Jelaskan Apa yang kalian ketahui Tentang pembagian yang dilakukan Sultan Agung

Lihat Foto

kebudayaan.jogjakota.go.id

Sultan Agung, Raja Mataram Islam yang membawa ke puncak kejayaan.

KOMPAS.com - Sultan Agung atau yang bernama asli Raden Mas Jatmika memerintah Kesultanan Mataram sejak 1613-1645.

Pada masa kepemimpinannya, Kerajaan Mataram Islam berhasil mencapai punjak kejayaan.

Sultan Agung juga dikenal sebagai raja yang besar perjuangannya dalam melawan bangsa penjajah.

Salah satu upaya Sultan Agung dalam memerangi penjajah adalah dengan menyerang Belanda di Batavia.

Selain perjuangan yang sudah dilakukan oleh Sultan Agung dalam bidang militer untuk melawan Belanda, ia menjadi raja terkenal Kerajaan Mataram Islam karena berbagai kebijakan yang diterapkan.

Lantas, apa saja kebijakan Sultan Agung selama memerintah Kesultanan Mataram?

Baca juga: Mengapa Serangan Sultan Agung ke Batavia Mengalami Kegagalan?

Pembagian tanah

Salah satu kebijakan yang dilakukan oleh Sultan Agung ketika memerintah Mataram Islam adalah melakukan pembagian tanah.

Di Kesultanan Mataram, raja memiliki kewenangan tertinggi dalam pemerintahan, yang berkuasa penuh dalam mengatur segala isi yang ada di wilayah kerajaan.

Dengan besarnya tanggung jawab yang diemban seorang raja, Sultan Agung bersikap bijak dan adil terhadap rakyatnya.

Oleh sebab itu, Sultan Agung membagi tanah berdasarkan lingkaran wilayah kekuasaannya, yaitu:

  • Tanah Narawita: tanah yang ada langsung di bawah kekuasaan raja
  • Tanah Lungguh: tanah yang didistribusikan kepada para bangsawan sebagai tanah gaji
  • Tanah Perdikan: tanah desa yang di dalamnya ada bangunan suci kerajaan seperti tempat ibadah dan makam

Baca juga: Perjuangan Sultan Agung di Batavia

Cover Buku Tematik Tema 5 Kelas 4 SD/MI Buku Siswa Tematik Terpadu Kurikulum 2013 edisi revisi 2017 - Berikut ini jawaban soal Apa yang kamu ketahui tentang Sultan Agung?

TRIBUNNEWS.COM - Berikut ini jawaban soal "Apa yang kamu ketahui tentang Sultan Agung?"

Pertanyaan "Apa yang kamu ketahui tentang Sultan Agung?" ada di Tema 5 Subtema 2 Pembelajaran 3 Kelas 4 SD/MI Buku Siswa Tematik Terpadu Kurikulum 2013 edisi revisi 2017 halaman 74.

Buku Tematik Kelas 4 SD Tema 5 edisi revisi 2017 berjudul Pahlawanku.

Kemudian, Subtema 2 Buku Tematik berjudul Pahlawanku Kebanggaanku.

Artikel ini berisi kunci jawaban soal pembelajaran 3 di halaman 71, 72, 73 dan 74.

Baca juga: Kunci Jawaban Tema 5 Kelas 2 Halaman 55 57 60 61 62 63 64 Tematik SD Subtema 1 Pembelajaran 6

Baca juga: Kunci Jawaban Tema 5 Kelas 4 Halaman 15 16 17 18 20 Buku Tematik Subtema 1 Pembelajaran 2

Sebelum melihat kunci jawaban, siswa dapat terlebih dahulu memahami soal kemudian menjawabnya sendiri.

Kunci jawaban pada artikel ini digunakan sebagai panduan oleh orang tua untuk mengoreksi pekerjaan anak.

Berikut ini kunci jawaban Tema 5 kelas 4 SD halaman 71 - 74 Subtema 2: Pahlawanku Kebanggaanku

Halaman 71

Perhatikan gambar berikut. Jika terjadi cedera luka dan melepuh, apa yang harus dilakukan? Diskusikan!

Halaman 71 Buku Tematik Tema 5 Kelas 4 SD.

Di dalam struktur pemerintahan Mataram, raja memegang kekuasaan tertinggi, kemudian diikuti oleh sejumlah pejabat yang diserahi tugas-tugas tertentu. Jabatan-jabatan di bawah raja ada hubungannya dengan pembagian wilayah. Wilayah kekuasaan Mataram dibagi menjadi beberapa kesatuan wilayah dengan keraton sebagai pusatnya.

  1. Wilayah Kutanegara atau Kutagara, yaitu wilayah ibu kota kerajaan yang meliputi istana raja.
  2. Wilayah Negara Agung, yaitu wilayah yang mengitari Kutanegara.
  3. Wilayah Mancanegara, yaitu wilayah yang berada di luar Negara Agung tetapi tidak termasuk wilayah pantai. Wilayah ini dibagi menjadi dua, yaitu Mancanegara Wetan yang meliputi Jawa Timur sekarang dan Mancanegara Kilen yang meliputi Jawa Tengah sekarang.
  4. Wilayah Pesisiran, yaitu wilayah yang terletak di daerah pantai utara Jawa. Wilayah ini dibagi dua, yaitu Pesisiran Wetan dan Pesisiran Kilen yang dibatasi oleh Sungai Serang yang mengalir di antara Demak dan Jepara.

Adapun jabatan pemerintahan di bawah raja dibagi menjadi dua jabatan pokok.

  1. Jabatan di dalam istana, dipegang oleh empat wedana lebet (wedana dalam) yaitu wedana gedong kiwa dan wedana gedong tengen yang bertugas mengurus keuangan dan perbendaharaan istana, serta wedana keparak kiwa dan wedana keparak tengen yang bertugas mengurus keprajuritan dan pengadilan. Keempat wedana dalam ini dikoordinasi oleh patih dalam (patih lebet). Untuk urusan pemerintahan di Kutanegara, raja mengangkat dua orang tumenggung. Baik wedana dalam maupun tumenggung, keduanya termasuk anggota Dewan Tertinggi Kerajaan.
  2. Jabatan di luar istana ada tiga, yaitu jabatan di wilayah Negara Agung, jabatan di wilayah Mancanegara, dan jabatan di wilayah Pesisiran. Wilayah Negara Agung terbagi menjadi delapan yang masing-masing dikepalai oleh wedana jawi (wedana luar). Kedelapan wedana luar ini dikoordinasi oleh patih luar (patih jawi). Wilayah Mancanegara, baik wetan maupun kilen, masing-masing dikepalai oleh wedana bupati, sama seperti di wilayah Mancanegara. Selain bergelar tumenggung atau adipati, wedana bupati di wilayah Pesisiran juga bergelar Kiai Demang atau Kiai Ngabehi.

Di bidang pengadilan, terdapat jabatan jeksa yang berhak mengemukakan bukti dan mengajukan tuntutan. Adapun yang berhak mengadili adalah raja. Sementara itu, pejabat-pejabat seperti wedana dan bupati tidak mendapat gaji, tetapi mereka mendapat hak tanah gaduhan sebagai tanah lungguh. Untuk menciptakan ketertiban di seluruh kerajaan diciptakan peraturan-peraturan yang dinamakan angger-angger. Angger-angger ini harus ditaati oleh seluruh penduduk.


Berdasarkan penjelasan di atas maka jawabannya adalah Wilayah Mancanegara, wilayah ini dibagi menjadi dua, yaitu Mancanegara Wetan yang meliputi Jawa Timur sekarang dan Mancanegara Kilen yang meliputi Jawa Tengah sekarang.

Untuk film, lihat Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta.

Sultan Agung dari Mataram (bahasa Jawa: ꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤ꧀ꦲꦒꦸꦁꦲꦢꦶꦥꦿꦧꦸꦲꦚꦏꦿꦏꦸꦱꦸꦩ; lahir di Kutagede, Mataram, 1593 – meninggal di Karta, Mataram, 1645) adalah sultan Mataram ketiga yang memerintah dari tahun 1613-1645. Seorang sultan sekaligus senapati ing ngalaga (panglima perang) yang terampil ia membangun negerinya dan mengkonsolidasikan kesultanannya menjadi kekuatan teritorial dan militer yang besar.

Anyakrakusuma
ꦲꦚꦏꦿꦏꦸꦱꦸꦩSultan Agung
Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarani al-Jawi

Potret anumerta Sultan Agung

Sultan Mataram

ke-3

Berkuasa1613–1645 (32 tahun berkuasa)Naik takhta1613; 408 tahun lalu (1613)MenggantikanPangeran MartapuraPenerusAmangkurat I

LahirRaden Mas Jatmika
1593
Kutagede, MataramWafat1645
Karta, MataramPemakaman

Astana Kasultan Agungan

WangsaMataramNama takhtaNama anumerta
Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan Agung Adi Prabu Anyakrakusuma Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawi
Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarani al-Jawi
AyahAnyakrawatiIbuDyah Banawati (Ratu Mas Adi)PermaisuriRatu Kulon (pertama)
Ratu Wetan (kedua)Bahasa JawaꦲꦚꦏꦿꦏꦸꦱꦸꦩAgamaIslamPahlawan Nasional Indonesia
S.K. Presiden No. 106/TK/1975 tanggal 3 November 1975.

Perangko Republik Indonesia cetakan tahun 2006 edisi Sultan Agung.

Sultan Agung atau Susuhunan Agung (secara harfiah, "Sultan Besar" atau "Yang Dipertuan Agung") adalah sebutan gelar dari sejumlah besar literatur yang meriwayatkan karena warisannya sebagai raja Jawa, pejuang, budayawan dan filsuf peletak pondasi Kajawen. Keberadaannya mempengaruhi dalam kerangka budaya Jawa dan menjadi pengetahuan kolektif bersama. Sastra Belanda menulis namanya sebagai Agoeng de Grote (secara harfiah, "Agoeng yang Besar").

Atas jasa-jasanya sebagai pejuang dan budayawan, Sultan Agung telah ditetapkan menjadi pahlawan nasional Indonesia berdasarkan S.K. Presiden No. 106/TK/1975 tanggal 3 November 1975.[1]

Nama asli dari Sultan Agung adalah Raden Mas Jatmika. Selain itu, ia juga dikenal dengan nama Raden Mas Rangsang. Dia adalah putra dari Prabu Anyakrawati dan Ratu Mas Adi Dyah Banawati. Ayahnya adalah raja kedua dari Kesultanan Mataram. Sedangkan ibunya adalah putri dari Pangeran Benawa, raja terakhir dari Kesultanan Pajang.[2]

Versi lain mengatakan bahwa Sultan Agung adalah putra Raden Mas Damar (Pangeran Purbaya), cucu Ki Ageng Giring. Dikatakan bahwa Pangeran Purbaya menukar bayi yang dilahirkan oleh istrinya dengan bayi yang dilahirkan oleh Dyah Banawati. Versi ini adalah pendapat minoritas yang kebenarannya harus dibuktikan.

Sultan Agung memiliki dua permaisuri utama yang merupakan tradisi Kesultanan Mataram. Kedua permaisuri ini disebut Ratu Kulon dan Ratu Wetan. Ratu Kulon merupakan putri dari sultan Kesultanan Cirebon. Sedangkan Ratu Wetan merupakan putri dari Adipati Batang sekaligus cucu Ki Juru Martani.[3] Nama asli Ratu Kulon adalah Ratu Mas Tinumpak. Ia melahirkan Raden Mas Syahwawrat yang dikenal sebagai Pangeran Alit. Sedangkan nama asli dari Ratu Wetan adalah Ratu Ayu Batang. Ia melahirkan Raden Mas Sayyidin yang dikenal sebagai Amangkurat I.[butuh rujukan]

Dari permaisurinya, Sultan Agung memiliki 9 anak :[butuh rujukan]

  1. Raden Mas Syahwawrat alias Pangeran Alit
  2. Raden Mas Kasim alias Pangeran Demang Tanpa Nangkil
  3. Pangeran Rangga Kajiwan
  4. Raden Bagus Rinangku
  5. GRAy. Winongan
  6. Pangeran Ngabehi Loring Pasar
  7. Raden Mas Sayyidin alias Pangeran Arya Mataram (kemudian bergelar Amangkurat I)
  8. GRAy. Wiramantri
  9. Raden Mas Alit alias Pangeran Danupaya

Di awal pemerintahannya, Raden Mas Jatmika bergelar Susuhunan Anyakrakusuma dan dikenal juga sebagai Panembahan Anyakrakusuma atau Prabu Pandita Anyakrakusuma. Setelah menaklukkan Madura pada tahun 1624, ia mengubah gelarnya sebagai Susuhunan Agung Adi Prabu Anyakrakusuma, atau Sunan Agung. Gelar sultan, baru didapatkan Sunan Agung ketika ia mengirim utusan kepada syarif Makkah.[4]

Pada 1641, setelah utusan Sunan Agung tiba di Mataram, mereka menganugrahkan gelar sultan melalui perwakilan syarif Makkah, Zaid ibnu Muhsin Al Hasyimi. Gelar tersebut adalah Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarani al-Jawi,[5][4] disertai kuluk untuk mahkotanya, bendera, pataka, dan sebuah guci yang berisi air zamzam. Guci yang dulunya berisi air zamzam itu kini ada di makam Astana Kasultan Agungan di Imogiri dengan nama Enceh Kyai Mendung.

Sultan Agung menjadi sultan dari Kesultanan Mataram pada tahun 1613 M. Masa pemerintahannya berlangsung hingga tahun 1645 M.[6] Ia naik takhta untuk menggantikan posisi dari Pangeran Martapura.[7] Sultan Agung ketika menjadi raja baru berusia 20 tahun.[8] Pangeran Martapura merupakan saudara tirinya yang menjadi Sultan Mataram ketiga selama satu hari. Sultan Agung secara teknis adalah sultan Mataram keempat, tetapi ia umumnya dianggap sebagai sultan ketiga, karena penobatan saudara tirinya yang tunagrahita hanya untuk memenuhi janji ayahnya kepada istrinya, Ratu Tulungayu, ibu Pangeran Martapura.[butuh rujukan]

Pada tahun kedua pemerintahan Sultan Agung, Patih Mandaraka meninggal karena usianya sudah tua, dan posisinya sebagai patih diduduki oleh Tumenggung Singaranu.[butuh rujukan]

Ibu kota Mataram pada era penobatannya masih berada di Kutagede. Pada 1614, sebuah istana baru dibangun di Karta, sekitar 5 km di barat daya Kutagede, yang mulai ditempati 4 tahun kemudian.[butuh rujukan]

Kepahlawanan

Informasi lebih lanjut: Penyerbuan di Batavia

 

Penyerbuan di Batavia oleh Sultan Agung pada tahun 1628.

Pendudukan Belanda di ujung barat Jawa, sepanjang Banten, dan pemukiman Belanda di Batavia merupakan wilayah di luar kendali Sultan Agung. Dalam upayanya mempersatukan Jawa, Sultan Agung menyatakan Banten yang secara historis sebagai daerah bawahan Demak dan Cirebon. Namun, semenjak kedatangan Belanda, mereka berdaulat atas Banten. Klaim itu mendesak Sultan Agung untuk melancarkan penaklukan militer sebagai upaya untuk mengambil alih Banten dari pengaruh Belanda. Namun, jika Sultan Agung menempatkan baris pasukannya ke Banten, kota pelabuhan Batavia akan berdiri sebagai lawan potensial terlalu dekat dengan kedekatan wilayah Banten. Sultan Agung menganggap keberadaan Belanda di Batavia sebagai ancaman terhadap hegemoni Mataram, sehingga mengharuskan alasan lebih lanjut untuk menempatkan pasukan Mataram di Batavia.[9]

Pada 1628, Sultan Agung dan pasukan Mataram mulai menyerbu Belanda di Batavia.[10] Tahap awal kampanye melawan Batavia terbukti sulit karena kurangnya dukungan logistik untuk pasukan Mataram.

Sultan Agung kembali menyerang Batavia untuk kedua kalinya pada tahun berikutnya. Pasukan pertama dipimpin Dipati Ukur berangkat pada bulan Mei 1629, sedangkan pasukan kedua dipimpin Adipati Juminah berangkat bulan Juni. Total semua 14.000 orang prajurit. Kegagalan serangan pertama diantisipasi dengan cara mendirikan lumbung-lumbung beras tersembunyi di Karawang dan Cirebon. Namun pihak Belanda yang menggunakan mata-mata berhasil menemukan dan memusnahkan semuanya. Hal ini menyebabkan pasukan Mataram kurang perbekalan, ditambah wabah penyakit malaria dan kolera yang melanda mereka, sehingga kekuatan pasukan Mataram tersebut sangat lemah ketika mencapai Batavia.[11]

Serangan kedua Sultan Agung ini berhasil membendung dan mengotori sungai Ciliwung, yang mengakibatkan timbulnya wabah penyakit kolera melanda Batavia. Gubernur jenderal Belanda yaitu J.P. Coen meninggal menjadi korban wabah tersebut.

Perkembangan bedaya sebagai tarian sakral, gamelan dan wayang dikaitkan dengan pencapaian artistik Sultan Agung sebagai budayawan. Beberapa bukti tertulis berasal dari sejumlah kecil dalam catatan Belanda.[12] Namun dalam tutur cerita rakyat yang kompleks, menyebutkan Sultan Agung dengan berbagai bidang pencapaiannya jauh lebih besar. Sultan Agung juga dikenal sebagai pendiri kalender Jawa yang masih digunakan hingga saat ini. Selain itu, Sultan Agung telah menulis karya sastra berjudul Serat Sastra Gendhing, yang terdiri dari Pupuh Sinom (14 pada), Pupuh Asmaradana (11 pada), Pupuh Dandanggula (17 pada), dan Pupuh Durma (20 pada) membahas mengenai filosofi hubungan sastra dan gendhing. Ajaran-ajaran mengenai hubungan kosmis, yakni antara manusia dengan Tuhan. Menyatukan sastra dan bunyi gendhing.

Di lingkungan karaton Mataram, Sultan Agung membentuk bahasa standar yang disebut bahasa Bagongan, digunakan oleh para bangsawan dan pejabat Mataram untuk menghilangkan kesenjangan di antara para bangsawan dan keluarga raja. Bahasa itu diciptakan untuk membentuk persatuan antara pejabat karaton.

Pengaruh politik feodal Sultan Agung menjadikan diberlakukannya penggunaan tingkatan bahasa di wilayah Jawa Barat, ditandai dengan penciptaan bahasa yang disempurnakan yang sebelumnya hanya dikenal di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Lamun sira tinitah bupati anggea ambek kasudarman den dadi surya padhane sumadya lwir ramu mungwing cala lumawan ening mwang kadi ta samudra pamotireng tuwuh rehing amawi santana wruhanira lwir warsa taru rata nglih mangsaning labuh kapat

Serat Nitipraja karya Sultan Agung

Namun warisan utama Sultan Agung terletak pada reformasi administrasi yang ia lakukan di wilayah otoritasnya. Ia menciptakan struktur administrasi yang inovatif dan rasional.[13] Dia menciptakan "provinsi" dengan menunjuk orang sebagai Adipati sebagai kepala wilayah Kadipaten, khususnya wilayah-wilayah di bagian barat Jawa, di mana Mataram menghadapi Belanda di Batavia. Sebuah kabupaten seperti Karawang, misalnya, diciptakan ketika Sultan Agung mengangkat pangeran Kertabumi sebagai adipati pertamanya pada 1636.

Di masa ketika Belanda menguasai Nusantara, mereka mempertahankan struktur administrasi yang diwarisi oleh Sultan Agung. Di bawah pemerintahan Hindia Belanda di Nusantara, oleh mereka kabupaten disebut regentschappen. Gelar bupati umumnya terdiri atas nama resmi, misalnya "Sastradiningrat" dalam kasus Karawang, didahului oleh "Raden Aria Adipati", maka "Raden Aria Adipati Sastradiningrat" (disingkat menjadi RAA Sastradiningrat). Kata adipati bertahan dalam sistem pemerintahan kolonial.

Setelah kemerdekaan pemerintah Indonesia mempertahankan istilah Kabupaten tetapi membubarkan residen pada tahun 1950-an, sehingga kabupaten menjadi subdivisi administratif langsung di bawah provinsi. Undang-undang tentang otonomi daerah yang diundangkan pada tahun 1999 memberikan otonomi tingkat tinggi kepada kabupaten, bukan kepada provinsi. Warisan Sultan Agung juga diakui oleh pemerintah Indonesia hingga saat ini.

Sultan Agung dihormati di Jawa secara kontemporer baik perjuangannya membela tanah air, warisan tradisi atau budaya yang ia sumbangkan untuk negara. Di era presiden Soekarno ia dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.

  1. ^ Said, Julinar & Wulandari, Triana (1995). Ensiklopedi Pahlawan Nasional. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  2. ^ Hariyanto (2018). "Gerakan Dakwah Sultan Agung: Arti Penting Perubahan Gelar Sultan Agung Terhadap Gerakan Dakwah di Jawa pada Tahun 1613 M - 1645 M". Jurnal Al-Bayan. 24 (1): 129–130. 
  3. ^ Jalaludin, Ghulam, Z., dan Ghofur, A. (2021). "Analisis Wacana Strategi Dakwah Sultan Agung Adi Prabu Hanyokrokusumo". Dakwatuna: Jurnal Dakwah dan Komunikasi Islam. 7 (1): 64. ISSN 2443-0617. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  4. ^ a b Ricklefs, M.C. (2008). A History of Modern Indonesia Since c. 1200. Palgrave. 
  5. ^ Ooi, Keat Gin (2004). Southeast Asia: A Historical Encyclopedia. ABC-CLIO. 
  6. ^ Septriani, L. D., Wahyuni, A., dan Purnomo, B. (2020). "Analisis Karakter Cinta Tanah Air melalui Novel Berjudul Sultan Agung: Tonggak Kokoh Bumi Mataram" (PDF). Literacy : Jurnal Ilmiah Sosial. 2 (2): 66. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  7. ^ Sekretaris Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta (2017). Sejarah Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta (PDF). Yogyakarta: Biro Tata Pemerintah, Sekretaris Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta. hlm. 17.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  8. ^ Maharsi (2016). "Sultan Agung: Simbol Kejayaan Kasultanan Islam Jawa" (PDF). Jurnal Riset Daerah. XV (2): 2475. 
  9. ^ Soekmono. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3. Kanisius. hlm. 60. 
  10. ^ "Mataram, Historical kingdom, Indonesia". Encyclopædia Britannica. Diakses tanggal 4 Agustus 2020. 
  11. ^ Soekmono. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3. Kanisius. hlm. 61. 
  12. ^ Sumarsam. Gamelan: Cultural Interaction and Musical Development in Central Java. Chicago: University of Chicago Press, 1995. Page 20.
  13. ^ Bertrand, Romain, Etat colonial, noblesse et nationalisme à Java, Paris, 2005

  • M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
  • Moedjianto. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius
  • Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
  • Pogadaev, V. A. Sultan Agung (1591 - 1645). The Ruler of the Javanese Kingdom; Kris – the sacred weapon of Java; On the Pirates Ship. Istorichesky Leksikon. XVII vek (Historical Lexicon. XVII Century). Moscow: “Znanie”, 1998, p. 20 - 26.
  • Gelar kebangsawanan Jawa
  • Kesultanan Mataram
  • Amangkurat
Gelar

Sultan Agung dari Mataram

Wangsa Mataram

Lahir: 1593 Wafat: 1645
Didahului oleh:
Anyakrawati
Sultan Mataram
1613 ‒ 1645
Diteruskan oleh:
Amangkurat I

Diperoleh dari "//id.wikipedia.org/w/index.php?title=Sultan_Agung_dari_Mataram&oldid=21244102"

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA