Mengapa pada masa pendidikan Jepang pendidikan di Indonesia merosot tajam?

Penulis: Rifdah Khalisha

Dalam buku Di Bawah Pendudukan Jepang (1988), Jepang menyadari bahwa sekolah memiliki arti penting dalam menunjang program indoktrinasinya. Melalui pendidikan, Jepang mengubah dan mengalihkan mentalitas dan pola pikir masyarakat Indonesia, dari mentalitas Eropa ke Nipon.

Menjelang kedatangan Jepang ke Indonesia pada akhir tahun 1941, pemerintah militer Jepang menutup semua jenis dan jenjang sekolah di Hindia Belanda. Mereka ingin merumuskan ulang pendidikan di Indonesia untuk menghilangkan pengaruh Barat.

Sekolah rakjat Tjikampek © Twitter.com/tukangpulas_asli

Para guru berbangsa Belanda kembali ke negerinya. Pendidikan para siswa terlantar karena harus libur tanpa batas waktu. Buku-buku pelajaran sekolah dalam bahasa Belanda disita, diperiksa, dan dinilai ulang.

Siswa tingkat rendah gagal naik kelas sebab tidak ada ujian kenaikan kelas. Sementara siswa-siswa tingkat akhir di sekolah menengah atas terpaksa mengubur mimpinya memperoleh ijazah, mereka hanya menerima ijazah darurat sebab ujian kelulusan ditunda. Akhirnya, mereka tidak dapat mencari kerja.

Selama berbulan-bulan sekolah dibekukan, para siswa merindukan bangku sekolah. Beberapa dari mereka mengisi waktu dengan berdagang atau hanya bermain-main.

Jepang Membuka Kembali Sekolah-sekolah

Bapak Soerjoadipoetro dan siswa keguruan di Taman Siswa © luk.staff.ugm.ac.id

Hingga suatu waktu, terbit pemberitahuan di surat kabar Asia Raya pada 7 September 2602 (1942) bahwa Jepang akan membuka kembali sekolah-sekolah. Dalam surat kabar tertulis, pembukaan Sekolah Menengah hari Selasa tanggal 8 September 2602 dari pukul 9 pagi.

Di zaman Nippon, Jepang mengubah nama sekolah-sekolah peninggalan Belanda, semula bernama HIS, diubah menjadi Sekolah Rakyat (SR). Sekolah MULO dan HBS tiga tahun diubah menjadi Sekolah Menengah Pertama (SMP). Sekolah AMS dan HBS, diubah menjadi Sekolah Menengah Tinggi (SMT).

SMT Jakarta menjadi sekolah tingkat atas pertama yang dibuka di seluruh Indonesia. Semua siswa dari berbagai sekolah di seluruh Indonesia boleh mendaftar. Pembukaan SMT dan SMP di Jakarta diawali dengan mengadakan upacara.

Berbeda dengan sekolah masa kolonial yang terbagi berdasarkan latar belakang sosial dan ras orang tua, sistem persekolahan saat itu berubah menjadi lebih terbuka. Hal terbaiknya, tak ada lagi diskriminasi rasial antara anak Indonesia dengan anak Belanda. Untuk pertama kalinya, pembukaan sekolah memungkinkan siswa Indonesia dari berbagai lapisan dan sekolah bisa berkumpul dan belajar bersama.

Usai membuka SMT di beberapa kota, Jepang membuka kembali sekolah-sekolah khusus seperti kedokteran, teknik, kemiliteran, dan khusus remaja putri (wakaba). Sekolah-sekolah swasta diizinkan kembali beroperasi. Termasuk sekolah swasta umum seperti Taman Siswa dan sekolah swasta religius seperti milik Muhammadiyah.

Penerapan Kebijakan Baru dalam Dunia Pendidikan

Anak-anak zaman dahulu © Langgam.id

Jepang menerapkan kebijakan baru dalam dunia pendidikan, misalnya tak ada lagi Bahasa Belanda dan berganti menjadi bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari di sekolah. Saat mempelajari bahasa Indonesia, rasa kebangsaan para siswa mulai muncul.

Sebelumnya, siswa-siswa sekolah swasta sudah terbiasa berbahasa Indonesia, jadi, keputusan ini tak berarti banyak. Namun, siswa-siswa dari sekolah elite milik pemerintah kolonial Belanda merasa asing karena selalu berbahasa Belanda dalam kesehariannya, termasuk di sekolah. Hal ini tentu menjadi pengalaman baru.

Siswa-siswa sekolah elite harus menerima pelajaran dalam Bahasa Indonesia. Mereka pun mulai mempelajari bahasa Indonesia melalui novel-novel terbitan Volkslectuur atau Balai Pustaka.

Jepang tak mengubah mata pelajaran secara drastis di semua tingkatan. Mereka mempertahankan pelajaran umum, seperti ilmu pasti, sejarah, ekonomi, ilmu bumi, fisika, kimia, dan seni. Namun, menghapus mata pelajaran bahasa Eropa seperti Inggris, Jerman, Prancis, Yunani Kuno, dan Romawi.

Penekanan Pelajaran Fisik dan Kemiliteran

Anak-anak zaman dahulu © Instagram.com/albumsejarah

Menurut Arsip Nasional RI, semua jenjang sekolah harus menambahkan pelajaran bahasa Jepang, olahraga, dan kerja bakti dalam kurikulumnya Demi kepentingan Jepang, para siswa wajib mengikuti upacara bendera tiap senin, senam pagi (taiso), baris-berbaris, dan lari. Jepang juga menggunduli rambut siswa lelaki dan menetapkan kewajiban memakai seragam sekolah.

Tentu saja, penekanan pelajaran fisik dan kemiliteran ini demi kepentingan Jepang. Mereka ingin menempa kedisiplinan dan mempersiapkan para siswa untuk menghadapi perang Asia Raya. Para pengawas sekolah yang terdiri dari orang Jepang juga kerap bertindak keras.

Penanaman kemiliteran ini sangat menyita waktu pelajaran siswa-siswa di sekolah. Jika Kawan melihat foto zaman pendudukan Jepang, maka akan terlihat lebih banyak siswa baris-berbaris daripada belajar mata pelajaran lain di dalam kelas. Saat proses belajar mengajar, siswa lebih banyak mencatat omongan guru sebab belum ada buku-buku pelajaran baru.

Para Pendidik di Sekolah Zaman Jepang

Kepala sekolah dan guru-guru Sekolah Rakjat Bringin © Twitter.com/potretlawas

Kebanyakan para pendidik kompeten yang berasal dari Belanda berhenti mengajar karena harus masuk kamp interniran, hanya tersisa pendidik dari Indonesia dan Jepang. Karena kekurangan pendidik bidang eksakta, mahasiswa tingkat terakhir perguruan tinggi masa kolonial turut membantu mengajar eksakta atau ilmu pasti di sekolah-sekolah.

Biasanya, pendidik dari Jepang akan memberikan pelajaran bahasa Jepang dan olahraga. Mereka tidak bisa berbahasa Indonesia, sementara para siswa belum fasih berbahasa Jepang. Masalah ini pun membuat siswa tidak terbiasa dan kerap kesulitan memahami materi pelajaran.

Kualitas pendidik Indonesia memang masih jauh bila dibandingkan dengan pendidik Belanda. Tetapi, secara personal mereka mampu menjalin hubungan dekat dan kuat dengan para siswa. Terciptanya hubungan erat ini belum pernah dirasakan di sekolah zaman Belanda.

Saat Sekutu menjatuhkan bom di Kota Hiroshima dan Nagasaki, pemerintahan Jepang pun lumpuh dan menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Jepang menyatakan kekalahannya pada Agustus 1945. Setelah itu, sistem pendidikan zaman Jepang di Indonesia pun berakhir dan para siswa kembali menghadapi dunia sekolah baru.

Referensi:Historia | Tirto

Jakarta -

Indonesia berada di bawah kekuasaan militer Jepang pada tahun 1942-1945 sebelum akhirnya merdeka. Penjajahan ini juga berpengaruh terhadap sistem pendidikan yang diterapkan pada masa itu.

Dalam buku Ilmu Pengetahuan Sosial karya Ratna Sukmayani dkk dijelaskan, tujuan utama pendudukan Jepang atas Indonesia adalah menjadikan Indonesia sebagai daerah penghasil dan penyuplai bahan mentah dan bahan bakar kepentingan industri Jepang.

Pendudukan Jepang di Indonesia berlangsung selama tiga setengah tahun. Meski hanya seumur jagung, mereka membawa sejumlah kebijakan penting termasuk di sektor pendidikan yang bahkan masih bertahan dan ditemukan hingga hari ini.

Sistem pendidikan yang diterapkan pada masa pendudukan Jepang difokuskan pada kebutuhan perang Jepang. Kala menguasai Indonesia, Jepang tengah menghadapi Perang Asia Timur Raya.

Menurut Murni Ramli dalam tulisannya yang berjudul Primary School System in Java Before and Under Japanese Occupation (1940-1944), sekolah dasar di Indonesia pada masa pendudukan Jepang menekankan pendidikan praktis, tidak seperti sistem Belanda yang hanya membina dan memelihara sisi akademis.

Tulisan yang diterbitkan dalam International Journal of History Education ini menyebut, kurikulum pada saat itu telah di-Japanisasi melalui pengenalan mata pelajaran baru, seperti bahasa Jepang, pendidikan jiwa/mental, pendidikan jasmani, dan kegiatan kejuruan.

Literatur tentang pendidikan di era pendudukan Jepang (1942-1945) masih terbatas. Beberapa peneliti juga terkendala dari segi bahasa. Sebagian besar dokumen militer Jepang ditulis menggunakan bahasa Jepang kuno, baik tata bahasa maupun karakternya.

R. Thomas Murray dalam tulisannya yang berjudul Educational Remnants of Military Occupation: The Japanese in Indonesia memberikan gambaran terkait sejumlah kebijakan pendidikan yang ditempuh militer Jepang di Indonesia.

Beberapa di antaranya adalah menghapus bahasa Belanda di sekolah, melarang menggunakan dan mengajar bahasa Inggris dan Prancis, mengajarkan bahasa Jepang di sekolah dasar dan menengah, dan melakukan akreditasi bahasa Melayu/Indonesia sebagai bahasa nasional yang digunakan di sekolah untuk kepentingan administrasi.

Selain itu, pemerintah Jepang juga menghapus ajaran sejarah Belanda dan Eropa dan menggantinya dengan sejarah Asia, Jepang, dan Indonesia. Mereka juga menerapkan aktivitas fisik dan mengadakan latihan militer di sekolah menengah secara intensif.

Simak Video "Dubes Marina Berg Bicara soal Sistem Pendidikan di Swedia"


[Gambas:Video 20detik]
(kri/lus)

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA