Hal hal apa saja yang menjadi sasaran penting dalam kajian feminisme?

KAJIAN FEMINISME DALAM NOVEL

Pendekatan feminisme dalam kajian sastra sering dikenal dengan kritik sastra feminisme. Feminis menurut Ratna (2009) berasal dari kata femme yang berarti perempuan. Sugihastuti (2005) berpendapat bahwa feminisme adalah gerakan persamaan antara laki-laki dan perempuan di segala bidang baik politik, ekonomi, pendidikan, sosial dan kegiatan terorganisasi yang mempertahankan hak-hak serta kepentingan perempuan.  Feminisme juga menurut Sugihastuti merupakan kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, baik di tempat kerja dan rumah tangga. Feminisme berbeda dengan emansipasi, Sofia dan Sugihastuti (dalam Sugihastuti, 1995) menjelaskan bahwa emansipasi lebih menekankan pada partisipasi perempuan dalam pembangunan tanpa mempersoalkan hak serta kepentingan mereka yang dinilai tidak adil, sedangkan feminisme memandang perempuan memiliki aktivitas dan inisiatif sendiri untuk mempergukan hak dan kepentingan tersebut dalam berbagai gerakan.

Feminisme merupakan kajian sosial yang melibatkan kelompok-kelompok perempuan yang tertindas, utamanya tertindas oleh budaya partiarkhi. Feminisme berupa gerakan kaum perempuan untuk memperoleh otonomi atau kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri. Berupa gerakan emansipasi perempuan, yaitu proses pelepasan diri dan kedudukan sosial ekonomi yang rendah, yang mengekang untuk maju. Feminisme bukan merupakan upaya pemberontakan terhadap laki-laki, bukan upaya melawan pranata sosial, budaya seperti perkawinan, rumah tangga, maupun bidang publik. Kaum perempuan pada intinya tidak mau dinomorduakan, tidak mau dimarginalkan.

Sasaran penting dalam analisis feminis menurut Suwardi Endaswara (2008) adalah sedapat mungkin berhubungan dengan: (1) mengungkap karyakarya penulis wanita masa lalu dan masa kini; (2) mengungkap berbagai tekanan pada tokoh wanita dalam karya sastra yang ditulis oleh pengarang pria; (3) mengungkap ideologi pengarang wanita dan pria, bagaimana mereka memandang diri sendiri dalam kehidupan nyata; (4) mengkaji aspek ginokritik, memahami proses kreatif kaum feminis; dan (5) mengungkap aspek psikoanalisa feminis, mengapa wanita lebih suka hal yang halus, emosional, penuh kasih dan lain sebagainya.

Tujuan inti pendekatan feminisme menurut Djajanegara (2003) adalah meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan kedudukan serta derajat laki-laki. Perjuangan untuk meneapai tujuan ini menecakup beberapa cara, termasuk melalui bidang sastra. Karya sastra yang bernuasa feminis menurut Suwardi Endaswara dengan sendirinya akan bergerak pada emansipasi, kegiatan akhir. dari perjuangan feminis adalah persamaan derajat, yang hendak mendudukkan perempuan tidak sebagai objek. Maka kajian feminis sastra tetap memperhatikan masalah gender (Endraswara, 2008). Feminisme adalah sebuah pahan yang berusaha memahami ketertindasan terhadap perempuan, dan mencari upaya bagaimana mengatasi ketertindasan itu. Oleh karena itu, seorang feminis adalah seseorang yang berusaha memahami posisi terhadap perempuan dan berupaya mengatasinya.

Adapun dalam penelitian novel, feminisme lebih memfokuskan terhadap kedudukan wanita, pro-feminisme dan kontra-feminis, yang bertujuan untuk mendiskripsikan tentang perempuan. Di mana, Kedudukan Perempuan merupakan kesadaran terhadap nasib, cita-cita, dan hak membuat perempuan bangkit untuk memperjungkan kesetaraan yang menjadikannya sebagai perempuan kuasa. Perempuan kuasa dapat juga dideskripsikan sebagai perempuan yang menyadari bahwa ia mempunyai potensi yang sama dengan laki-laki dalam membangun negara dan masyarakat. Seperti yang terlihat sekarang ini banyaknya perempuan yang berhasil menduduki posisi atau kedudukan yang sama bahkan yang lebih penting dari laki-laki di salah satu instansiinstansi penting.

Arti sederhana kajian sastra feminis adalah pengkaji memandang sastra dengan kesadaran khusus, kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan kita. Jenis kelamin inilah yang membuat perbedaan di antara semuanya yang juga membuat perbedaan pada diri pengarang, pembaca, perwatakan, dan pada faktor luar yang mempengaruhi situasi karang-mengarang (Sugihasti, 2005).

Secara garis besar dijelaskannya bahwa Culler (dalam Sugihastuti) menyebutnya sebagai reading as a woman, membaca sebagai perempuan. Yang dimaksud “membaca sebagai perempuan” adalah kesadaran pembaca bahwa ada perbedaan penting dalam jenis kelamin pada makna dan perebutan makna karya sastra. Kesadaran pembaca dalam kerangka kajian sastra feminis merupakan kajian dengan berbagai metode. Kajian ini meletakkan dasar bahwa ada gender dalam kategori analisis sastra, suatu kategori yang fundamental. Inti tujuan feminisme adalah meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan kedudukan serta derajat laki-laki. Perjuangan serta usaha feminisme untuk mencapai tujuan ini mencakup berbagai cara. Salah satu caranya adalah memperoleh hak dan peluang yang sama dengan yang dimiliki laki-laki (Djajanegara, 2003).

Ketika membicarakan konsep feminis maka akan selalu ada hal yang disebut dengan konsep maskulinitas. Maskulinitas adalah bentuk karakterisasi laki-laki yang menganggap perempuan merupakan bagian dari laki-laki, hal ini terjadi karena laki-laki belajar mendefenisikan diri mereka bukan sebagai perempuan (Humm, 2002). Secara sederhana maskulinitas dapat disimpulakan sebagai sesuatu yang menunjukkan sifat lelaki.

Tujuan feminisme adalah meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan kedudukan serta derajat pria. Menurut Endaswara (2003), dominasi pria terhadap perempuan telah mempengaruhi kondisi sastra antara lain: (a) nilai dan konvensi sastra didominasi oleh kekuasaan pria, sehingga perempuan selalu berada pada posisi berjuang terus-menerus kearah kesetaraan gender, (b) perempuan selalu dijadikan objek kesenangan sepintas oleh lakilaki, (c) perempuan adalah figure yang menjadi bunga-bunga bangsa, sehingga sering terjadi tindak asussila pria, seperti pemerkosaan dan sejenisnya yang akan memojokan perempuan pada posisi lemah (Endraswara, 2008). Gerakan feminis adalah suatu gerakan untuk mendobrak tataran sosial secara keseluruhan terhadap nilai-nilai perempuan agar mendapatkan kedudukan dan derajat yang sama baik dalam bidang sosial politik, ekonomi, dan hukum seperti yang diperoleh oleh laki-laki selama ini.

Selanjutnya, Profeminis merupakan Istilah profeminis bagi kalangan feminis di Indonesia masih sangat baru dan belum terdengar akrab di telinga, itu pun baru bebrapa pergerakan feminisme dan belum sampai pada taraf studi yang intensif yang berupa pengembangan wacana yang kritis dan analisis sifatnya apalagi masalah feminis laki-laki (Arivia dalam Subono, 2001). Secara sederhana bisa dikatakan bahwa mereka adalah laki-laki yang secara aktif kesetaraan dan keadilan gender (Subono, 2001). Pandangan profeminis muncul karena adanya gerakan kaum feminisme yang menolak keterlibatan laki-laki dalam penyetaraan masalah gender.

Menurut Sofia dan Sugihastuti (2003), inti tujuan feminisme dengan kedudukan serta derajat perempuan agar sama sejajar dengan kedudukan serta derajat laki-laki. Laki-laki pun bias menjadi feminis jika sikap dan tingkah laku mereka menunjukkan sikap menghargai menghormati perempuan. Indikator individu maupun kelompok yang termasuk ke dalam profeminis adalah minat serta perjuangan terhadap persamaan hak dan kesetaraan gender antara lakilaki dan perempuan. Hal ini biasanya dapat dilihat secara konkret maupun usaha-usaha terselubung. Kontra Feminis adalah sebuah bentuk deskontruksi, ketika istilah profeminis, bearti akan ada paradoksal yang menyatakan kebalikan dalam hal ini biasa disebut kontra feminis. Hal ini merupakan bentuk dari oposisi biner. Kontra feminis merupkan kebalikan dari profeminis, jika profeminis mempunyai sifat menghargai terhadap perempuan, maka kontra feminis adalah sifat yang menentang perempuan. Secara sederhana kontra feminis dapat diartikan sebagai bentuk penentangan terhadap emansipasi perempuan (Sofia dan Sugihastuti, 2003).

Sikap laki-laki yang kontra feminis terlihat dari tingkah laku mereka yang tidak menghargai perempuan, bahkan cendrung semena-mena (Adian dalam Subono, 2001). Tokoh kontra feminis ini tidak mempunyai upaya untuk menyelamatkan perempuan atau bahkan menghargai perempuan, tokoh seperti ini hanya menginginkan keuntungan saja tanpa memperdulikan orang lain. Asal ia puas dan bahagia maka jalan apa saja akan ia tempuh. Sifat inilah yang membedakan antara tokoh feminis dan kontra feminis, namun seperti halnya tokoh laki-laki pun ada yang bersifat kontra feminis. Tokoh laki-laki yang bersifat seperti ini cendrung tidak menghargai sosok perempuan dan tidak mendukung ide-ide feminisme. Secara nyata tokoh laki-laki yang kontra feminis ini sangat menikmati keistimewaan yang melekat pada dirinya, bahkan ia tidak ingin keistimewaan itu hilang.

Sedangkan, kontra feminis muncul seiring dengan adanya budaya patriarki dalam masyarakat secara umum. Patriarki merupakan suatu sistem otoritas laki-laki yang menindas perempuan melalui institusi sosial (Humm, 2002). Patriarki merupakan sebuah sistem otoritas yang menempatkan laki-laki secara struktur berada di atas perempuan di dalam maupun di luar rumah. Bahkan patriarki dapat dinyatakan sebagai bentuk kontrol laki-laki terhadap reproduksi perempuan (Humm, 2002).

Menyikapi isu laki-laki feminis, kalangan feminis terbagi menjadi dua bagian yaitu mereka yang sepakat dan meraka yang kontra.

Mereka yang sepakat mengemukakan argumentasi sebagai berikut: pertama, terbukti bahwa dalam dua dekade belakangan ini lakilaki telah menjadi sekutu yang efektif dalam perjungan feminis, kedua, generasi muda feminis tidak merasakan perlunya melakukan segregasi gendre seperti yang dilakukan feminis generasi sebelumnya. Perubahan konteks sosio-historis memakasa mereka untuk menyadari pentingnya peran laki-laki dalam perjungan feminis, ketiga, tidak semua laki-laki merasa nyaman dengan statusnya sebagai penindas kemanusian. Laki-laki yang muak dengan status tersebut dan meninggalkan sebuah realasi sosial yang lebih satara dan manusiawi. Sebaliknya, mereka yang kontra memberi argumentasi sebagai berikut: Pertama, mereka menuduh laki-laki feminis sebagai mereka yang mempelajari habis-habisan femisme demi keuntungan sosial, akademis dan politik, kedua, mustahil seorang laki-laki menjadi feminis, laki-laki sudah terlampau lama menjadi warga kelas satu peradaban dengan segala keistimewaan, (Adian dalam Subono, 2001).

Laki-laki pun biasa menjadi feminis jika sikap mereka mau menunjukan penghormatan dan sikap menghargai terhadap perempuan. Hal ini yang paling sederhana jika laki-laki mau membantu perempuan ketika perempuan tersebut membutuhkan bantuanya. Mereka tidak segan-segan membantu. Dan sebaliknya, jika laki-laki menjadi kontra feminis, mereka tidak mempunyai upaya untuk menyelamatkan perempuan atau bahkan tidak menghargai perempuan. Mereka hanya menginginkan keuntungan saja tanpa memperdulikan orang lain. Sudah saatnya laki-laki dan perempuan. Mereka hanya menginginkan keuntungan saja tanpa bekerja sama dalam membangun agenda pemikiran dan aksi untuk menciptakan masyarakat yang bebas dari diskriminasi. Suatu tatanan kehidupan sosial masyarakat di mana laki-laki dan perempuan merasa aman dan terlindungi.

DAFTAR PUSTAKA

Djajanegara, Soedarjat. (2003). Kritik Sastra Feminis Sebuah Pengantar. Jakarta: Ikhar Mandiri.

Endraswara, Suwardi. (2003). Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka

Endraswara, Suwardi. (2008). Metodologi Penelitian Sastra. Ed. Revisi. Jakarta: MedPres.

Widyautama. Gamble, Sarah (eds). 2010. The Routledge Companion to Feminism and Postfeminism (Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme). Terjemahan Tim Penerjemah Jalasutra. Yogyakarta: Jalasutra.

Humm, Maggie. (2002). Ensklopedia Feminisme. Yogyakarta: Fajar Pustaka.

Moleong, Lexy J. (2002). Metode Penelitian Kulitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Ratna, Nyoman Kutha. (2009). Teori, Metode, dan   Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sofia dan Sugihastuti. (2003). Feminisme dan Sastra. Bandung: Kataris.

Sofia, A. (2009). Aplikasi Kritik Sastra Feminisme Perempuan dalam Karya-karya Kuntowijoyo. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Subono, Nur Iman. (2001). “Laki-laki, Kekerasan Gender dan Feminisme” Dalam Nur Iman Subono (ed.) Feminis Laki-laki Solusi atau Persoalan? Jakarta: Jurnal Perempuan.

Sugihastuti. (2005). Teori dan Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA