Apa sebutan kepala desa untuk di suku baduy

Liputan6.com, Banten - Nyaris dikabarkan, bahwa Suku Baduy zero COVID-19 di tengah-tengah gempuran pageblug COVID-19, yang melanda hampir di seluruh belahan dunia.

Tak ayal jika mendengar Suku Baduy, kita langsung terbayang orang yang mengenakan kain sederhana, dengan ikatan kain di kepala, dan berjalan tanpa alas kaki sambil menjajakan madu murni.

Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Sekitar 40 km dari RangkasBitung pusat kota di Lebak-Banten.

Desa Kanekes menjadi dasar penyebutan diri mereka, yaitu Urang Kanekes-Baduy, yang sebutan Baduy tersebut. Yang mengacu pada sebutan kaum Belanda, karena kesamaan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang gemar berpindah-pindah.

Konon sejarahnya, Suku Baduy ini adalah keturunan dari dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut mereka yakini terhubung dengan Nabi Adam A.S.

Dan juga terus berketurunan, hingga Prabu Siliwangi (kepercayaan) yang mempunyai anak Kian Santang (Muslim), keturunan. Serta murid-murid merekalah, yang berpindah ke daerah Baduy ini (dipetik dari tokoh masyarakat, guru membaca dan mengaji, ibu PKK, dan kader kesehatan di Baduy).

Hingga kini ada 3 lapisan Suku Baduy yaitu:

1. Baduy Dangka, yaitu warga Baduy yang sudah tinggal di luar tanah adat, tidak terikat lagi oleh aturan adat dan kepercayaan animism Sunda Wiwitan yang dijunjung Suku Baduy, tampak seperti orang kebanyakan yaitu melek teknologi dan mengenyam pendidikan

2. Baduy Luar, yaitu masih tinggal di dalam tanah adat, masih menjunjung kepercayaan Sunda Wiwitan.

Walaupun mereka hidup tradisional, namun mereka sudah mengenyam pendidikan dan paham teknologi. Ciri khas Suku Baduy Luar berpakaian hitam atau hasil tenunan mereka dan ikatan kepala biru, seperti batik biru benhur.

3. Baduy Dalam, yakni dikenal juga dengan Baduy Jaro. Jaro Pamarentah itu adalah kepala desa mereka, yang berhubungan dengan Camat dan pemerintahan Indonesia.

Scroll down untuk melanjutkan membaca

Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo (Garna, 1993). Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang kenekeas adalah keturunan Batara Cikal yang merupakan salah satu dewa atau batara yang turun ke bumi. Asal usul tersebut juga sering dikait-kaitkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama manusia.

Suku Baduy di Banten terbagi menjadi dua. Ada suku Baduy Dalam dan suku Baduy Luar, Masyarakat suku Baduy Luar sudah terkontaminasi dengan budaya luar/modern. Penggunaan barang elektronik dan sabun diperkenankan ketua adat yang disebut Jaro untuk menopang aktivitas dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Selain itu, Baduy Luar juga menerima tamu yang berasal dari luar Indonesia, mereka diperbolehkan mengunjungi hingga menginap di salah satu rumah warga Baduy Luar. Perbedaan lainnya terlihat dari cara berpakaian yang dikenakan. Pakaian adat atau baju dalam keseharian Baduy Luar tersirat dalam balutan warna putih yang mendominasi, kadang hanya bagian celananya saja bewarna hitam ataupun biru tua. Warna putih melambangkan kesucian dan budaya yang tidak terpengaruh dari luar. Beda dengan Baduy Luar yang menggunakan baju serba hitam atau biru tua saat melakukan aktivitas.

Baduy Dalam memiliki tiga kampung yang bertugas mengakomodir kebutuhan dasar yang di perlukan semua masyarakat Suku Baduy. Tugas ini dipimpin oleh Pu'un selaku ketua adat tertinggi dibantu dengan Jaro sebagai wakilnya. Kampung Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo adalah tiga kampung tempat Suku Baduy tinggal, sedangkan kelompok masyarakat Baduy Luar tinggal di 50 kampung lainnya yang berada di bukit-bukit Gunung Kendeng.

Suku baduy pada umumnya menggunakan bahasa dengan dialek sunda-banten sebagai alat komunikasi dengan masyarakat luar. Masyarakat suku baduy sebenarnya menegerti bahasa indonesia walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Karena masyarakat baduy tidak mengenal sekolah sehingga mereka hanya tidak menegenal budaya tulis menulis. Usaha pemerintah untuk membangun fasilitas sekolah di wilayah tersebut ditolak keras olah masyarakat baduy, karena menurut mereka pendidikan sanagat berlawanan dengan adat istiadat mereka.

Kepercayaan yang dianut oleh Suku Baduy atau masyarakat kanekes sendiri sering disebut dengan Sunda Wiwitan yang berdasarkan pada pemujaan nenek moyang (animisme), namun semakin berkembang dan dipengaruhi oleh agama lainnya seperti agama Islam, Budha dan Hindu. Namun inti dari kepercayaan itu sendiri ditunjukkan dengan ketentuan adat yang mutlak dengan adanya “pikukuh” ( kepatuhan) dengan konsep tidak ada perubahan sesedikit mungkin atau tanpa perubahan apapun.

Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah berupa Arca Domas, masyarakat baduy sendiri merahasiakan lokasi keberadaan arca tersebut karena dianggap paling sakral. masyarakay baduy mengunjungi lokasi tersebut dan melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan kalima. Hanya ketua adat tertinggi puun dan rombongannya yang terpilih saja yang dapat mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di daerah arca tersebut terdapat batu lumping yang dipercaya apabila saat pemujaan batu tersebut terlihat penuh maka pertanda hujan akan sering turun dan panen akan berhasil, dan begitu juga sebaliknya, jika kering atau berair keruh pertanda akan terjadi kegagalan pada panen.

Salah satu tradisi dari warga Baduy Dalam yang hingga kini masih terus dijalankan adalah tradisi Kawalu. Kawalu adalah puasa yang dijalankan oleh warga Baduy Dalam yang dirayakan tiga kali selama tiga bulan. Pada puasa ini warga Baduy Dalam berdoa kepada Tuhan agar negara ini diberikan rasa aman, damai, dan sejahtera. Pada saat tradisi Kawalu dijalankan, para wisatawan dilarang masuk ke dalam wilayah Baduy Dalam. Apabila ada kepentingan, biasanya wisatawan hanya diperbolehkan berkunjung sampai Baduy Luar dan itupun tidak diperbolehkan menginap.

Mata pencaharian masyarakat Baduy adalah bertani dan menjual buah-buahan yang mereka dapatkan dari hutan. Selain itu Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba yang masih rutin diadakan setahun sekali dengan mengantarkan hasil bumi kepada penguasa setempat yaitu Gubernur Banten

Dari hal tersebut terciptanya interaksi yang erat antara masyarakat Baduy dan penduduk luar. Ketika pekerjaan mereka diladang tidak mencukupi, orang Baduy biasanya berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan berjalan kaki, umumnya mereka berangkat dengan jumlah yang kecil antara 3 sampai 5 orang untuk mejual madu dan kerajinan tangan mereka untuk mencukupi kebutuhan hidupnya

Perdagangan yang semula hanya dilakukan dengan barter kini sudah menggunakan mata uang rupiah. Orang baduy menjual hasil pertaniannya dan buah-buahan melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.



KONTAN.CO.ID - Presiden Joko Widodo (Jokowi) terlihat mengenakan pakaian adat dari Suku Baduy yang berasal dari Provinsi Banten saat menghadiri Sidang Tahunan MPR RI tahun 2021 di Gedung Nusantara. "Busana yang dipakai Presiden adalah pakaian adat Suku Baduy, yang berada di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten," ujar Staf Khusus Kementerian Sekretariat Negara Faldo Maldini dikutip Kontan.co.id, Senin (15/8). Lantas, seperti apa Suku Baduy yang berasal dari Provinsi Banten? Baca Juga: Jokowi gunakan baju adat Suku Baduy dalam pidato kenegaraan di Sidang Tahunan MPR

Mengenal Suku Baduy dari Banten

Dirangkum dari laman Indonesia.go.id, asal muasal sebutan "Baduy" adalah pemberian dari para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain asal sebutan Baduy adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut.  Selain itu, Suku Baduy juga dikenal dengan Urang Kanekes atau Orang Kanekes. Orang Kanekes merupakan kelompok etnis masyarakat adat suku Banten di wilayah Kabupaten Lebak, Banten.   Populasi Urang Kanekes ini diperkirakan 26.000 orang, dan mereka merupakan salah satu suku yang mengisolasi diri mereka dari dunia luar.  Sehingga, mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo. Baca Juga: Mahoni Bangun Sentosa, taman wisata terbaru di Kota Serang


Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA