Mengapa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi?

Belum lama lalu, pemerintah melakukan pencabutan terhadap 3. 143 peraturan daerah atau perda yang dianggap bermasalah. Demikian halnya di DIY terdapat 83 perda dibatalkan. Perda-perda di DIY yang dicabut tersebut merupakan perda produk tahun 1950-an hingga 1996.

Ahli Hukum Tata Negara dari Fakultas Hukum UGM, Oce Madril, M.A., menyebutkan suatu perda layak dicabut apabila tidak memiliki kesesuaian lagi dengan peraturan perundang-undangan di atasnya. Tidak hanya itu, pembatalan perda juga dilakukan karena perda-perda yang ada sudah tidak relevan dengan era sekarang dan juga tidak ada lagi objek yang diatur.

“Banyak perda dibatalkan karena secara jelas rumusannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya,” tuturnya, Selasa (6/9).

Oce Madril menyebutkan bahwa pencabutan perda juga dapat dilakukan apabila perda yang ada bersifat menghambat kegiatan investasi dan pembangunan. Misalnya saja perda-perda yang mengganggu kegiatan masuknya investasi seperti perijinan yang berbelit-belit dapat dilakukan pembatalan.

“Perda juga bisa dicabut jika bersifat SARA,” tuturnya.

Oce Madril menambahkan terdapat perda yang tidak perlu dicabut. Perda-perda yang meskipun tidak diatur oleh peraturan perundang-undangan lebih tinggi, tetapi muncul dari aspirasi daerah maka tidak perlu dianulir. Semisal, perda yang berhubungan dengan sejarah suatu wilayah. Walaupun perda yang mengatur hal tersebut tidak lagi relevan dengan era sekarang, namun memperlihatkan nilai-nilai dan perkembangan budaya daerah maka harus terus dijaga.

“Seperti Perda pembentukan Desa atau Wilayah perlu dipertahankan karena perda tersebut menjadi dasar hukum historis keberadaan wilayah itu, termasuk di DIY,” katanya.

Terkait pencabutan 83 perda di DIY, Oce Madril menilai kedepan masih terbuka kemungkinan pencabutan kembali perda DIY, hanya saja tidak dalam jumlah besar. Pasalnya, pemerintah DIY telah secara aktif melakukan revisi dan penyesuaian perda dengan peraturan yang baru.

“Sejak adanya Perda Keistimewaan DIY, inisiatif pemerintah DIY untuk melakukan review perda cukup tinggi,” ungkapnya.

Kondisi ini berbeda dengan daerah di luar pulau Jawa yang belum banyak melakukan revisi perda. Hal ini , kata dia, dikarenakan rendahnya kesadaran daerah untuk melakukan peninjauan ulang terhadap perda lama. Ditambah dengan minimnya anggaran daerah untuk melakukan revisi perda. (Humas UGM/Ika)

Hierarki maksudnya adalah bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Berikut kami uraikan hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia menurut UU No. 12/2011 (yang menggantikan UU No. 10/2004) tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan:

1. Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945)

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR)

3. Undang-Undang (UU)/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)

4. Peraturan Pemerintah (PP)

5. Peratuan Presiden (Perpres)

6. Peraturan Daerah (Perda)

7. Peraturan Desa (Perdes)

Sedangkan peraturan perundang-undangan selain yang tercantum di atas, mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Wali kota, Kepala Desa atau yang setingkat diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Berikut ulasan lengkapnya.

1) Undang-Undang Dasar 1945 atau UUD 1945

UUD 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan. Naskah resmi UUD 1945 adalah:

  • Naskah UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 serta dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal 22 juli 1959.
  • Naskah Perubahan Pertama, Perubahan Ke dua, Perubahan Ke tiga, dan Perubahan Ke empat UUD 1945 (masing-masing hasil Sidang Umum MPR Tahun 1999, 2000, 2001, 2002).

Undang-Undang Dasar 1945 Dalam Satu Naskah dinyatakan dalam Risalah Rapat Paripurna ke-5 Sidang Tahunan MPR Tahun 2002 sebagai Naskah Perbantuan dan Kompilasi Tanpa Ada Opini.

2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau TAP MPR RI

Perubahan (Amendemen) UUD 1945 membawa implikasi terhadap kedudukan, tugas, dan wewenang MPR. MPR yang dahulu berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, kini berkedudukan sebagai lembaga negara yang setara dengan lembaga negara lainnya (seperti Kepresidenan, DPR, DPD, BPK, MA, dan MK).

Dengan demikian MPR kini hanya dapat menetapkan ketetapan yang bersifat penetapan, yaitu menetapkan Wapres menjadi Presiden, memilih Wapres apabila terjadi kekosongan jabatan Wapres, serta memilih Presiden dan Wapres apabila Presiden dan Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama.

3) Undang-Undang dan/atau Perppu

Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan persetujuan bersama Presiden.

Materi muatan Undang-Undang adalah:

  • Mengatur lebih lanjut ketentuan UUD 1945 yang meliputi: hak-hak asasi manusia, hak dan kewajiban warga negara, pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara, wilayah dan pembagian daerah, kewarganegaraan dan kependudukan, serta keuangan negara.
  • Diperintahkan oleh suatu Undang-Undang Dasar 1945 untuk diatur dengan Undang-Undang.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah sama dengan materi muatan Undang-Undang.

Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa (negara dalam keadaan darurat), dengan ketentuan sebagai berikut:

Perpu dibuat oleh presiden saja, tanpa adanya keterlibatan DPR

  • Perpu harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut.
  • DPR dapat menerima atau menolak Perpu dengan tidak mengadakan perubahan.
  • Jika ditolak DPR, Perpu tersebut harus dicabut.

4) Peraturan Pemerintah atau PP

Peraturan Pemerintah (PP) adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Materi muatan Peraturan Pemerintah adalah materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.

5) Peraturan Presiden atau Perpres

Peraturan Presiden (Perpres) adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibuat oleh Presiden. Materi muatan Peraturan Presiden adalah materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah.

6) Peraturan Daerah atau Perda

Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama kepala daerah (gubernur atau bupati/wali kota).

Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

Peraturan perundang-undangan tersebut harus mengandung 4 (empat) asas yaitu:  Asas legalitas, Asas hukum tinggi disampingkan hukum rendah, Asas hukum khusus disampingkan hukum umum, dan Asas hukum baru disampingkan hukum lama.

Jakarta – Prof Widodo Ektjahjana selaku Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan membuka sekaligus memimpin rapat koordinasi penyusunan Rancangan Peraturan Menteri dan Peraturan Lembaga turunan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, bertempat di Ruang Rapat Legiprudensi pada hari Rabu (16/03/2021). Kegiatan yang dihadiri oleh para Pimpinan Tinggi di lingkungan Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan ini juga dihadiri oleh perwaklan dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Perancang Peraturan Perundang-undangan Utama Kementerian Hukum dan HAM, Widyaiswara Utama Kementerian Hukum dan HAM, serta Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM.

Dalam rapat ini, Prof Widodo Ektjahjana berpesan agar seluruh pihak yang terlibat memastikan Rancangan Peraturan Menteri yang dibuat substansinya tidak bertentangan dengan Undang-Undang yang lebih tinggi. Hal tersebut termasuk juga dengan putusan pengadilan dan peraturan pelaksana di luar Undang-Undang Cipta Kerja. Beliau juga menyampaikan agar terus berkoordinasi dalam penyusunan Rancangan Peraturan Menteri dan Peraturan Lembaga Turunan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA