Bagaimana jika hukum nasional bertentangan dengan hukum adat

Sri Sudaryatmi

Abstract

The relation between customary law and national law in order to construct the national law is functional relation; meaning that the customary law as the primary source in collecting the necessary materials in constructing the national law. The customary law required in the globalization era or modern age is the customary law adapted to the situstion and development of age, so that, the customary law shows the dynamic characteristics, thus, it may develop easily to adapt itself to the development of the age because t has the universal values; also the legal institutions in the forms of modern realizations. With this adaptation, therefore, it opens the possibility of the purity of impementation of customary law principles into national law will undergo shifts, as long as to enrich and develop the national law, with the condition that it does not contradict to Pancasila and 1945 Constitution.

Keywords: customary law, construction of national law, globalization

Abstrak

Hubungan antara hukum adat dengan hukum nasional dalam rangka pembangunan hukum nasional adalah hubungan yang bersifat fungsional, artinya hukum adat sebagai sumber utama dalam mengambil bahan-bahan yang diperlukan dalam rangka pembangunan  hukum nasional. Hukum adat yang diperlukan dalam era globalisasi atau zaman modern adalah hukum adat yang disesuaikan dengan keadaan dan perkembangan zaman, sehingga hukum adat menunjukkan sifat yang dinamis sehingga dengan mudah dapat berkembang menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman karena mempunyai nilai-nilai yang universal maupun lembaga-lembaga hukum yang dalam bentuk pernyataan modern. Dengan penyesuaian ini maka tidak menutup kemungkinan kemurnian penerapan kaidah-kaidah hukum adat menjadi hukum nasional akan mengalami pergeseran, sepanjang untuk memperkaya dan mengembangkan hukum nasional, asal tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

Kata Kunci: Hukum Adat, Pembangunan Hukum Nasional, Globalisasi.


customary law, construction of national law, globalization


Lihat Foto

FACHMI RACHMAN

Awang Faroek Ishak dan Farid Wadjdy menerima gelar kehormatan dari warga Dayak Kaltim

JAKARTA, KOMPAS.com - Hukum adat yang masih berlaku di beberapa wilayah di Indonesia dinilai bertentangan dengan undang-undang maupun hukum lain yang berlaku serta mengabaikan hak-hak asasi manusia.

"Banyak sekali perempuan yang tidak berdaya ketika dihadapkan dengan hukum adat," ucap Direktur Jenderal HAM Prof. Harkristuti Harkrisnowo saat peluncuran buku panduan pelatihan HAM di Jakarta, Selasa (18/8).

Menurutnya, hukum adat yang berlaku di suatu masyarakat memang harus dihormati sejauh hukum adat tersebut tidak melanggar HAM khususnya hak-hak perempuan yang sering dilanggar. "Kita tidak bisa menerima hukum adat seperti apa adanya karena ternyata beberapa hukum adat melanggar hak-hak perempuan," tegasnya.

Sebagai contoh, paparnya, hukum adat di Amole Papua yang mewajibkan pengantin perempuan ketika malam pertama harus berhubungan badan dengan saudara pengantin pria terlebih dahulu.

Kasus lain dijelaskan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Hadi Supeno yang mengatakan bahwa di wilayah Sumbawa terdapat suatu adat Belis di mana seorang lelaki yang akan menikah harus memberikan sejumlah binatang kerbau atau kuda kepada keluarga mempelai perempuan.

Menurutnya, semakin banyak binatang yang diberikan kepada keluarga perempuan maka suami dapat bebas memukul istri. "Jika memberikan sedikit binatang, sedikit pula berhak memukul," katanya.

Kasus lain, ucap dia, adat Pasola atau tradisi perang dengan tombak sambil berkuda tanpa peraturan di Sumbawa Barat yang berlangsung sekali setahun pada bulan Februari sampai Maret. "Kepercayaan mereka semakin banyak darah yang tumpah, luka atau meninggal diartikan di wilayahnya akan panen raya. Mereka juga menganggap orang yang tidak jahat tidak akan terluka. Jadi sudah diasumsikan yang terluka orang jahat," ucapnya.

Polisi tidak dapat bertindak

Harkristuti menilai petugas penegak hukum di daerah tidak mau menggunakan kewenangannya untuk menindak hukum-hukum adat yang telah melanggar HAM. "Polisi tidak mau padahal undang-undang sudah jelas mengatur mereka (polisi) sangat bisa masuk (menindak)," tegasnya.

Namun menurut Hadi, Polisi di daerah tidak dapat berbuat banyak terhadap pelanggaran HAM tersebut mengingat jumlah aparat tidak mendukung. "Polisi jelas takut menindak karena hanya segelintir. Masih kalah dengan hukum adat yang dijaga oleh seluruh masyakarat," ucapnya.

Untuk itu Hadi dan Harkristuti berpendapat perlu adanya komunikasi intensif dengan tokoh-tokoh di daerah mengenai HAM agar pelanggaran HAM akibat hukum adat tidak terjadi kembali.

Hadi Supeno mengatakan, harus ada suatu lembaga yang melakukan identifikasi hukum adat mana saja yang melanggar HAM dan yang tidak. "Jika tidak melanggar hukum universal harus dipertahankan dan yang melanggar harus dihapus," ujarnya.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link //t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca berikutnya

5 Oktober 2020 in opini Tidak ada komentar 240078

Indonesia adalah negara yang menganut pluralitas dalam bidang hukumnya, dimana ada tiga hukum yang keberadaannya diakui dan berlaku yaitu hukum barat, hukum agama dan hukum adat. Pada prakteknya masih banyak masyarakat yang menggunakan hukum adat dalam mengatur kegiatan sehari-harinya serta dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang ada. Setiap wilayah di Indonesia mempunyai tata hukum adatnya masing-masing untuk mengatur kehidupan bermasyarakat yang beraneka ragam yang sebagian besar hukum adat tersebut tidak dalam bentuk aturan yang tertulis.

Hukum adat tersebut berkembang mengikuti perkembangan masyarakat dan tradisi rakyat yang ada. Hukum adat merupakan endapan kesusilaan dalam masyarakat yang kebenarannya mendapatkan pengakuan dalam masyarakat tersebut. Dalam perkembangannya, praktek yang terjadi dalam masyarakat hukum adat keberadaan hukum adat sering menimbulkan pertanyaan-pertanyaan apakah aturan hukum adat ini tetap dapat digunakan untuk mengatur kegiatan sehari-hari masyarakat dan menyelesaikan suatu permasalahan-permasalahan yang timbul di masyarakat hukum adat. Sementara itu negara kita juga mempunyai aturan hukum yang dibuat oleh badan atau lembaga pembuat undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya. Antara hukum adat dengan hukum negara mempunyai daya pengikat yang berbeda secara konstitusional bersifat sama tetapi terdapat perbedaan pada bentuk dan aspeknya.

Menurut Van Vollenhoven, hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku masyarakat yang berlaku dan mempunyai sanksi dan belum dikodifikasikan. Menurut Terhaar, hukum adat adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan adat dan berlaku secara spontan. Dapat disimpulkan hukum adat adalah suatu norma atau peraturan tidak tertulis yang dibuat untuk mengatur tingkah laku masyarakat  dan memiliki sanksi.

 Keberadaan hukum adat ini secara resmi telah diakui oleh negara keberadaannya tetapi penggunaannyapun terbatas. Merujuk pada pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dimana menyebutkan”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang” yang berarti bahwa negara mengakui keberadaan hukum adat serta konstitusional haknya dalam system hukum Indonesia. Disamping itu juga diatur dalam Pasal 3 UUPA “Pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”.

Polemik yang sering timbul adalah dalam hal pengakuan hak ulayat atau kepemilikan hak atas tanah. Hak ulayat yaitu hak penguasaan atas tanah masyarakat hukum adat yang dalam ketentuan peraturan perundang-undangan diakui oleh negara dimana dalam teorinya hak ulayat dapat mengembang (menguat) dan mengempis (melemah) sama juga halnya dengan hak-hak perorangan dan ini pula yang merupakan sifat istimewa hak-hak atas tanah yang tunduk pada hukum adat, “semakin kuat kedudukan hak ulayat maka hak milik atas tanah itu semakin mengempis tetapi apabila semakin kuat hak milik itu maka keberadaan hak ulayat itu akan berakhir”. Dengan telah diakuinya hak-hak kesatuan masyarakat hukum adat tetapi mengapa masih banyak permasalahan itu terjadi di daerah-daerah Indonesia. Banyak penggunaan tanah ulayat yang berakhir sengketa karena tidak sesuai dengan seharusnya. Hal itu timbul karena para investor seharusnya berurusan langsung dengan masyarakat adat sebagai pemilik hak ulayat untuk melaksanakan suatu perjanjian. Tetapi kenyataannya malah investor tersebut mendapatkan tanahnya melalui pemerintah yang mengakibatkan masyarakat adat selaku pemilik protes karena mengapa melakukan kegiatan investor ditanah mereka. Timbul juga sebuah kerugian sebagai efek samping dari terjadinya sengketa karena tanah tersebut dalam status quo sehingga tidak dapat digunakan secara optimal dan terjadilah penurunan kualitas sda yang bisa merugikan banyak pihak.

Negara dimana sebagai pemberi sebuah jaminan kepastian hukum adat terhadap masyarakat hukum adat dengan di berlakukannya UU No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA) diharapkan dapat mengurangi terjadinya sengketa dan memberikan keadilan untuk masyarakat adat. Karena dalam pasal 3 UUPA menyebutkan bahwa hukum tanah nasional bersumber pada hukum adat seharusnya secara otomatis hak-hak ulayat tersebut diakui tetapi dalam prakteknya tidak. Jangan sampai terjadinya tumpang tindih aturan yang berakibat kaburnya kepemilikan serta penguasaan dan pengelolaan oleh masyarakat adat dalam tatanan hukum Indonesia karena tidak adanya kepastian kedudukan tersebut.

Untuk konsep kedepannya diharapkan untuk adanya jaminan kepastian hukum tentang pengelolaan hak ulayat masyarakat hukum adat. Dimana haruslah dibuat secara lebih mendalam atau rinci peraturan perundang-undangannya baik itu bisa dalam Peraturan Presiden atau Peraturan Pemerintah dimana yang jelas dibawah undang-undang, apakah bisa dibuat dalam bentuk tertulis dalam hal hak atas tanah atau untuk pelaksanaannya. Supaya ada kejelasan hak milik dari pada masyarakat hukum adat itu kedepannya karena selama ini hukum adat memang dikenal dalam UUPA dan juga diatur dalam UUD 1945 tapi sejauh mana keberadaan hukum adat itu bisa menganulir hukum positif tidak ada kejelasannya.

Kelompok 22:

M. Ridho Saputra

Eryandi Pratama

Vita Sari Prihastoro

Brata Yudha Putra Sitio

Vaula Surya Hanifa

Amira Safitri


Recommended Posts

5 Oktober 2020

5 Oktober 2020

5 Oktober 2020

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA