Mengambil foto tanpa izin disebut

Jakarta - Urbanreaders, pernah foto atau video orang lain secara diam-diam tidak? Atau malah pernah menjadi objek perilaku tersebut?

Perlu diingat, proses pengambilan foto atau video tanpa seizin yang bersangkutan dan kemudian disebarkan tanpa izin, termasuk kategori pelanggaran hukum.

Baca Juga: Seorang Pria Keramas di Keran Air Minum PAM Jaya, Bisa Dipidana

Sebab, Pakar Hukum Pidana, Yudha Priyono mengatakan, perilaku tersebut bisa dikategorikan sebagai pelecehan dan melanggar privasi seseorang.

"Memfoto atau video orang lain tanpa persetujuan bisa dikategorikan sebagai pelecehan juga melanggar privasi orang (korban) tersebut, dan bisa dijerat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)," ujar Yudha Priyono, S.H, saat dihubungi Urbanasia, Kamis (20/5/2021).

Baca Juga: Nggak Lapor SPT Pajak? Sanksi Denda dan Pidana Menanti

Nantinya, hasil foto atau video yang direkam tanpa izin tersebut bisa dijadikan alat bukti korban untuk melaporkan si pelaku ke pihak berwajib.

"Sesuai Pasal 5 Ayat (1) UU ITE barang bukti sebagai pembantuan informasi dan elektronik atau dokumen elektronik atau hasil cetak merupakan bukti hukum yang sah," jelas Yudha.

Baca Juga: Pakar Hukum Pidana Kecam Insiden Penembakan di Cengkareng

Adapun pasal-pasal UU ITE yang bisa menjerat si pelaku antara lain Pasal 5 Ayat (1), Pasal 27 Ayat (3), dan Pasal 45 Ayat (3), yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 5 Ayat (1) UU ITE:

"Pembantuan bahwa Informasi dan Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/ atau hasil cetaknya merupakan bukti hukum yang sah."

Pasal 27 Ayat (3) UU ITE menyebutkan,

"Melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik."

Pasal 45 Ayat (3) UU ITE berbunyi:

"Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)."

Merajuk dari tiga pasal UU ITE tersebut, Yudha Priyono mengatakan, pelaku bisa dikenakan pidana penjara paling lama enam tahun dan denda Rp 750 juta hingga Rp 1 Miliar. 

Hidup di era sekarang membuat masyarakat merasa lebih mudah dengan adanya perkembangan teknologi dan komunikasi. Teknologi seakan melepas batasan jarak yang ada sehingga kita dapat melakukan berbagai kegiatan seperti transaksi, penyampaian pendapat dan berekspresi hingga berkomunikasi dengan mudah. Tetapi, kemudahan akses terhadap informasi dan kegiatan ini bukan tanpa risiko.

Banyaknya kejahatan dalam dunia maya atau cybercrime menjadikan masyarakat merasa was-was terutama acapkali kegiatan di internet menyangkut personal data.

Salah satu bentuk cybercrime yang sedang marak akhir-akhir ini adalah penyebaran gambar pribadi kita seperti teman atau pacar yang mengancam akan menyebarkan gambar pribadi jika tidak memenuhi tuntutan yang diberikan atau banyak juga di antara kita yang senang berbagi gambar-gambar yang dirasa menarik untuk dibagikan karena dirasa menghibur atau sekadar dapat menarik perhatian.

Satu hal yang disayangkan adalah ketidaktahuan masyarakat terkait bagaimana pembatasan konten yang dapat disebarkan yang berujung pada sikap tindak diam karena takut. Lantas, bagaimana hukum memandang kejahatan tersebut dan bagaimana solusinya?

Foto Sebagai Bentuk Ekspresi

Foto adalah sebuah produk kekayaan intelektual dan ekspresi individu berupa citra terhadap suatu objek yang bernilai seni. Di dalam sebuah foto terdapat unsur-unsur seperti brightness hingga balances.

Foto sendiri adalah representasi dari apa yang berusaha kita tampil dan sampaikan kepada orang lain secara real atau nyata. Karena merupakan bentuk ekspresi seseorang, membidik suatu objek gambar bukan tanpa batasan.

Yuflih Maheswara Agustus 7, 2020

tirto.id - Unggahan video berdurasi 32 detik dari @phrinses ramai dibicarakan pengguna Twitter. Saat berita ini ditulis, Sabtu (7/9/2019) siang, unggahan tersebut sudah di-retweet 12,2 ribu pengguna lain dan mendapat like 16,5 kali.

"Bisa dihapus? Sekarang, Pak!" kata @phrinses. "Banyak banget lagi [fotonya]. Lain kali jangan begitu. Saya juga punya privasi." @phrinses marah karena pria dalam video itu--yang tidak terlihat jelas wajahnya--memotretnya diam-diam.

@phrinses dan kawan-kawannya tengah mengerjakan tugas membuat video di sebuah kafe. Mereka duduk di sebelah bapak itu, sebut saja John. Posisi John ada di balkon kafe. John dan @phrinses dan teman-temannya hanya dipisahkan kaca bening yang membuat segala gerak-gerik "kelihatan banget".

John kepergok mengarahkan kamera ponselnya ke @phrinses dan teman-temannya. "Terus aku pelototin sampai dia risih sendiri." Lalu, "aku mergokin dia lagi mau mengirim foto aku ke grup Whatsapp-nya. Karena pintu dari kaca, dan aku enggak sengaja lihat... langsung aku samper aja."

John sempat enggan menghapus foto saat itu juga. Tapi @phrinses terus mendesaknya hingga foto itu dihapus di depan matanya.

Pelecehan, Pelanggaran Privasi, dan Hak Cipta

Rika Rosvianti atau yang akrab disapa Neqy, pendiri perEMPUan, LSM yang fokus mengadvokasi pelecehan seksual di ruang publik, mengatakan kejadian dalam video tersebut dapat dikategorikan sebagai kekerasan terhadap perempuan.

“Merujuk ke definisi kekerasan seksual, termasuk juga pelecehan, indikatornya adalah saat tidak ada consent atau ada paksaan," kata Neqy kepada reporter Tirto, Jumat (6/9/2019).

Baca juga: Nyolong Foto dan Pelanggaran Privasi

Komnas Perempuan dalam buklet 15 Bentuk Kekerasan Seksual: Sebuah Pengenalan (PDF), mendefinisikan pelecehan seksual sebagai “tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun non-fisik dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korban... yang mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, dan mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan."

Dalam kasus ini, @phrinses jelas tersinggung. Dia juga merasa tidak nyaman dan direndahkan martabatnya.

“Dia juga melanggar privasi dengan mengakses tubuh korban dalam bentuk mengambil gambar tanpa izin. Padahal tubuh adalah hal paling privat dari diri manusia," tegas Neqy.

Neqy menganalogikan tubuh seperti rumah. Selayaknya rumah, siapa pun yang mau masuk, wajib izin kepada pemiliknya. “Kita sebagai pemilik ‘rumah’ juga berhak membela diri saat ada yang nyelonong masuk atau mengakses tanpa izin."

Peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Genoveva Alicia menegaskan apa yang dilakukan John memang pelanggaran terhadap privasi, selain pelecehan.

“Kalau pasal, sebenarnya banyak yang bisa digunakan," ungkap Genoveva, menjelaskan perbuatan John mungkin melanggar hukum. “[Salah satunya] UU Hak Cipta tentang potret."

Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, John bisa dikategorikan sebagai ‘pencipta’ potret yang berhak salah satunya memperbanyak ciptaannya. Tapi hak tersebut harus terlebih dulu mendapat izin dari objek yang difoto. Ini ditegaskan dalam Pasal 19 ayat (1) UUHC.

Sanksi bagi pelanggarnya: pidana paling lama dua tahun dan/atau denda paling banyak Rp150 juta.

Baca juga: Pelecehan Bukan Akibat Pakaian; Berbaju Longgar & Berhijab pun Kena

Kasus ini memperpanjang daftar pelanggaran serupa. Dua tahun lalu, warganet Indonesia ramai membicarakan akun Twitter @nyolongfoto yang mengunggah banyak foto perempuan, termasuk celana dalam dan belahan dada, tanpa izin.

Lalu ada lagi akun Instagram @cekrek.lapor.upload, yang gagasan utamanya adalah mengunggah foto pasangan yang berpacaran di ruang publik. Tentu, juga tanpa persetujuan, meski inisiatornya bilang yang mereka lakukan bukan untuk menyebar aib orang.

Koalisi Ruang Publik Aman dalam Survei Pelecehan Seksual di Ruang Publik yang dilakukan pada akhir 2018 menemukan 64 persen responden perempuan, 11 persen responden laki-laki, dan 69 persen responden gender lainnya pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik. Ada 62.224 responden terlibat, mereka tersebar di 34 provinsi di Indonesia.

Genoveva mengatakan karena hal-hal serupa masih terus terjadi, dan dibuktikan pula dengan survei, yang perlu dilakukan adalah mengedukasi masyarakat bahwa hal tersebut tidak benar, baik dari kacamata etika atau hukum.

“Seharusnya perempuan punya ruang untuk melakukan aktivitas dengan nyaman," pungkasnya.

Baca juga artikel terkait PELECEHAN SEKSUAL atau tulisan menarik lainnya Fadiyah Alaidrus
(tirto.id - fdy/rio)

Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Rio Apinino

Subscribe for updates Unsubscribe from updates

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA