Kenapa bj habibie disebut bapak demokrasi

Jakarta -

Akun Kementerian Sekretariat Negara (@kemensetneg.ri) menggunggah julukan enam Presiden Indonesia, antara lain Prof BJ Habibie (BJH) sebagai Bapak Teknologi, dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mendapat julukan Bapak Perdamaian. Meskipun mengaku senang dengan julukan tersebut, sejumlah politisi Partai Demokrat menilai julukan Bapak Demokrasi akan lebih tepat disematkan kepada SBY.

Andi Mallarangeng, mantan Menpora yang juga pernah menjadi Juru Bicara Presiden SBY, misalnya, beralasan karena SBY adalah Presiden Indonesia yang pertama kali terpilih melalui pemilihan langsung, dan menjaga demokrasi itu sampai selesai masa jabatannya. Indeks demokrasi Indonesia juga membaik saat SBY Presiden.

"Beliau adalah pribadi yang taat asas, pro reformasi, pro demokrasi, dan senantiasa menjunjung tinggi konstitusi," imbuh Deputi Badan Pemenangan Pemilu Partai Demokrat, Kamhar Lakumani di kesempatan berbeda.

Kalau cuma itu yang menjadi acuan, tentu boleh-boleh saja. Tapi bila mau melihat cakupan lebih luas dan objektif, sejatinya Habibie lebih layak dan pas mendapatkan kehormatan sebagai Bapak Demokrasi selain Bapak Teknologi yang memang menjadi concern-nya sejak muda. Bagi sebagian orang, Habibie adalah bagian dari Orde Baru, dan seperti pernah diakuinya, 'murid politik' Soeharto. Itu sama sekali tidak keliru.

Tapi simak apa yang diperbuat Habibie kemudian. Meskipun menjalankan roda kekuasaan dalam tempo singkat, 512 hari, sejak 21 Mei 1998 hingga 20 Oktober 1999, dia mewariskan berbagai kebijakan yang sangat strategis dan substansial untuk membuat Indonesia lebih baik. Sebut saja soal penghapusan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) yang memungkinkan surat kabar bermunculan bak cendawan di musim hujan. Hal itu digenapi dengan UU Nomor 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Juga diikuti dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. UU yang berisi 10 bab, 21 pasal ini, disahkan BJ Habibie pada 23 September 1999. Regulasi ini menjadi tonggak kebebasan pers di Indonesia. Membuat ruang bernapas media menjadi terbuka bagi terciptanya dialog publik, terutama untuk mengkritisi kebijakan pemerintah.

Lewat Menteri Kehakiman Sekaligus Sekretaris Negara Prof Muladi sebagai salah satu ujung tombangknya, pemerintahan Habibie membentuk UU Nomor 26/1999 tentang Pencabutan Undang-undang Nomor 11/PNPS Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, UU No. 3 Tahun 1999 Tentang Pemilihan Umum, dan UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan DPR/MPR. Juga membuat UU Otonomi Daerah, dan berbagai UU lain di bidang ekonomi.

Terlepas dari berbagai tekanan politik yang ada, BJ Habibie bersedia menggelar Pemilu multi partai pertama di awal reformasi pada Juni 1999. Padahal bila mengikuti konstitusi, sebagai penerus Presiden Soeharto, dia sah berkuasa hingga 2003. Lewat UU Partai Politik yang baru, tercatat ada 600 partai terdaftar. Tapi yang memenuhi syarat untuk ikut Pemilu pada Juni 1999 cuma 48 partai.

Habibie pula yang ikut mendorong pembatasan masa jabatan presiden lewat amandemen UUD 1945 yang diputuskan dalam Sidang Umum MPR 14-21 Oktober 1999. Bila sebelumnya Pasal 7 berbunyi, "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali" setelah amandemen bunyinya menjadi, "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan."

Tak cukup sampai di situ. Ketika Sidang Umum MPR pada 19 Oktober 1999 menolak pertanggungjawabannya sebagai Presiden, dia legowo. Kala itu BJH kalah tipis 33 suara (355 suara menolak, 322 menerima, 9 abstain, dan 4 tidak sah). Keesokan harinya, BJH menggelar jumpa pers di kediaman Patra Kuningan. Dia menyatakan menolak untuk dicalonkan sebagai Presiden 1999-2004 ketika sejumlah tokoh berdatangan membujuknya untuk tetap maju.

"Wakil-wakil rakyat telah menyimpulkan, saya tidak mampu melaksanakan tugas yang diberikan. Sehubungan dengan itu, saya Bacharudin Jusuf Habibie menyatakan tidak menyanggupi untuk menerima pencalonan saya sebagai presiden masa bakti 1999 - 2004."

Setelah tak berkuasa, BJ Habibie benar-benar tahu diri. Dia tak pernah sekalipun melontarkan kritik, merecoki, apalagi menggurui para presiden setelahnya. Habibie senantiasa mengajarkan agar semua pihak selalu menghormati pilihan rakyat. "Jika dirasa presiden terpilih kurang tepat, ya tunggu pemilu berikutnya," begitu selalu dia berujar.

Saya teringat cerita Sersan Mayor (Marinir) Pranto Jaya. Sebagai pengemudi mobil kepresidenan, dia adalah salah satu saksi betapa kerasnya Presiden BJ Habibie bekerja. Masuk Istana pada pukul 10.00 setiap hari, Habibie baru keluar menjelang dini hari. Di dalam mobil selama perjalanan, menurut Jaya, Habibie yang pakar aeronautika pun asyik dengan komputer jinjingnya.

Dia tak suka mengeluh. Tidak baperan atas segala kritik dan cemooh masyarakat yang kala itu bisingnya minta ampun. Hari-harinya diisi dengan kerja, kerja, kerja. Tentu bekerja yang sesungguhnya, bukan polesan alias pencitraan. Kalau pun ada sekelebat waktu senggang, diisinya dengan menulis puisi. Ketika sebagian masyarakat terus mencacinya, Habibie cuma berujar pendek, "Biarlah, Jaya, itu karena mereka tak mengerti apa yang saya kerjakan."

Sudrajat wartawan detikcom

(mmu/mmu)

MOJOK.CO – Magrib hari ini, 11 September 2019, Presiden Ke-3 Indonesia Bacharuddin Jusuf Habibie meninggal dunia di Jakarta. Satu sosok besar Indonesia baru saja berpulang. 

Bacharuddin Jusuf Habibie menjadi presiden Indonesia lewat jalan dramatis karena kebetulan menjadi wakil presiden di waktu genting. Hanya 70 hari ia menjabat wakil presiden. Periode kepresidenannya adalah yang paling singkat di antara 7 presiden (yang diakui di) Indonesia, tapi bisa dibilang juga yang paling krusial. Di masa pemerintahannya, Timor Timur merdeka. Perannya dikecilkan sejarah, mula-mula sebagai figur genial, belakangan sebatas simbol cinta sejati.

***

Dalam sebuah pernyataannya di bulan Juli 1999, Habibie mengibaratkan kondisi Indonesia ketika ia dilantik sebagai presiden (setelah menjabat sebagai wakil presiden selama 70 hari) layaknya pesawat yang tengah mengalami “super stall”. Daya angkatnya nol dan menjelang jatuh. Penduduk Indonesia berjumlah 210 juta orang adalah penumpang yang tidak menyadari pesawat tengah menuju kejatuhan. Sementara, pilotnya sedang tidak sadarkan diri. Habibie adalah kopilot yang harus segera mengambil alih kendali dan menyelamatkan pesawat.

Saat itu, Habibie hanya memiliki dua pilihan. Masuk kabin dan menjelaskan kepada penumpang bahwa pesawat akan jatuh atau tetap diam dan mencoba menyelamatkan pesawat. Sementara waktu terus berkurang.

Siapa pun yang menjadi pilot di saat-saat seperti itu, kata Habibie, tidak bisa melakukan sesuatu menurut keinginannya. Ia harus berkompromi dengan keadaan. Jika ia tidak melakukan itu, maka Indonesia akan mengalami “balkanisasi”. Pecah menjadi negara-negara kecil seperti yang terjadi di Yugoslavia.

“Kalau saya tidak mengambil kebijakan yang sesuai dengan kriteria yang saya tentukan, kondisi di Indonesia bisa lebih tidak rasional. […] Bangsa Indonesia dapat terpecah-pecah mengalami ‘Balkanisasi’. […] Negara yang besar terpecah-pecah menjadi negara-negara yang kecil. Di Afghanistan dan Irak dibayar dengan darah. Jika ini terjadi, maka yang menderita adalah rakyat,” tulis Habibie dalam memoarnya, Detik-detik yang Menentukan (2006: 449).

Indonesia di awal tahun 1998 adalah pesawat yang mengalami “super stall” dalam bidang politik, ekonomi, sosial-budaya, dan psikologi. Menghadapi situasi tersebut, Habibie yang telah “berada di kokpit” selama 20 tahun sebagai menteri dan sebagai wakil presiden selama 70 hari adalah orang tepat di waktu dan tempat yang tepat, serta mengerjakan hal tepat. Setelah dilantik, Habibie meprediksi, jika hingga September 1998 krisis politik dan ekonomi tak teratasi, maka pemerintahan Indonesia akan jatuh.

“Menjadi presiden, bukan segalanya bagi saya, tetapi yang penting apa yang terbaik bagi bangsa ini,” tulisnya (2006 : 450).

Naiknya Habibie disambut pesimisme. Ia diragukan mampu melaksanakan agenda reformasi sebab dianggap merupakan bagian dari Orde Baru. “Prasangka dan praduga negatif mengenai saya adalah wajar saja. Rakyat akan menilai dan sejarah mencatat,” Habibie mengatakan (2006: 54).

Kebijakannya perdananya menggambarkan usahanya menyelamatkan negara dari “super stall” tersebut. Sehari setelah dilantik, pada 22 Mei 1999, ia langsung melantik kabinet baru yang dinamai Kabinet Reformasi Pembangunan. Terdapat 36 menteri dalam kabinet ini, yang terdiri dari 4 menteri negara koordinator, 20 menteri negara pemimpin departemen, dan 12 menteri negara yang menangani tugas tertentu.

Kabinet tersebut mencerminkan semua unsur kekuatan bangsa, meliputi Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrasi Indonesia, Golongan Karya, ABRI, unsur daerah, kaum intelektual, dan lembaga swadaya masyarakat. Ini merupakan langkah demokratis awal untuk menjawab tuntutan Reformasi.

Di saat yang sama, Habibie juga mengumumkan pemisahan Bank Indonesia (BI) dari pemerintahan, dengan tidak memasukkan Gubernur BI dalam kabinet barunya. Ia beralasan bahwa dengan begitu, BI menjadi lembaga independen yang dapat membuat kebijakan yang logis, tanpa intervensi politik. Selain itu, negara juga tidak diperbolehkan meminjam dana ke BI, melainkan harus ke pasar modal. Ini merupakan cara Habibie untuk menyehatkan nilai tukar rupiah guna menyelesaikan krisis moneter.

Kebijakan Habibie lainnya adalah tetap memperbolehkan mata uang rupiah bergerak sesuai dengan ekonomi pasar, membebaskan semua tahanan politik, memberi kebebasan pers, kebebasan berbicara, dan berdemonstrasi, serta berkunjung ke DPR/MPR untuk berkonsultasi tentang jadwal Sidang Istimewa MPR dan Pemilu.

Ia juga memberi kebebasan berpendapat dan menguatkan legitimasi DPR/MPR. Pertimbangannya, dalam krisis politik 1998, salah satu tuntutan rakyat adalah adanya kebebasan dan kemerdekaan. Derivasi dari dua tuntutan ini adalah hak asasi manusia dan demokrasi. Tuntutan ini adalah wajar. Seiring dengan kemajuan yang dibawa pembangunan, sistem pendidikan semakin baik dan sistem informasi semakin sempurna sehingga kualitas SDM semakin meningkat. Namun, perkembangan ini tidak disertai dengan proses keterbukaan dan demokratisasi pemerintah dan pemimpin nasional.

Sejarah membuktikan, para pemula paling banyak lahir dan berkembang menjadi unggul dan andal dalam satu masyarakat yang bebas total (bebas dari dogma), merdeka, dan demokratis. Para pemula ini menjadi salah satu penggerak utama dalam peningkatan produktivitas dan daya saing suatu masyarakat.

Dengan mempertimbangkan hal tersebut, Habibie memutuskan untuk menyediakan ruang bagi setiap orang untuk mengeluarkan pendapat dan berunjuk rasa tanpa rasa takut. Pers juga diberi kebebasan mengeluarkan pendapat, dengan segala konsekuensinya. Tahanan politik juga segera dilepaskan. Kelak, tidak boleh terjadi seseorang dipenjarakan karena bertentangan pendapat atau rencana dengan presiden.

Kuatnya pengaruh lembaga eksekutif dalam lembaga yudikatif dengan keberadaan Keluarga Besar Golkar membuat DPR/MPR tidak memiliki legitimasi di mata rakyat. Ditambah lagi dengan adanya kewajiban bagi PNS untuk memilih Golkar dalam pemilu. Menurut Habibie, DPR dan MPR harus diberi legitimasi yang kuat berdasarkan pemilu yang demokratis. Dengan demikian, sebelum Pemilu 1999, Habibie membubarkan Keluarga Besar Golkar dan menghapus kewajiban bagi PNS untuk memilih Golkar. Ia juga membuka kesempatan untuk membuat partai politik apa saja, asalkan tidak melanggar UUD 1945 dan ketetapan MPR. Sebelumnya, pemerintah hanya mengizinkan dua partai, yakni PDI dan PPP serta Golongan Karya menjadi peserta pemilu.

Secara keseluruhan, selama 512 hari Habibie menjabat sebagai presiden ketiga, ia telah melakukan reformasi di bidang ekonomi, politik, HAM, dan birokrasi, serta menuntaskan permasalahan Timor Timur. Semua kebijakannya dilakukan dalam kerangka demokratisasi Indonesia. Oleh karena itu, menurut Bilveer Singh, profesor ilmu politik dari National University of Singapore, jika Sukarno disebut sebagai “Bapak Kemerdekaan Bangsa” dan Soeharto sebagai “Bapak Pembangunan Nasional”, maka Habibie adalah “Bapak Demokrasi Indonesia”.

BACA JUGA Biografi B.J. Habibie, Si Jenius dari Parepare atau artikel Prima Sulistya lainnya.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA