Apa yang terjadi ketika kalian bermain tidak ada yang mau membereskan mainan

Agar anak lebih patuh dan terbiasa membereskan mainan, Anda sebagai orangtua perlu melatihnya sejak dini. Semoga tips-tips di artikel berikut bisa membantu ya, Bu.

Cara jitu mengajarkan anak merapikan mainan

Tentu menyenangkan rasanya melihat anak asyik bermain dengan mainannya.

Masalah baru muncul ketika si kecil sudah selesai bermain, tapi tidak mau membereskan mainannya.

Untungnya, ada beberapa tips yang dapat Anda lakukan untuk mengajarkan anak merapikan mainan sendiri.

Apa saja tips yang perlu dilakukan para ibu dan ayah? Yuk, baca terus artikel ini.

1. Menanamkan pentingnya merapikan mainan

Mengajari anak untuk membereskan kamar dan barang-barangnya setelah bermain tidaklah mudah.

Oleh karena itu, Anda perlu memberi pemahaman pada si kecil mengenai pentingnya kegiatan tersebut.

Anak-anak pada dasarnya tidak suka beres-beres. Jika tidak mengerti pentingnya tugas itu, anak tidak akan termotivasi untuk melakukannya.

Jadi, sebelum Anda mengajarkan anak merapikan mainan, coba tanamkan dahulu pentingnya kegiatan ini.

Sebagai contoh, katakan pada anak bahwa dia sendiri atau orang lain bisa terpeleset jika mainannya dibiarkan berantakan.

Anda juga bisa mengatakan bahwa mainan yang tidak dirapikan bisa hilang dan tidak asyik dimainkan lagi.

Carilah alasan yang paling berkaitan dengan anak Anda.

Dengan cara ini, anak lambat laun akan melakukan tanggung jawabnya secara mandiri.

2. Merapikan mainan pada sore hari

Anak-anak, terutama yang masih usia balita, akan cepat merasa bosan bila harus merapikan mainannya setiap kali selesai bermain.

Oleh sebab itu, cobalah mengajak anak Anda membereskan mainannya pada sore hari ketika ia betul-betul tidak ingin bermain lagi.

Jadikan ini sebagai rutinitas harian sehingga anak Anda terbiasa melakukan kegiatan tersebut. Kebiasaan yang dilakukan sejak kecil akan membekas seiring waktu.

Ketika ia sudah cukup besar, anak diharapkan sudah punya kesadaran untuk merapikan mainannya sendiri.

3. Menjadi orangtua yang tegas tapi fleksibel

Jika anak membuat sesuatu yang rumit dan belum selesai hingga waktu beres-beres, katakan padanya untuk menyelesaikannya besok.

Sebisa mungkin terapkan kedisiplinan pada anak, tapi tetap hargai keinginannya untuk menyimpan mainan yang belum selesai tersebut.

Sediakan tempat untuk menaruh mainan yang akan diselesaikan besok, lalu ajaklah anak merapikannya bersama.


“Anak-anak, ayo kita bereskan mainannya !,”  kata seorang ibu guru setelah melihat mainan di kelas berserakan di lantai. Namun banyak anak yang menolak perintah dengan mengatakan, “Bukan saya yang main bu guru, tapi si A!”. Sementara si A yang merasa tidak ikut bermain, juga menghindar dari perintah bu guru. Hanya beberapa anak yang mau membantu membereskan mainan bersama bu guru.

Di lain waktu, ada beberapa anak yang belum selesai mengerjakan tugas dari bu guru, dan saat ditayna bu guru, si anak malah menyalahkan anak lain yang telah mengganggunya dengan berbicara terus di hadapannya. Dalam kasus lain, juga ada anak yang memakai sepatu berlumpur, melenggang di atas karpet. Saat ditegur bu guru, si anak malah mengatakan, “Aku takut dikejar-kejar anjing bu guru!”.

Anak usia dini seringkali belum mengerti bahwa semua orang pernah berbuat kesalahan. Mereka cenderung, seperti kata Kate Roberts, Ph.D, ahli psikologi, seperti dikutip www.parents.com, "Menyalahkan seseorang hanyalah cara mereka untuk menghindari ketidaksetujuan dan konsekuensi negatif."

Belajar bertanggung jawab dan berani mengakui kesalahan perlu dilatih sejak anak usia dini, agar kecakapan sosial, emosional, kemandirian dan karakter-karakter positif pada diri anak berkembang dengan baik.

Menurut Tamekia Reece di www.parent.com, berikut kiat untuk membantu anak Anda memiliki sikap bertanggung jawab atas tindakannya.

Pertama, hubungkan sebab akibat. Bantu anak Anda membuat hubungan antara apa yang dia lakukan dan apa yang terjadi dengan menunjukkan contoh-contoh kehidupan nyata, kata Rachel Robertson, direktur pendidikan dan pengembangan di Bright Horizons Family Solutions di Watertown, Massachusetts. Misal, sebagai orang tua atau guru kita bisa mengatakan, “Karena kalian sudah bisa bertanggung jawab membereskan mainan yang berantakan di lantai tadi, sekarang lantai kita bersih dan bisa kita gunakan untuk kegiatan lainnya lagi.“ Atau, “Karena kamu memakai sepatu berlumpur dan berjalan di atas karpet tadi, sekarang karpet menjadi kotor.” Orang tua dapat mengajak anak ikut memikirkan atas apa yang telah diperbuat. Ajak anak untuk berpikir sebab akibat. Semakin banyak pengalaman yang ia dapatkan untuk mengidentifikasi sebab dan akibat, semakin mudah baginya untuk bertanggung jawab atas segala perbuatan dan tindakan yang ia lakukan.

Kedua, ajarkan anak untuk bersikap jujur, yaitu sikap yang mencerminkan adanya kesesuaian antara hati, perkataan dan perbuatan, sikap apa adanya, tidak ditutup- tutupi atau tidak berbohong. Sikap anak yang masih polos akan sangat mudah kita latih untuk bersikap jujur, namun anak akan sulit untuk bersikap jujur apabila setiap melakukan kesalahan, anak dimarahi orang-tuanya atau dihukum. Hal demikian akan membuat anak takut untuk mengakui kesalahan.

Cobalah untuk tetap tenang ketika mengungkapkan ketidakpuasan orang tua terhadap perilaku anak yang buruk, demikian saran Philip Dembo, Ph.D., penulis The Real Purpose of Parenting: The Book You Wish Your Parents Read. menjadi tenang dan mudah didekati akan membuat anak lebih mudah mengakui kesalahan di masa mendatang. Biarkan dia tahu bahwa semua orang bisa saja membuat kesalahan, dan bahwa yang paling penting adalah dia jujur, belajar dari situasi, dan mencoba memperbaiki kesalahan. Kemudian, diskusikan apa yang bisa dia lakukan secara berbeda, bagaimana dia bisa membuatnya lebih baik, dan konsekuensinya. Jangan lupa untuk memuji kejujurannya, jika anak sudah mampu melakukannya.

Ketiga, tetap berpegang pada aturan. Seringkali orang tua tidak tega atau tidak konsisten terhadap aturan yang dibuat untuk anak-anaknya. Apalagi kalau anak akhirnya merengek, menangis atau marah-marah sambil mengancam ini itu.  Dengan cara begitu, secara tidak langsung, anak belajar bahwa ia tidak harus mengambil peraturan secara serius dan dapat meyakinkan orang tua untuk bersikap lunak kepadanya. Untuk dapat bertanggung jawab, orang tua perlu belajar menerima konsekuensi dari kata-kata, tindakan, dan keputusannya, dan satu-satunya cara anak akan melakukannya adalah jika orang tua konsisten dengan aturan dan disiplin, kata Dr. Dembo.

Keempat, ikuti terus kemajuan anak dalam mengembangkan sikap bertanggungjawab. Buatlah kegiatan yang dapat membantu anak melatih sikap tanggungjawab dengan kegiatan yang kreatif dan menyenangkan. Misal, setiap anak bisa bertanggungjawab akan mendapatkan poin atau voucher, dan setiapkali anak membuat alasan atau mencoba menyalahkan orang lain, dia kehilangan 1 poin atau voucher. Buatlah grafik di papan yang tergantung di pintu ruang kelas atau kamar tidur untuk melihat perkembangannya. Jika anak bisa melewati minggu tanpa mencapai nol, berilah anak hadiah atas keberhasilannya bertanggungjawab. Grafik ini sekaligus untuk mengingatkan agar anak bersemangat dalam menjaga sikap bertanggungjawab atas perbuatannya.

Selain keempat kiat di atas, orang tua dan guru juga perlu melatih keberanian anak untuk bertanggungjawab, karena mengakui kesalahan dibutuhkan keberanian. Kalau anak belum berani meminta maaf, orang tua dapat menemani anak untuk meminta maaf, agar timbul rasa percaya diri pada anak dan berani bertanggungjawab. Melatih anak mau mengakui kesalahan akan memberikan efek yang sangat baik untuk pertumbuhan dan perkembangan serta kepribadian anak.

Berikan rasa aman kepada anak dan jangan paksa anak untuk mengakui kesalahan, kalau anak menghindar dan masih takut untuk mengakui kesalahan. Anak akan semakin takut, kalau orang tua menyudutkan dan memaksa anak untuk mengakui kesalahan. Berilah dukungan dan rasa aman kepada anak, kalau anak sudah merasa aman, biasanya anak pun akan bersikap jujur dan berani mengakui kesalahan dan tumbuhlah sikap bertanggungjawab pada diri anak.

Berilah contoh nyata dan keteladanan dari orang tua. Anak-anak adalah peniru ulung. Apa yang dilakukan orang tuanya akan menjadi contoh untuk anaknya. Oleh karena itu, di saat orang tua melakukan kesalahan dan diketahui anak, tidak usah malu untuk meminta maaf dan mengakui kesalahan. Dan berilah contoh nyata kepada anak-anak bagaimana kita bisa memperbaiki kesalahan dan bertanggungjawab atas tindakan yang sudah kita lakukan. *

Siti Munfarijah, M.Pd, Kepala TK Diponegoro 146 Kalibogor, Purwokerto Barat

sumber gambar : //www.medicaldaily.com

Ida Munfarijah

Kepala Sekolah di TK Diponegoro 146 a Purwokerto Barat, Kabupaten Banyumas. Pegiat Literasi dan owner di TBM Mekar Ilmu.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA