Jelaskan pemeliharaan yang dilakukan orang Melayu melalui alat alat tangkap yang digunakan

Lukah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan alat untuk menangkap ikan (seperti bubu) yang dipasang di dalam air yang tidak berapa dalam. Lukah terbuat dari bambu atau rotan untuk menjerat ikan. Lukah dilengkapi tutup lukah yang akan menutup secara otomatis ketika ada ikan yang terjebak masuk ke dalam lukah.

Lukah dari bambu bambu dibuat dengan sedemikian rupa membentuk silinder dengan panjang 1,5 meter dan dengan diameter 30 cm. Cara menangkap ikan dengan alat ini yaitu dengan meletakkan lukah di jalur yang biasa dilalui ikan. Alat ini hanya bisa digunakan di sungai-sungai kecil. Setelah lukah diletakkan di tempat yang strategis kemudian lukah didiamkan selama satu malam/hari, keesokan harinya baru diambil.

Cara membuat lukah, yakni: pertama, siapkan batang bambu, bilah menjadi potongan potongan kecil sepanjang satu meter atau sesuai dengan panjang bubu ikan yang diinginkan. Kedua, potongan bambu tersebut di bilah kecil kecil dan di haluskan menggunakan pisau. Ketiga, rangkai Bilah Bilah bambu dan di anyam menggunakan tutus bambu atau tali Setelah dianyam dan dirangkai maka jadilah lukah.

Di Riau, dari alat menangkap ikan ini, lahirlah permainan lukah gilo. Lukah gilo adalah permainan dari suku Bonai Ulak Patian, Kabupaten Rokan Hulu. Lukah gilo merupakan perpaduan dari gerak dan ilmu kebatinan yang dimainkan pada acara-acara tertentu yang bersifat ritual bentuk permainannya memakai alat yang disebut lukah. Kemudian lukah itu dipegang bersama-sama, sambil membacakan mantra-mantra oleh salah seorang dari mereka sampai terasa lukah itu bergerak dengan sendirinya dengan sangat kuatnya hingga waktuyang ditentukan oleh tukang mantra. Lukah gilo ditetapkan jadi Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) 2018 dari Riau. **

  • Bubu atau wuo, nama atau belutu dalam bahasa Lamaholot dan bahasa Nagi  di Kabupaten Flores Timur, NTT,  sejak dahulu familiar digunakan masyarakat pesisir menangkap ikan-ikan karang di dasar laut
  • Bubu dianyam berbentuk persegi mempergunakan bahan bilah bambu kuning yang diiris tipis dan terdapat lubang berbentuk kerucut di bagian belakangnya sebagai tempat ikan masuk ke dalam bubu
  • Sebagai sarana penangkapan ikan secara tradisional dan ramah lingkungan,bubu disarankan dipasang dengan pemberat dari batu yang diambil di daratan bukan batu karang di dasar laut serta diletakan di pasir bukan di atas karang
  • Ikan-ikan karang berukuran kecil, ikan hias serta ikan yang dilindungi dan terperangkap di dalam bubu oleh masyarakat dilepas kembali agar bisa berkembangbiak

Sejak dahulu, masyarakat di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) menggunakan alat tangkap ikan tradisional dan ramah lingkungan bernama Bubu.

Bubu dengan nama lokal wuo, nama atau belutu biasanya diletakkan di dasar laut berkedalaman 5-7 meter di sekitar terumbu karang dengan pemberat batu untuk menangkap ikan-ikan yang tergolong dalam famili Serranidae, Lutjanidae, Lethrinidae, Acanthuridae, Mullidae, Siganidae, Haemullidae, Labridae, Nemipteridae, Carangidae dan Sphraenidae.

Keberadaan bubu mulai hilang seiring perkembangan jaman dan muculnya alat tangkap modern. Namun, bubu mulai dihidupkan kembali anak muda dari Desa Pamakayo, Kecamatan Solor Barat, Flores Timur, yaitu Koli Tukan (60) dan Lois Lewar (49).

Pagi itu di awal Juli, mereka membawa 10 buah bubu dengan mobil pick up ke pantai berbatu di desanya. Dengan cekatan, mereka mengikat batu sebagai pemberat di keempat sudut bubu bagian bawah.

“Sejak jaman dahulu, nenek moyang kami sering memasangnya dengan cara menyelam dan melepaskannya di dasar laut. Bagian atasnya ditaruh bebatuan sebagai pemberat agar bubu tidak bergeser terkena ombak dan arus laut,” kata Koli Tukan.

baca : Inilah Bubu Apung, Perangkap Ikan Tanpa Merusak Karang

Warga Desa Pamakayo Kecamatan Solor Barat Kabupaten Flores Timur,NTT, sedang mengikat batu sebagai pemberat pada bubu sebelum dilepaskan ke laut. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

Bubu berbentuk persegi dengan bagian depan berbentuk segitiga, kata Koli, dibuat dari bilah bambu kuning (Bambusa vulgaris). Bagian depan bubu terdapat lubang yang dibuat berbentuk kerucut. Ikan akan masuk melalui lubang kerucut yang lebar di bagian depan dan mengecil di bagian ujungnya sehingga sulit keluar lagi.

Setelah ditaruh di dasar laut, bubu itu juga diikat dengan batang bambu yang membentuk semacam pagar. Potongan bambu itu bakal ditarik keatas untuk mengeluarkan ikan dari bubu.

“Hanya orang-orang khusus yang menganyamnya sebab harus sabar dan  tidak boleh emosi. Hati kita juga harus bersih, tidak boleh bermusuhan dengan orang lain karena pembuatnya harus menjaga kepercayaan pembeli sehingga tidak asal mengerjakannya saja,” sebut Lois Lewar.

Sebelum bubu dilepas ke laut, Lori dan Lois membuat seremonial adat. Keduanya menyiapkan sirih pinang, tembakau, daun Koli untuk dilinting menjadi rokok serta kelapa muda.

Lori mengunyah sirih pinang dan meniup di bagian lubang kerucut serta di seluruh bagian bubu. Satu buah kelapa muda diambil airnya untuk dipercikkan di seluruh bagian bubu.

“Kami membuat sejo dingin atau pendinginan sebab saat pembuatannya, mungkin ada binatang yang lewat dan menginjaknya sehingga saat mau digunakan harus dibuat sejo dingin,” ungkap Lori.

Lois menambahkan, pendinginan lazim dikerjakan sebab bubu dipergunakan untuk mencari uang agar bisa mendatangkan hasil. Dirinya katakan,ritual ini sama ketika membeli mobil baru yang hendak dipergunakan atau benda lainnya.

baca juga : Di Pulau Solor, Bom Ikan Berganti Lumbung Ikan Desa, Bagaimana Hasilnya?

Seorang nelayan bersiap melepas kembali bubu di perairan Laut Sawu Desa Pamakayo, Kecamatan Solor Barat, Kabupaten Flores Timur, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

Ramah Lingkungan

Kenapa bubu dipergunakan lagi untuk menangkap ikan? Rupanya bubu-bubu tersebut milik Yakobus Mikhael Krizik Basa Lewar (47) putera asli Desa Pamakayo.

Diajak berbincang di sela-sela kesibukan mempersiapkan bubu, Yamin sapaannya menjelaskan selepas mengundurkan diri dari tenaga kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Flores Timur, dia mulai menjual pisang dan babi hingga ke Pulau Sumba.

Yamin melihat banyak mobil pick up dari Larantuka menjual ikan hingga ke Pulau Flores bagian barat bahkan hingga ke Pulau Sumba. Menurutnya, kalau usaha di laut tidak ada kapling atau batasan. Ini yang membuatnya terjun berusaha di sektor kelautan.

“Saya berpikir saatnya saya bekerja di laut. Dengan latar belakang pendidikan kesehatan, saya melihat banyak orang tua di kampung yang sakit kolesterol dan asam urat  banyak mengkonsumi ikan pelagis,” ungkapnya.

Lulusan S1 Keperawatan Universitas Indonesia (UI) ini pun berpikir ikan dasar laut dan ikan karang bisa lebih aman dikonsumsi. Apalagi harga ikan jenis itu tinggi di Pulau Sumba sehingga bisa menjadi peluang usaha.

Yamin memilih bubu untuk menangkap ikan karena lebih ramah lingkungan dan tidak merusak ekosistem laut. Karena tidak berpengalaman sebagai nelayan, dia belajar otodidak.

“Kami tidak mengambil batu karang di laut untuk pemberat yang diikat di bubu tetapi menggunakan batu di darat. Meletakkan bubu juga di pasir sehingga tidak merusak karang,” sebutnya.

Deretan bubu diletakkan di dasar laut berjarak minimal 20 meter. Ujung tali diikat pelampung dari botol minuman bekas sebagai penanda. Yamin merasakan dilema memasang pelampung, sebab terkadang ada orang ikut memanen bubunya bila terlambat diambil karena ada penanda sehingga mudah ditemukan.

“Bubu sering bergeser diterpa gelombang dan arus laut sehingga bila tidak ada pelampung maka kami kesulitan mencarinya. Meskipun bubu dipasang dengan jarak 5 sampai 7 meter kadang sulit terlihat saat laut bergelombang,” ucapnya.

perlu dibaca : Pengebom Ikan Ditangkap di Flores Timur. Diduga Ada Jaringan Terorganisir

Bubu yang baru dibeli dan telah dipasang pemberat dan siap dilepas di perairan di pantai utara Pulau Solor, Kabupaten Flores Timur, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

Melepas Ikan

Perahu motor tempel 2 GT  berbahan kayu pun melaju pelan. Tak jauh dari bibir pantai berbatu hitam, satu per satu bubu diangkat ke perahu. Bilah bambu pada pagar bubu dilepas dan ikan yang masih bergerak pun dikeluarkan lalu diletakan di dasar perahu.

Setelah memperhatikan bubu,Y amin katakan banyak ikan yang keluar karena terlalu banyak ikan di dalamnya. Seharusnya 2 hari sekali bubu diangkat namun karena sudah 3 hari maka bubu dipenuhi ikan kerapu, kakap, lencam, kurisi, ekor kuning, baronang, pakol dan lainnya.

Ikan-ikan kecil dengan lebar 2 hingga 3 jari orang dewasa dilepasnya kembali ke laut. Ikan-ikan hias beraneka warna pun ikut dilepas. Yamin beralasan ikan tersebut terlalu kecil sehingga dibiarkan berkembangbiak.

“Sementara ada 42 bubu yang terpasang dan sedang ditambah menjadi 100 buah. Bila jumlahnya 100, maka setiap hari panen 35 bubu apalagi saat ini tidak ada penangkapan ikan menggunakan racun dan bom sehingga produksi ikan melimpah,” ungkapnya.

Yamin mengaku bisa mendapatkan uang minimal Rp500.000 sampai Rp1 juta setiap hari. Ia yakin usaha di laut pasti orang lain akan menghormati apalagi budaya di masyarakat etnis Lamaholot dimana pamali atau pantang  mengambil apa yang bukan miliknya.

Ikan karang hasil tangkapan menggunakan bubu yang dipasang di perairan pantai utara Pulau Solor Desa Pamakayo, Kecamatan Solor Barat, Kabupaten Flores Timur, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

Kepala Bidang Perijinan Usaha dan Pengawasan Sumber Daya Perikanan Dinas Perikanan Kabupaten Flores Timur, Apolinardus Y.L. Demoor kepada Mongabay Indonesia, awal Juli mengatakan bubu atau belutu memang masih digunakan.

Alat tangkap tradisional ini, katanya tergolong ramah lingkungan, asalkan pemasangannya tidak merusak karang karena biasanya batu sebagai pemberat menggunakan karang.

“Biasanya untuk membuat bubu tidak bergerak dari tempatnya, masyarakat sering meletakan baru di atasnya agar tidak terseret arus.Kalau pergunakan batu di darat tidak masalah asal jangan mengambil di dalam laut.Meletakan bubu juga jangan di atas karang karena akan merusak karang,” pungkasnya.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA