Mengapa pembentukan peraturan perundang-undangan harus mengacu pada landasan filosofis

Sebagai negara hukum, terdapat beberapa peraturan dan undang-undang yang ada di Indonesia. Tentu dalam membuat sebuah peraturan perundang-undangan tidak boleh asal. Terdapat landasan hukum pembentukan peraturan perundang-undangan yang harus ditaati oleh pihak yang berwenang. Lalu apa saja landasan hukum pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia?

Peraturan perundang-undangan harus dikeluarkan oleh lembaga dan pihak yang berwenang atau lembaga legislatif. Terdapat struktur hierarki atau tata perundang-undangan yang sudah diatur dalam suatu negara dan harus ditaati oleh semua instansi masyarakat. Pada peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh lembaga yang lebih rendah mesti mengacu atau tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang telah dikeluarkan oleh lembaga yang lebih tinggi hierarkinya.

Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan tentunya juga terdapat asas dan landasan hukum tertentu. Nantinya landasan hukum inilah yang menjadi acuan dalam membentuk atau membuat sebuah peraturan perundang-undangan baru di Indonesia.

Landasan Peraturan Perundang-Undangan

Landasan utama dari peraturan perundang-undangan tentu mengacu pada Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) selaku konstitusi utama negara kesatuan Republik Indonesia. Pada pasal 22A UUD 1945 menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan undang-undang yang diatur dengan undang-undang. Kemudian peraturan undang-undang kembali dijabarkan dalam UU RI No. 12 Tahun 2011 mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Secara umum terdapat 3 landasan hukum pembentukan peraturan perundang-undangan yang utama. Adapun 3 landasan tersebut adalah landasan filosofis, landasan sosiologis dan landasan yuridis. Berikut akan kami jelaskan landasan hukum pembentukan peraturan perundang-undangan selengkapnya.

1. Landasan Filosofis

Landasan filosofis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu peraturan perundang-undangan bisa dikatakan memiliki landasan filosofis apabila rumusannya ataupun normanya mendapatkan pembenaran setelah dikaji secara filosofis. Definisi landasan pembentukan peraturan perundang-undangan yang berupa pertimbangan pandangan hidup ini sesuai dengan cita-cita pandangan hidup manusia dalam pergaulan hidup bermasyarakat dan cita-cita kebenaran, keadilan, jalan kehidupan, filsafat hidup bangsa serta kesusilaan.

2. Landasan Sosiologis

Landasan sosiologis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu suatu peraturan perundang-undangan bisa dikatakan memiliki landasan sosiologis bila sesuai dengan keyakinan umum, kesadaran hukum masyarakat, tata nilai dan hukum yang hidup di masyarakat. Secara umum, landasan pembentukan peraturan perundang-undangan harus berkaitan dengan kondisi atau kenyataan yang ada supaya peraturan yang dibuat dapat dijalankan.

3. Landasan Yuridis

Landasan yuridis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu peraturan perundang-undangan bisa dikatakan memiliki landasan yudiris bila terdapat dasar hukum, legalitas atau landasan yang terdapat dalam ketentuan hukum yang lebih tinggi derajatnya. Dalam landasan yuridis menekankan bahwa landasan pembentukan peraturan perundang-undangan harus berkaitan dengan kondisi hukum di Indonesia.

Nah itulah info pemerintahan mengenai pengertian peraturan perundang-undangan dan landasan hukum pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari landasan filosofis, landasan sosiologis dan landasan yuridis. Sekian artikel pemerintahan kali ini semoga bisa menjadi referensi.

Indonesia Darurat Peraturan

Jamaludin Ghafur, SH., MH[1]

Indonesia sebagai negara hukum mewajibkan semua orang – tidak terkecuali – aparatur pemerintah untuk tidak sewenang-wenang, melainkan harus tunduk pada peraturan hukum yang berlaku. Dari sini, eksistensi peraturan menjadi sangat penting.

Namun demikian, arti penting kehadiran berbagai peraturan tersebut sedang dipersoalkan. Pasalnya, jumlah peraturan yang ada saat ini kurang lebih 60 ribu dianggap terlalu banyak sehingga membingungkan. Terlebih, beberapa isinya saling tumpang tindih bahkan tidak singkron dan saling bertentangan.

Efeknya, hukum yang seharusnya menjadi pelopor bagi perkembangan ekonomi justru menjadi faktor penghambat. Merespon hal ini, Presiden berencana akan membentuk tim reformasi regulasi dengan tugas utama merampungkan obesitas hukum yang sudah akut.

Banyaknya peraturan salah satunya disebabkan oleh anggapan bahwa tugas yang paling penting dari parlemen adalah membuat peraturan (fungsi legislatif). Padahal selain fungsi tersebut, masih ada fungsi lainnya yang juga tidak kalah penting yaitu budgeting dan pengawasan. Ketika fungsi legislatif dianggap sebagai yang paling penting maka tidak dapat dihindari bila salah satu ukuran keberhasilan kinerja dewan adalah seberapa banyak dia memproduk peraturan.

Civil Law Tradition dan Common Law Tradition

Selain itu, masifnya pembentukan peraturan juga dipengaruhi oleh sistem hukum yang dianut oleh sebuah negara. Secara tradisional, terdapat dua kelompok tradisi hukum yang utama di dunia, yaitu tradisi hukum kontinental (Civil Law Tradition), dan tradisi hukum anglo-saksis (Common Law Tradition).

Perbedaan keduanya antara lain didasarkan pada peranan hukum perundang-undangan dan yurisprudensi (putusan badan peradilan). Negara-negara yang tergolong ke dalam hukum kontinental menempatkan hukum (peraturan) perundang-undangan sebagai sendi utama sistem hukumnya. Sedangkan negara-negara yang menganut tradisi hukum anglo-saksis menjadikan yurisprudensi sebagai sendi utama sistem hukumnya.

Indonesia sebagai negara yang menganut Sistem Hukum Eropa Kontinental (civil law system), eksistensi peraturan perundang-undangan sangatlah penting, karena bila dikaitkan dengan asas legalitas yang berarti setiap tindakan pemerintah harus memiliki dasar pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Maka, tanpa adanya dasar wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan, segala macam aparat pemerintah tidak akan memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi atau mengubah keadaan atau posisi hukum warga masyarakatnya.

Landasan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Sekalipun pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan konsekwensi dari sistem hukum kontinental yang dianut oleh Indonesia, namun bukan berarti proses pembentukannya dapat dilakukan secara serampangan. UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah mengatur bahwa agar peraturan yang dibuat berkualitas maka harus memenuhi tiga landasan: (1) landasan filosofis (filosofische grondslag) yaitu pertimbangan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan UUD 1945, (2) landasan sosiologis (sociologische grondslag) yaitu pertimbangan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek, dan (3) landasan yuridis (yuridische grondslag) yaitu pertimbangan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Berdasarkan hal di atas, akar masalah peraturan perundang-undangan di Indonesia bersumber pada tiga hal: Pertama, secara umum pembentukan peraturan perundang-undangan lebih banyak berlandaskan pada aspek filosofis-yuridis dan sangat minim pada kajian sosiologisnya. Padahal tepat tidaknya rumusan peraturan sangat ditentukan oleh kebutuhan masyarakat. Sehingga, kurangnya kajian sosiologis ini menyebabkan beberapa peraturan tidak menjawab persoalan hukum yang dihadapi rakyat. Bahkan dalam konteks tertentu, kehadiran hukum justru menimbulkan problem baru di tengah-tengah masyarakat.

Kedua, kalaupun kajian sosiologisnya sudah cukup memadai, dalam banyak hal dikalahkan oleh kepentingan politik pejabat legislatif dan eksekutif. Sehingga substansi peraturan tidak lagi aspiratif.

Ketiga, tidak singkronnya beberapa peraturan yang ada disebabkan oleh ego sektoral antar instansi pemerintah. Masing-masing instansi membuat peraturan sesuai keinginannya yang tidak jarang bertentangan dengan keinginan instansi lainnya.

Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah harus banyak terjun ke masyarakat dan melihat secara langsung masalah-masalah yang dihadapi masyarakat sehingga substansi peraturan akan kaya secara sosiologis. Selain itu, tenaga ahli di bidang perundangan-undangan harus diperkuat dengan merekrut orang-orang yang berkompeten.

Pada akhirnya, banyaknya jumlah peraturan yang ada sebenarnya tidak jadi soal sepanjang keberadaannya mampu menopang tegaknya Indonesia sebagai negara hukum yang bermartabat dan tentu saja mendukung terhadap tercapainya tujuan bernegara yaitu mensejahterakan rakyatnya. Peraturan akan menjadi masalah jika peningkatan kuantitas tidak diimbangi oleh kwalitas yang baik.

[1] Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Konstitusi FH UII. Kandidat Doktor FH UI Jakarta.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA