Waktu yang paling utama untuk melaksanakan aqiqah adalah

Sebelum melaksanakan aqiqah sang buah hati, alangkah lebih baik rasanya jika kita mengetahui kapan waktu aqiqah yang paling utama atau dianjurkan sesuai dengan sunnah.

Jika sebelumnya sudah dibahas mengenai Hikmah Aqiqah Anak Dalam Islam, maka pada kesempatan yang berbahagia ini Pelangi Aqiqah ingin menguraikan hal-hal yang berkaitan dengan waktu aqiqah.

Definisi Aqiqah

Hal yang tak kalah penting saat kita akan melaksanakan suatu ibadah, yaitu lebih afdol apabila kita mengetahui keutamaan dari ibadah tersebut atau minimal kita tahu definisinya.

Sebenarnya sudah sering kami bahas mengenai pengertian aqiqah, namun untuk melengkapi tema artikel kali ini, kami akan ulas kembali secara singkat tentang apa itu aqiqah?

Aqiqah artinya al-qat’u (memotong), yang dimaksud memotong dalam konteks tersebut adalah memotong hewan aqiqah, bisa berupa kambing atau domba dengan catatan kondisi hewan dalam keadaan sehat dan tidak cacat.

Baca Juga : Syarat Ketentuan Aqiqah Anak Laki-Laki dan Perempuan

Itu tadi pengertian aqiqah menurut bahasa, sedangkan jika menurut istilah, aqiqah adalah ibadah yang ditujukkan kepada Allah sebagai wujud rasa syukur kita atas kelahiran sang buah hati.

Waktu Aqiqah

Setelah kita mengetahui definisi atau pengertian aqiqah, pada bagian ini kita masuk kedalam inti pembahasan sesuai dengan tema artikel, yaitu mengenai kapan waktu pelaksanaan aqiqah?

Aqiqah Pada Hari Ketujuh

Aqiqah disunnahkan dilakukan pada hari ketujuh atau satu minggu setelah kelahiran sang buah hati. Hal ini sesuai dengan hadist:

كُلُّ غُلَامٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى

Semua anak tergadaikan dengan aqiqahnya. Hewan aqiqah disembelih di hari ketujuh setelah kelahiran, si anak digundul dan diberi nama.

(HR. Abu Daud 2455 dan dishahihkan al-Albani)

Dalam hadist tersebut terdapat kata “tergadaikan dengan aqiqahnya”, lalu apa makna dari “tergadaikan” pada hadist tersebut? Dalam hal ini ada perbedaan pendapat diantara ulama.

Pendapat Pertama, syafaat yang diberikan anak kepada orang tua tergadaikan dengan aqiqahnya. Hal tersebut mempunya makna bahwa jika anak tersebut meninggal sebelum baligh dan belum diaqiqahi maka orang tua tidak mendapatkan syafaat anaknya di hari kiamat.

Pendapat Kedua, keselamatan anak dari setiap bahaya itu tergadaikan dengan aqiqahnya. Apabila diberi aqiqah maka diharapkan anak akan mendapatkan keselamatan dari mara bahaya kehidupan.

Pendapat Ketiga, karena setiap bayi yang lahir akan diikuti setan dan dihalangi untuk melakukan usaha kebaikan bagi akhiratnya, maka Allah jadikan aqiqah bagi bayi sebagai sarana untuk membebaskan bayi dari kekangan setan.

Waktu Dihitungnya Hari Ketujuh

Waktu yang sangat dianjurkan untuk melaksanakan aqiqah anak sesuai dengan hadist yang sudah dibahas sebelumnya, yaitu pada hari ketujuh. Lalu bagaimana waktu mulai dihitungnya hari ketujuh tersebut?

Dikutip dari rumaysho.com, disebutkan dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah,

وذهب جمهور الفقهاء إلى أنّ يوم الولادة يحسب من السّبعة ، ولا تحسب اللّيلة إن ولد ليلاً ، بل يحسب اليوم الّذي يليها

“Mayoritas ulama pakar fiqih berpandangan bahwa waktu siang pada hari kelahiran adalah awal hitungan tujuh hari. Sedangkan waktu malam tidaklah jadi hitungan jika bayi tersebut dilahirkan malam, namun yang jadi hitungan hari berikutnya.”

Barangkali yang dijadikan dalil adalah hadits berikut ini,

تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ

“Disembelih baginya pada hari ketujuh.” Hari yang dimaksudkan adalah siang hari.

Misalnya ada bayi yang lahir pada hari Senin (15/04), pukul enam pagi, maka hitungan hari ketujuh untuk aqiqahnya sudah mulai dihitung pada hari Senin. Dengan demikian, aqiqah bayi tersebut dilakukan pada hari Minggu (21/04).

Jika bayi lahir pada hari Senin (15/04), pukul enam sore, hitungan hari ketujuh tidak dimulai dari Senin, melainkan dari Selasa. Maka, aqiqah bayi tersebut pada hari Senin (22/04).

Hikmah Aqiqah di Hari Ketujuh

Sudah pasti ada makna tersirat mengapa kita dianjurkan aqiqah pada hari ketujuh, bukan pada saat hari kelahiran bayi. Karena tentu saja pada awal kelahiran keluarga disibukkan untuk merawat ibu dan bayi. Selain itu, mencari kambing untuk aqiqah juga perlu usaha, seandainya disyariatkan pada hari pertama kelahiran tentu akan menyulitkan.

Murid Asy Syaukani, Shidiq Hasan Khon rahimahullah menjelaskan,

“Sudah semestinya ada selang waktu antara kelahiran dan waktu aqiqah. Pada awal kelahiran tentu saja keluarga disibukkan untuk merawat si ibu dan bayi. Sehingga ketika itu, janganlah mereka dibebani lagi dengan kesibukan yang lain. Dan tentu ketika itu mencari kambing juga butuh usaha. Seandainya aqiqah disyariatkan di hari pertama kelahiran sungguh ini sangat menyulitkan. Hari ketujuhlah hari yang cukup lapang untuk pelaksanaan aqiqah.”

(Roudhotun Nadiyah Syarh Ad Duroril Bahiyah, Shidiq Hasan Khon, hal. 349, terbitan Darul ‘Aqidah, cetakan pertama, 1422 H)

Aqiqah Tidak Bisa Dilaksanakan Pada Hari Ketujuh?

Waktu yang paling utama dan sangat dianjurkan untuk melaksanakan aqiqah adalah pada hari ketujuh atau seminggu setelah kelahiran bayi. Lalu, bagaimana jika kita belum bisa melaksanakan aqiqah anak pada hari ketujuh?

Tentang hal tersebut, terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama. Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah, waktu aqiqah adalah pada hari ketujuh dan tidak boleh di hari sebelumnya. Sedangkan, menurut ulama Syafi’iyah dan Hambali, waktu aqiqah dimulai dari kelahiran. Tidak sah aqiqah sebelumnya dan hanya dianggap sebagai sembelihan biasa.

Ulama Hambali juga berpendapat bahwa apabila aqiqah tidak dilaksanakan pada hari ketujuh, maka disunnahkan dilaksanakan pada hari keempatbelas. Jika tidak sempat lagi pada hari tersebut, boleh dilakukan pada hari keduapuluh satu.

Lalu ulama Syafi’iyah juga berpendapat bahwa aqiqah tidaklah dianggap luput jika diakhirkan waktunya. Namun, dianjurkan aqiqah tidaklah diakhirkan hingga usia baligh. Jika telah baligh belum juga diaqiqahi, maka aqiqahnya itu gugur dan si anak boleh memilih untuk mengaqiqahi dirinya sendiri.

Kesimpulan

Dari ulasan diatas, kita mendapat kesimpulan, bahwa waktu yang paling utama dan sangat dianjurkan untuk melaksanakan aqiqah anak adalah pada hari ketujuh setelah kelahiran bayi.

Aqiqah pada hari ketujuh mempunyai makna agar tidak menyulitkan orang tua bayi, hal tersebut dikarenakan mencari kambing atau domba untuk aqiqah juga butuh usaha dan pada hari pertama kelahiran bayi, tentu keluarga disibukkan dengan mengurus ibu dan bayi.

Umroh.com – Kelahiran seorang bayi menjadi kegembiraan tersendiri bagi orang tua dan keluarga besar. Mengiringi lahirnya seorang bayi, Allah memerintahkan orang tua untuk melaksanakan aqiqah. Batas waktu aqiqah pun telah ditentukan.

Pengertian Aqiqah

Aqiqah artinya menyembelih hewan pada hari ketujuh kelahiran bayi, dan diiringi dengan mencukur rambut bayi. Rasulullah bersabda, “Aqiqah dilaksanakan karena kelahiran bayi, maka sembelihlah hewan dan hilangkanlah semua gangguan darinya” (HR.Bukhari).

Pelaksanaan aqiqah untuk bayi perempuan adalah dengan menyembelih seekor kambing. Sementara bayi laki-laki sebanyak dua ekor kambing. Ada juga pendapat lain, menyembelih seekor kambing dalam rangka aqiqah bayi laki-laki dibolehkan.

Tujuan Aqiqah

Semua hal yang diperintahkan Allah tentu ada hikmahnya. Termasuk aqiqah. Perintah aqiqah mengandung tujuan dan hikmah yang akan dirasakan oleh umat Islam dan manusia pada umumnya.

Tujuan utama aqiqah adalah melaksanakan sunnah dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Selain itu, aqiqah menjadi tebusan sang anak bagi orang tuanya. Sehingga kelak anak bisa memberi syafaat bagi kedua orang tuanya.

Aqiqah juga dilaksanakan dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah, dan meraih ridho Allah. Aqiqah menjadi wujud syukur dari orang tua, sebab Allah telah menganugerahkan anak kepada mereka. Kemudian, aqiqah juga menjadi syiar Islam untuk menampakkan kegembiraan atas kelahiran keturunan dari kaum mukmin.

Daging hewan untuk aqiqah yang dibagikan juga bisa mempererat persaudaraan di dalam masyarakat. Selain itu, aqiqah juga menjadi cara untuk mengurangi beban dari masyarakat yang kurang mampu. Dengan daging aqiqah yang dibagikan, semakin banyak orang-orang yang bisa merasakan kegembiraan dengan mengkonsumsi daging.

Hukum Aqiqah

Umroh.com merangkum, hukum Aqiqah adalah Sunnah Muakkad. Sunnah yang sangat dianjurkan untuk dilaksanakan. Anjuran melaksanakan aqiqah menjadi tanggungan bagi sang ayah, yang menanggung nafkah si bayi. Anjuran untuk melaksanakan aqiqah dikenakan pada ayah jika dalam keadaan berkecukupan.

Menurut para ulama, jika sampai batas waktu aqiqah orang tua masih dalam keadaan tidak mampu, maka ia tidak diperintahkan untuk melaksanakan aqiqah. Para ulama menyandarkan kesimpulan itu dari firman Allah, “Bertakwalah kepada Allah semampu kalian” (QS.At Taghobun: 16).

Sunnah Waktu Pelaksanaan Aqiqah

Aqiqah sunnah dilaksanakan di hari ketujuh setelah kelahiran bayi. Rasulullah bersabda, “Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, digundul rambutnya dan diberi nama.” (HR.Abu Daud, An Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ahmad).

Aqiqah di hari ketujuh dihitung dari siang hari pada kelahiran bayi. Jika bayi dilahirkan di malam hari, maka malam tersebut tidak masuk dalam hitungan satu hari. Penghitungan akan dilanjutkan di hari berikutnya. Jika bayi dilahirkan di pagi hari, maka di hari ia dilahirkan sudah masuk hitungan hari pertama.

Menurut para ulama, hikmah dari disunnahkannya melaksanakan aqiqah di hari ketujuh adalah untuk meringankan keluarga bayi. Jika aqiqah disunnahkan untuk dilaksanakan di hari-hari awal (misal hari pertama), tentu saja keluarga bayi akan kesulitan karena masih disibukkan dengan kehadiran bayi yang baru lahir. Sementara mencari kambing untuk disembelih juga memerlukan usaha yang lebih. Disyariatkannya aqiqah pada hari ketujuh dirasa cukup memudahkan keluarga bayi dalam pelaksanaannya.

Jika Keluarga Melaksanakan Aqiqah Sebelum Hari Ketujuh

Pelaksanaan aqiqah bisa saja menemui kendala, sehingga keluarga bayi memutuskan untuk melaksanakan aqiqah sebelum hari ketujuh. Dengan berbagai alasan, aqiqah diusulkan untuk dilaksanakan sebelum bayi dilahirkan, atau sebelum mencapai hari ketujuh.

Penyembelihan aqiqah sebelum bayi dilahirkan termasuk sembelihan biasa menurut ulama Syafi’iyah dan Hambali. Dengan demikian, menyembelih aqiqah sebelum bayi dilahirkan dianggap tidak sah. Sementara itu, ulama Hanafiyah dan Malikiyah menganggap bahwa waktu penyembeliha aqiqah adalah di hari ketujuh, sehingga melaksanakan aqiqah sebelum mencapai batas itu tidak diperbolehkan.

Batas Waktu Aqiqah

Mengenai batas waktu aqiqah, ulama Malikiyah berpendapat bahwa batasnya tujuh hari. Sehingga setelah hari ketujuh aqiqah sudah gugur. Sementara itu, ulama Syafi’iyah menjelaskan bolehnya aqiqah sebelum anak mencapai usia baligh. Dalam hal ini, aqiqah masih menjadi kewajiban sang ayah.

Lain dengan pendapat ulama madzhab Hambali. Jika di hari ketujuh aqiqah tidak dilaksanakan, maka sunnah untuk melaksanakannya di hari ke-14. Jika tidak lagi sempat untuk melaksanakannya di hari ke-14, maka aqiqah disunnahkan untuk dilaksanakan di hari ke-21.

Sementara menurut ulama Syafi’iyah, mengakhirkan pelaksanakan aqiqah dibolehkan. Namun, kita tetap dianjurkan untuk tidak mengakhirkannya hingga usia anak mencapai baligh. Ketika anak telah baligh, maka aqiqah dianggap gugur. Anak yang sudah baligh itu boleh memilih untuk melaksanakan aqiqah untuk dirinya sendiri.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA