Apa sajakah problem kaum Muhajirin ketika menjadi penduduk baru di kota Madinah

Loading Preview

Sorry, preview is currently unavailable. You can download the paper by clicking the button above.

Ketika sampai di Madinah kaum Muhajirin tak bisa langsung mendapat pekerjaan.

Rabu , 17 Oct 2018, 16:40 WIB

Republika/Karta Rahardja

Masjid Nabawi

Red: Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Gelombang kedatangan kaum Muslimin dari Makkah ke Madinah dalam masa hijrah ternyata sempat memunculkan masalah. Betapa tidak, kaum Muhajirin yang menyelamatkan diri dan akidahnya dari siksaan dan teror kaum kafir Quraisy Makkah harus meninggalkan harta, rumah, perhiasan, dan pekerjaan mereka.

Ketika sampai di Madinah kaum Muhajirin tak bisa langsung mendapat pekerjaan. Menurut Dr Akram Dhiya Al-Umuri dalam Shahih Sirah Nabawiyah, mata pencaharian orang-orang Madinah atau kaum Anshor adalah bertani, sedangkan kaum Muhajirin adalah para pedagang. Selain itu, mereka tak punya modal dan lahan.

"Meski kaum Anshor telah membantu kaum Muhajirin semaksimal mungkin, sebagian kaum pendatang itu tetap membutuhkan tempat tinggal,” papar Dr Akram.

Terlebih, umat Islam yang datang dari Makkah ke Madinah terus bertambah. Di antara mereka banyak yang tak mengenal siapa pun sehingga mereka membutuhkan tempat berteduh.

Rasulullah SAW tak tinggal diam melihat kenyataan itu. Beliau pun berpikir dan mencari solusi untuk mengatasi masalah yang dihadapi kaum dhuafa Muhajirin itu. Kaum dhuafa yang berasal dari kalangan Muhajirin itu dikenal dengan sebutan ahli shuffah.

Dr Sauqi Abu Khalil dalam Athlas al-Hadith Al-Nabawi menjelaskan, Ash-Shuffah sebagai teras yang luas dan tinggi. Menurut dia, As-Shuffah bisa juga berarti tempat berteduh dan teras rumah.

Ash-Shuffah adalah tempat berteduh di Masjid Nabawi di Madinah selama masa kenabian setelah hijrah. Kaum miskin Muhajirin menjadikannya sebagai tempat tinggal,” papar Dr Syauqi. Tentang ahli Shuffah itu, menurut dia, tercantum dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim.

Salah satu solusi untuk mengatasi banyaknya ahli Shuffah, Rasulullah memerintahkan agar bangunan Masjid Nabawi diberi atap. Hal itu terjadi ketika arah kiblat dipindahkan dari Baitul Maqdis ke Ka’bah. Peristiwa itu terjadi setelah 16 bulan hijrahnya Rasulullah ke Madinah.

Bagian masjid yang diberi atap itu, menurut Dr Akram, dikenal dengan sebutan Ash-Shuffah atau tempat berteduh. Namun, tak ada dinding yang menutup bagian samping bangunan tersebut,” paparnya. Dalam catatan perjalanannya Ibnu Jubair menyatakan, Ash-Shuffah adalah rumah yang terletak di ujung Quba yang ditempati ahli Shuffah.

Dr Akram menuturkan, luas Shuffah tak diketahui secara pasti. Yang pasti, kata dia, orang yang berteduh dan menetap di Ash-Shuffah terbilang banyak. Sampai-sampai Rasulullah SAW menggunakan tempat itu untuk jamuan makan yang dihadiri kurang lebih 300 orang,” ungkap Muslim dalam Shahihnya Kitab An-Nikah.

Penghuni Shuffah

Selain kaum Muhajirin, Shuffah juga menjadi tempat beteduh para utusan atau tamu yang menemui Rasulullah SAW. Mereka banyak yang menyatakan masuk Islam dan bersumpah setia. Memang, tutur Dr Akram, kebanyakan para tamu itu datang bersama para penanggungjawabnya. Namun, jika tak ada penanggungjawabnya, mereka tinggal di Shuffah.

Abu Hurairah adalah wakil ahli Shuffah untuk para musafir yang singgah di waktu malam. Menurut Dr Akram, jika Rasulullah SAW ingin mengetahui keadaan mereka, cukup diserahkan kepada Abu Hurairah untuk mengetahui hal ihwal, tempat asal, kulitas dan kuantitas ibadah, serta kesungguhan mereka.

Seiring perjalanan waktu, jumlah ahli Shuffah cenderung tak tetap. Jika utusan dan para tamu datang, jumlahnya bertambah. Ketika mereka kembali ke tanah kelahirannya, jumlahnya berkurang. Menurut Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya, biasanya jumlah mereka sekitar 70 orang.

Terkadang jumlahnya amat banyak. Pernah, suatu hari Sa’ad bin Ubadah menjamu 80 orang. Belum lagi yang dijamu oleh kalangan sahabat lainnya,” papar Abu Nu’aim. As-Samhudi menyebutkan bahwa Abu Nu’aim dalam Hilayatul Auliya mengungkapkan lebih dari 100 orang ahli Shuffah.

  • ash-shuffah
  • kaum muhajirin

sumber : Islam Digest Republika

bismillahirohmanirohim

salah satu problem kaum muhajirin ketika datang ke Madinah ialah tidak memiliki tempat tinggal dan tidak memiliki pekerjaan sehingga mereka merasa susah ,sampai datang langsung Rasulullah wasallam yang memberikan solusi bagi mereka. dan mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum Anshar.

barakallah fiikum. semoga bermanfaat dan tetap semangat

tirto.id - Kepindahan Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah disebut hijrah, yang berarti ‘emigrasi’. Ini menjadi titik balik sejarah Islam awal dan kini digunakan sebagai permulaan kalender Islam. Kaum Mukmin tidak lagi menjadi kelompok terpinggirkan dan Rasulullah SAW juga tidak terasingkan secara sosial. Serangkaian teladan dari Nabi Muhammad selama sepuluh tahun di Madinah akan menginspirasi ratusan tahun kehidupan politik, tatanan sosial, dan ekonomi Islam.

Menurut Firas Alkhateeb dalam Sejarah Islam yang Hilang: Menelusuri Kembali Kejayaan Muslim pada Masa Lalu (2016), yang paling utama dalam kehidupan Nabi Muhammad di Madinah adalah soal perpaduan baru antara emigran dari Mekkah (Muhajirin) dan penduduk asli Madinah (Ansar).

Kaum Muhajirin bukanlah unit kohesif tunggal. Tak ada satu pun klan di Mekkah yang semua anggotanya menjadi Mukmin, maka komunitas emigran terdiri atas kelompok yang beragam, tanpa perlindungan dari klan atau suku. Sebaliknya, kaum Ansar berasal dari suku Aws atau Khazraj, yang terlibat peperangan di oasis itu. Lebih jauh, banyak orang yang tidak tergolong kelompok apa pun, yaitu imigran dari Afrika, Persia, dan Kerajaan Byzantium (hlm. 24).

Salah satu pertanyaan besar bagi kebanyakan Mukmin adalah ke mana loyalitas harus ditumpukan?

Untuk itu, Muhammad mendedahkan bahwa gagasan tua pra-Islam soal kesetiaan sudah usang. Sebagai gantinya, diajukan arti penting kesetiaan kepada negeri Mu’minun. Dalam pandangan Muhammad, tidak peduli apakah seorang Umat Beriman berasal dari Quraisy, Aws, Khazraj, atau bahkan suku Yahudi. Begitu memeluk Islam, mereka menjadi bagian komunitas persaudaraan baru yang berdasarkan keyakinan bersama, bukan keturunan.

Tata politik dan sosial baru di Madinah dikodifikasi dalam naskah yang disebut Piagam Madinah, yang disepakati pada 12 Ramadan tahun 1 Hijriah. Piagam ini memerinci bahwa di bawah otoritas Nabi, Madinah akan menjadi negara berdasarkan hukum Islam. Mu’minun akan menjadi satu unit politik. Lebih jauh, Rasulullah SAW berperan sebagai penengah utama.

Hukum Arab kuno yang menghargai pembalasan atas ketidakadilan dihilangkan untuk mendukung sistem hukum terstruktur berdasarkan hukum Islam. Piagam ini memberikan kebebasan kepada kaum Yahudi untuk menjalankan agamanya, tetapi mereka harus mengakui otoritas politik Muhammad di kota ini dan bergabung dalam kelompok pertahanan bersama, apabila ada serangan dari Quraisy.

Bentuk wahyu yang turun pun berubah untuk menyesuaikan dengan keadaan komunitas Umat Beriman. Ayat-ayat dan surat yang diwahyukan Allah SWT kepada Rasulullah di Madinah cenderung lebih panjang ketimbang di Mekkah. Wahyu yang turun di Madinah biasanya memerinci pelbagai hal, seperti bentuk peribadatan, perpajakan, warisan, serta hubungan antara Muslim dan non-Muslim.

Menengahi Konflik dengan Kaum Yahudi

Alquran memberikan panduan umum tentang bagaimana Mukmin harus bersikap dan bila perlu Nabi Muhammad menjelaskan secara terperinci serta tepat. Namun, Alquran tidak hanya menyoroti aspek hukum dan peranan sosial. Banyak ayat yang turun di Madinah meneroka kisah-kisah nabi terdahulu. Cerita tentang Nuh, Ibrahim, Musa, Daud, dan Isa, semuanya diterangkan secara detail kepada pengikut Nabi Muhammad.

Dengan kata lain, ayat-ayat itu hendak menjelaskan bahwa Muhammad adalah nabi terakhir dari serangkaian panjang nabi-nabi sebelumnya dan pesan monoteisme yang dibawanya tak berbeda dari nabi-nabi terdahulu.

Banyak dari kisah itu yang ditujukan kepada kaum Yahudi di Madinah. Di permukaan mereka memiliki banyak kesamaan dengan kaum Mukmin. Kedua kaum itu sama-sama menganut monoteisme. Keduanya menghormati nabi yang sama. Dan, pada awal kenabian, keduanya beribadah menghadap Yerusalem. Akibatnya, beberapa orang Yahudi di Madinah menerima Muhammad sebagai nabinya dan masuk Islam.

Kitab suci Yahudi menjelaskan ihwal Messiah dan, bagi mereka, Nabi Muhammad-lah manusia yang dijanjikan. Akan tetapi, banyak pula yang menolaknya. Pesan tentang kesetaraan dan persatuan seluruh umat Muslim tanpa memperhatikan etnisitas berbenturan dengan kepercayaan kaum Yahudi sebagai "umat yang terpilih".

Sebagian orang mungkin meyakini kenabian Muhammad, tetapi kenyataan bahwa dia bukan seorang Yahudi menjadi problematik bagi mereka yang menganut teologi Yahudi dengan tegas. Perpecahan antara kaum Yahudi yang meyakini dirinya bangsa terpilih oleh Tuhan dan kaum Muslim yang mendukung persatuan umat manusia akan menimbulkan ketegangan serius di dua kelompok ini.

Dalam konteks itulah Piagam Madinah menemukan fungsinya yang paling hakiki.

================

Sepanjang Ramadan, redaksi menampilkan artikel-artikel tentang peristiwa dalam sejarah Islam dan dunia yang terjadi pada bulan suci kaum Muslim ini. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Kronik Ramadan". Kontributor kami, Muhammad Iqbal, sejarawan dan pengajar IAIN Palangkaraya, mengampu rubrik ini selama satu bulan penuh.

Baca juga artikel terkait KRONIK RAMADAN atau tulisan menarik lainnya Muhammad Iqbal
(tirto.id - ibl/ivn)


Penulis: Muhammad Iqbal
Editor: Ivan Aulia Ahsan

Subscribe for updates Unsubscribe from updates

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA