Gaya hidup yang memandang segala sesuatu yang baik dan berguna adalah kebenaran dinamakan

Full PDF PackageDownload Full PDF Package

This Paper

A short summary of this paper

31 Full PDFs related to this paper

Download

PDF Pack

ilustrasi hedonisme. //yogaommm.com/

JABAR | 17 September 2020 21:12 Reporter : Andre Kurniawan

Merdeka.com - Setiap manusia hidup dengan pandangan dan ideologi mereka masing-masing. Dan mereka menunjukkan apa yang mereka yakini melalui sikap dan gaya hidup yang mereka jalani.

Salah satu ideologi yang banyak berkembang di masyarakat adalah hedonisme. Bagi masyarakat luas, hedonisme sendiri sering dikaitkan dengan sifat boros, suka menghamburkan uang, dan hanya berpikir tentang kebahagiaan dunia.

Pengertian hedonisme diambil dari bahasa Yunani, yaitu ‘hedone’, di mana pengertian hedonisme tersebut berarti kesenangan. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian hedonisme adalah pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup.

Berikut telah kami rangkum dari situs pendidikan.co.id, penjelasan lebih luas dari pengertian hedonisme yang lebih luas, beserta penyebab dan dampaknya.

2 dari 6 halaman

pressfrom.info

Beberapa ahli juga menjelaskan bagaimana pengertian hedonisme. Burhanuddin (1997: 81) menjelaskan pengertian hedonisme adalah sesuatu yang dianggap baik, sesuai dengan kesenangan yang didatangkannya. Dengan kata lain, sesuatu yang hanya mendatangkan kesusahan, penderitaan, serta tidak menyenangkan merupakan sesuatu yang dinilai tidak baik.

Sedangkan menurut Collins Gem (1993: 97) pengertian hedonisme adalah sebuah doktrin yang menyatakan bahwa kesenangan merupakan hal yang paling penting di dalam hidup. Dengan kata lain, hedonisme merupakan suatu paham yang dianut oleh orang-orang yang mencari kesenangan hidup semata-mata.

3 dari 6 halaman

Pandangan atau gaya hidup hedonisme ini tentu tidak lahir begitu saja. Ada faktor-faktor yang menjadi penyebab seseorang memutuskan untuk menganut ideologi hedonisme ini. Faktor-faktor tersebut bisa muncul dari dalam diri sendiri (internal), ataupun dari luar (eksternal).

Faktor Internal

Faktor internal atau dari dalam diri sendiri, merupakan penyebab hedonisme yang paling utama. Setiap manusia sudah pasti memiliki sifat dasar yang ingin memiliki banyak kesenangan dan kebahagiaan. Ditambah lagi dengan sifat lain dari manusia, yaitu rasa tidak pernah puas yang mereka miliki. Sifat-sifat inilah yang pada akhirnya mengantarkan seseorang pada perilaku dan gaya hidup yang hedonisme.

Faktor Eksternal

Penyebab lain seseorang memilih paham hedonisme adalah faktor eksternal atau faktor dari luar. Faktor eksternal ini bisa berasal dari informasi atau juga globalisasi. Apalagi saat ini internet dan media sosial membuat kita bisa melihat bagaimana kehidupan orang lain. Kebiasaan-kebiasaan serta paham yang di dapat di dunia maya atau di lingkungannya, dianggap menjadi penyebab orang-orang tertarik untuk mengadaptasi gaya hidup hedonisme.

unfuckyourfinances.com

4 dari 6 halaman

Perilaku dan gaya hidup hedonisme yang dianut, juga akan memberikan dampak pada dirinya dan juga lingkungan sekitar. Sayangnya, dampak yang muncul dari perilaku hedonisme ini cenderung negatif.

Individualisme

Seseorang yang memiliki perilaku dan gaya hidup hedonisme cenderung individualis, atau juga menganggap diri sendiri lebih penting dari orang lain.

Konsumtif

Kebiasaan membeli barang-barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan adalah dampak buruk dari hedonisme. Hal tersebut dilakukan hanya untuk kesenangan semata, sebab suka berbelanja.

Egois

Seseorang yang memiliki gaya hidup atau perilaku hedonisme, biasanya lebih mementingkan diri sendiri tanpa mempedulikan orang lain.

Cenderung Pemalas

Sebagian orang yang terjerumus hedonisme juga lebih cenderung menjadi seorang yang pemalas serta tidak menghargai waktu.

5 dari 6 halaman

Kurang Bertanggung Jawab

Selain menjadi seorang yang pemalas, seseorang dengan ideologi hedonisme ini juga biasanya kurang bertanggungjawab, bahkan kepada dirinya sendiri.

Boros

Demi kesenangan semata, mereka yang memiliki gaya hidup hedonisme biasanya sangat boros. Mereka akan mengeluarkan banyak sekali uang untuk hal-hal yang membuat senang tanpa mempedulikan manfaat serta juga kegunaan barang yang dibeli.

Korupsi

Salah satu dampak hedonisme yang sering terjadi pada seseorang ialah kebiasaan korupsi. Bukan hanya korupsi uang, namun juga hal lain, seperti misalnya korupsi waktu, korupsi pekerjaan, serta lain sebagainya.
Pejabat yang sudah terjerumus di dalam perilaku hedonisme tidak akan sungkan serta juga tidak akan malu untuk korupsi demi kesenangan hidupnya.

©2013 merdeka.com/muhammad luthfi rahman

6 dari 6 halaman

Ideologi Hedonisme yang ada di tengah-tengah masyarakat terbagi menjadi tiga (3) macam, yaitu Psychological Hedonism, Evaluative Hedonism, dan Rationalizing Hedonism.

1. Psychological Hedonism

Jenis hedonisme ini menganggap bahwa manusia diciptakan secara lahiriah menginginkan kesenangan. Secara naluri, manusia itu memang mempunyai sifat untuk menghindari rasa sakit serta juga derita.

2. Evaluative Hedonism

Kemudian jenis hedonisme yang satu ini menganggap bahwa kesenangan merupakan apa yang seseorang inginkan serta kejar. Dalam konsep evaluative hedonism, hanya kesenanganlah yang berharga serta rasa sakit atau ketidaksenangan merupakan hal yang mengecewakan atau dianggap sebagai sesuatu yang tidak layak untuk dirasakan oleh manusia.

3. Rationalizing Hedonism

Jenis hedonisme yang terakhir memiliki pandangan bahwa seseorang mencari kesenangan, tapi juga memahami konsekuensi yang akan mereka terima. Contohnya seseorang mengonsumsi NAPZA untuk mencari kesenangan dan melepaskan beban masalah sejenak. Tapi mereka para pengguna tahu bahwa hal tersebut buruk untuk kesehatan dan juga bisa membawanya ke ranah pidana.

(mdk/ank)

Pragmatisme adalah aliran filsafat yang mengajarkan bahwa kebenaran dari segala sesuatu berdasarkan kepada manfaat yang diberikannya.[1] Sesuatu hal ini dinilai dari kebergunaannya bagi tindakan manusia untuk kehidupannya. Pernyataannya dapat berbentuk ucapan, dalil atau teori. Pragmatisme muncul sebagai tradisi pemikiran yang berasal dari dunia Barat dan berkembang khususnya di Amerika. Kehadirannya sebagai suatu pemikiran yang berusaha menjawab persoalan kehidupan manusia.[2] Pragmatisme digolongkan sebagai salah satu aliran filsafat abad ke-19 dalam sejarah filsafat Barat.[3] Pelopor pemikiran pragmatisme adalah seorang filsuf asal Amerika Serikat yang bernama Chales Sanders Peirce (1839–1914).[4] Tokoh yang berpengaruh dalam pemikiran pragmatisme antara lain William James (1842–1910) dan John Dewey (1859–1952).[5]

Gagasan mengenai pragmatisme dikemukakan pertama kali oleh Charles Sanders Peirce pada awal periode 1870-an pada pertemuan sebuah kelompok filsafat bernama Metaphysical Club. Pertemuan tersebut diadakan di Cambridge, Massachusetts secara tidak formal. Hasil diskusi dari pertemuan tersebut dituliskan oleh Peirce menjadi dua buah artikel berjudul The Fixation of Belief (1877) dan How to Make Our Ideas Clear (1878). Kedua artikel ini dipublikasikan pada majalah bernama Popular Science Monthly.[6]

Isitilah "pragmatisme" berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata pragma. Kata ini memiliki banyak arti antara lain fakta, benda, materi, sesuatu yang dibuat, kegiatan, tindakan, akibat atau pekerjaan. Dari kumpulan arti tersebut, pragmatisme diberi pengertian sebagai pemikiran yang menguatamakan fungsi gagasan di dalam tindakan. Di sisi lain, istilah "pragmatisme" diperoleh oleh Charles Sanders Peirce dari pemikiran filsafat Immanuel Kant. Di dalam pemikiran Kant terdapat dua kata yang mirip dengan arti yang berbeda, yaitu praktisch dan pragmatisch. Kedua kata ini berasal dari bahasa Yunani yaitu praktikos dan pragmatikos. Istilah praktisch diartikan sebagai tindakan yang dilakukan untuk kepentingan dirinya sendiri. Jenis tindakan ini tidak ditemukan dalam pengalaman secara nyata, melainkan hanya ada pada akal dan budi. Sedangkan isitlah pragmatisch diartikan sebagai gerak yang dihasilkan oleh kehendak manusia guna memberikan suatu tujuan definitif sebagai tahapan penting untuk menjelaskan pemikiran secara benar.[7]

Pragmatisme menjadi logika terhadap pengamatan sebagai dasar pemikirannya. Pandangan ini menyatakan bahwa kenyataan dari dunia yang terlihat oleh manusia merupakan fakta-fakta yang bersifat nyata, terpisah satu sama lain dan individual. Dunia ditampilkan apa adanya, sehingga perbedaan dapat diterima begitu saja. Perwujudan dari kenyataan selalu bersifat pribadi dan bukan merupakan fakta umum karena hanya muncul dari pikiran manusia. Fungsi pelayanan dan kegunaan menjadi alat pembenaran suatu gagasan. Pragmatisme tidak membahas kajian filsafat mengenai kebenaran, khususnya yang berkaitan dengan metafisika.[8]

Pragmatisme merupakan aliran filsafat yang menilai kebenaran dari suatu teori atau kepercayaan berdasarkan tingkat keberhasilan atau manfaatnya dalam penerapan praktis.[9] Persoalan utama bagi pragmatisme ialah mengenai daya guna dari pengetahuan, bukan hakikat dari pengetahuan. Pandangan ini dilandasi oleh pemikiran bahwa pengetahuan merupakan sarana bagi perbuatan.[10] Pragmatisme menyelesaikan permasalahan teoretis maupun praktis dalam kehidupan manusia dengan mengandalkan penggunaan akal budi.[11]

John Dewey adalah salah satu tokoh yang berpengaruh besar dalam pemikiran pragmatisme.[12] Pemikiran pragmatisme yang dikembangkan oleh Dewey dikenal juga sebagai eksperientalisme. Penamaan ini berasal dari pemikirannya yang menyatakan bahwa pertumbuhan manusia merupakan tujuan dari pendidikan. Ia menyebutnya sebagai pertumbuhan karena menganggap segala sesuatu di dunia ini memiliki sifat selalu berubah.[13] Pemikiran pragmatisme John Dewey menjadi salah satu pemikiran yang mempengaruhi dimulainya pendidikan massal.[14]

William James

 

William James

William James (1842–1910) merupakan salah satu tokoh yang mengkaji mengenai cara manusia dalam mengatasi permasalahan kehidupan berupa industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi. Tokoh lain yang mengkaji permasalahan yang sama ialah Karl Marx (1818–1883) yang kemudian menjadi pelopor sosialisme. James merupakan penganut relativisme yang menghasilkan pemikiran pragmatisme di kontinen Amerika. Pragmatisme ini diartikan sebagai sebuah kepraktisan dan kegunaan sehingga kriteria dari kebenaran diberikan untuk segala hal yang dapat menjadikan segala sesuatu dapat dikerjakan. James meyakini bahwa manusialah yang menciptakan kebenaran sehingga kebenaran itu berada di dalam diri manusia. Kriteria kebenaran pragmatisme ini memberikan pengaruh bagi dunia bisnis dan politik di Amerika. Pemikiran pragmatisme membuat sosialisme tidak berkembang di Amerika.[15]

Max Scheler mengkritik pragmatisme di dalam karyanya yang berjudul Erkenntnis und Arbeit. Buku ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1926. Dalam pandangan Scheler, pragmatisme mencapai kegagalan dalam memikirkan hubungan yang mendalam antara individu manusia dengan individu lainnya. Ini ditandai dengan tidak adanya kajian mengenai transendensi cinta. Ia berpendapat bahwa pragmatisme hanya merupakan metode berpikir yang sepenuhnya berfokus pada keinginan untuk mendominasi alam.[16]

Pragmatisme merupakan pemikiran yang penting bagi pendidikan kejuruan. Dalam pragmatisme, sesuatu dianggap penting berdasarkan tingkat kegunaannya. Pertanyaan utama di dalam pragmatisme adalah mengenai "untuk apa" dan bukan mengenai "apa". Pragmatisme memperhatikan konsekuensi praktis dari suatu tindakan. Dalam pendidikan kejuruan, pragmatisme membagi antara teori dan praktik. Di dalam pengembangan teori, pragmatisme memberikan landasan terhadap etika normatif. Sementara di dalam pengembangan praktis, pragmatisme memenuhi kebutuhan manusia melalui pendidikan kejuruan yang menghasilkan tenaga kerja profesional. Adanya keseimbangan antara teori dan praktis membuat pragmatisme mencegah pendidikan dari tujuan praktis yang hanya bersifat materialisme. Pragmatisme juga mencegah pendidikan dari kehilangan fungsinya sebagai alat pemenuhan kebutuhan masyarakat.[17]

Pendidikan progresif

Pragmatisme merupakan aliran filsafat pendidikan yang mendasari pengembangan aliran filsafat pendidikan lainnya, yaitu progresivisme. Pragmatisme yang dikembangkan oleh Charles Sanders Peirce (1839-1914), William James (1842-1910), dan John Dewey (1859-1952) digunakan dalam pendidikan progresif yang mengutamakan adanya proses, pengalaman dan kegunaan pendidikan secara praktis dalam kehidupan manusia. Progresivisme diterima oleh para praktisi pendidikan yang mengutamakan proses pendidikan melalui tindakan yang bersifat praktis dan mengandalkan percobaan. Pemikiran pragmatisme dan progresivisme yang berkaitan dengan filsafat pendidikan utamanya merupakan pengaruh dari pemikiran John Dewey.[18]

Politik

Pragmatisme telah mengubah tujuan politik dari bersifat ideologis menjadi bersifat praktis. Pengaruh pragmatisme di dalam politik terbagi menjadi dua, yaitu pada kaum elite dan masyarakat. Pragmatisme di tingkat masyarakat digunakan sebagai bentuk pemanfaatan situasi atau momen politik untuk perbaikan kondisi kehidupan masyarakat. Gagasan mengenai perbaikan ini disajikan secara instan walaupun dalam artian sebenarnya merupakan sesuatu yang kompleks.[19] Sementara itu, elite partai di dalam partai politik memanfaatkan pragmatisme digunakan untuk mengurangi identitas ideologi partai politik guna mempertahankan oligarki kekuasaannya. Beberapa caranya melalui pengurangan perekrutan anggota dan aksi teror terhadap masyarakat. Salah satu pemanfaatan pragmatisme ini ialah pada pemilihan kepala daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon yang tunggal.[20] Pengaruh pragmatisme di dalam politik menimbulkan ketidakselarasan antara ideologi politik dengan kebijakan politik dari suatu partai politik.[21]

Pragmatisme merupakan salah satu aliran pemikiran yang mempengaruhi perkembangan pemikiran filsafat Barat di Tiongkok pada periode tahun 1900-an. Adanya pengaruh ini terjadi seiring dengan diadakannya penerjemahan karya-karya pemikiran filsafat Barat ke dalam bahasa Mandarin. Pemikiran-pemikiran filsafat Barat membuat aliran pemikiran di Tiongkok mulai cenderung kembali ke tradisi pemikiran pribumi.[22]

  1. ^ Rahim, F. R., dan Sari, S. Y. (2019). Perkembangan Sejarah Fisika. Purwokerto: CV IRDH. hlm. 451. ISBN 978-623-7343-14-1.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  2. ^ Harisah, Afifuddin (2018). Filsafat Pendidikan Islam: Prinsip dan Dasar Pengembangan (PDF). Sleman: Deepublish. hlm. 119.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  3. ^ Aprita, S., dan Adhitya, R. (2020). Filsafat Hukum (PDF). Depok: Rajawali Pers. hlm. 74. ISBN 978-623-231-448-1.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  4. ^ Hamidah (2017). Rosyidi, Abdul Wahab, ed. Filsafat Pembelajaran Bahasa: Perspektif Strukturalisme dan Pragmatisme (PDF). Bantul: Naila Pustaka. hlm. vii. ISBN 978-602-1290-43-9.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  5. ^ Waris (2014). Rofiq, Ahmad Choirul, ed. Pengantar Filsafat (PDF). Ponorogo: STAIN Po Press. hlm. 67.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  6. ^ Idris, Saifullah (2014). Muluk, Safrul, ed. Demokrasi dan Filsafat Pendidikan: Akar Filosofis dan Implikasinya dalam Pengembangan Filsafat Pendidikan (PDF). Banda Aceh: Ar-Raniry Press. hlm. 36–37. ISBN 978-979-3717-51-7.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  7. ^ Adinda S., Anastasia Jessica (2017). Wibawa, FX. Setya, ed. Menelusuri Pragmatisme (PDF). Sleman: Penerbit PT Kanisius. hlm. 2. ISBN 978-979-21-4370-6.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  8. ^ Saifullah, ed. (2016). Pengembangan Kurikulum: Analisis Filosofis dan Implikasinya dalam Kurikulum 2013 (PDF). Banda Aceh: FTK Ar-Raniry Press. hlm. 3–4. ISBN 978-602-60401-6-9.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  9. ^ Ikhsanudin (2009). "Filsafat Pendidikan Progresivisme dan Pendidikan Bahasa" (PDF). Jurnal Cakrawala Pendidikan. 7 (1): 1. 
  10. ^ Muliadi (2020). Busro, ed. Filsafat Umum (PDF). Bandung: Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung. hlm. 91. ISBN 978-623-7166-42-9.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  11. ^ Ibrahim, Duski (2017). Filsafat Ilmu: Dari Penumpang Asing untuk Para Tamu (PDF). Palembang: NoerFikri. hlm. 292. ISBN 978-602-6318-97-8.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  12. ^ Widodo, Sembodo Ardi (2015). Pendidikan dalam Perspektif Aliran-Aliran Filsafat (PDF). Bantul: Idea Press. hlm. 1. ISBN 978-602-0850-25-2.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  13. ^ Kristiawan, Muhammad (2016). Hendri, L., dan Juharmen, ed. Filsafat Pendidikan: The Choice Is Yours (PDF). Yogyakarta: Penerbit Valia Pustaka Jogjakarta. hlm. 100. ISBN 978-602-71540-8-7.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)Pemeliharaan CS1: Banyak nama: editors list (link)
  14. ^ Fauziah, P., dkk. (2019). Homeschooling: Kajian Teoritis dan Praktis. Yogyakarta: UNY Press. hlm. 29. ISBN 978-602-498-048-1.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  15. ^ Thabrani, Abdul Muis (2015). Rafik, Ainur, ed. Filsafat dalam Pendidikan (PDF). Jember: IAIN Jember Press. hlm. 94–95. ISBN 978-602-414-018-2.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  16. ^ Trinarso, A. P., dkk. (PDF). Surabaya: Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya. 2015. hlm. 104–105. ISBN 978-602-17055-5-1.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  17. ^ Sudira, Putu (2012). Setyawan, Teguh, ed. Filosofi dan Teori Pendidkan Vokasi dan Kejuruan (PDF). Yogyakarta: UNY Press. hlm. 18. ISBN 978-979-8418-80-8.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  18. ^ Puspitasari, Intan Nuyulis Naeni (2018). "Pendidikan Pragmatis-Progresif Islamic International School (IIS) Kediri di Era Industri 4.0" (PDF). Realita. 16 (2): 117. ISSN 2502-860X. 
  19. ^ Noor, Firman (2018). "Pilkada, Peran Partai Politik, dan Konstelasi Pragmatis: Kajian atas Pilgub Banten, DKI Jakarta, Jateng dan Jatim (2017-2018)". Jurnal Penelitian Politik. Pusat Penelitian Politik-LIPI. 15 (2): 182. ISSN 2502-7476. 
  20. ^ Prayudi, Budiman, A., dan Ardipandanto, A. (2017). Haris, Syamsuddin, ed. Dinamika Politik: Pilkada Serentak (PDF). Jakarta Pusat: Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI, Sekretariat Jenderal DPR Republik Indonesia. hlm. 112. ISBN 978-602-5562-05-1.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  21. ^ Geraldy, Galang (2019). "Ideologi dan Partai Politik: Menakar Ideologi Politik Marhaenisme di PDIP, Sosialisme Demokrasi di PSI dan Islam Fundamentalisme di PKS" (PDF). Politicon: Jurnal Ilmu Politik. 1 (2): 155–156. ISSN 2685-6670. 
  22. ^ Widiana, I Wayan (2019). "Filsafat Cina: Lao Tse Yin-Yang Kaitannya dengan Tri Hita Karana sebagai Sebuah Pandangan Alternatif Manusia terhadap Pendidikan Alam". Jurnal Filsafat Indonesia. 2 (3): 114. ISSN 2620-7982. 

Diperoleh dari "//id.wikipedia.org/w/index.php?title=Pragmatisme&oldid=20962887"

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA