Apa bentuk pemerintahan Indonesia setelah amandemen UUD 1945 brainly?

Jakarta -

Amandemen UUD 1945 telah dilaksanakan sejak tahun 1999 sebanyak empat kali. Dikutip dari buku 'UUD 1945 & Amandemennya untuk Pelajar dan Umum' oleh Tim Grasindo, Amandemen UUD 1945 dimaksudkan untuk menyempurnakan UUD, dan bukan untuk mengganti.

Amandemen UUD 1945 diadakan dengan aturan atau kesepakatan dasar dalam melakukan perubahan terhadap UUD 1945, yakni tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan NKRI, mempertegas sistem pemerintahan presidensial, serta penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal normatif akan dimasukkan ke dalam pasal-pasal atau batang tubuh.

Amandemen atau perubahan terhadap UUD 1945 dilakukan secara bertahap karena mendahulukan pasal-pasal yang disepakati oleh semua fraksi di MPR. Proses perubahan lalu dilanjutkan dengan perubahan terhadap pasal yang lebih sulit untuk memperoleh kesepakatan.

Amandemen UUD 1945 diadakan oleh MPR sejak tahun 1999 sebanyak empat kali.

Hasil Amandemen UUD 1945 yakni sebagai berikut:

1. Amandemen UUD 1945 yang pertama

Amandemen UUD 1945 yang pertama dilaksanakan pada Sidang Umum MPR 1999 tanggal 14-21 Oktober 1999.

Hasil Amandemen UUD 1945 yang pertama meliputi 9 pasal dan 16 ayat sebagai berikut:

- Pasal 5 Ayat 1: Hak presiden untuk mengajukan RUU kepada DPR- Pasal 7: Pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden- Pasal 9 Ayat 1 dan 2: Sumpah presiden dan wakil presiden- Pasal 13 Ayat 2 dan 3: Pengangkatan dan penempatan duta- Pasal 14 Ayat 1: Pemberian grasi dan rehabilitasi- Pasal 14 Ayat 2: Pemberian amnesti dan abolisi- Pasal 15: Pemberian gelar, tanda jasa, dan kehormatan lain- Pasal 17 Ayat 2 dan 3: Pengangkatan menteri- Pasal 20 Ayat 1-4: Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

- Pasal 21: Hak DPR untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU)

2. Amandemen UUD 1945 yang kedua

Amandemen UUD 1945 yang kedua dilaksanakan pada Sidang Tahunan MPR 2000 tanggal 7-18 Agustus 2000. Perubahan kedua UUD 1945 ditetapkan pada 18 Agustus 2000.

Hasil Amandemen UUD 1945 yang kedua meliputi 27 Pasal dalam 7 Bab sebagai berikut:- Bab VI mengenai Pemerintah Daerah- Bab VII mengenai Dewan Perwakilan Daerah- Bab IXA mengenai Wilayah Negara- Bab X mengenai Warga Negara dan Penduduk- Bab XA mengenai Hak Asasi Manusia- Bab XII mengenai Pertahanan dan Keamanan

- Bab XV mengenai Bendera, Bahasa, Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan

3. Amandemen UUD 1945 yang ketiga

Amandemen UUD 1945 yang ketiga dilaksanakan pada Sidang Tahunan MPR 2001 tanggal 1-9 November 2001. Perubahan ketiga terhadap UUD 1945 ditetapkan tanggal 9 November 2001.

Hasil Amandemen UUD 1945 yang kedua meliputi 23 Pasal dalam 7 Bab sebagai berikut:- Bab I mengenai Bentuk dan Kedaulatan- Bab II mengenai MPR- Bab III mengenai Kekuasaan Pemerintahan Negara- Bab V mengenai Kementerian Negara- Bab VIIA mengenai DPR- Bab VIIB mengenai Pemilihan Umum

- Bab VIIIA mengenai BPK

4. Amandemen UUD 1945 yang keempat

Amandemen UUD 1945 yang keempat dilaksanakan pada Sidang Tahunan MPR 2001 tanggal 1-11 Agustus 2002.

Hasil Amandemen UUD 1945 yang kedua meliputi 19 Pasal yang terdiri atas 31 butir ketentuan serta 1 butir yang dihapuskan. Hasil Amandemen UUD 1945 yang keempat menetapkan:

- UUD 1945 sebagaimana telah diubah dengan perubahan pertama, kedua, ketiga, dan keempat adalah UUD 1945 yang pada tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

- Perubahan tersebut diputuskan dalam rapat paripurna MPR RI ke-9 tanggal 18 Agustus 2000 Sidang Tahunan MPR RI dan mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

- Bab IV tentang "Dewan Pertimbangan Agung" dihapuskan dan pengubahan substansi pasal 16 serta penempatannya ke dalam Bab III tentang "Kekuasaan Pemerintahan Negara"

Nah, demikan Amandemen UUD 1945 yang pertama hingga keempat dan hasil amandemen masing-masing. Selamat belajar ya, detikers!

Simak Video "Adu Perspektif: 'Nyanyian' Fahri Memekakakkan Telinga DPR"



(twu/pay)

JAKARTA - Karakteristik pemerintahan Indonesia menjadi acuan dasar bagi negara Indonesia dalam mengatur negaranya. Seperti dengan negara-negara lain, setiap negara memiliki karakteristik pemerintahannya sendiri-sendiri.

Berdasarkan Pasal 1 Ayat 1 UUD 1945, Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Berdasarkan hal itu dapat disimpulkan bahwa bentuk negara Indonesia adalah kesatuan, sedangkan bentuk pemerintahannya adalah republik.

Dalam menjalankan pemerintahannya terdapat sistem pemerintahan. Sistem pemerintahan diartikan sebagai suatu tatanan utuh yang terdiri atas berbagai komponen pemerintahan yang bekerja saling bergantungan dan mempengaruhi dalam pencapaian tujuan dan fungsi pemerintahan.

Dengan begitu, apa saja karakteristik pemerintahan Indonesia yang menjalankan sistem pemerintahan Indonesia setelah amandemen UUD 1945? Untuk lebih jelasnya, simak ulasan berikut ini.

Baca juga: LaNyalla: Dibandingkan AS dan India, Amandemen di RI Lebih Brutal dan Massif

Dalam pemerintahan Indonesia, terdapat 3 karakteristik yang perlu diketahui, yakni:

Presiden Memiliki Kekuasaan Tertinggi

Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan sebagai kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Hal itu didasarkan pada Pasal 4 Ayat 1 yang berbunyi, “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”. Dengan demikian, sistem pemerintahan di Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial.

Baca juga: Kembali ke Sistem Ekonomi Pancasila, Ketua DPD Minta Pasal 33 UUD Dikoreksi

Selain memiliki kekuasaan tertinggi, Presiden bertugas menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya sesuai dengan pasal 5 ayat 2. Selain itu, Presiden mengangkat dan menghentikan menteri-menteri sesuai pasal 17 ayat 2. Presiden, juga mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang sesuai pasal 20 ayat 4.

Bentuk Pemerintahannya Republik

Seperti dijelaskan di awal berdasarkan UUD 1945 bentuk pemerintahan Indonesia adalah Republik Konstitusional. Setelah masa jabatan presiden, gubernur, dan lainnya habis, maka dilakukan pemilihan sesuai konstitusi yang berlaku.

Sesuai dengan konstitusi UUD 1945 sebagai landasan utama. Negara Indonesia melakukan pemungutan suara melalui pemilihan umum yang diadakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Baca juga: Apresiasi Kiprah LaNyalla, FKSI Setuju Peran DPD RI Diperkuat

Lembaga yang Berkuasa di Indonesia

Mengilhami John Locke, Montesquieu mengemukakan bahwa dalam pemerintahan Negara terdapat 3 (tiga) jenis kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang.

Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang.

Baca juga: LaNyalla Ajak Lembaga Pendidikan Pikirkan Masa Depan Bangsa Lewat Amandemen Konstitusi

Kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan untuk mengadili pelanggaran terhadap undang-undang

Dimana, Presiden bertugas melaksanakan undang-undang, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) lembaga dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) lembaga yang membuat undang-undang. Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi adalah lembaga yang mengadili pelanggaran terhadap undang-undang.

Demikian 3 karakteristik pemerintahan di Indonesia yang harus dipahami. Semoga bermanfaat.

A. Pendahuluan

Salah satu fenomena yang sangat penting pasca perubahan Undang-Undang Dasar 1945 adalah bertebarannya lembaga-lembaga negara mandiri (state auxiliary agencies) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Lembaga-lembaga tersebut dibentuk dengan dasar hukum yang berbeda-beda, baik dengan konstitusi, undang-undang, bahkan ada yang dibentuk dengan keputusan presiden saja.

Dasar hukum yang berbeda-beda itu menunjukkan bahwa lembaga-lembaga negara mandiri itu dibentuk berdasarkan isu-isu parsial, insidental, dan sebagai jawaban khusus terhadap persoalan yang sedang dihadapi. Hal ini mengakibatkan komisi-komisi itu berjalan secara sendiri-sendiri dan tidak saling melengkapi satu sama lain, sehingga dalam implikasi yang lebih jauh dapat mengakibatkan efektivitas keberadaan komisi-komisi itu dalam struktur ketatanegaraan masih belum tampak berjalan sesuai dengan tujuan mulia pembentukan lembaga yang ekstralegislatif, ekstraeksekutif, dan ekstrayudikatif itu.

B. Pasang-Surut Lembaga Negara

Suatu perubahan konfigurasi politik dari otoritarianisme menuju demokrasi yang diterapkan dalam sebuah negara mutlak menuntut adanya pergeseran pengelolaan kekuasaan dari yang semula bersifat personal menjadi bersifat impersonal. Pada saat yang bersamaan, hal ini mengakibatkan pembagian kekuasaan negara yang sebelumnya dianggap sebagai doktrin yang mapan mengalami koreksi dan dirasakan tidak cukup lagi sekadar mengklasifikasikannya menjadi kekuasaan pemerintah, kekuasaan membuat undang-undang, dan kekuasaan kehakiman. Sekadar menunjuk contoh, di Inggris komplikasi persoalan-persoalan kemasyarakatan yang timbul akibat adanya perubahan konfigurasi sosial-politik berupa Revolusi Industri pada abad ke-18 dan 19 tidak bisa diselesaikan dengan mengandalkan mekanisme kelembagaan yang telah ada sebelumnya, melainkan direspons dengan membentuk badan-badan yang bersifat khusus yang dilakukan oleh parlemen.[1] Pembentukan badan-badan yang bersifat khusus ini dianggap sebagai jawaban yang paling tepat dan diidealkan mampu menangani dan menyelesaikan kompleksitas persoalan-persoalan ketatanegaraan melalui cara yang terlembagakan dengan baik.[2]

Oleh karena itu, bersamaan dengan derasnya komplikasi persoalan-persoalan kemasyarakatan yang muncul itu ratusan badan yang sama sekali baru didirikan dengan tujuan untuk melakukan tugas-tugas semacam (1) membuat peraturan, seperti Komisi Keselamatan dan Kesehatan Kantor Perdagangan yang Jujur (The Health and Safety Commission The Office of Fair Trading); (2) memberikan nasihat, seperti Komisi Daerah (Countryside Commission); dan (3) menyelesaikan perselisihan, seperti Komisi untuk Persamaan Rasial (The Commission for Racial Equality).[3] Alasan utama yang ditunjuk berkenaan dengan pembentukan badan-badan tersebut adalah untuk meminimalisasi pengaruh kaum aristokrat dan memberikan penegasan terhadap konsep pemisahan kekuasaan. Nomenklatur yang diberikan untuk lembaga-lembaga itu pun berlainan satu sama lain, seperti korporasi publik, quoqos (badan non-pemerintah semiotonom), badan non-departemen, badan publik, komisi, dewan, atau badan ad hoc yang biasanya dasar pembentukannya dapat berupa undang-undang, piagam kerajaan, tindakan administratif, atau perjanjian.[4]

Pembentukan lembaga-lembaga ekstra serupa juga terjadi di Amerika Serikat seiring dengan meluasnya peran parlemen dalam struktur ketatanegaraan sebagai akibat akselerasi dinamika masyarakat yang semakin kompleks dan menghadirkan tantangan-tantangan yang berbeda dari sebelumnya, sehingga membutuhkan jawaban-jawaban baru yang harus segera ditemukan. Oleh karena itu, parlemen Amerika Serikat membentuk suatu badan yang bertanggung jawab kepadanya dalam pelbagai urusan khusus berkenaan dengan fungsi legislasi, seperti Komisi Komunikasi Federal (The Federal Communications Commission), Dewan Penerbangan Sipil (Civil Aeronautics Board), Komisi Sekuritas dan Kurs (Securities and Exchange Commission), Dewan Kerja Sama Buruh Nasional (National Labor Relation Board), Komisi Kekuasaan Federal (Federal Power Commission), Komisi Perdagangan Antarnegara Bagian (Interstate Commerce Commission), Komisi Perdagangan Federal (Federal Trade Commission). Dalam catatan Jimly Asshiddiqie, di seluruh Amerika Serikat, badan-badan seperti ini tercatat tidak kurang dari 30 buah yang merupakan badan-badan khusus yang relatif independen dengan tugas menjalankan fungsi yang bersifat semiyudisial dan semilegislatif.[5]

Kedudukan badan-badan khusus itu di Amerika Serikat meskipun secara administratif tetap berada di lingkungan pemerintahan, tetapi pengangkatan dan pemberhentian para anggota badan-badan khusus itu ditentukan dengan pemilihan oleh Kongres.[6]

Sementara itu, di negara-negara Skandinavia (Swedia, Denmark, Finlandia, dan Norwegia), Perancis, Selandia Baru, Guyana Mauritius, dan lain-lain, secara khusus juga membentuk lembaga tersendiri di luar kekuasaan pemerintah, kekuasaan membuat undang-undang, dan kekuasaan kehakiman untuk melindungi warga negaranya dari tindakan-tindakan yang tidak adil dari pemerintah. Lembaga ini tidak berhak mengadili atau memiliki fungsi peradilan terhadap keluhan warga negara atas suatu tindakan-tindakan yang tidak adil dari pemerintah. Akan tetapi, lembaga ini dapat melakukan penyelidikan atas persoalan tersebut. Nomenklatur untuk lembaga semacam ini disebut secara berbeda-beda di berbagai negara. Swedia, misalnya, menyebutnya dengan istilah Ombudsman Yustisi (Justitie Ombudsman),[7] Perancis dengan Komisioner Tinggi Pertahanan (Haut Commissionaire Defenseur), dan Selandia Baru dengan Komisi Parlemen untuk Administrasi (Parliamentary Commission for Administration).[8]

Konteks sejarah pembentukan Ombudsman Yustisi di Swedia adalah pada tahun 1713 kantor Ombudsman Tertinggi (King’s Ombudsman) diciptakan oleh Raja Swedia Charles XII setelah kembali dari pengasingannya di Turki. Sementara itu, pada tahun 1718 setelah kematian Raja Swedia Charles XII sebagian besar kekuasaan politik Raja dilimpahkan kepada parlemen Swedia (Riksdag). Akibatnya Chancellor of Justice (King’s Ombudsman) yang semula di bawah Raja kemudian menjadi bagian dari Parlemen. Tahun 1776 untuk pertama kalinya Parlemen Swedia memilih seorang Chancellor of Justice. Alasannya adalah bahwa Riksdag tidak percaya kepada kepada Raja untuk memilih orang yang lebih sesuai untuk tugas tersebut.[9] Oleh karena itu, pada tahun 1776 lahirlan lembaga yang diberi nama Ombudsman Parlemen. Pada tahun 1809, Swedia mencanangkan Konstitusi baru di mana asal keseimbangan kekuasaan antara Raja dengan Parlemen diterapkan (the principle of balance of power between the King and Riksdag).[10]

Pada prinsipnya, lembaga-lembaga ekstra itu selalu diidealkan bersifat independen dan sering kali memiliki fungsi campuran yang semilegislatif dan regulatif, semiadministratif, dan bahkan semiyudikatif. Oleh karena itulah muncul istilah badan-badan independen dan berhak mengatur dirinya sendiri (independent and self-regulatory bodies) yang berkembang di berbagai negara.[11]

Akan tetapi, gejala umum yang sering kali dihadapi oleh negara-negara yang membentuk lembaga-lembaga ekstra itu adalah persoalan mekanisme akuntabilitas, kedudukannya dalam struktur ketatanegaraan, dan pola hubungan kerjanya dengan kekuasaan pemerintah, kekuasaan membuat undang-undang, dan kekuasaan kehakiman. Hal ini tidak terlepas dari pergulatan politik yang terjadi antara kekuatan politik pemerintah dan parlemen saat keduanya memperebutkan pengaruh dari rakyat dalam pengelolaan negara. Kekuatan politik pemerintah di era demokrasi yang “dipaksa” harus berbagi dengan kekuatan lain, khususnya parlemen, inilah yang mengakibatkan persaingan di antara keduanya tidak terelakkan. Tentu saja hal ini membawa dampak negatif berupa ketidakjelasan pertanggungjawaban dan pola kerja lembaga-lembaga ekstra tersebut, karena pembentukannya sering kali tidak dilandasi kebutuhan rasional dan landasan yuridis yang cukup. Sebagai lembaga independen yang terlepas dari hubungan struktural dengan pemerintah, pemerintah tentu tidak berada dalam kapasitas untuk bisa mengontrol secara khusus terhadap lembaga-lembaga ekstra tersebut.[12] Ketidakjelasan mekanisme pertanggungjawaban ini, menurut Alder, dikarenakan ketentuan yang mengatur lembaga-lembaga ekstra itu kadang-kadang menciptakan mekanisme tersendiri yang berbeda satu sama lain tanpa ada perangkat konstitusional yang logis.[13]

C. Lembaga Negara di Indonesia

Menurut Hans Kelsen, organ negara itu setidaknya menjalankan salah satu dari 2 (dua) fungsi, yakni fungsi menciptakan hukum (law-creating function) atau fungsi yang menerapkan hukum (law-applying function).[14] Dengan menggunakan analisis Kelsen tersebut, Jimly Asshiddiqie menyimpulkan bahwa pascaperubahan UUD 1945, dapat dikatakan terdapat 34 lembaga negara. Dari 34 lembaga negara tersebut, ada 28 lembaga yang kewenangannya ditentukan baik secara umum maupun secara rinci dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ke-28 lembaga negara inilah yang dapat disebut sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan konstitusional atau yang kewenangannya diberikan secara eksplisit oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[15]

Ke-34 organ tersebut dapat dibedakan dari dua segi, yaitu dari segi fungsinya dan dari segi hirarkinya. Hirarki antarlembaga negara itu penting untuk ditentukan karena harus ada pengaturan mengenai perlakuan hukum terhadap orang yang menduduki jabatan dalam lembaga negara itu. Mana yang lebih tinggi dan mana yang lebih rendah perlu dipastikan untuk menentukan tata tempat duduk dalam upacara dan besarnya tunjangan jabatan terhadap para pejabatnya. Untuk itu, ada dua kriteria yang dapat dipakai, yaitu (i) kriteria hirarki bentuk sumber normatif yang menentukan kewenangannya, dan (ii) kualitas fungsinya. Yang bersifat utama atau penunjang dalam sistem kekuasaan negara. Sehubungan dengan hal itu, maka dapat ditentukan bahwa dari segi fungsinya, ke-34 lembaga tersebut, ada yang bersifat utama atau primer, dan ada pula yang bersifat sekunder atau penunjang (auxiliary). Sedangkan dari segi hirarkinya, ke-34 lembaga itu dapat dibedakan ke dalam tiga lapis. Organ lapis pertama dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara. Organ lapis kedua disebut sebagai Lembaga negara saja, sedangkan organ lapis ketiga merupakan lembaga daerah. Di antara lembaga-lembaga tersebut ada yang dapat dikategorikan sebagai organ utama atau primer (primary constitutional organs), dan ada pula yang merupakan organ pendukung atau penunjang (auxiliary state organs). Corak dan struktur organisasi negara kita di Indonesia juga mengalami dinamika perkembangan yang sangat pesat.

Setelah masa reformasi sejak tahun 1998, banyak sekali lembaga-lembaga dan komisi-komisi independen yang dibentuk. Menurut Jimly Assshiddiqie, beberapa di antara lembaga-lembaga atau komisi-komisi independent dimaksud dapat diuraikan di bawah ini dan dikelompokkan sebagai berikut.[16]

1) Lembaga Tinggi Negara yang sederajat dan bersifat independen, yaitu:

a) Presiden dan Wakil Presiden;b) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);c) Dewan Perwakilan Daerah (DPD);d) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);e) Mahkamah Konstitusi (MK);f) Mahkamah Agung (MA);

g) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

2) Lembaga Negara dan Komisi-Komisi Negara yang bersifat independen berdasarkan konstitusi atau yang memiliki constitutional importance lainnya, seperti:

a) Komisi Yudisial (KY);b) Bank Indonesia (BI) sebagai Bank sentral;c) Tentara Nasional Indonesia (TNI);d) Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI);e) Komisi Pemilihan Umum (KPU);

f) Kejaksaan Agung yang meskipun belum ditentukan kewenangannya dalam UUD 1945 melainkan hanya dalam UU, tetapi dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat penegak hukum di bidang pro justisia, juga memiliki constitutional importance yang sama dengan kepolisian;


g) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga dibentuk berdasarkan UU tetapi memiliki sifat constitutional importance berdasarkan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945;
h) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOM-NAS- HAM)49 yang dibentuk berdasarkan undangundang tetapi juga memiliki sifat constitutional importance.

3) Lembaga-Lembaga Independen lain yang dibentuk berdasarkan undang-undang, seperti:

a) Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK);b) Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU);

c) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI);

4) Lembaga-lembaga dan komisi-komisi di lingkungan eksekutif (pemerintah) lainnya, seperti Lembaga, Badan, Pusat, Komisi, atau Dewan yang bersifat khusus di dalam lingkungan pemerintahan, seperti:

a) Konsil Kedokteran Indonesia (KKI);b) Komisi Pendidikan Nasional;c) Dewan Pertahanan Nasional;54d) Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas);e) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI);f) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT);g) Badan Pertanahan Nasional (BPN);h) Badan Kepegawaian Nasional (BKN);i) Lembaga Administrasi Negara (LAN);

j) Lembaga Informasi Nasional (LIN).

5) Lembaga-lembaga dan komisi-komisi di lingkungan eksekutif (pemerintah) lainnya, seperti:

a) Menteri dan Kementerian Negara;b) Dewan Pertimbangan Presiden;c) Komisi Hukum Nasional (KHN);d) Komisi Ombudsman Nasional (KON);e) Komisi Kepolisian;

f) Komisi Kejaksaan.

6) Lembaga, Korporasi, dan Badan Hukum Milik Negara atau Badan Hukum yang dibentuk untuk kepentingan negara atau kepentingan umum lainnya, seperti:

a) Lembaga Kantor Berita Nasional ANTARA;b) Kamar Dagang dan Industri (KADIN);c) Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI);d) BHMN Perguruan Tinggi;e) BHMN Rumah Sakit;f) Korps Pegawai Negeri Republik Indonesia (KORPRI);g) Ikatan Notaris Indonesia (INI);

h) Persatuan Advokat Indonesia (Peradi);

Pada dasarnya, pembentukan lembaga-lembaga negara mandiri –atau apa pun namanya– di Indonesia dibentuk karena lembaga-lembaga negara yang ada belum dapat memberikan jalan keluar dan menyelesaikan persoalan yang ada ketika tuntutan perubahan dan perbaikan semakin mengemuka seiring dengan munculnya era demokrasi. Selain itu, kelahiran lembaga-lembaga negara mandiri itu merupakan sebentuk ketidakpercayaan publik terhadap lembaga-lembaga yang ada dalam menyelesaikan persoalan ketatanegaraan yang dihadapi.[17]

Secara lebih lengkap, pembentukan lembaga-lembaga negara mandiri di Indonesia dilandasi oleh lima hal penting. Pertama, tidak adanya kredibilitas lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya akibat adanya asumsi (dan bukti) mengenai korupsi yang sistemik, mengakar, dan sulit untuk diberantas. Kedua, tidak independennya lembaga-lembaga negara yang karena alasan tertentu tunduk di bawah pengaruh suatu kekuasaan tertentu. Ketiga, ketidakmampuan lembaga-lembaga negara yang telah ada untuk melakukan tugas-tugas yang harus dilakukan dalam masa transisi menuju demokrasi baik karena persoalan internal maupun eksternal. Keempat, adanya pengaruh global yang menunukkan adanya kecenderungan beberapa negara untuk membentuk lembaga-lembaga negara ekstra yang disebut lembaga negara mandiri (state auxiliary agency) atau lembaga pengawas (institutional watchdog) yang dianggap sebagai suatu kebutuhan dan keharusan karena lembaga-lembaga yang telah ada telah menjadi bagian dari sistem yang harus diperbaiki. Kelima, adanya tekanan dari lembaga-lembaga internasional untuk membentuk lembaga-lembaga tersebut sebagai prasyarat bagi era baru menuju demokratisasi.[18]

Daftar Pustaka

Alder, John. Constitutional & Administrative Law. London: Macmillan Professional Masters, 1989.

Asshiddiqie, Jimly. Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah: Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara. Jakarta: UI-Press, 1996.

_______. “Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945”, makalah disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII dengan tema Penegakan Hukum dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Denpasar, 14-18 Juli 2003.

_______. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006.

Duchacek, Ivo D. Power Maps: Comparative Politics of Constitutions. Santa Barbara, California: American Bibliographical Center, 1973.

Kelsen, Hans. General Theory of Law and State. New York: Russel & Russel, 1973.

Komisi Ombudsman Nasional. Laporan Tahunan 2001. Jakarta: Komisi Ombudsman Nasional, 2001.

Thohari, A. Ahsin. “Kedudukan Komisi-komisi Negara dalam Striktur Ketatanegaraan Indonesia”, Jurnal Hukum Jentera, edisi 12 Tahun III, April-Juni 2006.

Yazid, T.M. Luthfi. “Komisi-komisi Nasional dalam Konteks Cita-cita Negara Hukum”, makalah disampaikan dalam Diskusi Terbatas dengan tema Eksistensi Sistem Kelembagaan Negara Pascaamandemen UUD 1945, diselenggarakan oleh Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, di Hotel Aryaduta, Jakarta, 9 September 2004.

Wieslander, Bengt. The Parliamentary Ombudsman in Sweden. Stokholm: The Bank of Sweden Tercentenary Foundation, 1999.

***

End Note:
[1] John Alder, Constitutional & Administrative Law, (London: Macmillan Professional Masters, 1989), hal. 232.

[2] A. Ahsin Thohari, “Kedudukan Komisi-komisi Negara dalam Striktur Ketatanegaraan Indonesia”, Jurnal Hukum Jentera, edisi 12 Tahun III, April-Juni 2006.

[3] Alder, op. cit., hal. 233.

[4] Ibid.

[5] Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah: Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, (Jakarta: UI-Press, 1996), hal. 21.

[6] Jimly Asshiddiqie, “Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945”, (makalah disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII dengan tema Penegakan Hukum dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Denpasar, 14-18 Juli 2003), hal. 23.

[7] Secara harfiah, Ombudsman dapat diartikan sebagai seseorang yang bertugas mengurusi kepentingan orang lain Lihat misalnya Bengt Wieslander, The Parliamentary Ombudsman in Sweden, (Stokholm: The Bank of Sweden Tercentenary Foundation, 1999), hal. 3..

[8] Ivo D. Duchacek, Power Maps: Comparative Politics of Constitutions, (Santa Barbara, California: American Bibliographical Center, 1973), hal. 158.

[9] Komisi Ombudsman Nasional, Laporan Tahunan 2001, (Jakarta: Komisi Ombudsman Nasional, 2001), hal. 140.

[10] Ibid.

[11] Asshiddiqie, 2003, loc. cit., hal. 22-23.

[12] Thohari, op. cit.

[13] Alder, op. cit., hal. 229.

[14] Hans Kelsen, General Theory of Law and State (New York: Russel & Russel, 1973), hal. 192.

[15] Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hal. viii-ix.

[16] Asshiddiqie, op. cit., hal. 25-27.

[17] T.M. Luthfi Yazid, “Komisi-komisi Nasional dalam Konteks Cita-cita Negara Hukum”, (makalah disampaikan dalam Diskusi Terbatas dengan tema Eksistensi Sistem Kelembagaan Negara Pascaamandemen UUD 1945, diselenggarakan oleh Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, di Hotel Aryaduta, Jakarta, 9 September 2004), hal. 2.

[18] Ibid., hal. 59-60.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA