Apakah kapal suatu negara boleh berlayar melintasi laut wilayah negara lain? Jawabannya adalah “Boleh“. Dasarnya adalah UNCLOS 1982, yang menjadi acuan bagi seluruh negara yang meratifikasinya, termasuk Indonesia melalui UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982). Kemudian, UU nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, yang menggantikan UU Nomor 4 Prp. Tahun 1960 karena sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan rezim hukum negara kepulauan sebagaimana dimuat dalam Bagian IV Konvensi UNCLOS 1982. Selanjutnya, sebagai tindak lanjut dari UU Nomor 6 Tahun 1996, pemerintah Indonesia menerbitkan PP No 37 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan.
Hak Lintas Damai
Hak Lintas Transit
Istilah “Hak Lintas Transit” digunakan pada Part III tentang Rezim Selat yang digunakan untuk pelayaran internasional, yaitu selat yang digunakan untuk pelayaran internasional antara satu bagian laut lepas atau zona ekonomi eksklusif dan bagian laut lepas atau suatu zona ekonomi eksklusif lainnya. Contohnya adalah Selat Malaka. Ketentuan tentang Hak Lintas Transit dapat dibaca mulai Pasal 37 hingga pasal 44.Hak Lintas Alur Kepulauan
Hak Lintas Alur Laut Kepulauan adalah berlayar dari satu bagian laut bebas atau zona ekonomi eksklusif melintasi Perairan Kepulauan sebuah negara menuju ke bagian lain dari laut bebas atau zona ekonomi eksklusif. Salah satu ciri negara kepulauan adalah memiliki laut diantara pulau-pulau, yang disebut laut atau perairan kepulauan. Seperti halnya perairan teritorial, negara kepulauan berdaulat penuh di perairan kepulauan.Baca: Memahami Garis Pangkal Kepulauan dalam UNCLOS 1982
Pengaturan Hak Lintas ALKI
Yang dimaksud Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) adalah rute navigasi yang sudah ditetapkan oleh pemerintah Indonesia, serta sudah didaftarkan dan disetujui oleh PBB. Maritime Safely Committee (MSC) IMO pada 19 Mei 1998 telah menyetujui usulan (submisi) Pemerintah Indonesia mengenai penetapan sumbu 3 (tiga) alur laut kepulauan (ALKI I, II, dan III) beserta cabang-cabangnya yang dapat digunakan untuk pelaksanaan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan. Pengaturan mengenai hak lintas ALKI bagi kapal asing diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 37 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan. Dalam tulisan ini, penulis hanya membahas tentang kapal asing. PP 37 Tahun 2002 di atas merupakan peraturan pelaksanaan dari UU nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, yang mengadopsi Hak Lintas Alur Laut Kepulauan yang terdapat dalam UNCLOS 1982.17 Wajib bagi Kapal Asing
PP No 37 Tahun 2002 memuat cukup banyak ketentuan tentang Lintas Alur Laut Kepulauan. Redaksi meringkasnya menjadi 17 kewajiban bagi kapal asing sewaktu melintas di ALKI Lintas Alur Laut Kepulauan. 1. Melintas secepatnya dengan cara normal, yaitu secara terus-menerus, langsung, cepat, dan tidak terhalang. 2. Tidak boleh menyimpang lebih dari 25 (dua puluh lima) mil laut ke arah kedua sisi dari garis sumbu ALKI 3. Tidak boleh berlayar dekat pantai. Dengan ketentuan tidak boleh kurang dari 10 persen (sepuluh per seratus) dari jarak antara titik-titik terdekat pada pulau-pulau yang berbatasan dengan ALKI 4. Tidak boleh melakukan ancaman atau menggunakan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, atau kemerdekaan politik Republik Indonesia, atau dengan cara lain apapun yang melanggar asas-asas Hukum Internasional yang terdapat dalam Piagam PBB 5. Untuk kapal perang asing, tidak boleh melakukan latihan perang atau latihan menggunakan senjata apapun yang beramunisi. Kapal selam asing dan kendaraan bawah air lainnya wajib berlayar di permukaan dan memperlihatkan bendera kebangsaannya. 6. Tidak boleh berhenti atau berlabuh jangkar atau mondar- mandir. Kecuali dalam keadaan force majeure atau dalam keadaan musibah atau sedang memberikan pertolongan kepada orang atau kapal yang sedang dmusibah. 7. Tidak boleh melakukan siaran gelap atau melakukan gangguan terhadap sistem telekomunikasi 8. Tidak boleh melakukan komunikasi langsung dengan orang atau kelompok orang yang tidak berwenang di dalam wilayah Indonesia. 9. Kapal asing, termasuk kapal riset atau survey hidrografi, tidak boleh melakukan kegiatan riset kelautan atau survey hidrografi, baik menggunakan peralatan deteksi maupun peralatan pengambil contoh, kecuali telah memperoleh izin untuk hal itu. 10. Kapal asing, termasuk kapal penangkap ikan, tidak boleh melakukan kegiatan perikanan dan wajib menyimpan peralatan penangkap ikannya ke dalam palka. 11. Tidak boleh menaikkan ke atas kapal atau menurunkan dari kapal, orang, barang atau mata uang dengan cara yang bertentangan dengan aturan kepabeanan, keimigrasian, fiskal, dan kesehatan, kecuali dalam keadaan force majeure atau dalam keadaan musibah. 12. Wajib menaati peraturan, prosedur, dan praktek internasional mengenai keselamatan pelayaran yang diterima secara umum, termasuk peraturan tentang pencegahan tubrukan kapal di laut (COLREGs 1972) 13. Wajib mematuhi pengaturan Skema Pemisah Lintas (TSS) yang ada. Indonesia sudah menerapkan TSS pada bagian ALKI tertentu, yaitu Selat Sunda dan Selat Lombok. Baca: Sistem Navigasi dan Pelaporan di TSS Selat Sunda dan Lombok 14. Tidak boleh menimbulkan gangguan atau kerusakan pada sarana atau fasilitas navigasi serta kabel dan pipa bawah air. 15. Tidak boleh berlayar terlalu dekat dengan zona terlarang yang lebamya 500 (lima ratus) meter di sekeliling instalasi eksplorasi atau eksploitasi sumber daya alam hayati atau non hayati. 16. Dilarang membuang minyak, limbah minyak, dan bahan perusak lainnya ke dalam lingkungan laut, dan atau melakukan kegiatan yang bertentangan dengan MARPOL. Termasuk dilarang melakukan dumping di Perairan Indonesia. 17. Kapal asing bertenaga nuklir, atau yang mengangkut bahan nuklir atau barang atau bahan lain yang berbahaya atau beracun, harus membawa dokumen dan mematuhi tindakan pencegahan khusus yang ditetapkan oleh perjanjian internasional.Untuk lebih rinci tentang Hak Lintas Alur Kepulauan dapat dibaca pada Bagian IV UNCLOS 1982. [AS]