Wayang kulit yang banyak mengandung nilai filosofi bahannya terbuat dari kulit

Asap dari pembakaran dupa menambah magis suasana pertunjukan wayang kulit Pemain musik yang selalu mengiringi selama pertunjukan wayang berlangsung Sesajian berupa ayam kampung, nasi tumpengan, dan hasil bumi lainnya, tidak lupa asap dari pembakaran dupa selalu ada di setiap pementasan wayang Dalam pertunjukan wayang kulit, sang dalang diiringi musik yang bersumber dari alat musik gamelan Dalang harus mengetahui berbagai cerita epos pewayangan seperti Mahabrata dan Ramayana UNESCO mengakui wayang kulit sebagai warisan kekayaan budaya Indonesia yang bernilai adiluhung Dalang dahulu dinilai sebagai profesi yang luhur, karena dalang biasanya adalah orang yang terpandang, berilmu, dan berbudi pekerti yang santun Di sela-sela suara gamelan, dilantunkan syair-syair berbahasa Jawa yang dinyanyikan oleh para pesinden yang umumnya adalah perempuan Sebagai kesenian tradisi yang bernilai magis, sesaji atau sesajen menjadi syarat yang wajib dalam pertunjukan wayang Wayang kulit diyakini sebagai embrio dari berbagai jenis wayang yang ada saat ini

KESENIAN tradisional wayang kulit lahir, hidup, tumbuh, berkembang terutama dalam masyarakat Jawa. Lebih dari sekadar pertunjukan, wayang kulit dahulu merupakan media permenungan menuju roh spiritual para dewa.

Istilah “wayang” sendiri berasal dari kata “ma Hyang”, yang berarti menuju spiritualitas Sang Kuasa. Tapi ada juga yang mengatakan “wayang” berasal dari  teknik pertunjukan yang mengandalkan bayangan (bayang/wayang) di layar.

Wayang kulit, terbuat dari kulit kerbau, diyakini sebagai embrio dari berbagai jenis wayang yang ada saat ini. Ia dimainkan seorang dalang; diiringi musik gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga (pemain gamelan) dan tembang yang dinyanyikan para pesinden. Setiap bagian dalam pementasan wayang mempunyai simbol dan makna filosofis yang kuat. Apalagi dari segi isi, cerita pewayangan selalu mengajarkan budi pekerti yang luhur, saling mencintai dan menghormati, sambil terkadang diselipkan kritik sosial dan peran lucu lewat adegan goro-goro.

Wayang kulit memiliki sejarah panjang. Catatan tertua tentang wayang kulit atau wayang purwa tersua dalam Prasasti Kuti bertarikh 840 M dari Joho, Sidoarjo, Jawa Timur. Prasasti ini menyebut kata haringgit atau dalang. “Haringgit adalah bentuk halus dari kata ringgit. Kata ini sampai sekarang masih ada dalam bahasa Jawa, yang berarti wayang,” catat Timbul Haryono, guru besar arkeologi Universitas Gadjah Mada, dalam “Masyarakat Jawa Kuna dan Lingkungannya Pada Masa Borobudur” termuat di 100 Tahun Pasca Pemugaran Candi Borobudur.

Pada masa itu, dalang memimpin dan memainkan pertunjukan wayang di lingkungan istana. Arkeolog Dyah W. Dewi dalam “Kesenian Wayang Pada Masa Jawa Kuno dan Persebarannya di Asia” menyebut pertunjukan wayang mempunyai arti khusus. “Sehubungan dengan diselenggarakannya suatu upacara untuk memperingati suatu kejadian,” catat Dyah, termuat di Pertemuan Arkeologi V.

Sebagian ahli pewayangan, semisal R.M. Mangkudimedja, menduga bentuk awal wayang tak seperti sekarang. Dulu wayang hanya tampak bagian depannya. Bahan dasar pembuatan wayang pun berbeda dari sekarang. Dulu wayang terbuat dari daun lontar, bukan kulit hewan ternak seperti sekarang.

Tapi selingkar ahli arkeologi lainnya membantah dugaan R.M. Mangkudimedja. Contohnya Soedarso Sp. Dia meyakini wayang sudah terbuat dari kulit. Dia mendasarkan pandangannya pada isi Kakawin Arjunawiwaha anggitan Mpu Kanwa bertarikh 1036 M.

Tentang lakon dalam pertunjukan wayang kulit periode awal, hanya Prasasti Wukajani dari zaman pemerintahan Raja Mataram bernama Dyah Balitung (907 M) yang menyebutnya cukup jelas. Prasasti Wukajani menyebut mawayang bwat hyang atau pertunjukan wayang dengan lakon Bima Kumara. Kisah ini sempalan dari wiracarita Mahabharata yang bertutur tentang kegilaan Kicaka pada Drupadi.

Keterangan tentang wayang kulit termaktub pula pada relief di candi-candi Jawa Timur abad ke-10 seperti Candi Surawana, Candi Jago, Candi Tigawangi, dan Candi Panataran. Kehadiran wayang kulit dalam relief candi di tiga tempat berbeda menunjukkan kesenian ini telah menyebar ke berbagai wilayah.

Perkembangan wayang kulit memasuki babak baru pada masa kesultanan Islam. Wayang kulit tak lagi eksklusif milik lingkungan istana. Para pendakwah Islam di Jawa membawa wayang kulit ke masyarakat akar rumput. Mereka juga mengubah bentuk-bentuk wayang agar sejalan dengan ajaran Islam dan tujuan dakwah. Beberapa pendakwah Islam itu juga seorang dalang yang andal. Yang paling terkenal adalah Sunan Kalijaga

Lakon dalam pertunjukan wayang kulit masa Islam masih mengambil kisah-kisah dari Mahabharata. Tapi pendakwah Islam memasukkan beberapa istilah dan tokoh baru dalam lakon-lakon itu. Antara lain empat tokoh lucu yang dikenal sebagai panakawan: Semar, Petruk, Bagong, dan Gareng.

Kedatangan orang-orang Eropa ke Nusantara ikut memberi warna baru bagi wayang kulit. Para penyebar agama Katolik dari Sarikat Jesuit pada masa kolonial mengikuti jejak pendakwah Islam dalam menggunakan wayang kulit sebagai media penyebaran agama.

Meski wayang kulit di sejumlah wilayah begitu terbuka terhadap sentuhan baru, wayang kulit di Yogyakarta dan Surakarta masih mempertahankan model pakem. Artinya, pedalang di sana membuat sejumlah ketentuan tentang pementasan wayang kulit. Mulai bentuk wayang, lakon, tokoh-tokohnya, sampai peralatan teknis lainnya. Pakem mereka merujuk pada pementasan wayang kulit masa Mataram Kuna.

Sejak kemerdekaan, Indonesia memiliki sejumlah sekolah tinggi dengan jurusan pedalangan. Dari lembaga inilah, kemungkinan baru terhadap pengembangan wayang kulit bergulir. Pementasan wayang kulit beberapa kali keluar pakem. Seperti lakon cerita, tokoh, dan hal teknis pemakaian layar digital serta teknologi terbaru.

Meski wayang kulit kini tampil dalam beragam wajah, pertunjukan ini tetap memikat dan lestari. Masing-masing tipe pertunjukan punya penggemarnya. Orang-orang dari negeri jauh pun rela datang ke Indonesia untuk mempelajari sejarah dan bentuk-bentuk pertunjukan wayang kulit untuk kemudian digulirkan dalam bentuk baru di negara mereka masing-masing.

Wayang kulit lahir, tumbuh, hidup di Indonesia, kemudian menyebar ke penjuru dunia. Tidak salah jika Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk urusan Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (Unesco) menetapkan wayang kulit sebagai warisan budaya dunia dari Indonesia.*

Wayang kulit dibuat dari kulit kerbau. Bahan baku kulit kerbau didatangkan dari Nusa Tenggara Barat Wayang yang telah diwarnai kemudian diberi tangkai. Tangkai pada wayang dibuat dari tanduk kerbau Ada 4 jenis wayang yang dikenal masyarakat, yaitu wayang purwa, wayang madya, wayang gedog, dan wayang klithik Setelah direndam selama 1 malam dan dikerok hingga halus, dibuat pola di atas kulit kerbau Pembuatan sebuah tokoh wayang memerlukan waktu sekitar 1 minggu sampai 4 bulan. Lamanya proses tergantung jenis tokoh dan ukuran wayang Wayang purwa merupakan jenis wayang yang paling tua. Cerita yang dibawakan pada wayang jenis ini mengangkat kisah dari Ramayana dan Mahabarata Nilai estetika wayang tidak hanya pada pertunjukan. Pembuatan wayang pun memerlukan keahlian khusus, serta ketekunan dan kesabaran Gambar yang dibuat di atas kulit kerbau lalu diberi warna. Proses ini disebut 'nyungging' Gunungan merupakan jenis wayang yang paling lama pembuatannya. Selain karena ukurannya yang besar, motif pada Gunungan juga yang paling sulit Harga sebuah wayang berkisar antara Rp250 ribu sampai Rp5 juta, tergantung ukuran dan tokohnya

Wayang kulit merupakan salah satu kebudayaan asli Indonesia yang telah dilestarikan dari generasi ke generasi. Keberadaannya sebagai budaya yang ailuhung telah diakui oleh UNESCO, badan dunia yang mengurus tentang pelestarian kebudayaan. Pada tanggal 7 November 2003, wayang kulit telah ditetapkan sebagai Masterpiece of Oral and Intagible Heritage of Humanity.

Ada dua pendapat mengenai usul kata “wayang”. Yang pertama beranggapan kata ini berasal dari “ma hyang” yang berarti menuju kepada roh spiritual, dewa, atau Tuhan Yang Maha Esa. Sementara, pendapat yang lain menganggap “wayang” merupakan bahasa Jawa untuk “bayangan”. Hal ini merujuk pada bentuk pertunjukan wayang. Penonton melihat pertunjukan berupa bayangan wayang yang dimainkan oleh dalang. Dalang memainkan wayang dari balik layar.

Keagungan wayang kulit tidak hanya terletak pada pertunjukannya, tapi juga pada proses pembuatan wayang. Diperlukan keahlian, ketekunan, dan kesabaran dalam pembuatan sebuah wayang kulit.

Wayang kulit dibuat dari kulit kerbau. Kulit kerbau dipilih karena mampu menghasilkan wayang kulit yang kuat, tidak mudah melengkung. Kulit sapi pernah coba digunakan untuk membuat wayang kulit. Tapi ternyata, wayang yang dihasilkan tidak kuat dan cepat melengkung. Kulit kerbau sebagai bahan pembuatan wayang kulit biasanya didatangkan dari Nusa Tenggara Barat.

Proses pertama adalah merendam kulit kerbau selama 1 malam. Pada pagi harinya, kulit dikerok hingga halus lalu dijemur hingga menjadi kulit kering yang siap untuk proses berikutnya.

Proses berikutnya adalah membuat pola di atas kulit yang telah dikeringkan. Setelah gambar selesai dibuat, dilakukan nyungging (pewarnaan). Setelah itu, wayang diberi tangkai yang terbuat dari tanduk kerbau.

Proses pembuatan sebuah tokoh wayang memerlukan waktu sekitar 1 minggu sampai 4 bulan. Lamanya proses tergantung pada ukuran dan tokoh yang dibuat. Proses pembuatan yang memerlukan waktu paling lama adalah Gunungan. Detail gambar yang sangat rumit serta ukurannya yang lebih besar dari wayang yang lain menjadi alasan proses pembuatan Gunungan lebih lama.

Di Jawa, dikenal empat jenis wayang kulit. Wayang-wayang tersebut dibedakan berdasarkan tokoh serta cerita yang dibawakan. Yang pertama adalah wayang purwa yang membawakan cerita Ramayana dan Mahabarata. Kedua adalah wayang madya. Wayang ini diciptakan oleh Mangkunegara IV sebagai penyambung wayang purwa dengan wayang gedog, begitu pula dengan cerita yang dibawakan. Salah satu cerita yang terkenal dari wayang jenis ini adalah Anglingdarma.

Kemudian adalah wayang gedog. Wayang ini diperkirakan sudah ada sejak zaman Majapahit. Cerita yang dibawakan berasal dari serat Panji. Yang terakhir adalah wayang klithik. Wayang ini diciptakan oleh Pangeran Pekik, Adipati Surabaya. Cerita yang dibawakan dalam wayang ini berasal dari Panji dan Damarwulan.

Harga satu buah wayang sangat bergantung pada ukuran dan tokoh wayang yang dibuat. Semakin besar dan semakin sulit tokoh yang dibuat, harganya akan semakin mahal. Harga sebuah wayang berkisar dari Rp250 ribu hingga Rp5 juta.

Informasi Selengkapnya

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA