sosial secara total terhadap seluruh keluarga Nabi. Semua kalangan keluarga masuk dalam pemboikotan itu, baik yang sudah beriman maupun yang masih kafir. Mereka di embargo di perkampungan Abu Thalib. Kesepakatan tersebut ditulis di sebuah Shahifah (lembaran) dalam bentuk piagam, yang kemudian digantung di dinding Ka’bah setelah ditandatangani oleh 40 pembesar Quraisy. Piagam ini berisikan janji dan sumpah bersama, bahwa mereka tidak akan melakukan  pernikahan dengan Bani Hasyim maupun Bani Muththalib, tidak berjual beli dengan mereka, tidak berkumpul dan memasuki rumah atau berbicara dengan mereka, tidak akan menerima perdamaian dari Bani Hasyim, serta tidak akan berbelas kasihan terhadap mereka kecuali bila mereka menyerahkan Rasulullah. Piagam ini merupakan bukti nyata akan kezaliman dan kesewenang-wenangan kaum kafir Quraisy. Terdapat perbedaan pendapat mengenai siapa yang menulis kesepakatan itu, namun pendapat yang kuat menyatakan bahwa penulisnya adalah Baghid bin Amir bin Hasyim. Hingga akhirnya ia mendapatkan kelumpuhan di tangannya sebab Nabi telah mendoakan keburukan terjadi padanya.

Pelaksanaan perjanjian dimulai pada hari itu juga. Kaum musyrikin tidak membiarkan pasokan air dan makanan apapun masuk ke tempat pemboikotan (kecuali dikirim secara sembunyi-sembunyi, itu pun dalam jumlah terbatas) sehingga terkadang mereka terpaksa memakan dedaunan dan kulit binatang. Tindakan mereka ini membuat kondisi kaum Muslimin semakin hari semakin kepayahan dan memprihatinkan. Selain itu, jeritan kaum wanita dan tangisan bayi-bayi yang mengerang kelaparan pun terdengar di balik perkampungan tersebut. Pemboikotan itu berlangsung selama tiga tahun penuh. Hingga akhirnya, pada bulan Muharram tahun kesepuluh dari kenabian, terjadi pembatalan perjanjian karena tidak semua orang menyetujuinya.

Melihat hal itu Bani Asad tidak tinggal diam, sebab mereka khawatir pemboikotan akan melukai Sayyidah Khadijah (selama hidupnya, Sayyidah Khadijah selalu serba kecukupan, namun karena peristiwa ini ia harus merasakan kesengsaraan). Mereka akhirnya berisnisiatif untuk mengirimkan sejumlah makanan dan barang-barang yang dibutuhkan lainnya untuk Sayyidah Khadijah dan dikirimkan melalui seorang budak saat malam hari, ketika kaum Quraisy sudah terlelap.

Hakim bin Hizam juga pernah membawa gandum untuk diberikan kepada Sayyidah Khadijah, namun ia dihadang oleh Abu Jahal dan diinterogasi olehnya. Beruntung Abu Al-Bukhturi menengahinya dan Hakim berhasil lolos. Barang-barang atau makanan pemberian itu, oleh Sayyidah Khadijah tidak digunakan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk dibagikan kepada yang membutuhkan. Sehingga tidak dapat dipungkiri, bahwa sayyidah Khadijah memiliki peran penting selama masa pemboikotan tersebut. Di pihak lain, Abu Thalib yang selalu menghawatirkan keselamatan Rasulullah, selalu meminta Nabi untuk bertukar tempat tidur dengan anaknya, bahkan ia juga memerintahkan Nabi untuk tidur di tempat tidurnya. Hal ini agar memudahkannya mengetahui siapa yang hendak membunuh Nabi.

Di antara tokoh pelopornya adalah Hisyam bin Amru dari suku Bani Amir bin Lu’ay, kemudian ia menemui Zuhair bin Abi Umayyah Al-Makhzumi (ibunya bernama Atikah binti Abdul Muththalib), dan berkata kepadanya, “Wahai Zuhair! Apakah engkau tega dapat menikmati makan dan minum sementara saudara-saudara dari pihak ibumu kondisi mereka seperti yang engkau ketahui saat ini?”. “Celakalah engkau! Apa yang dapat aku perbuat bila hanya seorang diri? Sungguh, demi Allah! Andaikata aku punya teman satu orang saja, akan aku robek lembar perjanjian tersebut.” Jawab Zuhair. “Engkau sudah mendapatkan orang itu!”. “Siapa dia?” “Aku” “Kalau begitu, carikan bagi kita orang ketiga” Pinta Zuhair. Lalu Hisyam pergi untuk mencari orang yang bisa menjadi rekannya. Akhirnya terhimpun lima orang yang siap melakukan pembatalan perjanjian itu. Mereka adalah Hisyam bin Amru, Zuhair bin Abi Umayyah Al-Makhzumi, Al-Muth’im bin Adi, Abu Al-Bukhturi bin Hisyam dan Zam’ah bin Al-Aswad bin Muththalib bin Asad.

Sesuai kesepakatan, paginya mereka berkumpul di pintu Hujun. Kali ini Zuhair yang memulai dengan berkata, “Wahai penduduk Makkah! Apakah kita tega bisa menikmati makanan dan memakai pakaian bagus sementara Bani Hasyim binasa karena menderita kesengsaraan dan kelaparan. Demi Allah! Aku tidak akan duduk hingga shahifah yang telah memutus rahim dan zalim itu dirobek!” Abu jahal yang berada di pojok masjid menyahut, “Demi Allah! Engkau berbohong! Jangan lakukan itu!”. Lalu Zam’ah bin Al-Aswad memotongnya, “Demi Allah, justru engkakulah yang paling pembohong! Kami tidak rela menulisnya ketika ditulis waktu itu.” Setelah itu, Abu Al-Bukhturi menimpali, “Benar apa yang dikatakan Zam’ah ini, kami tidak pernah rela terhadap apa yang telah ditulis dan tidak pernah menyetujuinya.” Lalu Al-Muth’im menambahi, “Mereka berdua ini memang benar dan sungguh orang yang mengatakan selain itulah yang berbohong. Kami berlepas diri kepada Allah dari shahifah tersebut dan apa yang ditulis di dalamnya.”

Di sisi lain, Rasulullah memberitahu Abu Thalib bahwasannya Allah telah mengirim rayap-rayap untuk memakan piagam yang berisi pemutusan rahim dan kezaliman itu kecuali kalimat yang bertuliskan nama Allah (bismikallahumma). Kemudian pergilahlah Abi Thalib guna menyampaikan kepada semua orang tentang pemberitaan Rasulullah. Dia menyatakan, “Periksalah piagam itu, jika keponakannku berbohong, maka aku akan membiarkan kalian untuk menyelesaikan urusan dengannya, namun jika dia benar maka kalian harus membatalkan pemutusan rahim dan kezaliman terhadap kami.” Merekapun berkata, “Kalau begitu, engkau telah berlaku adil wahai Abu Thalib.” Kemudian berdirilah Al-Muth’im menuju shahifah untuk melihatnya. Ternyata apa yang dikatakan Rasulullah memang benar adanya dan ia menemukan rayap-rayap telah memakannya kecuali tulisan “bismikallahumma” (dengan nama-Mu, Allah).

Sesuai persetujuan, perjanjian itu akhirnya dibatalkan, sehingga Rasulullah dan orang-orang yang ada di kediaman Abu Thalib dapat kembali menghirup udara bebas dan melakukan aktivitasnya. Meskipun begitu, kaum kafir Quraisy masih tetap melakukan intimidasi dan menghalang-halangi kaum Muslimin. Sungguh orang-orang musyrik telah melihat tanda yang agung sebagai tanda-tanda kenabian beliau, akan tetapi mereka tetaplah sebagaimana yang difirmankan oleh Allah, “Dan jika mereka (orang-orang musyrikin) melihat sesuatu tanda (mukjizat), mereka berpaling dan berkata, ‘(ini adalah) sihir yang terus menerus’.” (QS, Al-Qamar:2). Mereka telah berpaling dari tanda ini dan kekufuran mereka semakin menjadi-jadi.

Lailatul Lutfiyah, Gresik.

Referensi:

Kitab Sirah Nabawiyah Ar-Rahiq Al-Makhtum, Karya Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri. Penerbit : Ummul Qura. tt.

Artikel dari //islam.nu.or.id/post/read/110603/peran-sayyidah-khadijah-saat-nabi-muhammad-diboikot

ADVERTISEMENT

Ilustrasi masa boikot Quraisy kepada Bani Hasyim.

PWMU.CO– Boikot kepada Bani Hasyim adalah upaya total kafir Quraisy menghadang dakwah Nabi Muhammad saw. Kali ini dampaknya bukan hanya kaum muslim tapi seluruh keluarga besar Bani Hasyim yang muslim maupun kafir.

Boikot ini dirancang oleh pimpinan Quraisy dalam pertemuan di Darun Nadwah. Pertimbangannya, kekuatan Nabi Muhammad bersumber dari perlindungan keluarga dan kaumnya.

Dalam tradisi Arab, ikatan keluarga sangat kuat dan wajib saling menjaga kehormatan dan nama besar. Satu orang disakiti, keluarga lain akan membela dan menuntut balas. Walaupun beda prinsip dan pikiran. Jika satu warganya dibunuh, keluarga lainnya bakal menuntut bunuh.

Dalam tradisi inilah Nabi terlindungi diri dan terjaga misi kenabiannya. Bani Hasyim juga punya kebanggaan di antara anggota keluarganya ada yang menjadi nabi.

Pimpinan Bani Hasyim di waktu ini dipegang oleh Abu Thalib yang mewarisi kepemimpinan itu dari ayahnya, Abdul Muththalib. Abu Thalib memberikan perlindungan kepada kemenakannya walaupun dikecam orang Quraisy.

Peristiwa ini terjadi bulan Muharram tahun ke-7 kenabian. Isi boikot orang-orang Quraisy adalah

1. Tidak mengadakan perkawinan dengan Bani Hasyim.

2. Tidak jual beli sesuatu apa pun kepada Bani Hasyim.

3.  Tidak berbicara, mengunjungi, atau mengantar ke kuburnya.

Buku Sirah Ibnu Hisyam menceritakan, kesepakatan boikot ini ditulis dalam shahifah lantas ditempelkan di dinding Kakbah. Semua bani-bani Quraisy komitmen menjalankannya. Pemboikotan bisa diakhiri kalau Bani Hasyim menyerahkan Nabi Muhammad.

Dampak Boikot

Mendapatkan kabar pemboikotan ini seluruh keluarga Bani Hasyim kompak membela dan mendukung keputusan Abu Thalib. Kecuali Abu Lahab, saudaranya yang nama aslinya Abdul Uzza. Dia menyalahkan Nabi Muhammad dan Abu Thalib yang dianggap sebagai sumber bencana.

Abu Thalib berkomentar, sampaikan dariku kepada orang-orang yang masih ada hubungan dengan kami terutama Bani Ka’ab dari Luai. Tidakkah kalian ketahui, kita dapatkan Muhammad itu sebagai seorang nabi. Seperti Musa yang telah ditulis di buku pertama. la dicintai hamba-hambaNya.

”Sesungguhnya tulisan yang kalian tempelkan itu akan menjadi bencana bagi kalian seperti halnya bencana yang menimpa kaumnya Nabi Shalih,” ujarnya.

Pemboikotan berjalan tiga tahun. Seluruh keluarga Bani Hasyim  mengalami kesengsaraan. Susah mendapat makanan dan minuman. Semua orang menghindari. Karena sulit dapat makanan sampai-sampai ada yang makan dedaunan. Nabi Muhammad juga tetap menjalankan dakwahnya. Harta Khadijah banyak dipakai untuk membantu situasi sulit ini sampai stok makanannya pun menipis.

Abu Jahal bertindak mengawasi aksi boikot ini kalau ada orang yang berbelas kasihan mengantar makan dengan sembunyi-sembunyi. Terutama yang masih ada hubungan kerabat di luar Bani Hasyim. 

Bantuan Sembunyi

Suatu ketika Abu Jahal memergoki Hakim bin Hizam bin Khuwailid bersama budaknya membawa tepung ke rumah bibinya, Khadijah, istri Nabi.

Dia langsung menghardiknya. ”Apakah kamu membawa makanan ini kepada Bani Hasyim?” Datang Abu Bakhtari bin Hisyam membela Hakim. ”Apa urusanmu dengannya?” tanyanya.

Abu Jahal menjawab,”Dia mengantarkan makanan kepada Bani Hasyim.”

Abu Bakhtari berkata, ”Makanan ini tadinya milik bibinya. Kenapa kamu melarang mengantarkan makanan itu kepada bibinya lagi?”

Abu Jahal ngotot. Terjadilah perkelahian antara keduanya. Abu Bakhtari mengambil tulang rahang unta, kemudian memukul kepala Abu Jahal dengannya hingga mengucurkan darah. Setelah itu menginjaknya keras-keras.

Orang-orang Quraisy heboh. Tidak ingin perkelahian ini didengar Rasulullah karena takut jadi bahan tertawaan. Tapi Hamzah menyaksikan perkelahian itu.

Budak Melihat Tanda Kenabian

Lain waktu Utbah dan Syaibah bin Rabiah merasa iba juga melihat dampak pemboikotan. Keduanya menyuruh budaknya memberikan buah anggur kepada Rasulullah yang melintas di rumahnya.

Rasulullah menjulurkan tangan mengambil anggur seraya mengucap,”Bismillah.”

Budak itu heran mendengar ucapan itu. ”Kata-kata itu tidak pernah diucapkan oleh penduduk negeri ini,” ujarnya.

Rasulullah bertanya namanya, dari mana asalnya, dan agamanya. ”Namaku Addas, aku dari Niniveh di Mesopotamia. Aku pengikut Nasrani.”

Rasulullah berkomentar,”Dari negeri baik-baik, Yunus bin Matta.”

Addas makin heran lalu bertanya, ”Dari mana Tuan tahu nama Yunus bin Matta?”

”Dia saudaraku,” jawab Rasulullah, ”Dia seorang nabi dan aku juga seorang nabi.”

Mendengar itu, hati Addas dipenuhi rasa haru. Langsung dia mencium kepala, tangan, dan kaki Rasulullah.

Utbah dan Syaibah memperhatikan hal itu jadi heran. ”Lihat, dia merusak budakmu,” kata Syaibah.

Ketika Addas kembali, mereka bertanya dengan marah, ”Mengapa pula kamu cium kepala, tangan, dan kaki orang itu?”

”Itu laki-laki paling baik di negeri ini,” jawab Addas.  ”Ia mengatakan sesuatu yang hanya diketahui oleh para nabi.”

Utbah dan Syaibah segera menukas. ”Addas, jangan sampai orang itu memalingkanmu dari agamamu. Agamamu itu lebih baik daripada agamanya.” (*)

Penulis/Editor Sugeng Purwanto

Tags: Isi boikotNabi MuhammadSugeng Purwanto

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA