Umat islam yang menjadi minoritas di myanmar berasal dari suku…

Moh. Rosyid



Pelaksanaan politik bebas dan aktif yang dipegang teguh Indonesia sebagai bukti bangsa yang peduli terhadap kehidupan global, terutama yang diderita oleh etnis minoritas atas arogansi negara atau etnis mayoritas. Sebagai etnis muslim minoritas di Myanmar, Rohingya mendapatkan perlakuan genosida dan diusir dari negaranya oleh pemerintahan Myanmar yang dikuasai militer. Di sisi lain, Aung Sang Suu Kyi belum mampu memerankan dirinya sebagai pionir yang telah mendapatkan penghargaan Nobel Perdamaian. Dengan demikian, peran negara dunia, terutama ASEAN yang hingga kini belum optimal perlu dicarikan jalan keluar agar prinsip nonintervensi persoalan negara anggota menjadi peduli akan terwujud. Kepedulian Indonesia dalam memberi bantuan kemanusiaan dan diplomatik atas nasib yang diderita etnis Rohingya diperkuat dengan kiprah civil society dalam membangun infrastruktur dasar, seperti sekolahan, rumah sakit, dan kebutuhan dasar pengungsi harus berkelanjutan. Bila tidak, nasib Rohingya tak akan hidup nyaman karena kepentingan mayoritas yang mendominasi minoritas selalu muncul karena lemahnya kesadaran hidup sebagai umat beragama (apa pun) dengan benar. Memahami fakta yang diderita etnis Rohingya, perlunya Indonesia menjadi anggota Konvensi tentang Pengungsi 1951.



Rohingya, pengungsi, politik


DOI: //dx.doi.org/10.21143/jhp.vol49.no3.2190

  • There are currently no refbacks.
Copyright (c) 2019 Moh. Rosyid Rosyid


This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.

Penduduk Myanmar mayoritas beragama Buddha. Minoritas Muslim di Myanmar sebagian besar terdiri dari orang-orang Rohingya dan keturunan imigran Muslim dari India (termasuk yang sekarang Bangladesh) dan Tiongkok (nenek moyang Tiongkok Muslim di Myanmar berasal dari provinsi Yunnan), serta keturunan Arab sebelumnya dan pemukim Persia. Muslim India dibawa ke Myanmar oleh Inggris untuk membantu mereka dalam pekerjaan administratif dan bisnis. Setelah kemerdekaan, banyak orang Muslim mempertahankan posisi mereka sebelumnya dan mencapai keunggulan dalam bisnis dan politik.

Penindasan orang Buddha terhadap Muslim muncul dari alasan agama, dan terjadi pada masa pemerintahan Raja Bayinnaung, 1550-1589 M. Setelah menaklukkan Bago pada tahun 1559, Raja Buddha melarang praktik halal, khususnya, membunuh hewan makanan dengan menyebut nama Allah. Dia adalah orang tidak toleran terhadap agama, memaksa beberapa rakyatnya untuk mendengarkan khotbah Buddha dan mungkin mengubah keyakinan secara paksa. Dia juga melarang Idul Adha. Makanan halal juga dilarang oleh Raja Alaungpaya pada abad ke-18.

Ketika Jenderal Ne Win meraih kekuasaan pada gelombang nasionalisme pada tahun 1962, status umat Islam berubah menjadi buruk. Muslim diusir oleh tentara dan dengan cepat terpinggirkan.[1]

  1. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-11-27. Diakses tanggal 2012-04-30. 

 

Artikel bertopik Myanmar ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya.

  • l
  • b
  • s

Diperoleh dari "//id.wikipedia.org/w/index.php?title=Penindasan_terhadap_Muslim_di_Myanmar&oldid=18065652"

#TanyaBBC: Mengapa Myanmar sebut minoritas Muslim itu 'orang Bengali' dan bukan 'orang Rohingya'?

Sumber gambar, EPA

Keterangan gambar,

Seorang anak pengungsi Rohingya yang melintas ke Bangladesh.

Mengapa Myanmar tak menyebut minoritas Muslim di Rakhine sebagai orang Rohingya dan menyebutnya orang Bengali, apa penyebab konflik dan seperti apa gambaran kehidupan sehari-hari mereka?

Inilah di antara berbagai pertanyaan terkait Rohingya yang Anda lontarkan melalui media sosial.

Sekitar 140.000 orang mengungsi ke Bangladesh dari Negara Bagian Rakhine sejak 25 Agustus.

  • Para pengungsi Rohingya tinggal berjejalan di kamp Bangladesh
  • Konflik Myanmar: Pengungsi Rohingya membanjiri Bangladesh
  • Ikuti Facebook BBC Indonesia

Empat tahun terakhir, wartawan BBC Indonesia, Rohmatin Bonasir melaporkan konflik Rohingya dari berbagai tempat. Tahun ini, dia berkunjung ke kamp pengungsi Rohingya di Bangladesh dan juga ke Myanmar. Inilah jawaban dari pertanyaan-pertanyaan melalui akun Facebook BBC Indonesia.

Iklan

Akun Hiatus Kaldera bertanya: Kenapa pihak Myanmar tidak menyebut Rohingya malah orang-orang Bengali dan muslim?

Jawaban Rohmatin Bonasir:

Akun Hiatus Kaldera menanyakan tentang sebutan Rohingya sementara akun Ratno Giarto bertanya mengapa etnik ini tak diakui.

Pemerintah Myanmar maupun masyarakat biasa di negara itu tidak menggunakan kata Rohingya ketika menyebut kelompok etnik yang sebagian besar tinggal di Negara Bagian Rakhine itu.

Meskipun orang Rohingya sudah ada di Rakhine secara turun temurun, mereka tidak diakui sebagai warga negara Myanmar tetapi dianggap sebagai pendatang gelap dari Bangladesh.

Lagi pula, nama etnik Rohingya tidak tercantum dalam daftar 135 etnik yang diakui pemerintah berdasarkan undang-undang kewarganegaraan tahun 1982 ketika Myanmar masih dikuasai rezim otoriter.

Keterangan audio,

Ratusan ribu Muslim Rohingya menyelamatkan diri dari Myanmar ke Bangladesh.

Oleh karenanya sebutan 'Rohingya' tidak digunakan di Myanmar. Sebutan yang lazim adalah 'orang Bengali atau orang Muslim'.

Namun kelompok Rohingya dan beberapa ahli mengatakan Rohingya adalah asli Rakhine atau Arakan, sebutan yang akrab bagi orang Rohingya.

Di sisi lain, Bangladesh tidak mengakui mereka sebagai warga negara karena mereka berasal dari Myanmar.

Akun Indah Rohmawati dan Setiadi bertanya tentang penyebab ketegangan di Rakhine yang terletak di Myanmar utara.

Jawaban Rohmatin Bonasir:

Ketegangan terbaru dipicu oleh serangan gerilyawan Rohingya terhadap pos-pos polisi di Rakhine, negara bagian yang ditempati oleh warga Rohingya di Myanmar.

Menyusul serangan itu, militer melancarkan operasi militer lagi - seperti pada Oktober 2016 ketika terjadi serangan terhadap pos-pos perbatasan di Maungdaw yang menewaskan sembilan petugas.

Keterangan audio,

Khadija memasak, makan dan tidur di ruang yang sama.

Lewati Podcast dan lanjutkan membaca

Podcast

Investigasi: Skandal Adopsi

Investigasi untuk menyibak tabir adopsi ilegal dari Indonesia ke Belanda di masa lalu

Episode

Akhir dari Podcast

Pihak berwenang menyebutkan sekitar 400 orang Rohingya terbunuh dalam operasi terbaru ini. Berbagai sumber menyebutkan konflik di Rakhine sudah ada selama lebih dari 70 tahun dan merupakan multidimensi, dan mencakup politik agama dan ekonomi.

Politik - Tanpa status sebagai warga negara meskipun faktanya mereka telah hidup turun temurun di Myanmar, orang Rohingya berjuang untuk mendapatkan pengakuan. Tanpa status pula, mereka tak punya hak sebagaimana warga lain di negara itu. Inilah yang ingin diperjuangkan oleh kelompok Rohingya.

Pada 2015, Kartu Putih sebagai tanda pengenal terakhir yang menunjukkan mereka adalah penduduk Myanmar, sudah dinyatakan tidak berlaku.

Agama - Faktor agama memang tampak menonjol dalam konflik Rohingya. Faktanya mereka beragama Islam dan berhadapan dengan etnik-etnik lain yang lebih besar dan yang memeluk agama Buddha.

Seorang anggota parlemen dari Negara Bagian Rakhine, U Bha Shein, terang-terangan menegaskan bahwa masyarakat mayoritas Buddha mengkhawatirkan pertambahan penduduk Rohingya.

  • Siapa sebenarnya etnis Rohingya dan enam hal lain yang harus Anda ketahui
  • Hadiah Nobel Aung San Suu Kyi tak bisa ditarik walau banyak yang tuntut
  • Krisis Rohingya masih jadi perhatian sejumlah media dunia

Meningkatnya jumlah penduduk Rohingya dapat mengancam jati diri Myanmar sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Buddha.

Jumlah orang Rohingya yang tersisa di Myanmar diperkirakan sekitar satu juta jiwa. Adapun jumlah penduduk negara itu tercatat 52 juta jiwa.

Ekonomi - Suku mayoritas di Negara Bagian Rakhine, etnik Rakhine, menuding Rohingya menyerobot tanah dan peluang ekonomi yang seharusnya menjadi hak mereka sebagai suku asli dan terbesar di negara bagian itu.

Namun kelompok Rohingya mengaku bahwa tanah yang mereka tempati adalah tanah leluhur mereka.

Negara Bagian Rakhine, atau dikenal dengan nama Arakan oleh orang Rohingya, tercatat sebagai negara bagian paling miskin di Myanmar.

Akun Chik Rini bertanya: Apakah Rohingya hidup normal di Rakhine?

Jawaban Rohmatin Bonasir:

'Permusuhan' antara penduduk mayoritas Buddha dan kelompok minoritas Muslim Rohingya di Rakhine, Myanmar masih dapat dirasakan sejak terjadi pembakaran masjid dan pembunuhan pada 2012.

Sumber gambar, BBC Indonesia

Keterangan gambar,

Bangunan masjid kuno di tengah kota Sittwe ini berdiri kokoh tetapi dilarang difungsikan.

Masjid yang berfungsi tinggal sedikit, sementara sisanya dipaksa ditutup atau tidak boleh dibangun lagi. Larangan itu, kata pihak berwenang, ditujukan untuk meredam ketegangan antara etnik mayoritas Rakhine yang beragama Buddha dan kelompok Rohingya yang beragama Islam.

Komunitas Rohingya juga hidup tersegregasi, menempati kamp-kamp khusus atau perkampungan khusus untuk mereka. Mereka harus meminta izin jika ingin keluar dari lingkungan mereka dan dalam tataran sehari-hari jarang terjadi kontak langsung dengan penduduk dari etnik-etnik lain seperti Rakhine, Chin dan Burman.

Keterangan gambar,

Pasar khusus untuk Rohingnya, yang hidup terpisah dengan masyarakat Buddha.

Akun Dharma Kesuma bertanya: Mazhab Islam apa yang dianut oleh orang Rohingya?

Jawaban Rohmatin Bonasir:

Sunni. Dan, muslim di Myanmar hanya sekitar 4% dari seluruh jumlah penduduk.

Akun Dharma Kesuma bertanya lagi: Apa bedanya Bengali muslim WN Myanmar yang di Rakkhine dan Yangon, dengan Rohingya?

Jawaban Rohmatin Bonasir:

Muslim Bengali adalah sebutan untuk orang Rohingya yang digunakan secara resmi di Myanmar. Karena nama 'etnik Rohingya' tidak diakui keberadaannya dan karena pemerintah negara itu menganggapnya pendatang dari Bangladesh maka mereka dijuluki sebagai orang Bengali atau orang Muslim.

Sumber gambar, EPA

Keterangan gambar,

Pengungsi yang melintas ke Bangladesh harus menyeberang Sungai Naf, dan sejumlah orang tenggelam.

Sebutan ini berlaku bagi orang Rohingya yang ada di Rakhine maupun di tempat-tempat lain seperti Yangon, tetapi sebagian besar warga Rohingya tinggal di Rakhine. Sebagian orang Rohingya mengaku terpaksa menanggalkan identitas suku sebagai upaya untuk mendapatkan kewarganegaraan melalui proses naturalisasi yang rumit, panjang dan memakan biaya besar. Selain Rohingya, ada suku lain yang juga beragama Islam, etnik Kaman.

Sebagian besar orang Kaman (total populasi kurang dari 50.000 secara nasional) tinggal di Rakhine tetapi ada pula yang tinggal di Yangon. Mereka diakui sebagai warga negara Myanmar. Mungkin karena sesama Muslim, suku Kaman kerap dituding memihak Rohingya.

Ketika saya menemui beberapa di antara mereka, mereka mengaku ingin menjaga jarak dengan Rohingya agar tidak 'dimusuhi' oleh etnik Rakhine, suku terbesar di Rakhine. Menengok fakta-fakta di wilayah konflik Rakhine, Myanmar

Akun Agus Salim bertanya apakah mereka mau pindah ke Aceh?

Jawaban Rohmatin Bonasir:

Beberapa pengungsi Rohingya yang kami temui di kamp-kamp Bangladesh mengaku ingin bergabung dengan anggota keluarga mereka yang berada di Malaysia. Atau mereka ingin ditempatkan di negara ketika yang menerima pengungsi.

Keterangan gambar,

Pengungsi Rohingnya memperbaiki tendanya di kamp pengungsian di Bangladesh.

Indonesia sendiri, antara lain dengan alasan belum meratifikasi Konvensi Pengungsi PBB tahun 1951, tidak menerima pengungsi sebagai warga negara, kecuali menampung sementara atas alasan kemanusiaan.

Baru-baru ini, pemerintah Indonesia menganut prinsip non-refoulement, yaitu melarang penolakan dan pengiriman pengungsi atau pencari suaka ke tempat di mana keselamatan jiwa mereka terancam karena alasan-alasan tertentu seperti alasan ras, agama, atau kebangsaan.

Berdasarkan data UNHCR pada akhir 2016, Indonesia menampung 14.405 pengungsi dan pencari suaka, termasuk kurang dari 1.000 pengungsi Rohingya.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA