Mengapa ada sebutan setan desa

Setelah sekian lama PKI dibubarkan, seolah-olah mereka tidak salah. Pembunuhan terhadap PKI memang terjadi pada sekitar tahun 1965. Pada waktu itu keadaan masyarakat memang sangat mengerikan. Sehari-hari, para tokoh PKI hingga di pedesaan ditangkap dan dibunuh. Apa yang dilakukan oleh tentara dan juga orang-orang Islam ketika itu bukan tanpa alasan. Ada kemarahan yang luar biasa oleh karena perbuatan orang PKI yang berlebihan. Itulah yang saya rasakan ketika masih kecil hidup di pedesaan.

Pada saat terjadi gerakan 30 September 1965, saya sudah menjadi siswa di SMP, sehingga, sekalipun hanya bersifat terbatas, yaitu di tingkat kabupaten, saya sudah bisa mengikuti peristiwa itu. Berita pada tingkat nasional tentang PKI, saya dapatkan melalui radio. Koran ketika itu belum sampai bisa dibaca oleh murid SMP. Demikian pula, televisi pada waktgu itu belum ada, sekalipun yang hitam putih. Berita tentang gerakan PKI, lebih banyak saya dapatkan dari mulut ke mulut.

Sehari-hari, pada waktu itu terasa benar, bahwa ada pertentangan antara orang-orang beragama dengan orang PKI. Berita bahwa ada kyai atau pimpinan pondok pesantren diculik di suatu daerah dan kemudian yang bersangkutan tidak kembali adalah hal biasa. Permusuhan antar kelompok yang memiliki idiologi berbeda itu dengan mudah dirasakan di mana-mana.

Sekalipun bentrokan secara terbuka pada waktu itu belum terjadi, tetapi kejadian saling hina menghina menjadi hal biasa. PKI menyebut kyai atau ulama dengan sebutan setan desa. Sebutan itu diberikan oleh karena kyai pada umumnya dianggap memiliki sawah atau tanah yang luas. Sekalipun demikian sebenarnya, orang kaya bukan hanya kyai atau ulama. Demikian pula, orang miskin juga bukan hanya PKI. Umat Islam yang miskin juga banyak. Sebutan itu karena rasa kebencian saja terhadap para ulama'.

Kritik PKI secara terbuka terhadap orang Islam biasanya disampaikan melalui media kesenian. Ludruk atau kethoprak, adalah jenis kesenian di pedesaan, yang digunakan sebagai media kritik. Kadang kritik yang disampaikan dimaksud sangat berlebih-lebihan. Pada umumnya, orang PKI sangat anti terhadap para agamawan. Untuk menunjukkan kebenciannya itu, pernah di sebuah desa dipentaskan ludruk dengan cerita : ' matinya tuhan'. Tentu, menanggapi penghinaan itu, umat Islam menjadi marah dan akhirnya membakar habis panggung ludruk dimaksud.

Di sekolah guru yang berpaham PKI ada juga yang mengejek muridnya yang beragama. Misalnya, siswa disuruh memejamkan mata dan menengadahkan kedua tangankannya ke atas untuk meminta uang pada tuhan. Tentu dengan mendoa itu tidak didapat apa-apa. Setelah itu, murid yang sama disuruh agar memejamkan mata dan mengulang doanya, tetapi bukan menyebut tuhan, tetapi menyebut nama guru yang menyuruh itu. Selanjutnya oleh guru yang bersangkutan, permintaan itu dipenuhi, yaitu pada tangan murid tersebut ditaruh uang. Maka oleh guru yang bersangkutan disimpulkan bahwa, tuhan memang tidak ada, sementara itu yang jelas ada adalah dirinya atau guru itu.

Berita yang dinilai sangat menyakitkan hati tersebut segera tersebar dari mulut ke mulut hingga menjadikan kebencian antar kedua kelompok semakin mendalam. Pertentangan idiologis terbuka sedemikian rupa dengan pendukungnya masing-masing. Oleh karena itu, ketika datang berita tentang adanya penculikan terhadap para jendral dan juga diperoleh keterangan bahwa kejadian itu dilakukan oleh PKI, maka segera menyulut konflik dan menyebar hingga ke mana-mana.

Kebencian terhadap PKI juga tumbuh dari sejarah sebelumnya, bahwa kyai pesantren banyak diculik dan dibunuh oleh PKI. Demikian pula telah adanya pemberontakan oleh PKI di beberapa tempat dan tokoh Islam selalu menjadi korbannya adalah dirasakan sangat menyakitkan. Hal demikian itu melahirkan kesan yang amat jelas bahwa PKI adalah anti agama. Melalui berbagai peristiwa tersebut membuktikan bahwa memang sulit mempersatukan antara orang beragama dengan orang yang tidak beragama.

Pengalaman sejarah tersebut menjadikan trauma yang luar biasa. Mungkin bagi generasi yang lahir setelah tahun 1965, tidak bisa menghayati keadaan yang mengerikan tersebut secara utuh dan mendalam, sehingga mereka segera menyalahkan sejarah itu. Tetapi sebaliknya, jika sejarah itu dihayati sepenuhnya maka akan diperoleh pelajaran tentang betapa keganasan Partai Komunis ketika itu. Oleh karena itu kiranya ke depan, dengan Pancasila dan UUD 1945, bangsa ini tidak boleh mengulang sejarah masa lalu itu. Semua generasi harus melihat ke depan, membangun bangsa yang bhineka, saling menghargai dan menghormati untuk masa depan yang damai dan sejahtera. Wallahu a'lam

Iblis atau Iblīs adalah julukan nenek moyang bangsa jin, yang memiliki nama asli Azazil. Dia-lah mahkluk pertama yang membangkang pada perintah Allah. Foto: Ilustrasi.

WARTAKOTALIVE.COM -- Setan, Satan, Iblis, Azazil, Beelzebub atau Beelzebub. Semua sama: “Raja Kegelapan.”

Setan atau syetan yang dalam bahasa Ibrani disebut ha-Satan atau “sang penentang”, dalam bahasa Arab disebut Syaithon, “sesat atau jatuh.”

Sebutan-sebutan itu biasanya merujuk pada Lucifer atau “Raja Kegelapan”—dalam kepercayaan Yahudi dan Kristen—atau Iblis pada kepercayaan Islam,

Ada yang mengatakan, dalam bahasa Indonesia, istilah Satan berbeda maknanya dengan setan.

“Satan” (huruf besar) lebih condong pada sang Iblis (diabolos), sedangkan “setan” (huruf kecil) lebih condong kepada roh-roh jahat (daemon). Meskipun, pada akhirnya sama saja: mereka “kuasa kegelapan.”

Iblis atau Iblīs adalah julukan nenek moyang bangsa jin, yang memiliki nama asli Azazil. Dia-lah mahkluk pertama yang membangkang pada perintah Allah.

Meski kemudian Lucifer dilempar ke bumi, tetapi dengan cara itu—menentang Allah—meraih kekuasaannya. Kekuasaan macam apa yang diraih Lucifer?

Dulu ada istilah “setan desa” dan “setan kota.” Di masa pilkada muncul istilah “biarlah uang iblis dimakan setan.”

Karena saking putus asanya mengatasi korupsi, ada yang mengatakan, “kita harus minta bantuan iblis untuk memerangi setan korupsi.”

Ada lagi istilah “lingkaran setan”, misalnya “lingkaran setan korupsi.” Mengapa? Karena terjadinya reproduksi korupsi dari generasi ke generasi, dari zaman ke zaman. 

Halaman selanjutnya arrow_forward

Ilustrasi gambar setan (Sumber: Istimewa/triaskun.id)

Oleh: Trias Kuncahyono, Jurnalis Harian Kompas

I

Setan, Satan, Iblis, Azazil, Beelzebub atau Beelzebub. Semua sama: “Raja Kegelapan.” Setan atau syetan yang dalam bahasa Ibrani disebut ha-Satan atau “sang penentang”, dalam bahasa Arab disebut Syaithom, “sesat atau jatuh.” Sebutan-sebutan itu biasanya merujuk pada Lucifer atau “Raja Kegelapan”—dalam kepercayaan Yahudi dan Kristen—atau Iblis pada kepercayaan Islam,

Ada yang mengatakan, dalam bahasa Indonesia, istilah Satan berbeda maknanya dengan setan. “Satan” (huruf besar) lebih condong pada sang Iblis (diabolos), sedangkan “setan” (huruf kecil) lebih condong kepada roh-roh jahat (daemon). Meskipun, pada akhirnya sama saja: mereka “kuasa kegelapan.”

Iblis atau Ibl s adalah julukan nenek moyang bangsa jin, yang memiliki nama asli Azazil. Dia-lah mahkluk pertama yang membangkang pada perintah Allah. Meski kemudian Lucifer dilempar ke bumi, tetapi dengan cara itu—menentang Allah—meraih kekuasaannya. Kekuasaan macam apa yang diraih Lucifer?

Dulu ada istilah “setan desa” dan “setan kota.” Di masa pilkada muncul istilah “biarlah uang iblis dimakan setan.” Karena saking putus asanya mengatasi korupsi, ada yang mengatakan, “kita harus minta bantuan iblis untuk memerangi setan korupsi.” Ada lagi istilah “lingkaran setan”, misalnya “lingkaran setan korupsi.” Mengapa? Karena terjadinya reproduksi korupsi dari generasi ke generasi, dari zaman ke zaman.  Ada istilah lain lagi “setan jahanam” atau juga “tangan-tangan setan.” Orang Jawa kenal istilah “setan ora doyan, demit ora ndulit.”

Di masa pemilu presiden tahun 2019 lalu, muncul istilah “Partai Allah” dan “Partai Setan.”  Ada lagi istilah “mandi uang setan.” Istilah tersebut disematkan oleh Khalil Roman, yang pernah menjabat sebagai Staf Presiden Hamid Karzai (2002-2005), Hamid Karzai  disebutnya menerima puluhan juta dollar uang dari CIA.

II

Setan, iblis selalu dikaitkan dengan kekuatan kejahatan. Ia disebut sebagai pangeran dunia, penguasa kegelapan, pendusta, pendengki, si penyesat, si penggoda, Bapak segala Dosa, Si Penyesat dan sebagainya. Karena setan dan iblis pendusta, maka bisa saja mereka berdusta, memutar-balikkan fakta, menyebarkan berita bohong, hoaks, menebar berita menyesatkan.

Karena pendengki, maka mungkin saja mereka menebarkan kedengkian. Karena penyesat, tidak aneh kalau mereka menyebarkan kesesatan dengan pernyataan-pernyataan yang jauh dari kebenaran, yang membuat gaduh. Setan, iblis adalah sahabat dusta, kebohongan. Setan adalah dusta dan kebohongan itu sendiri. Mereka menjauhi kebenaran.

Penulis : Fadhilah

Sumber : Triaskun.id

Selain kabir, ada olok-olok lain lagi dari PKI ke musuh politiknya, yakni setan desa. Mereka menyebutnya sebagai 'Tujuh Setan Desa', terdiri dari tuan tanah jahat, lintah darat, tukang ijon, kapitalis birokrat, tengkulak jahat, bandit desa, dan penguasa jahat.

Ada pula setan kota, di era '60-an disebut sebagai 'Tiga Setan Kota', terdiri dari kabir, koruptor, dan manipolis (penganut manifesto politik Bung Karno) gadungan. Kadang pula disebut 'Lima Setan Kota', terdiri dari koruptor, manipulator, kabir, penyelundup, dan pengusaha petualang.

Lalu adakah istilah 'kadrun' di era PKI?

Sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam menjelaskan istilah kadrun atau kadal gurun, baru muncul setelah Pilkada DKI 2012 hingga Pilpres 2019, setelah munculnya istilah kampret dan cebong. Istilah kadrun belum ada saat era PKI masih ada.

Surat Suara Pemilu 1955, Jawa Timur (Dok. Situs KPUD Sukoharjo)

"Waktu Pemilu 1955 ada persaingan yang tajam antara Masyumi dan PKI. Masyumi menuduh orang komunis itu ateis. PKI menuduh Masyumi dapat bantuan dana dari AS. Tidak ada istilah kadal gurun tersebut. Tahun 1960-an, yang ada yakni istilah Nekolim, Aksi Sepihak, Setan Desa, Setan Kota," tutur Asvi kepada detikcom, Rabu (10/6/2020).

Menurut Asvi, istilah-istilah seperti kadrun, cebong, dan kampret, itu bersifat memecah belah. Ini tidak sehat.

"Istilah-istilah tersebut yang memecah belah, mengelompokkan kawan dan lawan yang berkelanjutan," kata Asvi.

Asvi Warman Adam (Ari Saputra/detikcom)


(dnu/tor)

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA