Tokoh yang mengubah sila pertama pada Piagam Jakarta adalah

Hari ini 75 tahun lalu tercetus Piagam Jakarta yang digariskan tokoh Islam.

Senin , 22 Jun 2020, 14:32 WIB

dok. Istimewa

Hari ini 57 tahun lalu tercetus Piagam Jakarta yang digariskan tokoh Islam.Rapat BPUPKI

Rep: Zainur Mahsir Ramadhan Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Hampir 75 tahun yang lalu, tepatnya awal Agustus, Jepang mendapat posisi buruk di perang pasifik, terlebih ketika Hiroshima dan Nagasaki dibom pada 6 Agustus silam. Hal tersebut membuat Jepang makin terpuruk sehingga menimbulkan keuntungan tersendiri bagi Indonesia.  

Baca Juga

Dikutip buku Intelegensia Muslim dan Kuasa oleh Yudi Latif, atas dasar tersebut komando tertinggi Jepang di Saigon mengumumkan agar dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sebagai penerus BPUPKI. Namun, pembentukan PPKI yang dimaksudkan untuk mempercepat persiapan terakhir pembentukan sebuah pemerintahan Indonesia memiliki latar belakang yang berbeda dari BPUPKI.  

BPUPKI berlandaskan latar belakang ideologis, sebaliknya PPKI memiliki latar belakang kedaerahan. Dengan alasan tersebut, tokoh Muslim dan kunci dari BPUPKI terpaksa mundur atau tak masuk ke dalam daftar anggota PPKI. Sebut saja Agus Salim, Ahmad Sanusi, Abikusno Tjokrosujoso, serta Wongsonegoro, dan Muhammad Yamin.  

Tak masuknya tokoh Muslim itu dianggap berpotensi buruk bagi pandangan negara bermayoritas Muslim ini. Terlebih, dari 21 anggota di badan PPKI itu, 12 di antaranya merupakan pemimpin nasionalis sekuler generasi kolot. 

Tokoh Muslim saat itu di PPKI hanya ada dua, Ki Bagus Hadikusumo dari Muhammadiyah dan Kiai Wachid Hasyim dari NU. Namun demikian, terbukti pada akhirnya, bersama tokoh Islam lainnya saat itu, mereka mampu berkompromi terkait sila pertama yang diubah total.  

Dalam satu poin, dalam autobiografi Muhammad Hatta, Muhammad Hatta: Memoir (1979), dia mengaku kedatangan utusan Kaigun, yang memberitahu bahwa umat Kristen dan agama lainnya di daerah timur dan Kalimantan keberatan atas pembukaan UUD. 

Secara spesifik, disebutkan suatu kalimat dengan tujuh kata bentukan panitia sembilan BPUPKI pada hari ini, 22 Juli, 75 tahun lalu, yang berbunyi: "… dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".

Menanggapi hal itu, mayoritas panitia sembilan mengaku tak berkeberatan, termasuk satu anggota Kristen, AA Maramis, dan anggota sisanya yang lain dari latar belakang Islam serta empat di antaranya yang mengaku sekuler. 

Namun, Ki Bagus Hadikusumo, pucuk pimpinan Muhammadiyah saat itu, merasa keberatan awalnya. Sebab, kalimat itu adalah hasil mufakat dari rapat BPUPKI 22 Juni 1945.

Meski Kasman Singodimedjo dan Teuku M Hasan membujuk Ki Bagus agar menerima saran Mohammad Hatta, karena keputusan akhir ada padanya, usulan kembali diajukan.  

Namun demikian, tetap saja dalam pandangan Hatta pembukaan UUD harus ditujukan bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali. 

Alhasil, pada 18 Agustus, tokoh Muhammadiyah, Mr Kasman Singodimedjo, diminta Soekarno datang untuk membicarakan hal tersebut dengan Hatta dan tokoh lainnya, termasuk saat itu adalah Ki Bagus Hadikusumo. Soekarno tak hadir.  

Seiring berjalannya pertemuan sela itu, datang juga beberapa tokoh lainnya seperti Wahid Hasyim dan Teuku Hasan yang ikut membicarakan hal tersebut secara mendalam. Meski pembicaraan berjalan cepat dan sulit, diputuskan agar tujuh kata dalam Piagam Jakarta tersebut dihapus.  

Setelah berbagai pergolakan, sidang pertama PPKI yang dilaksanakan pada 18 Agustus 1945 itu memilih Soekarno dan Hatta sebagai pimpinan. Pada saat yang sama, sidang itu juga menyetujui draf UUD yang sebelumnya disetujui BPUPKI dan tujuh kata Piagam Jakarta untuk "dicoret". 

Dituliskan, saat itu Ki Bagus Hadikusoemo juga mengusulkan perubahan kalimat: “Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab”. 

Ki Bagus meminta kata-kata menurut dasar dihapus sehingga kalimat itu berbunyi "Ketuhanan Yang Maha Esa", "kemanusiaan yang adil dan beradab", dan lainnya.   

Lebih lanjut, dalam buku Teologi Konstitusi karya Adam Muhshi, setelah rapat tersebut, Hatta menyatakan bahwa ada tiga perubahan terkait masalah Islam atas Piagam Jakarta dan hasil kerja BPUPKI yang disepakati PPKI.

Hal pertama yang diubah adalah sila pertama dalam dasar negara (Piagam Jakarta) yang awalnya "ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya" berubah menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa".  

Perubahan kedua mencakup rumusan ketentuan pasal 6 ayat 1, yang sebelumnya "presiden Indonesia beragama Islam", berubah menjadi "presiden ialah orang Indonesia asli". 

Sementara itu, yang ketiga, menyambung sila pertama, rumusan pasal 29 ayat 1 berubah menjadi "negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa".  

Jika ditilik kebelakang, usulan Ki Bagus Hadikusumo itu diterima baik sekali. Bahkan, ia juga menjadi tokoh dalam sidang itu yang mengusulkan sila kedua: "Kemanusiaan yang adil dan beradab". 

Saat usulannya diterima semua pihak, Ki Bagus diketahui menangis sejadi-jadinya karena akhirnya Pancasila ditegakkan di Indonesia. Terlebih, karena perubahan itu terjadi sehari setelah proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 silam.  

Meski berbagai perubahan final itu tak terlepas dari upaya Hatta, berbagai lobi politik, usulan, diskusi, hingga perbedaan pendapat yang mewarnainya ikut serta berperan, terutama dari Ki Bagus Hadikusoemo yang menyarankan perubahan sila pertama itu. 

Tokoh Islam dengan kebesaran hati merelakan Piagam Jakarta untuk Indonesia.

Senin , 22 Jun 2020, 16:31 WIB

wikipedia

Tokoh Islam dengan kebesaran hati merelakan Piagam Jakarta untuk Indonesia. Persidangan resmi BPUPKI yang pertama pada tanggal 29 Mei-1 Juni 1945.

Rep: Kiki Sakinah Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA –  Pancasila sebagai ideologi negara dalam sejarahnya mengalami dinamika dalam apa yang disebut 'Piagam Jakarta'. Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945 yang otentik disebut bersumber pada Piagam Jakarta.  

Baca Juga

Lahirnya Piagam Jakarta itu merupakan kesepakatan dari perdebatan antara kalangan nasionalis dan Islam. Sebagai persiapan membentuk sebuah negara Indonesia yang merdeka, dibentuklah Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 29 April 1945.

BPUPKI dibentuk untuk merumuskan kembali Pancasila sebagai dasar negara. Salah satu yang dibahas dalam rapat-rapat penting badan ini adalah menyangkut landasan filosofis negara yang hendak didirikan.

Pada sidang pertama, muncul kelompok yang memilih kebangsaan sebagai dasar negara yang memisahkan unsur agama dan negara, dan kelompok yang memilih Islam sebagai dasar negara.

Mengutip buku berjudul "Piagam Jakarta" oleh Linda Asy-Syifa, disebutkan bahwa Naskah Persiapan UUD 1945 jilid II yang disusun oleh Muhammad Yamin tidak memuat satu pun pidato para anggota nasionalis Islam. Pidato yang dimuat hanyalah tiga, yakni pidato Soekarno, Yamin dan Soepomo. 

Sementara itu, BPUPKI juga merumuskan bentuk pemerintahan melalui pemungutan suara. Terdapat 45 suara pemilih dasar negara kebangsaan, dan 15 suara memilih Islam sebagai dasar negara.

Untuk mengakomodasi kepentingan kelompok nasionalis dan Islam itu, dibentuklah panitia kecil yang beranggotakan sembilan orang untuk menyelenggarakan tugas tersebut.

Sembilan orang itu di antaranya, Ir Sukarno, Mohammad Hatta, Mr AA Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir, H Agus Salim, Mr Achmad Subardjo, KH Wahid Hasyim, dan Mr Muhammad Yamin.

Akhirnya, rumusan teks proklamasi yang dirancang  Panitia Sembilan ini kemudian disetujui pada 22 Juni 1945, yang diberi nama 'Piagam Jakarta'. Nama Piagam Jakarta sendiri diusulkan Moh Yamin. 

Perumusan kompromi dalam bentuk Piagam Jakarta itu salah satunya memuat sila pertama Pancasila, yakni Ketuhanan yang diikuti kalimat yang berbunyi, "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya." Soekarno kemudian membacakan Piagam Jakarta tersebut pada 10 Juli 1945 pada sidang BPUPKI.

Sehari setelah pidato Soekarno itu, seorang Protestan anggota BPUPKI bernama Latuharhary menyatakan keberatan langsung atas tujuh kata di belakang kata Ketuhanan pada Piagam Jakarta.

Beberapa orang anggota BPUPKI yang keberatan juga termasuk Wongsonegoro dan Hosein Djajadiningrat. Sementara Agus Salim melihatnya secara netral, walaupun cenderung mendukung Piagam Jakarta. 

Prof Dr Ahmad Syafii Maarif dalam bukunya berjudul "Mencari Autensitas dalam Dinamika Zaman", menuliskan bahwa rumusan itu hanya bertahan selama 57 hari hingga akhirnya anak kalimat dari kata ketuhanan dicoret dari batang tubuh Undang-undang Dasar (UUD) 1945 karena alasan politis dan agama.

Mengutip Slamet Sutrisno dalam buku berjudul "Kontroversi dan Rekonstruksi Sejarah" disebutkan, bahwa pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta sehingga menjadi naskah Pembukaan UUD 1945 itu terjadi dalam sidang PPKI 18 Agustus 1945. Rumusan sila pertama Pancasila dalam Piagam Jakarta diubah menjadi 'Ketuhanan Yang Maha Esa'  

Sebelumnya pada saat penyusunan UUD pada Sidang Kedua BPUPKI, Piagam Jakarta dijadikan Muqaddimah (preambule). Selanjutnya pada pengesahan UUD 1945 pada 18 Agustus 1945, istilah Muqaddimah diubah menjadi Pembukaan UUD setelah butir pertama diganti.

Penghapusan 'tujuh kata' dalam sila pertama Piagam Jakarta itu disebabkan adanya desakan dari anggota PPKI asal bagian Timur Indonesia. Jika 'tujuh kata' itu dicantumkan, pihak Kristen dari Indonesia bagian timur tidak mau bersatu dengan RI yang baru saja diproklamasikan. Wakil Indonesia Timur menilai kata-kata itu terkesan diskriminatif terhadap golongan minoritas.

Bung Hatta mengatakan, bahwa desakan itu disampaikan oleh seorang Jepang yang merupakan pembantu pribadi Laksamana Maeda, Nizijima, pada 17 Agustus 1945, sebelum memimpin rapat PPKI keesokan harinya. 

Menurut Hatta, utusan Kaigun (Angkatan Laut) mengatakan kepadanya bahwa wakil Protestan dan Katolik yang dikuasai oleh Angkatan laut Jepang keberatan terhadap bagian kalimat dalam Pembukaan UUD 1945 dalam Piagam Jakarta. Kalimat itu dinilai tidak mengikat mereka, dan hanya mengenai rakyat yang beragama Islam.  

Hatta yang memiliki pandangan agar Indonesia tidak terpecah belah dan memilih persatuan lantas memanggil para tokoh golongan Islam untuk merundingkan masalah tersebut pada pagi hari pada 18 Agustus 1945. Tokoh-tokoh itu di antaranya Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Kasman Singodimedjo, dan Teuku Mohammad Hasan. 

Dalam sidang di hari yang sama, hasil lobi antara wakil golongan kebangsaan dan Islam menyepakati diubahnya sila pertama Pancasila tersebut. Saat itu, Teuku Moh. Hassan dari Aceh mewakili golongan kebangsaan, dan Ki Bagus Hadikusumo dari Yogyakarta mewakili golongan Islam, sementara Bung Hatta mendampingi. (Kiki Sakinah)  

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA