Apa pendapat tentang islamisasi ilmu pengetahuan

DOI: //doi.org/10.30599/jpia.v6i1.419

This abstract contains aboutthe Islamic concept of science according to al-Attas that the biggest challenge facing Muslims isthe challenge of knowledge spread throughout the Islamic world by Western civilization.Islamization of knowledge means Islamizing or purifying Western product science which has been developed and used as a reference in the development discourseIslamic education system in order to obtain a "typical Islamic" science. Al-Attas defines science as a meaning that comes into the soul along with the coming of the soul to the meaning and producing the desire and will of self. Al-Attas defines the meaning of education as a process of planting something into human beings and then affirms that something that is implanted is a science, and the purpose in seeking this knowledge is contained in the concept of ta'dib.While the aim of Islamic education is to instill virtue in "human self" as an individual and as part of society. Islamic education is capable Ideally, Naquib wants to print a good human being universally (al-insan al-kamil). The implication in the development of Islamic education in PTU is that Islamic education is directed at producing quality human resources, quality in the intellectual field and the most fundamental are moral and religious values.

Keywords: Islamization, Science, Development of PAI

Abdul Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordonansi Guru sampai UU Sisdiknas, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), cet ke-1. Abdur Rahman Assegaf, Pendidikan Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Suka Press, 2007), cet. ke-1. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam : Tinjauan Teoretis dan Praktis Berdasarkan Pendekata Interdisipliner, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2003), cet ke-1. A. Fatah Yasin, Dimensi-dimensi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: UIN Malang Press, 2008), cet ke-1, hlm. iii-iv. A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: AMZAH, 2009), cet ke-1. Fazlurrahman, Major Themes of the Quran, Terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Pustaka, 1981). Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta:pistaka al- Husna, 1987) //spada.ristekdikti.go.id/lms1/mod/resource/view.php?id=10661, diakses pada Senin, 23 April 2018, 07.40 WIB. Jalaludin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), cet. ke-2. Marzuki, “Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum dan Pemberdayaan Masyarakat Indonesia”, Jurnal, Cakrawala Pendidikan, no. 1, tahun XVI, 1997. Mohammad Tidjani Djauhari, Pendidikan untuk Kebangkitan Islam, (Jakarta: TAJ, 2008), cet. ke-1. Moh. Shofan, Pendidikan Berparadigma Profetik : Upaya Konstruktif Membongkar Dikotomi Sistem Pendidikan Islam, (Jawa Timur: UMG Press, 2004), cet ke-1. Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan Manajemen Kelembagaan, Kurikulum Hingga Strategi Pembelajaran, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009) Nurcholis Majid , Islam Doktrin Dan Peradaban:Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusian Dan Kemodernan, (Jakarta: yayasan wakaf paradigma, 1992). Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedia Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Ciputat Press, 2005). Samsul Nizar, Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), cet ke-1. Sutrisno dan Suyadi, Desain Kurikulum Perguruan Tinggi: Mengacu pada Kurikulum Kualifikasi Nasional Indonesia, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2016). Syed Muhammad Naquib al-Attas, Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam, (Pulau Pinang : Penerbit Universiti Sains Malysia, 2007). Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib Al-Attas, (Bandung: Mizan, 2003), cet. ke-1. Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008). Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), cet ke-5.

Zulkarnain Ar, Pendidikan Islam Menurut Syekh Muhammad Naquib Al-Attas, dalam //andeskopraya.blogspot.com, 13 April 2018.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Islamisasi sudah merupakan hal yang tidak asing lagi untuk di dengar. Islamisasi dapat di artikan sebagai proses pengislaman. Proses pengislaman ini tidak hanya diberlakukan terhadap manusia, tetapi juga diberlakukan terhadap hal-hal yang menyangkut orang banyak. Salah satu hal yang menyangkut hajat orang banyak adalah ilmu pengetahuan.

Ilmu pengetahuan dapat menjadi salah satu media dalam mencapai kehidupan yang lebih baik. Tapi apakah pengetahuan yang di pelajari umat manusia sesuai dengan ajaran islam ? itulah yang menjadi pertanyaan besar untuk kita selaku umat muslim. Dalam kesempatan kali ini sya menulis artikel tentang apa itu islamisasi ilmu pengetahuan. Dengan adanya islamisasi ilmu pengetahuan akan mampu menghilangkan keraguan dalam menekuni suatu imu.

Dalam bahasa arab, istilah islamisasi ilmu dikenal dengan “Islamiyyat al ma’rifat” dan dalam bahasa inggris disebut dengan “Islamization of knowledge”. Islamisasi merupakan istiah yang mendeskripsikan berbagai usaha dan pendekatan antar etika islam dengan berbagai bidang pemikiran modern.

Produk yang akhirnya akan menjadi ijma’ (kesepakatan) baru bagi umat islam dalam bidang keilmuan yang sesuai dan metode ilmiah yang tidak bertentangan dengan norma-norma islam. Istilah islamisasi ilmu pengetahuan sudah ada semenjak dulu kala, untuk menjawab semua pertanyaan yang ada di benak kita tentang apa itu islamisasi ilmu pengetahuan secara detail dan konkrit alangkah baiknya kita mengetahui sejarah munculnya istilah islamisasi ilmu pengetahuan terlebih dahulu.

Melihat dari sejarah awal perkembangan islam, umat islam mampu membuktikan diri sebagai kampium pertumbuhan peradaban dan ilmu pengetahuan. Kemajuan ilmu pengetahuan di dunia islam terus memudar seiring dengan merosotnya kekuasaan politik Islam. Pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan di dunia Barat, secara tidak langsung memberikan dampak positif bagi dunia Islam. Paling tida, duna Islam sadar akan terbelakangnya peradaban dan ilmu pengetahuan di kalangan mererka.

Sehingga, berangkat dari kesadaran dimaksud, pada awal abad ke-20 Islam mengalami dinamika baru melalui reorientasi dan transformasi ajarannya. Kebangkitan Islam padaawal abad ini diidentifikasi sebagai upaya memandang modernisasi yang berkembang dalam bingkai Islam. Dalam Hungtington, ia dipahami sebagai perwujudan dari penerimaan terhadap modernita, penolakan terhadap kebudayaan Barat, dan re-komitmen terhadap Islam sebagai petunjuk hidup dalam dunia modern. Dari sini nyata bahwa kebangkitan Islam bukan berarti menolak kehidupan modern. Ia justru mendorong umatnya untuk menjalani arus kehidupan modern yang memang tak terbendung. Sehingga, Islam dapat mengartikulasikan ajarannya dalam semua sisi kehidupan modern.

Respon terhadap modernisasi disikapi umat Islam dengan tetap bertopang pada ajaran Islam. Wujud nyata dari sikap umat adalah munculnya proses islamisasi kehidupan modern di kalangan masyarakat Islam. Maka, tidak berlebihan bila sejak tahun 1970-an konsep islamisasi pengetahuan mulai dibumikan oleh Al-Attas. Kebangkitan Islam, yang secara massif dibarengi simbolisasi Islam dalam kehidupan masyarakat muslim semakin mendorong isu islamisasi. Sehingga, pada decade tahun 1980-an yang merupakan titik awal gerakan al-Faruqi, isu islamisasi ini mengambil obyek ilmu pengetahuan. Disini al-Faruqi berupaya memadukan nilai etis dan agama dengan ilmu pengetahuan modern.

Proses islamisasi ilmu pengetahuan tidaka diarahkan untuk menolak pengetahuan yang ada. Kecuali itu, ia merupakan upaya holistic dalam upaya integrasi dua kajian, wahyu dan alam, untuk menemukan alternative metode pengetahuan yang mampu mengeluarkan manusia modern dari krisis peradaban destruktif. Pelibatan aspek wahyu dalam metode pengetahuan, sebagai proses islamisasi, berbanding terbalik dengan metode yang berkembang dkalangan ilmuan Barat modern.

Metode pengetahuan modern tidak lagi mempertimbangkan aspek nilai, apalagi nilai-nilai manusiawi. Ini terlihat dari pernyataan Sardar bahwa desakan untuk menolak semua pertimbangan nilai dalam ranka memperoleh ilmu pengetahuan menyebabka metode pengetahuan modern memperlakukan obyek penyelidikan, baik manusia maupun bukan manusia, sebagai benda mati yang bisa dieksploitasi, dimanipulasi dan dibedah atas nama sains.

Menyadari kondisi demikian, ilmuan Muslim berupaya mengajukan metode pengetahuan dengan bertumpu pada ajaran Islam. Banyak tokoh-tokoh ilmuan Muslim yang memusatkan diri dalam masalah islamisasi ilmu pengetahuan di antaranya Syed Muhammad Naquib al-Attas, Isma’il Raji al-Faruqi, Ziauddin sadar.

Maka, dapat disimpulkan bahwa istilah islamisasi ilmu pengetahuan proses pendekatan dan usaha dalam menyatu padukan ilmu pengetahuan yang bersifat islami yang di dalamnya masih memepertimbangkan aspek nilai, wahyu dan alam.

Novayani, I. (2017). ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN MENURUT PANDANGAN SYED M. NAQUIB AL-ATTAS DAN IMPLIKASI TERHADAP LEMBAGA PENDIDIKAN INTERNATIONAL INSTITUTE OF ISLAMIC THOUGHT CIVILIZATION (ISTAC). Jurnal Al-Muta`aliyah : Jurnal Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, 2(1), 74-89. Retrieved from //ejournal.kopertais4.or.id/sasambo/index.php/mutaaliyah/article/view/2812

Beberapa pemikir Muslim terutama yang telah dipengaruhi oleh pemikiran Syed Muhammad Naquib al-Attas, telah memahami perbedaan mendasar mengenai ontologi, epistemologi, etika dan budaya antara Islam dan Barat sekuler. Pemahaman ini juga didukung dengan adanya tanggapan serius mengenai westernisasi dan kolonialisasi dengan mengusung agenda intelektual yang disebut dengan proyek Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer. Konsepsi mengenai wacana Islamisasi merupakan sumbangsing besar dan revolusioner di dunia intelektual yang diberikan oleh cendikiawan Muslim saat ini.[1] Dimana ide ini berpotensi membangun kembali masa kejayaan Islam.

Ide ini telah memulai revolusi pemikiran intelektual Muslim, dan pada paruh kedua abad ke-20 menjadi semakin penting, dikarenakan umat Islam sejak berabad-abad lamanya tidak mampu berurusan dengan sains modern secara adil, terutama yang datang dari Barat. Dihadapkan dengan adanya gempuran sains Barat modern dengan keberhasilan ekonomi dan teknologinya yang besar, umat Islam membutuhkan keberanian intelektual dan kepercayaan diri yang kuat dalam menghadapinya.[2] Meskipun konsepsi islamisasi ilmu merupakan gagasan intelektual dan kaedah epistemologi yang merupakan suatu pencapaian yang kontemporer, sebenarnya islamisasi pengetahun ini telah dilakukan semanjak wahyu pertama dalam ajaran Islam yang kemudian dilakukan secara terus-menerus sepanjang zaman, meskipun dengan derajat dan tingkat keberhasilan yang berbeda.[3]

Konseptualisasi dari islamisasi ini pada dasarnya tidak menafikan adanya kemanfaatan yang ada pada peradaban dan kebudayaan lain, namun tetap kritis dan teliti dalam melihat apa yang tidak sesuai dangan alam Islami. Terutama adanya kesadaran bahwa sains Barat modern yang berangkat dari sifat mengingkari kewujudan Tuhan (atheistic) sehingga perlu diislamkan, gagasan ini pertama kali terdengar di awal tahun 1930-an melalui Dr. Sir Muhammad Iqbal, namun tidak menjelaskan ataupun memberikan makna kepada gagasan tersebut. Sayyed Hossein Nasr di tahun 1960 secara tersirat memberikan kaedah pengislaman ilmu pengetahuan sains modern dengan mencanangkan bahwasanya ilmu pengetahuan sains tersebut sudah sepatutnya ditafsirkan dan diterapkan dalam “konsepsi Islam mengenai alam semesta”. Sedangkan Ismail R. Al-Faruqi yang mengambil kemanfaatan dari tulisan al-Attas dan International Institute of Islamic Thought (IIIT) telah mempopulerkan agenda islamisasi ini ke berbagai penjuru dunia Muslim.[4] Namun, gagasan islamisasi ilmu ini pertama kali dan yang paling meyakinkan telah diberikan maknanya oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas.

Rumusan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer: Syed Muhammad Naquib Al-Attas

Al-Attas berpandangan bahwa problem keilmuan pada saat ini lebih dikarenakan adanya kerancuan berpikir yang disebabkan oleh masuknya pola pikir dan kebudayaan Barat yang sekuler itu. Dalam salah satu karyanya beliau menjelaskan:

“Our challange is the problem of the corruption of knowladge. This has come about due to our own stale of confusion as well as influences coming from the philosophy, science, and ideology of modern Western culture and civilization. Intellectual confusion emerged as a result of changes and restriction in the meaning of key terms that project the worldview derived from Revelation. The repercussions arising from this intellectual confusion manifest themselves in moral and cultural discolation, which is symptomatic of the degeneration of religious knowladge, faith and values”.

Tantangan terbesar di abad ini adalah kerusakan ilmu yang terjadi dikarenakan adanya pengaruh dari fisafat, sains, dan ideologi yang bersumber dari kebudayaan dan peradaban Barat modern. Kebingungan intelektual mencuat sebagai hasil dari westernisasi illmu yang mengakibatkan kebingungan yang berkepanjangan sehingga berusaha merubah tatanan moral yang sesuai dengan jerit hawa nafsunya (freedom) yang menjadikan ummat Islam mengami degradasi nilai dan moral yang cukup parah.[5]

Gaya pemikiran Barat ini bukan hanya melawan fitrahnya sebagai manusia, bahkan  mereka berusaha merusak worldview Islam dengan mengalihan tujuan mencari ilmu yang sebenarnya yakni untuk beribadah Lillah. Al-Attas kemudian mengungkapkan pandangannya mengenai Barat: “Ilmu yang bermasalah itu akhirnya telah kehilangan tujuan hakikinya karena tidak digunakan dengan adil. Akibatnya bukan kedamaian dan keadilan yang dibawanya melainkan kekacauan dalam kehidupan manusia. Ilmu yang terlihat benar ternyata lebih produktif kearah kekeliruan dan skeptisme. Ilmu yang seharusnya selalu membuat sejarah, nampaknya malah membawa ketidak harmonisan pada isi alam semesta”[6]

Melihat adanya problem krusial yang dibawa oleh westernisasi Barat, Al-Attas kemudian berupaya memberikan tawaran penyembuh yang ia sebut dengan Islamization of Contemporery Knowladge (Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer) yang ia definisiakan:

Islamization is the liberation of man first from magical, mythological animistic, national cultural tradition opposed to Islam, and then from secular control over his reasonaal his language. The man of Islam is he whose reason and language ore no longer controlled by magic, mythology, animism, his own national and cultural traditions opposed to Islam, and secularism.[7]

Membebaskan manusia dari segala tradisi yang berunsurkan kekuatan sihir (magic), mitologi, animisme, kebudayaan bangsa yang bersinggungan dengan Islam, yang kemudian membebaskannya dari kekangan sekuler yang membelenggu akal dan bahasanya. Orang Islam adalah orang yang akal dan bahasanya tidak perlu dikendalikaan oleh tradisi apapun yang berunsurkan kekuatan sihir, mitologi, animisme, dan kebangsaan dan kebudayaan sekuler yang kontradiktif dengan Islam, Ia juga membebaskanya dari ketaatan diri hayawaniyah yang cenderung kepada sekularisme dan kezaliman dalam dirinya yang sejati yakni jiwanya. Karena manusia melihat pada wujud zahirnya dan lupa akan fitrahnya, sehingga lalai akan tujuan aslinya dan juga sering berprilaku zhalim pada dirinya sendiri. Islamisasi adalah gerakan perubahan (evolution) dan ulasan kebijaksanaan lampau (devolution) menuju sifat aslinya… Jadi, dalam aspek perseorangan, islamisasi merujuk pada apa yang dijelaskan diatas, dimana Rasulullah Saw merupakan tauladan terabaik dan paling sempurna; sedangkan dalam segi masyarakat dan sejarahnya, islamisasi merujuk pada Ummat yang berusaha menerapkan mutu akhlak (moral an ethical quality) menuju masyarakat yang sempurna seperi apa yang telah di contohkan Rasulullah Saw.”

Merujuk pada definisi di atas, sudah sepatutnya difahami bahwa meskipun islamisasi ilmu kontemporer melibatkan gerakan dewesternisasi yang selektif, namun pada dasarnya merupakan sebuah proses yang kembali kepada pandangan alam merafisik, kerangka epistemik, dan prinsip-prinsip akhlak dan hukum Islam. Sayangnya, islamisasi sering dibatasi pada masalah hukum fiqih atau pendirian institusi sosial-politik, dan  ilmu yang salah  yang hanya di pusatkan dengan fakta, sains dan teknologi. Ilmu yang merupakan satu-kesatuan yang saling terkait yang berkenaan dengan segala sesuatu yang dapat dipahami oleh akal (intellegence) dan dirasakan oleh pancaindera, yang hadir pada jiwa manusia atau ketika jiwa manusia datang kepadanya, pasti tidak akan bersifat bebas nilai (neutral), karena maknanya secara alami berkaitan dengan kemampuan dan kesiapan jiwa manusia dalam menyerapinya dan juga berkaitan dengan pandangan alamnya.[8]

Namun hakikat sebenarnya (real essences) dari segala sesuatu atau fakta nyata yang merupakan sekumpulan makna bukanlah hanya khayalan belaka, melainakan hakikat yang menyeluruh (kulli) dan objektif yang kehadirannya tidak bergantung pada design pemikiran manusia. Fakta, sains dan teknologi mungkin ada yang baik dan buruk, juga ada yang baik dan yang salah, namun akan memberikan manfaat secara langsung apabila ditafsirkan dan digunakan secara wajar dengan framework wordview Islam, sehingga dapat membuatnya lebih bermakna, adil dan bijaksana.[9]

Rumusan Islamisasi ilmu Al-Attas secara teknis memiliki empat tahapan yang harus dilalui. Tahap pertama adalah Islamisasi yang harus dimulai dari tataran individu yang perlu dibebaskan dari pemikiran magis, mitologis, animis, kultur anti-Islam, dan pemikiran yang sekuler. Selain itu islamisasi individu ini harus memposisikan dirinya sebagai manusia. Yang mana hal ini dapat terlaksana apabila manusia itu dapat mengenal baik fitrahnya, baik muamalah ma’annas dan muamalah ma’allah.[10] Tahapan kedua dalam menjajaki proses Islamisasi adalah dengan mengislamkan bahasa, bahasa memiliki peran yang signifikan dalam mempengaruhi worldview seseorang.

Kemudian pada tahapan ketiga, setelah islamisasi bahasa, kita kemudian beralih pada Islamisasi pandangan alam (wordview)..[11] Pada tahapan terakhir, setelah wordview Islam yang kompeherensif telah terbangun dalam pikiran setiap manusia, maka kemudian akan lahir ilmu pengetahuan yang terislamkan. Mengislamkan akal dan worldview para ilmuwannya menjadi prasyarat wajib dalam lahirnya ilmu-ilmu yang terislamisasikan. Sebagai catatan, mengislamkan ilmu pengetahuan hanyalah berlaku bagi “ilmu pengetahuan kontemporer” yang terpengaruh oleh Barat.[12]

Melihat konsepsi yang dijelaskan diatas, maka islamisasi ilmu merupakan sesuatu yang perlu dan dianggap perlu apabila ilmu modern telah terbukti menimbulkan masalah yang serius terhadap cara pandang, nilai sosial, dan kepercayaan diri dari masyarakat kita (umat Islam). Tapi masalahnya, fakta yang terjadi sekarang adalah ilmu modern telah menimbulkan banyak masalah yang serius dangan “sekularisasi ilmunya” yang menghasilkan segala kosekuensi yang berbahaya. Maka dari itu, islamisasi memang perlu dilakukan agar dampak negatif dari ilmu-ilmu yang telah tersekulerkan dapat dikendalikan dan dihindari.[13]

Referensi

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 1980, The Concept of Education in Islam, Petaling Jaya: Muslim Youth Movement of Malaysia.

____. 1989, Islam and the Philosophy of Science, Kuala Lumpur: ISTAC.

____. 1995, Prolegomena To The Metaphysics Of Islam: An Explosition Of The Fundamental Elements Of The Worldview Of Islam, Kuala Lumpur: ISTAC.

____. 2019, Islam and Secularism, Kuala Lumpur: Ta’dib International.

Bahtiar, Tiar Anwar. 2018, Jas Mewah: Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah & Dakwah, Yogyakarta: Pro-U Media.

Daud, Wan Mohd Nor Wan. 2017, Peran Universiti: Pengislaman Ilmu Semasa, Penafibaratan dan Penafijajahan, Kuala Lumpur: CASIS-HAKIM.

____. 2019, Budaya Ilmu: Makna dan Manifestasi dalam Sejarah dan Masa Kini, Kuala Lumpur: CASIS.

Kartanegara, Mulyadi. 2007, Mengislamkan Nalar, Jakarta: Penerbit Erlangga.

Footnotes

[1] Wan Mohd Nor Wan Daud, Peran Universiti: Pengislaman Ilmu Semasa, Penafibaratan dan Penafijajahan (Kuala Lumpur: CASIS-HAKIM, 2017), bk. 33.

[2] Wan Mohd Nor Wan Daud, Budaya Ilmu: Makna dan Manifestasi dalam Sejarah dan Masa Kini (Kuala Lumpur: CASIS, 2019), bk. 94.

[3] Daud, Peran Universiti: Pengislaman Ilmu Semasa, Penafibaratan dan Penafijajahan, bks. 33–34.

[4] Ibid., bk. 34.

[5] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Prolegomena To The Metaphysics Of Islam: An Explosition Of The Fundamental Elements Of The Worldview Of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), p. 15.

[6] Ibid., p. 127.

[7] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: Ta’dib International, 2019), p. 44.

[8] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, The Concept of Education in Islam (Petaling Jaya: Muslim Youth Movement of Malaysia, 1980), bk. 17.

[9] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam and the Philosophy of Science (Kuala Lumpur: ISTAC, 1989), bks. 18–25.

[10] Tiar Anwar Bahtiar, Jas Mewah: Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah & Dakwah (Yogyakarta: Pro-U Media, 2018), p. 329.

[11] Ibid., p. 330.

[12] Ibid., pp. 331–2.

[13] Mulyadi Kartanegara, Mengislamkan Nalar (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007), p. 9.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA