Bolehkah niat puasa sunnah dilakukan di waktu zuhur jelaskan

Pertanyaan (Syifa, bukan nama sebenarnya):

Bolehkah niat puasa Ramadhan dibaca saat setelah Subuh? Apa beda niat dan lafaz niat?

Jawaban (Ustadz Zainol Huda):

Niat secara bahasa adalah al-qashdu yang berarti bermaksud atau bersengaja. Dalam terminologi syariat niat adalah keteguhan dan keyakinan hati untuk melakukan suatu aktivitas tanpa keragu-raguan. 

Para ulama sepakat bahwa niat menempati posisi yang sangat penting dalam setiap ibadah, termasuk juga ibadah puasa, baik puasa wajib maupun puasa sunnah. 

Perbedaan niat dan lafaz niat

Niat bertempat di dalam hati, dan tidak cukup hanya diucapkan di lisan. Hal ini sudah menjadi konsensus di kalangan ulama. Meski demikian, mengucapkan niat dengan lisan bukanlah sebuah keharusan (tidak disyaratkan). 

Perbedaan niat dengan lafaz niat terletak pada konteks lafaz niat hanya sebatas pengucapan dengan lisan, sementara niat adalah keinginan (untuk melakukan sesuatu) hakiki yang tempatnya di hati, tidak perlu dilisankan. 

Namun, menurut jumhur (mayoritas) ulama (selain ulama Maliki) sunnah mengucapkan niat di lisan, tetapi dalam pandangan mazhab Maliki lebih utama tidak melafalkan, cukuplah di dalam hati saja.

Niat dalam puasa

Sementara itu, niat dalam ibadah puasa berbeda dengan ibadah yang lain. Jika dalam ibadah lain niat dilakukan bersamaan dengan saat memulai ibadah, tetapi untuk ibadah puasa ada pengecualian. 

Hal ini dikarenakan sangat sulit mendeteksi terbitnya fajar secara pasti yang berarti merupakan awal mula puasa dilaksanakan. Dengan demikian, untuk ibadah puasa, niat dilakukan sejak malam hari dalam rentang waktu mulai terbenam matahari (masuk waktu shalat maghrib) sampai waktu sebelum terbit fajar atau sebelum masuk waktu shalat Subuh. 

Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ

Barang siapa tidak menginapkan (niat) puasa sebelum waktu fajar, maka tidak ada puasa baginya (HR. Abu Dawud no. 2454). 

Hadis ini menunjukkan bahwa puasa tidak sah jika tidak menginapkan niat di malam hari, yakni berniat di bagian malam mana saja dalam rentan waktu sejak matahari terbenam hingga terbit fajar. 

Perbedaan waktu membaca niat

Namun, para ulama mazhab berbeda pendapat soal menginapkan niat (tabyit al-niyyah). Sebagian ulama tidak memberlakukan syarat ini terhadap semua jenis puasa. 

Menurut ulama Hanafi pada prinsipnya syarat tersebut untuk setiap jenis puasa, baik puasa wajib maupun sunnah, lebih afdhal (utama) niat dilakukan pada saat terbit fajar jika memungkinkan, atau minimal dilakukan di malam hari. 

Sebab jika dilakukan ketika terbit fajar, berarti niat bersamaan secara hakiki dengan bagian awal permulaan ibadah, jika dilakukan di malam hari berarti bersamaan secara perkiraan (taqdiriy).

Jika niat dilakukan setelah terbit fajar, menurut ulama Hanafi ada dua kemungkinan. Jika tergolong puasa hutang, maka tidak sah. Sebaliknya, jika bukan puasa hutang, semisal puasa Ramadhan dan puasa sunnah mutlak, tetap sah. 

Oleh karena itu, dalam mazhab Hanafi, puasa terbagi dalam dua kategori. 

Pertama, puasa yang disyaratkan harus berniat di malam hari, yaitu puasa yang terhutang, semisal puasa qadha Ramadhan, qadha puasa sunnah yang dibatalkan, puasa nazar mutlak, dan puasa kafarat. 

Kedua, puasa yang tidak disyaratkan berniat malam hari, yakni bukan puasa yang terutang, seperti puasa Ramadhan, puasa sunnah dengan segala jenisnya. Untuk puasa kategori kedua ini, niat boleh dilakukan hingga pertengahan hari, sebelum matahari tergelincir (Zuhur).

Sedangkan menurut ulama Maliki, niat puasa dianggap sah apabila dilakukan pada malam hari, sejak terbenam matahari hingga akhir malam, atau pada saat fajar terbit. 

Segala hal yang terjadi setelah niat di awal malam, semisal makan, minum, berhubungan suami istri, tidak mempengaruhi keabsahan niat, kecuali keadaan pingsan dan gila yang berlangsung hingga terbit fajar, dua kondisi yang terakhir ini akan membatalkan niat. 

Namun, jika siuman sebelum terbit fajar, maka niat tetap sah. Walhasil, menurut ulama Maliki ini mencakup puasa sunnah sekalipun, tetap niat harus dilakukan di malam hari.

Meski demikian, mazhab Maliki juga menganggap cukup untuk berniat sekali di awal bulan Ramadhan untuk seluruh puasa yang akan dilakukan di dalamnya. Pasalnya,  mereka menganggap seluruh puasa Ramadhan adalah satu kesatuan ibadah yang utuh, tidak terpisah.

Sementara menurut ulama Syafii, untuk puasa wajib seperti puasa Ramadhan, puasa qadha, puasa nazar, dsb., harus berniat di malam hari. Sebagaimana pendapat ulama Maliki, hal-hal yang terjadi setelah niat tidak akan membatalkan niat. 

Selanjutnya, untuk puasa sunnah niat boleh dilakukan hingga sebelum matahari tergelincir (Zuhur). Hal ini senada dengan pendapat ulama Hanbali, tetapi untuk puasa sunnah, ulama Hanbali juga membolehkan niat dilakukan setelah matahari tergelincir.

Kesimpulan

Sahabat KESAN yang budiman, jika yang ditanyakan adalah membaca niat setelah Subuh, maka semua ulama mazhab membolehkan. Dengan catatan asalkan niat dalam hati sudah dilakukan pada malam hari. 

Minimalnya, di malam hari sudah terlintas di hati bahwa besok adalah bagian dari hari-hari Ramadhan dan ia berniat untuk puasa besok. Hal itu dianggap sudah cukup.

Namun, jika niat betul-betul dilakukan setelah Subuh, bukan hanya lafalnya, maka sahabat bisa mengambil pendapat ulama yang membolehkan sebagaimana telah dijelaskan di atas. 

Sementara itu, perbedaan niat dengan lafaz niat adalah jika lafaz niat hanya sebatas pengucapan dengan lisan, sementara niat adalah keinginan (untuk melakukan sesuatu) hakiki yang tempatnya di hati. 

Wallahu a’lam bi ash-shawabi

Referensi: Muhammad bin Ismail Al-Shan’ani, Subul al-Salam Syarh Bulugh Al-Maram, Riyadl: Maktabah Al-Ma’arif, Cet. I, 2006, II/427, Wahbah Al-Zuhaliy, Al-Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuh, Beirut: Dar Al-Fikr, Cet. II, 1985, II/ 617-621.  

###

*Jika artikel di aplikasi KESAN dirasa bermanfaat, jangan lupa share ya. Semoga dapat menjadi amal jariyah bagi kita semua. Aamiin. Download atau update aplikasi KESAN di Android dan di iOS. Gratis, lengkap, dan bebas iklan. 

**Punya pertanyaan terkait Islam? Silakan kirim pertanyaanmu ke

Mengenai niat puasa wajib sudah dibahas harus di malam hari. Adapun untuk puasa sunnah ada keringanan boleh berniat di pagi hari, asal sebelumnya belum menyantap makanan apa pun atau belum melakukan pembatal-pembatal puasa.

Hadits no. 657 dari kitab Bulughul Marom karya Ibnu Hajar disebutkan hadits,

عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ قَالَتْ دَخَلَ عَلَىَّ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ « هَلْ عِنْدَكُمْ شَىْءٌ ». فَقُلْنَا لاَ. قَالَ « فَإِنِّى إِذًا صَائِمٌ ». ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أُهْدِىَ لَنَا حَيْسٌ. فَقَالَ « أَرِينِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا ». فَأَكَلَ

Dari ‘Aisyah Ummul Mukminin, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menemuiku pada suatu hari lantas beliau berkata, “Apakah kalian memiliki sesuatu untuk dimakan?” Kami pun menjawab, “Tidak ada.” Beliau pun berkata, “Kalau begitu saya puasa saja sejak sekarang.” Kemudian di hari lain beliau menemui kami, lalu kami katakan pada beliau, “Kami baru saja dihadiahkan hays (jenis makanan berisi campuran kurman, samin dan tepung).” Lantas beliau bersabda, “Berikan makanan tersebut padaku, padahal tadi pagi aku sudah berniat puasa.” Lalu beliau menyantapnya. (HR. Muslim no. 1154).

Beberapa faedah dari hadits di atas:

1- Boleh berniat puasa sunnah di pagi hari. Hal ini menandakan bahwa puasa sunnah tidak  disyaratkan tabyiytun niat (berniat di malam hari). Namun ini berlaku untuk puasa sunnah mutlak. Sedangkan puasa sunnah tertentu (mu’ayyan) yang dikaitkan dengan waktu tertentu, maka sama dengan puasa wajib harus ada tabyiytun niat, yaitu niat di malam hari sebelum fajar Shubuh. Misalnya seseorang yang melaksanakan puasa sunnah ayyamul bidh (13, 14, 15 H), maka ia harus ada niat puasa sunnah sejak malam. Jadi berlaku untuk puasa mu’ayyan (tertentu) baik puasa wajib maupun sunnah, harus ada niat puasa sejak malam hari. Demikian penjelasan dari Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah.

2- Sah jika berniat puasa sunnah mutlak dari pagi hari, misal dari jam 10 pagi asal sebelumnya tidak melakukan pembatal puasa di antaranya makan dan minum. Namun pahala yang dicatat adalah dari niat mulai berpuasa karena setiap amalan itu tergantung pada niatnya dan setiap orang dibalas sesuai dengan apa yang ia niatkan. Lihat penjelasan Syarh Bulughil Marom karya Syaikh Muhammad Al ‘Utsaimin mengenai hadits ini.

3- Batasan waktu niat puasa sunnah ini ada dua pendapat: (1) tidak boleh setelah pertengahan siang sebagaimana pendapat Abu Hanifah dan murid-muridnya, (2) boleh sebelum atau sesudah waktu zawal (tergelincirnya matahari ke barat) karena tidak disebutkan batasan dalam hal ini. Inilah al qoul jadid (pendapat terbaru) dari Imam Syafi’i dan jadi pegangan Imam Ahmad.

4- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam boleh memakan hadiah. Adapun sedekah tidak halal bagi beliau.

4- Boleh membatalkan puasa sunnah, namun jika ada maslahat atau kebutuhan, demikian kata para ulama. Akan tetapi, apakah ada qodho’ dalam hal ini? Jawabanya, tidak ada keharusan qodho’.

5- Boleh menampakkan amalan sholih yang sebenarnya bisa disembunyikan. Seperti dalam hadits ini disebutkan, “Berikan makanan tersebut padaku, padahal tadi pagi aku sudah berniat puasa.” Dan bisa saja Nabi kita –shallallahu ‘alaihi wa sallam– tidak menyebutkan perihal niatan puasanya pagi hari. Namun beliau menyebutkan demikian dalam rangka pengajaran pada kita selaku umatnya.

6- Setiap amalan sunnah boleh dibatalkan jika ada maslahat atau dalam keadaan butuh (ada hajat). Adapun untuk jihad sunnah, maka jika sudah berhadapan dengan musuh tidak bisa melarikan diri. Begitu pula haji dan umrah yang sunnah tidak boleh diputus kecuali jika dalam keadaan darurat, terhadang atau ada syarat yang dipersyaratkan ketika berniat ihram.

Semoga sajian ini bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq.

Referensi:

Fathu Dzil Jalali wal Ikrom bi Syarh Bulughil Marom, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, terbitan Madarul Wathon, 7: 92-107.

Minhatul ‘Allam fii Syarh Bulughil Marom, Syaikh ‘Abdullah bin Sholih Al Fauzan, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan ketiga, tahun 1432 H, 5: 22-26.

Fiqhul Islam Syarh Bulughil Marom, Syaikh ‘Abdul Qadir Syaibah Al Hamd, cetakan ketujuh, tahun 1432 H, 3: 194-195.

@ Pesantren Darush Sholihin, Warak, Girisekar, Panggang, Gunungkidul, Selasa sore menjelang maghrib, 9 Sya’ban 1434 H

www.rumaysho.com

Silakan follow status kami via Twitter @RumayshoCom, FB Muhammad Abduh Tuasikal dan FB Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA