Bahasa yang berkomunikatif tidak selalu harus merupakan bahasa formal jelaskan pernyataan tersebut

Bahasa mempunyai kaitan yang erat dalam proses komunikasi. Tidak ada satu peristiwa komunikasipun yang tidak melibatkan bahasa. Komunikasi pada hahekatnya adalah proses penyampaian pesan dari pengirim kepada  penerima. Hubungan komunikasi antara pengirim dan penerima, dibangun berdasarkan penyusunan kode atau simbol bahasa oleh pengirim (chiffrement) dan pembongkaran kode atau simbol bahasa oleh penerima (dechiffrement) (Rusdiarti, 2003: 35).

Mengingat kenyataan bahwa dalam berkomunikasi kita dihadapkan oleh varian penerima yang sangat beragam, maka keberhasilan komunikasi akan sangat ditentukan oleh bagaimana cara kita menyampaikan pesan. Tidak jarang dalam kenyataan sehari-hari kita dapati bahwa komunikasi yang kita lakukan tidak berhasil akibat ketidaktepatan cara berkomunikasi yang kita lakukan. Wardhaugh dalam bukunya An Introduction to Sociolinguistics (1986) menjelaskan bahwa ketika orang akan mulai berbicara paling tidak ada tiga hal yang mesti diperhatikan agar komunikasinya berlangsung efektif. Pertama,  apa yang akan dibicarakan. Kedua, dengan siapa dia akan bicara, dan ketiga, bagaimana cara membicarakannya. Dalam hal ini terkait dengan pemilihan ragam bahasanya, jenis kalimat, kosa kata, bahkan tinggi rendahnya suara saat berbicara. Keputusan mengenai mana yang akan dipakai  sangat tergantung pada sejauh mana hubungan sosial dengan lawan bicara.

Lebih lanjut, Badudu dalam bukunya Inilah Bahasa Indonesia yang Benar (1995) menjelaskan berbahasa yang efektif ialah berbahasa yang sesuai dengan “lingkungan” di mana bahasa itu digunakan. Menurutnya, ada beberapa faktor yang harus diperhatikan yaitu: (a) orang yang berbicara; (b) orang yang diajak bicara; (c) situasi pembicaraan apakah formal atau non-formal (santai); dan (d) masalah yang dibicarakan (topik).

Seorang Presiden yang sedang berdiri di depan forum resmi, tentulah harus menggunakan bahasa formal (bahasa baku). Demikian juga seorang guru yang sedang berdiri di depan kelas menyampaikan pelajaran kepada para muridnya atau seorang dosen yang memberikan kuliah kepada mahasiswanya. Hal ini mesti dilakukan karena situasinya adalah situasi formal. Seorang presiden ketika berada dalam forum resmi tentunya tidak tepat jika menggunakan ragam bahasa santai, misalnya dengan menggunakan dialek lokal.

Demikian juga, seorang kuli bangunan di Surabaya, misalnya, yang sedang bercakap-cakap dengan temannya sesama kuli, tentu menggunakan ragam bahasa seperti yang biasa mereka gunakan. Bahasa mereka tentu bukan bahasa baku, tetapi ragam bahasa santai dan dengan dialek lokal yang kental seperti peno, koen, rek, untuk mengganti anda atau saudara.

Kalau seorang ilmuwan bercakap dengan temannya sesama ilmuwan dan yang dibicarakan adalah tentang sesuatu yang menyangkut suatu ilmu, tentu harus  menggunakan bahasa baku (bahasa ilmiah). Demikian halnya kalau kita pergi ke pasar dan sedang melakukan transaksi jual beli, tentunya kita akan menggunakan ragam bahasa santai sesuai dengan dialek yang digunakan dalam masyarakat itu. Kalau seorang anak akan berangkat ke kantor dan berpamitan kepada orang tuanya, tentulah bahasa santai dan informal yang digunakan. Perhatikan contoh dialog berikut:

Anak                 : Bapak dan Ibu yang saya hormati. Saya pagi ini akan berangkat ke kantor. Untuk itu saya mohon do’a semoga saya selalu berada dalam lindungan Tuhan  sehingga selamat pada saat berangkat dan pulang.

Orang tua         : Anakku yang saya cintai. Silakan berangkat. Engkau anak yang baik. Saya sebagai orang tua selalu berdoa semoga engkau selamat sampai nanti kembali ke rumah.

Jika komunikasi model seperti di atas benar-benar berlangsung, maka betapa sulit dan kakunya hubungan antara anak dan orang tua tersebut. padahal sebagai sarana komunikasi, bahasa hadir untuk memudahkan komunikasi di antara pemakainya. Kerena itu, sekalipun bahasa tersebut cocok dengan situasinya, tetapi ragamnya tidak cocok.

Menurut Burke (dalam Eriyanto, 2000) dalam berkomunikasi manusia cenderung memilih kata-kata tertentu untuk mencapai tujuannya. Pemilihan kata-kata tersebut bersifat strategis. Dengan demikian, kata yang diucapkan, simbol yang diberikan, dan intonasi pembicaraan tidaklah semata-mata sebagai ekspresi pribadi atau cara berkomunikasi, tetapi dipakai dengan sengaja untuk maksud tertentu.

Berkenaan dengan hal di atas, pemilihan kosa kata terutama untuk dialog yang melibatkan dua kebudayaan yang berbeda adalah hal penting untuk diperhatikan dalam berkomunikasi.  Sebagai contoh adalah kosa kata mari dalam bahasa Jawa yang mempunyai pengertian selesai, tetapi kata ini memiliki penggunaan yang berbeda di beberapa daerah. Di Yogjakarta misalnya, kata ini tepat digunakan untuk  menyatakan sembuh dari sakit, sedangkan bagi masyarakat Malang dan Surabaya, misalnya, kata ini dapat digunakan untuk menunjuk pada selesainya pekerjaan.

Yogjakarta      : Wis mari tugasmu? (tidak tepat)

Wis rampung tugasmu? (tepat)

Malang           : Tiba’e wis mari lorone! (tepat)

Wis mari tugasmu? (tepat)

 

Meminjam pakar hermeneutika Gadamer (1977) bahwa ada makna tersembunyi ketika orang berkomunikasi yang saling dipahami (hidden communication). Itulah sebabnya, hal lain yang penting diperhatikan adalah memahami konteks pembicaraan. Sejauhmana hidden communication dapat dipahami itulah yang menentukan efektivitas dan keberhasilan dalam berkomunikasi. Tidaklah berlebihan jika Suparno (2000) menjelaskan bahwa komunikasi yang berhasil adalah komunikasi yang berbekal kemampuan menyimpulkan apa yang dilakukan oleh partisipan terhadap bentuk bahasa dan konteks penggunaannya. Karena budaya kita berkomunikasi cenderung menggunakan tindak tutur  tidak langsung (indirect speech act), maka perlu kemampuan menarik kesimpulan yang tepat dari apa yang dibicarakan.

Berdasarkan penjelasan di atas, kita dapat mengambil pemahaman bahwa ketidakberhasilan dalam berkomunikasi disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: (a) kekurangmampuan menarik kesimpulan dalam proses komunikasi; (b) ketidaktepatan pemilihan kosa kata; (c) kekurangcermatan dalam melihat konteks dan situasi komunikasi; dan (d) ketidakefektivan dalam berbahasa baik yang mencakup siapa mitra bicara, apa topik pembicaan  dan bagaimana cara berkomunikasi.

Ketidakberhasilan dalam berkomunikasi inilah yang dalam banyak hal telah menimbulkan masalah dan bahkan konflik. Masih hangat dalam ingatan kita bagaimana konflik yang terjadi antara Dewan Perwakilan Rakyat dengan Presiden Abdurrahman Wahid beberapa tahun lalu. AlHumani dalam tulisannya di Harian Umum Kompas Hilangnya Jiwa kenegarawanan (2000) memberikan analisis bahwa konflik yang terjadi antara elit di Senayan dan Istana Negara dipicu oleh adanya “kesalahan” dalam komunikasi. Dalam hal ini disebabkan oleh Gus Dur yang cenderung obral pernyataan kontroversial, liar dan cenderung sarkastik. Kata-kata seperti maling, biang keraok, DPR seperti Taman Kanak-Kanak, dan sebagainya adalah kata-kata yang kurang tepat dan cenderung bersifat sarkastik terlebih jika diucapkan seorang Presiden.

Dalam kapasitasnya sebagai presiden, tentu setiap tindakan dan ucapan Gus Dur berdampak besar dalam kehidupan sosial-politik dan ekonomi. Menurut Bourdie (1994) kekuatan kata atau ucapan tidak sekedar terletak pada kata dan ucapan itu sendiri, tetapi pada siapa yang mengucapkannya.

Oleh: Dr. Felicia N. Utorodewo
(Praktisi pendidikan dan pelatih bahasa Indonesia)

Tahun 2019, Presiden menerbitkan Peraturan Presiden nomor 63 tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia. Apa kiranya yang diatur dan apa imbasnya kepada komunikasi kita dalam kehidupan sehari-hari? Inti peraturan tersebut ada pada Bab II, Bagian 1, Pasal 2, tentang “Ketentuan Penggunaan Bahasa Indonesia”. Dicantumkan dalam Bab II, Bagian 1, bahwa “Penggunaan Bahasa Indonesia harus memenuhi kriteria Bahasa Indonesia yang baik dan benar”. Berikut akan dibahas kriteria bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Berbahasa Indonesia yang baik berarti bahwa kita harus menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan konteks berbahasa yang selaras dengan nilai sosial masyarakat. Peraturan ini berkaitan penggunaan ragam bahasa secara tulis dan lisan untuk kebutuhan berkomunikasi. Ragam bahasa dari sisi penggunaan bahasa ada dua, yaitu ragam formal dan ragam nonformal. Ada dua hal yang kita perhatikan dalam kalimat ini. Pertama, berbahasa sesuai dengan konteksnya dan, kedua, berbahasa selaras dengan nilai sosial masyarakat. Hal itu yang menjadi alasan mengapa Kurikulum 2013 menggunakan pendekatan berbasis teks dalam pengajaran berbahasa, baik bahasa Indonesia maupun bahasa lainnya. Bahasa diperkenalkan kepada siswa dalam konteksnya dan tidak sebagai satuan-satuan kata yang berdiri sendiri. Dengan demikian, siswa dihadapkan dengan konsep-konsep bahasa sejak awal. Misalnya, perbedaan penggunaan kata cuma dan hanya. Adapun, bahasa Indonesia yang baik berkaitan dengan nilai sosial masyarakat. Artinya, pada saat menggunakan bahasa, wajib diperhatikan kepada siapakah kita berkomunikasi. Berkomunikasi dengan teman tentu akan berbeda dengan berkomunikasi dengan orang tua. Kata aku digunakan kepada teman-teman dan kata saya digunakan kepada orang yang lebih tua atau yang dihormati. Dalam hal ini, kesantunan berbahasa mulai diajarkan.

Ilustrasi seseorang menulis (freepik.com / katemangostar)

Berbahasa Indonesia yang benar berarti bahwa harus digunakan bahasa Indonesia yang sesuai dengan kaidah atau aturan bahasa Indonesia. Kaidah bahasa Indonesia meliputi kaidah tata bahasa, kaidah ejaan, dan kaidah pembentukan istilah. Kaidah tata bahasa dan kaidah pembentukan istilah berkaitan dengan bahasa Indonesia lisan dan tulis. Penggunaan bahasa yang tidak memperhatikan kaidah tata bahasa akan membingungkan. Misalnya, kesalahan tata bahasa dalam kalimat “Karena sering kebanjiran, gubernur melarang pembangunan gedung di sana”. Apakah “gubernur” yang sering kebanjiran atau “suatu daerah”? Kesalahan seperti itu sering terjadi dalam kalimat majemuk. Kaidah ketatabahasaannya adalah “Dalam kalimat majemuk bertingkat, subjek dalam anak kalimat dapat dihilangkan jika induk kalimat dan anak kalimat mengandung subjek yang sama”. Dalam kalimat contoh, subjek pada induk kalimat tidak sama dengan subjek pada anak kalimat. Akibatnya, subjek pada anak kalimat wajib hadir. Kaidah pembentukan istilah berkaitan penggunaan kata serapan. Seringkali, ditemukan ucapan “Selamat pagi. Selamat menjalankan aktifitas hari ini”.

Pengguna bahasa tidak secara cermat membedakan penulisan aktif dan aktivitas karena dalam bahasa Indonesia bunyi [f] dan [v] tidak membedakan arti. Contoh lainnya, dalam kalimat Pengakuannya menunjukkan sisi gentle dari dirinya. Seharusnya, istilah yang digunakan adalah gentlemenKedua kata sifat ini berbeda arti. Kata gentle berarti ‘lemah lembut’, sedangkan gentlemen berarti ‘lelaki yang memiliki etika, moral, dan berbudi bahasa halus’. Penggunaan istilah asing, sebaiknya, disertai dengan pengetahuan tentang bahasa asing yang digunakan.

Adapun kaidah ejaan hanya berkaitan dengan penggunaan bahasa Indonesia tulis dan berkaitan dengan dua hal. Pertama, kaidah ejaan berkaitan dengan penulisan kata, misalnya sekadar bukan *sekedar; di antara bukan *diantara sebaliknya ditonton bukan *di tonton. Kedua, kaidah ejaan berkaitan dengan penggunaan tanda baca. Misalnya, “Yuk, kita makan, Eyang” akan berbeda artinya dengan “Yuk, kita makan Eyang”. Kalimat pertama ‘mengajak eyang untuk makan bersama’, sedangkan kalimat kedua berarti ‘mengajak kita untuk memakan eyang’. Penggunaan koma yang kecil menghasilkan perbedaan arti yang besar. 

Lalu, apakah itu berarti bahwa kita harus selalu berbahasa ragam formal? Pada saat kita berbicara dengan tukang sayur atau kepada teman, kita tentu tidak perlu menggunakan ragam formal. Permasalahannya adalah apakah pada saat berbahasa ragam nonformal, kita harus tetap mengindahkan kaidah berbahasa? Jawabannya adalah ya! Menggunakan kaidah dalam ragam nonformal berarti menggunakan pilihan kata yang sesuai dan tepat serta menggunakan kaidah tata bahasa yang benar. Misalnya, pada saat membeli bakso, jangan mengatakan, “*Bang, saya bakso pake bihun.” Kalimat itu bukan kalimat yang benar. Saya bukan bakso, saya orang. Untuk menjadi kalimat yang baik dan benar, hanya dibutuhkan satu kata, yaitu “mau” menjadi “Bang, saya mau bakso pake bihun.”   

Jadi, berbahasa Indonesia yang baik dan benar berarti menyampaikan pikiran dengan informasi yang lengkap secara teratur. Ragam bahasa yang digunakan dapat berupa ragam bahasa formal atau nonformal, bergantung pada konteksnya. 

Rubrik ini dipersembahkan oleh:

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA