Menurut pendapat kalian hal apa yang menyebabkan terhambatnya proses otonomi daerah di Indonesia?

(Bagian Pertama dari Dua Tulisan....)

Oleh: Syarif Hidayat, Peneliti Pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

Koran Sindo, Rabu,5 Januari 2011

Bila titik awal reformasi desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia dihitung sejak penetapan resmi implementasi UU No 22/1999 pada Januari 2001, dalam dimensi waktu sampai akhir 2010 debut rekonstruksi konsep maupun kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Tanah Air telah berlangsung lebih kurang 10 tahun.

Dalam kurun waktu satu dasawarsa ini, tentu cukup banyak keberhasilan yang telah dicapai. Namun, juga tidak sedikit pekerjaan rumah yang belum tertangani, khususnya terkait upaya mengatasi bias-bias implementasi kebijakan otonomi daerah. Hanya menyebut beberapa contoh, di antara keberhasilan yang telah dicapai tersebut adalah semakin luasnya kewenangan yang dimiliki daerah, diperankannya DPRD sebagai lembaga legislatif, semakin terbukanya kesempatan bagai masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan maupun dalam pengawasan pemerintahan daerah,dan terlaksanakannya sistem pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkada). .

Meski demikian, perlu digaris bawahi bahwa serentetan kisah sukses ini cenderung lebih merefleksikan capaian kuantitas. Dikatakan demikian karena secara substansial, gerakan reformasi desentralisasi dan otonomi daerah yang berlangsung dalam kurun waktu satu dasawarsa terakhir ini belum cukup mampu mencapai tujuan dasar yang dikehendaki antara lain mewujudkan demokratisasi di tingkat lokal, meningkatkan kesejahteraan rakyat,dan meningkatkan pelayanan publik. .

Tiga Akar Persoalan .

Sedikitnya ada tiga faktor utama yang telah menyebabkan mengapa capaian reformasi desentralisasi dan otonomi daerah tersebut cenderung bernuansa kuantitas. Koinsidensi dari tiga faktor inilah selanjutnya telah melahirkan bias-bias kebijakan yang pada gilirannya telah dijadikan sebagai kambing hitam untuk membangun citra buruk atas kinerja desentralisasi dan otonomi daerah dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir.Secara singkat,tiga faktor yang dimaksud dapat dijelaskan sebagai berikut: .

Pertama, ada ambivalensi pada tataran konseptual orientasi ideologis vs orientasi teknis. Secara umum dapat dikatakan bahwa pendulum relasi kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah di Indonesia sejauh ini lebih cenderung mengarah ke kutub sentralisasi daripada desentralisasi. Kendati UU No 22/1999 pada tingkat yang minimal telah mencoba untuk menggeser pendulum sen-tralisasi tersebut ke arah kutub desentralisasi, UU No 32/2004 cenderung untuk mengembalikannya ke posisi semula (sentralisasi). .

Di antara penyebab terjadi gerak balik pendulum relasi kewenangan tersebut adalah karena konsep dasar dari desentralisasi itu sendiri belum terbebas dari adanya ambivalensi antara orientasi ideologis vs orientasi teknis . Secara ideologis, desentralisasi dan otonomi daerah diaplikasikan dengan tujuan antara lain untuk mewujudkan tatanan penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis. .

Meski demikian, orientasi ideologis ini harus banyak berbenturan dengan orientasi teknis, terutama terkait tuntutan untuk menciptakan pemerintahan yang stabil dan efisien. Akibatnya, kendati pada tingkat pernyataan sering dikemukakan bahwa kebijakan desentralisasi di Indonesia bertujuan untuk mempercepat proses demokratisasi di tingkat lokal,pada tingkat kenyataan wewenang yang diserahkan kepada daerah sangat dibatasi dan kontrol pemerintah pusat atas daerah juga terlihat sangat ketat. .

Kedua, ada bias relasi antarelite sebagai implikasi dari pergeseran relasi negara dan masyarakat.Realitas implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah juga harus didudukkan dan dipahami pada konteks pergeseran relasi negara-masyarakat (statesociety relation) pada periode pasca- Orde Baru.Dengan demikian,akan diketahui bahwa bias implementasi kebijakan yang terjadi sejauh ini bukan sepenuhnya merupakan dampak langsung dari reformasi desentralisasi dan otonomi daerah, melainkan juga sebagai implikasi dari pergeseran pola interaksi antara negara dan masyarakat (statesociety relation) pada periode pasca- Orde Baru..

Satu di antara karakteristik penting dari perubahan pola interaksi state-society tersebut adalah masyarakat (society) tidak lagi sepenuhnya terpinggirkan, baik dalam proses pengambilan keputusan maupun dalam pelaksanaan kebijakan. Namun,peran masyarakat dalam hal ini belum dalam arti civil society,tetapi lebih banyak diwakili oleh elite masyarakat (societal actors). .

Dalam kondisi seperti ini, sulit dihindari jika kemudian proses pengambilan keputusan,baik di tingkat nasional maupun pada tingkat daerah, telah lebih banyak diwarnai oleh koalisi dan tawarmenawar kepentingan antara societal actors pada satu sisi dan state actors (para elit penyelenggara negara) pada sisi lain.Pada konteks inilah, desentralisasi dan otonomi daerah,serta berbagai produk turunannya, seperti pemekaran daerah dan pemilihan kepala daerah (pilkada) harus didudukkan dan dimaknai. .

Ketiga, agenda reformasi yang lebih menekankan pada upaya membangun citra negara, namun minus perbaikan kapasitas. Realitas implementasi desentralisasi dan otonomi daerah juga tidak dapat dilepaskan dari adanya bias agenda reformasi yang berlangsung di Tanah Air. Dalam kurun waktu sepuluh tahun pertama (1999-2009), fokus perhatian dari agenda reformasi lebih banyak dicurahkan pada upaya memperbaiki dan membangun institusi negara (state institutional reform). .

Sementara upaya untuk membangun dan memperkuat kapasitas negara (state capacity) relatif belum mendapat perhatian yang seimbang. Akibatnya, dapat dimengerti bila kemudian kehadiran negara dalam praktik kehidupan sehari-hari (state in practice) menjadi samar-samar atau bahkan dalam beberapa kasus justru absen . Reformasi desentralisasi dan otonomi daerah yang berlangsung di Tanah Air dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir harus dipahami dan dimaknai sebagai bagian dari state institutional reform minus state capacity. .

Karena itu, juga dapat dimengerti bila kemudian kehadiran desentralisasi dan otonomi daerah terlihat sangat nyata dalam bentuk institusi, tetapi tidak kentara dalam fungsi. Desentralisasi dan otonomi daerah juga sangat nyata hadir dengan kemasan demokrasi,namun roh yang terkandung di dalamnya masih sangat kental bernuansa sentralisasi.

Solusi Persoalan Otda (Bersambung .......)

Sivitas Terkait : Sarip Hidayat

Peneliti senior LIPI Siti Zuhro. (ANTARA /Wahyu Putro A)

Peneliti senior LIPI Siti Zuhro. (ANTARA /Wahyu Putro A)

Jakarta (ANTARA News) - Pemberlakuan desentralisasi/otonomi daerah yang diterapkan sejak 2001 masih dibayangi sejumlah kendala dalam 20 tahun Reformasi, kata Peneliti Utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro. "Berbagai studi yang dilakukan LIPI dan institusi lain menunjukkan bahwa tidak sedikit kendala yang dihadapi daerah dalam melaksanakan otonomi," katanya dalam acara Seminar Nasional 20 Tahun Reformasi bertajuk "2 Dekade Reformasi: Quo Vadis Politik Yang Bermanfaat" di Gedung LIPI, Jakarta, Selasa. Ia mengatakan masalah pertama yakni konsistensi pemerintah dalam bidang hukum atau pembuatan peraturan dan sulitnya melakukan harmonisasi antara UU Pemerintahan Daerah dengan UU terkait. Kedua, persepsi sepihak daerah mengenai kewenangannya yang acap kali lebih mementingkan daerah sendiri tanpa mempertimbangkan secara sungguh-sungguh manfaatnya dalam konteks lebih luas. "Masalah kedua ini menunjukkan bahwa kendala tidak hanya berasal dari pelaku di pusat, tapi juga pelaku di daerah, yang acapkali menonjolkan ego sehingga menghambat daerah untuk berkembang dan menyempitkan makna kerjasama antardaerah," jelas Siti.

Baca juga: Pilkada tak langsung dinilai "memanjakan" daerah otonomi

Ketiga, hal rinci menyangkut kerumitan pengelolaan hubungan kewenangan daerah dan antardaerah, dan keempat, adanya kolaborasi elite dan pengusaha dalam mengeksploitasi daerah guna mencari keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa mempedulikan kemaslahatan umum dan kesehatan lingkungan. Sementara itu politik lokal juga dinilai masih menganut oligarki kekuasaan sehingga menghambat otonomi daerah, di mana selama empat tahun pertama pemberlakuan desentralisasi dan otda 2001-2004, peran DPRD tidak digunakan untuk memonitor dan mengawal kinerja Pemda, melainkan untuk melakukan daya tawar politik untuk kepentingan diri dan partainya saja.

Baca juga: Pemekaran daerah masih jadi komoditas politik

"Hak yang sama juga tampak selama kurun 2005 sampai saat ini, di mana otonomi daerah juga tidak menghasilkan capaian yang bisa dirasakan kemanfaatannya oleh masyarakat," kata dia. Dia menekankan dengan adanya hambatan dalam proses pelaksanaan desentralisasi dan otda, bukan berarti riwayat desentralisasi dan otda berakhir. Untuk menjawab problematika pelaksanaan desentralisasi dan otda, kata Siti, ada beberapa hal krusial yang perlu dilakukan, antara lain membangun komitmen jelas antarpemangku kepentingan berkenaan pelaksanaan otda, mendorong implementasi good governance, penguatan peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, adanya political will mewujudkan harmonisasi hubungan pusat dan daerah, serta konsistensi pemeritnah dalam mengendalikan gejala pemekaran wilayah.

Baca juga: Jusuf Kalla: Otonomi bukan hanya soal kewenangan


 

Pewarta: Rangga Pandu Asmara JinggaEditor: AA Ariwibowo

COPYRIGHT © ANTARA 2018

Terkait

Baca juga

Terpopuler

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA