Menurut imam Al ghazali pembagian jujur ada 3 sebutkan dan berikan contoh masing masing

Saya sempat kaget ketika melihat tulisan ini yang semula berbentuk draft entah kenapa berpindah ke sisi publish. Tentu saja tidak ada kata-kata yang melekat. Mungkin karena tergesa-gesa ditambah keyboard sedang mecetat salah satunya. Terpaksa deh aku bubuhi tulisan biar tidak kosong mlompong. Bayangkan saja, judul saja tidak ada. Jelas kepencet tadi. Soalnya tergesa-gesa mengejar ada pekerjaan mendadak yang harus itu saya datangi. Kalau tidak segera datang, bos bisa ngomel tidak karuan.

Sifat jujur adalah sifat yang sangat disukai oleh semua orang, bajkan Nabi Muhammad SAW sendiri menekankan agar selalu bersikap jujur kepada siapapun.

Menurut imam al-Gazali, sifat jujur dibagi menjadi tiga bagian.

1. Jujur dalam niat atau berkehendak.

Tiada dorongan bagi seseorang dalam segala tindakan dan gerakannya selain dorongan karena Allah SWT.

2. Jujur dalam perkataan (lisan).

Setiap orang harus dapat memelihara perkataannya, ia tidak berkata-kata kecuali dengan jujur.

3. Jujur dalam perbuatan.

Beramal dengan sungguh sehingga perbuatan zahirnya tidak menunjukjan sesuatu yang ada dalam batinnya dan menjadi tabiat bagi dirinya. Itulah tiga kelompok sifat jujut.

Ingat bahwa kejujuran merupakan fondasi atas tegaknya suatu nilai-nilai kebenaran karena jujur identik dengan kebenaran.

Tidak Ada Kata Terlambat untuk Bertaubat

BincangSyariah.Com – Di tengah perkembangan zaman yang sangat cepat, masyarakat semakin hari semakin rasional dan logis. Hal ini berimplikasi terhadap hilangnya banyak hal yang sangat fundamental seperti persoalan-persoalan moral etika. Persoalan etika mau tidak mau akan berhadapan dengan rasionalitas. Orang akan memihak kepada segala hal yang menguntungkan mereka, yang paling masuk akal untuk diterima dibandingkan harus berbuat jujur dan menenangkan hati mereka. Pesan-pesan agama pada dasarnya mengakomodir dua hal ini secara bersamaan, rasionalitas dan etika. Ada dialog menarik dalam Ihya Ulumiddin antara Hakim dengan seorang laki-laki menyoal kejujuran yang semakin jarang.

وقال رجل لحكيم: ما رأيت صادقا! فقال له:  لو كنت صادقا لعرفت الصادقين

Seorang laki-laki berkata kepada Hakim: “Aku tidak bisa mengenali orang yang jujur!” Kemudian dijawab oleh Hakim: “Seandainya kamu adalah orang yang jujur kamu juga akan mengenal orang-orang yang jujur.” Laki-laki dalam dialog di atas memiliki keinginan untuk mengetahui kejujuran orang lain, tapi ketika dirinya sendiri tidak memiliki sikap jujur, maka orang-orang jujur tidak lagi bisa ia liat, dan tidak nampak baginya. Ada indikasi dalam dialog di atas bahwa laki-laki tersebut sudah semakin susah untuk membedakan antara orang yang jujur dan bohong. Bahkan dirinya sendiri tidak sadar kalau bukan bagian dari orang-orang yang jujur.

Salah satu kitab yang memersoalkan tentang jujur adalah Ihya Ulumiddin. Kitab ini merupakan kitab fenomenal yang memuat banyak sekali hikmah dan moral yang layak dijadikan pedoman. Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H) sendiri memasukkannya ke dalam Rubu’ al-Munjiyat (seperempat hal yang dapat menyelamatkan).  Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Mas’ud Rasulullah Saw bersabda:

إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يَكُونَ صِدِّيقًا وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا

“Sesungguhnya jujur itu menunjukkan kepada kebaikan, dan kebaikan menunjukkan kepada surga. Sungguh akan ada seorang laki-laki yang berbuat jujur sehingga ia akan dicatat sebagai orang yang sangat jujur. Sebaliknya, dusta menunjukkan kepada kemaksiatan, dan kemaksiatan mengantarkan seseorang ke neraka, sungguh akan ada seorang laki-laki yang pandai berdusta sehingga ia dicatat di sisi Allah sebagai seorang pendusta.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Di samping jujur menyelamatkan manusia, jujur juga merupakan salah satu sifat yang dimiliki oleh para nabi, Allah SWT sendiri mendokumentasikan sikap jujur ini di dalam firman-Nya. Para Nabi terdahulu beberapa kali disebut bahwa mereka adalah orang yang jujur atau benar ucapannya. Di antaranya adalah Nabi Ibrahim yang disebut sebagai Shiddiq (yang sangat jujur) dalam surah Maryam ayat 41: “Ceritakanlah (Hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al Kitab (Al Quran) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat jujur lagi seorang Nabi.”

Kemudian Nabi Isma’il yang disebut sebagai Shadiqal Wa’d (yang benar janjinya) dalam surah Maryam ayat 54: “Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi.”

Adapula Nabi Idris yang disebut sebagai Shiddiq (yang sangat jujur) dalam surah Maryam ayat 56: “Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka, kisah) Idris (yang tersebut) di dalam Al Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan dan seorang nabi.”

Jujur adalah sifat terpuji yang selayaknya dimiliki oleh umat Islam. Jujur secara bahasa bisa diartikan sebagai ketulusan dan keikhlasan hati, kebenaran ucapan dan sikap. Dalam kitab yang sama, Imam Abu Hamid al-Ghazali secara khusus membahas tentang hal ini. Tepatnya dalam sub tema yang berjudul fi al-Shidqi wa Fadhilatih wa Haqiqatihi (Jujur, Keutamaan dan Hakikatnya).

Menurut al-Ghazali kata jujur dapat diartikan dalam berbagai makna. Pertama adalah jujur dalam perkataan, jujur dalam niat dan kehendak, jujur di dalam azam (tekad), jujur di dalam menunaikan azam, jujur di dalam perbuatan dan yang terakhir jujur di dalam mengimplementasikan maqamat di dalam agama. Berikut kami paparkan masing-masing dari pengertian jujur di atas.

Pertama, jujur dalam lisan;  jujur dalam lisan atau ucapan berkaitan langsung dengan informasi atau berita yang disampaikan, apakah itu benar atau salah. Baik yang telah berlalu maupun yang akan terjadi. Menurut al-Ghazali kejujuran ini akan semakin lengkap jika seseorang tidak terlalu membesar-besarkan informasi. Karena menurut al-Ghazali, hal itu dekat dengan kedustaan. Dan kedua, memperhatikan makna jujur secara seksama agar tidak bercampur dengan syahwat keduniaan.

Kedua, jujur dalam niat dan kehendak. Jujur dalam hal ini terkait langsung dengan keikhlasan. Tidak ada dorongan sedikitpun kecuali hanya karena Allah. Jika niat dan kehendak seseorang bercampur dengan nafsu maka batal kejujuran niat tersebut. Dan orang  yang niatnya bercampur dengan nafsu bisa dikategorikan sebagai orang yang berdusta. Kejujuran yang kedua ini tercermin dalam hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah.

فَقَالَ : مَا عَمِلْتَ فِيهَا ؟ قَالَ : تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَقَرَأْتُ الْقُرْآنَ وَعَمِلْتُهُ فِيكَ ، قَالَ : كَذَبْتَ ، إِنَّمَا أَرَدْتَ أَنْ يُقَالَ فُلاَنٌ عَالِمٌ ، وَفُلاَنٌ قَارِئٌ ، فَقَدْ قِيلَ ، فَأُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ

..kemudian ditanyakan (kepadanya): “Apa yang engkau perbuat sewaktu di dunia?” ia menjawab: “Aku menuntut ilmu dan membaca Alquran serta mengamalkannya di jalan-Mu.” Lalu dijawab, “Bohong! Kamu melakukannya hanya ingin disebut sebagai orang yang alim, yang qari.” Kemudian Allah memerintahkan untuk disungkurkan wajahnya dan dilemparkan ke dalam api neraka. (HR. Hakim)

Ketiga, jujur dalam azam (tekad); sebelum seseorang melakukan sesuatu kadangkala seseorang memiliki tekad terlebih dahulu sebelum mengimplementasikannya. Contohnya adalah jika seseorang mengatakan jika Allah memberiku harta maka aku akan mensedekahkan sekian dari harta tersebut. Kejujuran tekad yang dimaksudkan di sini adalah kesempurnaan dan kekuatan tekad tersebut.  Tekad yang benar atau jujur tidak akan ragu atau goyah sedikitpun.

Keempat, jujur dalam menunaikan azam (tekad); Maksudnya adalah ketika seseorang telah memiliki azam dan ia memiliki peluang untuk melaksanakan azamnya. Ketika ia tidak menunaikan apa yang menjadi tekadnya maka itu bisa dikatakan sebagai kebohongan atau ketidak jujuran.

Kelima, jujur dalam perbuatan; adalah usaha seseorang untuk menampilkan perbuatan lahiriah agar sesuai dengan apa yang ada di dalam hatinya. Berbeda dengan riya’, riya’ berati perbuatan baik secara lahir tidak sama dengan niat buruk di dalam hati. Seseorang yang antara perbuatan lahir dan niatnya berbeda tanpa adanya maksud yang disengaja. menurut al-Ghazali hanya dikatakan sebagai orang yang tidak jujur dalam perbuatan.

Keenam, jujur dalam mengimplementasikan maqamat di dalam agama seperti jujur di dalam khauf (takut kepada Allah), raja’ (berharap kepada Allah), zuhud dan lain sebagainya. Ini adalah tingkatan jujur yang paling tinggi. Seseorang dapat dikatakan jujur dalam tahap ini ketika ia telah mencapai hakikat yang dimaksud dalam khauf, raja’ atau zuhud yang dikehendaki. Tingkatan jujur ada dalam ajaran sufi yang ada dalam Islam.

Demikianlah beberapa macam jujur sebagaimana yang ada dalam Ihya Ulumiddin. Jujur dalam hal ini bisa diartikan sebagai benar atau nyata perbuatanya. Semoga ini bisa menjadi renungan kita semua. Amin.

Jujur Menurut Imam Al-Ghazali

BincangSyariah.Com – Dalam bahasa Arab, kata jujur semakna dengan as-sidqu atau siddiq yang berarti benar, nyata, atau berkata benar. Berikut adalah penjelasan tentang sifat jujur menurut Imam al-Ghazali:

Secara istilah, jujur atau as-sidqu bermakna: pertama, kesesuaian antara ucapan dan perbuatan; kedua, kesesuaian antara informasi dan kenyataan; ketiga, ketegasan dan kemantapan hati; dan keempat, sesuatu yang baik yang tidak dicampuri kedustaan.

Imam al-Ghazali menyatakan bahwa ada sifat-sifat jujur atau benar (siddiq) sebagai berikut: pertama, jujur dalam niat atau berkehendak, yaitu tiada dorongan bagi seseorang dalam segala tindakan dan gerakannya selain dorongan karena Allah Swt.

Kedua, jujur dalam perkataan atau lisan yakni berita yang diterima dengan yang disampaikan sesuai. Setiap orang mesti mampu memelihara perkataannya. Ia tidak berkata kecuali dengan jujur.

Barang siapa mampu menjaga lidah dengan cara selalu menyampaikan berita yang sesuai dengan fakta yang sebenarnya, maka ia termasuk jujur jenis yang kedua.

Menempati janji termasuk jujur jenis kedua ini. Jujur dalam perbuatan atau amaliah adalah beramal dengan sungguh-sungguh. Sehingga, perbuatan żahirnya tidak menunjukkan sesuatu yang ada dalam batinnya dan menjadi tabiat untuk dirinya.

Kejujuran adalah fondasi atas tegaknya nilai-nilai kebenaran. Sebab, jujur identik dengan kebenaran. Allah Swt. berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah Swt. dan ucapkanlah perkataan yang benar.” (Q.S. al-Ahzāb (33):70)

Orang yang beriman perkataannya mesti sesuai dengan perbuatan. Sebab, ada dosa besar bagi orang-orang yang tidak mampu menyesuaikan perkataan dengan perbuatan, atau berbeda apa yang di lidah dan apa yang diperbuat.

Allah Swt. berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apaapa yang tidak kamu kerjakan.” (Q.S. aś-Śaff (61):2-3)

Terkait sifat jujur menurut Imam Al-Ghazali, maka bisa disimpulkan bahwa sifat jujur wajib dimiliki oleh setiap Nabi dan Rasul. Artinya, orang-orang yang selalu istiqamah atau konsisten mempertahankan kejujuran, sesungguhnya memiliki separuh dari sifat kenabian.

Jujur adalah sikap tulus dalam melaksanakan sesuatu yang diamanatkan, baik berupa harta atau tanggung jawab. Orang yang melaksanakan amanat disebut sebagai al-Amin, yaitu orang yang terpercaya, jujur, dan setia.

Mengapa dinamakan demikian?

Sebab, segala sesuatu yang diamanatkan kepadanya menjadi aman dan terjamin dari segala bentuk gangguan, baik yang datang dari dirinya sendiri ataupun dari orang lain.

Sifat jujur dan terpercaya adalah hal paling penting dalam segala aspek kehidupan, seperti dalam kehidupan rumah tangga, perniagaan, perusahaan, dan hidup bermasyarakat.

Salah satu faktor yang menyebabkan Nabi Muhammad Saw. berhasil membangun masyarakat Islam adalah karena adanya sifat-sifat dan akhlaknya yang sangat terpuji.

Salah satu sifat Nabi Muhammad Saw. yang menonjol adalah kejujurannya. Sejak kecil sampai akhir hayatnya, Rasulullah selalu bersikap jujur. Sehingga, ia pun mendapat gelar al-Amin dengan makna orang yang dapat dipercaya atau jujur.

Kejujuran mampu mengantarkan seseorang untuk mendapat cinta kasih dan keridhaan Allah Swt. Kebohongan adalah kejahatan tiada tara sebab bisa menjadi faktor terkuat yang mendorong seseorang berbuat kemunkaran dan menjerumuskannya ke jurang neraka.

Kejujuran mestinya bisa menjadi sumber keberhasilan, kebahagian, serta ketenteraman yang mesti dimiliki oleh setiap Muslim.

Seorang Muslim wajib menanamkan nilai kejujuran dan mengajarkannya pada anak-anak sejak dini hingga pada akhirnya mereka menjadi generasi yang mampu meraih sukses dalam mengarungi kehidupan.

Demikian penjelasan tentang tiga sifat jujur menurut Imam Al-Ghazali. Semoga bermanfaat.[] (Baca: Konsep Mengenali Diri Menurut Imam al-Ghazali)

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA