Gubernur jenderal belanda yang memberlakukan sistem tanam paksa atau cultuur stelsel adalah

Secara teori, tanam paksa atau cultuurstelsel adalah sebuah kebijakan yang diterapkan oleh Pemerintahan Kolonial Belanda dimana rakyat Hindia Belanda harus menyerahkan seperlima hasil tanaman ekspor mereka sejak tahun 1830.

Sekilas, jumlah seperlima atau 20% tersebut mungkin tidak akan terlalu memberatkan para petani, namun kenyataannya, rakyat Indonesia justru sangat menderita. Itu karena, implementasi kebijakan tersebut menyimpang jauh dan memberikan dampak buruk terhadap ekonomi dan kesejahteraan sosial rakyat Indonesia saat itu.

Tokoh yang berperan besar dalam implementasi sistem ini adalah Gubernur Johannes van den Bosch yang merupakan pencetus sistem tanam paksa di Indonesia pada masa itu.

Van den Bosch adalah orang berkebangsaan Belanda yang menjabat sebagai Gubernur-Jenderal Hindia Belanda yang ke-43 pada tahun 1830-1834.

Baca Juga

Pemberlakuan sistem tanam paksa ini didorong oleh kondisi keuangan pemerintah Belanda saat itu yang sedang berada di ujung tanduk. Selama beberapa dekade sebelumnya, Belanda mengalami defisit. Banyak dana yang hilang, entah karena korupsi maupun perang.

VOC yang sebelumnya merupakan kompeni kebanggaan Belanda pun harus dibubarkan karena korupsi yang merajalela. Bahkan, ketika dibubarkan pada 31 Desember 1799, VOC meninggalkan hutang yang sangat besar, yakni sekitar 1300 gulden.

Selain tu, kerajaan Belanda pun harus menghadapi hutang akibat perang. Contohnya perang Napoleon, Perang Belgia, dan Perang Diponegoro. Dari Perang Diponegoro, Belanda diperkirakan harus mengeluarkan dana sebesar 25 juta gulden. Sedangkan dari kekalahan Perang Napoleon, Belanda harus mengganti seluruh pengeluaran perang kedua pihak.

Oleh sebab itu Johannes van den Bosch diangkat menjadi gubernur jenderal dengan harapan bisa mengolah daerah jajahan Belanda agar menghasilkan pundi-pundi uang untuk menutup utang tersebut dan mengisi kas Belanda.

Baca Juga

Di bawah pemerintahan Van den Bosch, Belanda menerapkan sistem tanam paksa yang dikenal dengan istilah Cultuurstelsel dalam bahasa Belanda.

Dalam sistem ini, penduduk desa diminta untuk menanam hasil perkebunan yang menjadi permintaan pasaran dunia pada saat itu untuk diekspor. Mereka menanam teh, kopi, tebu dan lain lain.

Melalui kebijakan ini, pemerintah Belanda mewajibkan rakyat menanami seperlima dari tanahnya untuk kemudian menyerahkan hasil ladang kepada Belanda.

Penyimpangan sistem tanam paksa adalah semakin bertambahnya penggunaan lahan sampai mencapai setengah bagian ladang. Selain itu, tanah yang awalnya digarap petani pribumi dan telah dibebaskan dari pajak pada pelaksanaannya tetap saja dikenai pajak sewa tanah. Hasil penjualan tanaman-tanaman tersebut juga harus diserahkan kepada Belanda.

Jika rakyat tidak memiliki lahan, maka mereka dapat menggantinya dengan berkontribusi dalam pengangkutan hasil-hasil kebun atau pabrik selama kurang lebih 66 hari.

Kenyataan pahit lainnya, kerugian panen yang sejatinya akan ditanggung oleh Belanda, nyatanya tidak terjadi. Petani yang mengalami gagal panen harus menanggung sendiri semua kerugiannya. Semua pekerjaan pun diawasi oleh pengawas dari pribumi sedangkan para petinggi dari Belanda hanya mengawasi pekerjaan secara umum.

Tanam paksa boleh dibilang merupakan era paling eksploitatif dalam praktik ekonomi Hindia Belanda di Indonesia. Sistem ini bahkan jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah.

Petani yang pada zaman VOC wajib menjual komoditas tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Aset tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan besar bagi modal pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia Belanda pada 1835 hingga 1940.

Baca Juga

Diterapkannya sistem penanaman secara paksa tentu memberikan berbagai dampak terhadap di Indonesia. Bahkan, terdapat dampak-dampak yang mungkin mempengaruhi keadaan Indonesia sekarang. Kira-kira apa saja ya dampak tanam paksa terhadap kehidupan rakyat Indonesia saat itu?

  1. Indonesia jadi kenal sama tanaman yang laku diperdagangkan secara internasional, atau dengan kata lain jadi punya komoditas ekspor yang laku seperti kopi, teh, tarum, dan lain sebagainya.
  2. Tenaga buruh menjadi murah dan masyarakat pedesaan mengenal sistem permodalan sehingga terjadi perubahan pola transaksi dari pola transaksi tradisional ke arah pengembangan ekonomi moneter.
  3. Rakyat Indonesia kelaparan karena tidak bisa menanam padi maupun jagung untuk dimakan. Korban jiwa pun tidak dapat dihindari.
  4. Rakyat Indonesia harus mengalami kemiskinan karena harga diatur oleh pihak Belanda. Mereka juga masih harus membayar pajak.
  5. Infrastruktur Indonesia dibangun demi memperlancar distribusi hasil tanam paksa. Contohnya jembatan, jalan raya, pelabuhan, dan rel kereta api dikembangkan untuk mengangkut hasil tanam paksa.

Penerapan sistem yang tidak manusiawi ini mendapatkan banyak kritik dari pejuang Indonesia serta aktivis HAM di Belanda. Pada akhirnya sistem ini dihentikan pada tahun 1970. Untuk “membalas budi” terhadap rakyat Hindia Belanda (Indonesia), Belanda menerapkan sistem Politik Balas Budi atau yang juga dikenal sebagai Politik Etis.

tirto.id - Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) merupakan program pemerintah Hindia Belanda yang dirintis penerapannya di masa pemerintahan Johannes van Den Bosch. Nama terakhir menjabat posisi Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 1830-1834.Van den Bosch menerapkan Sistem Tanam Paksa karena menerima mandat dari Kerajaan Belanda untuk mencari cara mengeruk kekayaan dari tanah Hindia Timur (nusantara).

Sebenarnya, Bosch bukan orang pertama yang diminta melaksanakan tujuan serupa. Dikutip dari buku Sejarah Indonesia oleh Alin Rizkiyan Putra (2020:23), setelah Konvensi London di tahun 1814, Kerajaan Belanda mengutus komisi yang dipimpin Van der Capellen guna mengelola pemerintahan Hindia Timur dan mengeruk kekayaannya.



Namun, upaya Gubernur Jenderal Hindia Belanda periode 1819–1826 tersebut tidak membuahkan hasil berarti.


Asal-Usul Ide Sistem Tanam Paksa

Dalam teks sejarah Indonesia, Van den Bosch sering dianggap sebagai biang keladi penderitaan dan kemiskinan di kalangan petani Hindia Belanda. Sebab, Bosch adalah pencetus sekaligus perintis sistem tanam paksa.

Selama Perang Jawa (1825-1830) terjadi, Raja William I sudah berulang kali meminta agar Jawa dijadikan sebagai sumber pemasukan negara. Berbagai macam usulan dibicarakan, tapi tidak satupun dinilai bakal berhasil menutup kerugian Belanda pascaperang.

Pada 1828, Bosch dipanggil oleh sang raja. Setelah ide sistem tanam paksa yang ia utarakan disetujui oleh raja, Bosch ditunjuk jadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda, dengan tugas mengisi kas kerajaan dari hasil eksploitasi tanah Jawa.

Satu tahun setelahnya, Januari 1830, sambil membawa rancangan Sistem Tanam Paksa, Bosch datang ke Hindia Belanda. Pada tahun yang sama, ia mulai menerapkan gagasannya tersebut.

Baca juga: Mimpi Johannes van den Bosch lewat Tanam Paksa yang Berantakan


Ahli antropologi ekonomi asal Amerika, Albert Schrauwers, dalam artikel "The ‘Benevolent’ Colonies of Johannes van den Bosch" yang terbit di jurnal Comparative Studies in Society and History (April 2001), menjelaskan bahwa Bosch menciptakan Tanam Paksa berdasarkan model koloni pertanian yang pernah ia terapkan di Provinsi Drenthe, Belanda. Bosch berpandangan bahwa kondisi sosial dan ekonomi di Belanda sangat mirip dengan situasi di Jawa. Keduanya memiliki tingkat kepadatan penduduk yang rendah dan sangat bergantung kepada sektor pertanian dengan lahan garapan yang masih terbentang luas.Eksploitasi sebenarnya bukan satu-satunya tujuan Bosch saat merancang Tanam Paksa. Ia malah menganggapnya ibarat institusi sosial untuk meningkatkan kemakmuran negara koloni. Bosch memimpikan sistem yang bebas dari liberalisme, layaknya sistem buatan Raffles yang berkutat pada sewa dan pajak tanah. Bosch meyakini bahwa petani Jawa yang masih hidup dalam kemiskinan lebih baik dibebani jenis pajak yang tidak menghabiskan uang mereka. Jauh lebih mudah jika setiap desa menyerahkan seperlima tanah pertaniannya untuk ditanami tanaman ekspor. Namun, pada kenyataannya, penerapan sistem tanam paksa justru mengakibatkan penderitaan banyak petani di Hindia Belanda, dan bahkan bencana kelaparan di berbagai tempat.

Aturan Sistem Tanam Paksa

Van den Bosch mulai memberlakukan Sistem Tanam Paksa di Hindia Belanda pada tahun 1830, setelah ia diutus dan ditetapkan sebagai Gubernur Jenderal oleh Raja William I.

Ada sejumlah aturan utama dalam sistem tanam paksa. Mengutip Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial-Ekonomi karya Sartono Kartodirjo dan Djoko Suryo (1991), beberapa aturan Sistem Tanam Paksa yang termuat di dalam Lembaran Negara (Staatsblad) Tahun 1834 Nomor 22 adalah sebagai berikut:

1. Penduduk menyediakan sebagian tanahnya dalam menjalankan Sistem Tanam Paksa.2. Tanah yang digunakan untuk menjalakan Sistem Tanam Paksa, tidak boleh melebihi seperlima tanah pertanian milik penduduk.3. Waktu dan Pelaksanaan tanaman Sistem Tanam Paksa, tidak boleh lebih banyak dari waktu menanam padi.4. Tanah yang digunakan untuk Sistem Tanam Paksa, tidak akan dikenakan pajak tanah.5. Hasil pertanian yang berkaitan dengan Sistem Tanam Paksa harus diberikan kepada pemerintah Hindia Belanda.6. Apabila harga dan nilai hasil pertanian lebih mahal dari pajak pertanian, kelebihan akan diberikan pada rakyat.7. Kegagalan panen Sistem Tanah Paksa merupakan tanggung jawab pemerintah Hindia Belanda.8. Penduduk desa yang bekerja pada pertanian Sistem Tanam Paksa akan diawasi oleh penguasa pribumi. 9. Pegawai Eropa hanya melakukan pengawasan secara umum.10. Penduduk yang bukan petani harus bekerja di perkebunan atau pabrik pemerintah selama 65 hari dalam 1 tahun.Pelaksanaan sistem tanam paksa ternyata tidak sepenuhnya sesuai aturan. Dampak ikutannya juga buruk untuk rakyat di Hindia Timur. Sebab, para petani tidak memiliki banyak waktu untuk mengerjakan pertanian pangan.Sistem tanam paksa bisa menggelembungkan kas Belanda, tapi rakyat bumiputra menderita. Selain kelaparan dan kemiskinan, penyakit pun sering mewabah karena banyak orang kurang gizi. Bahkan, banyak pekerja paksa yang mati kelaparan. Dampak besar sistem tanam paksa pada penderitaan rakyat di nusantara membuat kritik tajam dilontarkan pada pemerintah Hindia-Belanda. Kritik itu juga datang dari sebagian orang Belanda.

Karena Cultuurstelsel dianggap tidak manusiawi, sistem tanam paksa dihapuskan dan diganti dengan pihak swasta Belanda yang turun mengelola perkebunan. Secara berangsur-angsur, sistem tanam paksa kemudian dihapuskan pada tahun 1861, 1866, 1890, dan 1916.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA