Apakah yang harus kita lakukan terhadap pemeluk agama selain islam

tirto.id - Contoh toleransi antar umat beragama dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Contoh toleransi beragama seperti sikap menghormati pelaksanaan ibadah yang dianut pemeluk agama lain.

Contoh toleransi terhadap agama lain adalah menjadi dasar untuk hidup saling berdampingan dalam kehidupan berbangsa. Nilai ini harus diamalkan untuk hidup bernegara.

Nilai toleransi dan saling menghargai satu sama lain telah menjadi nilai moral yang sudah tertanam di Indonesia. Hal ini disebabkan karena Indonesia merupakan negara dengan berbagai macam adat, budaya, dan juga agama.

Pemerintah Indonesia mengakui enam agama. Agama tersebut ialah Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, dan Konghucu. Perbedaan inilah yang membuat Indonesia kaya akan budayanya dan tertanamnya karakter bangsa Indonesia untuk saling menghormati.

Negara Indonesia juga memberikan kebebasan bagi warganya untuk memeluk dan mengamalkan ajaran masing-masing agamanya. Seperti yang tertulis pada UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi:

"Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu".

Dari sini kita bisa melihat, bahwa Indonesia memberikan kebebasan penuh bagi warganya untuk memilih agamanya masing-masing, maka sudah seharusnya tingkat toleransi kita sebagai warga negara harus tinggi agar bisa menyesuaikan hak bebas tersebut.

Kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya di Indonesia sudah pasti tidak jauh dari sikap toleransi. Dilansir dari data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mempunyai 633 kelompok suku besar atau 1.340 suku bangsa.

Melihat banyaknya suku bangsa yang ada di Indonesia, tentu nilai saling menghormati dan toleransi sudah pasti menjadi suatu nilai yang harus diamalkan untuk hidup bernegara.

Contoh Toleransi Antar Umat Beragama

Lukman Surya Saputra dalam buku Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Untuk SMP/MTs Kelas VII (2017:103) menyebutkan, dalam kehidupan berbangsa, kita harus saling menghormati satu sama lain.

Baik itu dalam hal perbedaan suku, ras, maupun agama. Agama tidak mengajarkan untuk memaksakan keyakinan kita kepada orang lain.

Oleh karena itu, bentuk perilaku kehidupan dalam keberagaman agama di antaranya diwujudkan dalam bentuk sebagai berikut:

  • Melaksanakan ajaran agama yang dianutnya dengan baik dan benar.
  • Menghormati agama yang diyakini orang lain.
  • Tidak memaksakan keyakinan agama yang dianutnya kepada orang lain.
  • Toleran terhadap pelaksanaan ibadah yang dianut pemeluk agama lain.
  • Perilaku baik dalam kehidupan keberagaman beragama tersebut harus kita laksanakan.

Tidak hanya di lingkungan keluarga, namun juga di sekolah, masyarakat serta dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Hal inilah yang menjadi dasar untuk hidup saling berdampingan dalam kehidupan bernegara dan berbangsa.

Baca juga:

  • Tips dan Cara Menumbuhkan Toleransi pada Anak Versi Kemendikbud
  • Sejarah Hari Toleransi Internasional: Diperingati Tiap 16 November

Baca juga artikel terkait KEHIDUPAN BERAGAMA atau tulisan menarik lainnya Abraham William
(tirto.id - wlm/tha)


Penulis: Abraham William
Editor: Dhita Koesno
Kontributor: Abraham William

Subscribe for updates Unsubscribe from updates

Oleh  :  Dr. Wardani*

Ada adagium lama yang terdengar sangat indah: relevan dengan setiap waktu dan tempat” (shâlih li kulli zamân wa makân). Hal ini perlu dipertanyakan karena beberapa alasan. Pertama, tuntutan realitas selalu berkembang yang meniscayakan peninjauan ulang selalu terhadap pemikiran fiqh, karena sebagai pemikiran manusia atau ijtihadi tidak bisa diandaikan bahwa produk suatu pemahaman yang hidup dalam konteks sosio-historis dan politis tertentu adalah final. Tidak ada finalitas dalam pemikiran fiqh sejauh yang menyangkut konstruksi manusia di dalamnya.

Kedua, adagium itu hanya akan menjadikan fiqh sebagai dogmatisme teks-teks para ahli fiqh (nushûsh al-fuqahâ`) yang sebagiannya telah usang dan menjadi dianggap “suci”. Jika dianggap “suci”, maka tidak boleh dipertanyakan lagi. Anggapan keliru itulah yang menjadikan fiqh terbenam dalam kebekuan, kejumudan, statis, fanatisme mazhab, dan pertentangan antaraliran yang berujung pencelaan dan penghujatan.

Ketiga, adagium itu tidak berlaku karena melihat fakta stagnasi fiqh yang antara lain bercirikan jeratan konteks politis, terutama respon doktrinal Islam terhadap keberadaan komunitas agama-agama lain dalam fase perkembangan formatif fiqh yang kemudian melahirkan formulasi ajaran fiqh yang kini tidak hanya dirasakan sangat ketinggalan, tapi juga sangat diskriminatif dalam konteks keragaman.

Sebagai contoh, apa yang kemudian disebut sebagai fiqh jihad (fiqh al-jihâd) menjadi bagian penting dalam sistematika fiqh Islam klasik yang menyebutkan bahwa jihad merupakan kewajiban yang harus diembankan oleh kaum muslimin sampai hari kiamat. Bahkan, Imam Samudra pernah menuding kaum muslimin selama ini menyembunyikan kewajiban jihad itu. Banyak dari ajaran fiqh tentang relasi dengan komunitas lain kini benar-benar telah usang.

Doktrin fiqh seperti itu harus dipahami dalam konteks yang lebih luas, yaitu konteks sosio-politis masyarakat Islam awal, sehingga doktrin seperti itu lebih banyak merepresentasikan sikap politik yang kemudian “diwadahi” atau dijustifikasi dengan kewajiban doktrinal dengan interpretasi dan justifikasi keilmuan Islam lain yang kemudian secara otomatis melembagakan kekerasan. Imam Samudra, misalnya, menjustifikasi kewajiban “jihad mekanisnya” (baca: perang) dengan mengutip penjelasan Ibn Katsîr dalam tafsirnya tentang ayat-ayat perintah perang untuk menghilangkan fitnah yang ditafsirkan dengan polytheisme (syirk) yang membenarkan perang terhadap semua non-muslim. Ironisnya, perintah perang tersebut dijustifikasi oleh para pemuka Islam generasi awal pada masa pembentukan ilmu-ilmu tafsir dan ditransmisikan secara tidak kritis kepada generasi para penafsir, termasuk Ibn Katsîr, sebagai bagian keilmuan yang harus diikuti dengan perangkat seperti teori “penghapusan” (naskh, abrogation) semua ayat-ayat al-Qur’an yang dikatakan mencapai seratus dua puluh empat ayat yang berisi sikap rekonsiliatif dan inklusif kaum muslimin dengan “ayat pedang” (âyat as-sayf) pada QS. at-Tawbah: 5. Dengan kondisi yang tidak pas seperti itu, sulit untuk membantah beberapa kritik tajam Barat, seperti dilontarkan oleh Zwemer, perintis terbitnya The Muslim World sejak 1911, sebuah jurnal kalangan islamisis terkemuka: “Pedang Mahomet [Muhammad] dan al-Qur’an adalah musuh yang paling fatal bagi peradaban, kebebasan, dan kebenaran yang pernah dikenal oleh dunia” (The Muslim World, vol. xxi, April 1931, no. II, h. 109).

Apalagi, Ibn ‘Abidîn, seorang penulis fiqh terkenal beraliran Hanafi, menyimpulkan bahwa pada permulaan karirnya, Muhammad  mempropagandakan agama Islam dengan pengajaran, dengan dakwah, dan argumen. Pada beberapa surah yang turun lebih awal, tegas Ibn ‘Abidîn, ia mengatakan bahwa ia hanyalah seorang pemberi peringatan. Akan tetapi, ketika ia memperoleh kekuasaan, ia juga merasa sadar sebagai seorang penguasa baru dan memutuskan untuk menggunakan pedang. Nah, dengan adanya mata-rantai atau siklus kekerasan yang terlembagakan melalui silang keilmuan tersebut, akhirnya, usaha para ulama membendung kritik Barat tersebut sulit dilakukan, apalagi problem historis penyebaran Islam. Model pemahaman yang salah tersebut kemudian ditransmisikan dari generasi ke generasi hingga melahirkan pelbagai gerakan Islam garis keras.

Dengan nalar para ahli yang tidak kritis terhadap warisan pendahulunya, termasuk generasi sahabat, tabi’ûn, dan atbâ’ at-tâbi’în di mana ilmu-ilmu Islam dinormatifkan, fiqh menjadi institusi pembenaran kekerasan yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi dasar vitalnya. Ayat perang dengan justifikasi ilmu tafsir melahirkan dikotomi tajam “wilayah Islam” (dâr al-Islâm) vs “wilayah perang” (dâr al-harb) yang menjadi titik-tolak munculnya semua diskriminasi terhadap non-muslim. Dengan bertolak dari kerangka berpikir seperti itu, al-Syîrâzî, penulis al-Muhazzab, misalnya memformulasi ajaran fiqh Syafi’iyah tentang pembatasan gerak non-muslim, seperti: tidak boleh membangun rumah yang tingginya melebihi tinggi rumah kaum muslimin, tidak boleh berpakaian yang lebih baik, seperti dengan memakai kopiah, dan jika mereka memakai kopiah, bagian dari kopiah yang dipakai oleh non-muslin tersebut harus dirobek.

Dalam aturan fiqh yang dikatakan didasarkan hadis yang dipahami keliru dibuat aturan tentang tidak boleh menjawab salam dari non-muslim dan jika berpapasan di jalan, mereka harus didesak ke pinggir jalan yang sempit. Imam an-Nawawi dari mazhab Syafi’i dalam al-Azkar bahkan berijtihad aneh, yaitu jika seorang muslim terlanjur memberi salam atau menjawab salam dari non-muslim, ia harus meralatnya dengan mengatakan: “Kembalikan salamku!” (rudda ‘alayya salâmî). Tujuannya adalah untuk menunjukkan rasa permusuhan. Jika fiqh dibangun di atas tujuan tersebut, tak heran bahwa ijtihad yang dilakukan juga melahirkan fiqh kekerasan.

Memperbarui Fiqh

Fiqh dengan formulasi lama seperti itu adalah bagian dari potret fiqh yang telah usang. Kini perlu mengembalikan dari apa yang diistilahkan oleh Fazlur Rahman sebagai legal spesific (rincian hukum fiqh) ke ideal moralnya atau nilai-nilai moralnya (moral values). Kemanusiaan yang menjadi inti ajaran fiqh, bahkan menjadi inti ajaran Islam, harus menjadi titik-tolak memperbarui fiqh lama menuju fiqh yang lebih bisa menerima keberadaan komunitas lain. Lagi pula, menerima keberadaan yang lain tidak menghilangkan keberadaan kaum muslimin sendiri. Bahkan, sebaliknya, penolakan keberadaan orang lain hanya akan merendahkan martabat kaum muslimin sendiri dan martabat fiqh. Memang, di satu sisi kita harus jalan pikiran para ulama masa lalu, seperti situasi sulit selama momen-momen melelahkan secara psikologis pada era Perang Salib. Akan tetapi, waktu telah berubah dan tempat juga berbeda, sehingga hal itu menghendaki juga perubahan formulasi hukum dengan spirit etis al-Qur`an sendiri.

Pembaruan fiqh berarti menakar kembali kadar kemanusiaan dalam formulasi hukum fiqh. Semangat inilah yang bisa kita tangkap dari kritik para intelektual Islam terhadap fiqh, seperti Muhammad Syahrûr dan Sa’îd al-‘Asymâwî. Yûsuf al-Qaradhâwî pernah menulis Fiqh al-Aqaliyyat al-Muslimah yang hanya membahas komunitas muslim. Pembaruan fiqh diperlukan dalam bingkai kemanusiaan dan pluralitas agama, budaya, dan etnis yang menjadi keniscayaan sepanjang zaman. Di samping itu, juga perlu mengembalikan fiqh ke nilai-nilai moralnya, dan dengan mempertimbangkan kembali konteks ruang dan waktu (locus and tempos) yang sebenarnya tidak selalu relevan untuk sekarang. Bahkan, konteks itu telah hilang dan berganti, seperti perumusan fiqh lama yang diliputi oleh semangat “terlalu menjaga” (over-protection, terlalu defensif, atau bahkan ofensif) untuk kepentingan keutuhan komunitas muslim berhadapan dengan komunitas-komunitas lain. Barangkali perumusan fiqh lama ini adalah karena konteks politis, seperti tampak dalam perhatian terhadap hal-hal yang simbolik—yang sebenarnya naïve–dalam rumusan al-Muhazzab tersebut.

Di petunjuk beribadah di masyarakat Banjar dalam bentuk parukunan, ada larangan memakai kacapiu (topi) dan tali leher (dasi), karena hal ini termasuk “binasa iman” (yang bisa menjadikan seorang muslim kehilangan imannya atau menjadi murtad). Memang, formulasi ini tidak lepas dari konteks pada waktu itu atau konteks sebelumnya yang berpengaruh kemudian, yaitu situasi kolonialisme Belanda pada waktu itu.

Langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah keberanian mempertanyakan kembali asumsi-asumsi atau teori-teori disiplin kelimuan yang melanggengkan kesalahan (baca: kekerasan) fiqh tersebut, termasuk mempertanyakan ortodoksi yang selalu menyandarkan secara tidak kritis beberapa asumsi atau teori disiplin keilmuan Islam ke generasi terdahulu, seperti justifikasi teori penghapusan seratus dua puluh empat ayat al-Qur’an tentang perintah bersikap inkulsif dengan “ayat pedang” dengan bersandar kepada ortodoksi sahabat dan generasi sesudahnya. Itu artinya bahwa pembaruan fiqh menghendaki juga pembaruan ilmu-ilmu lain yang terkait. Jika ini bisa dilakukan, akan lahir fiqh yang inklusif. Meski memutus cara berpikir yang salah dalam pikiran dari generasi ke generasi ini bukanlah soal yang gampang, tapi hal itu niscaya untuk dilakukan.

*Penulis adalah dosen pada Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Antasari Banjarmasin, Ketua Pusat Penelitian dan Publikasi Ilmiah LP2M UIN Antasari Banjarmasin

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA