Tokoh asing dari Amerika Serikat yang ikut mendukung kemerdekaan Indonesia

Jakarta, Gatra.com – Peringatan Hari Ulang Tahun ke-74 Republik Indonesia turut mendapatkan apresiasi dari negara sahabat. Pemerintah Amerika Serikat melalui Menteri Luar Negeri, Michael R. Pompeo menyampaikan selamat dan dukungan atas peringatan HUT-RI tersebut.

“Atas nama pemerintah Amerikat Serikat, saya menyampaikan ucapan selamat yang tulus kepada rakyat Indonesia yang merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan ke-74 pada Tanggal 17 Agustus,” tulis Pompeo dalam rilis resmi yang disiarkan Kedubes AS, Jumat (15/8).

Perayaan tersebut menurutnya juga menandakan pencapaian hubungan diplomatik Indonesia-Amerika Serikat yang tahun ini memasuki usia 70 tahun. Untuk diketahui hubungan diplomatik kedua negara dimulai pada 28 Desember 1949 atau tepat setelah dilantiknya Soekarno sebagai presiden pertama RI dan penyerahan kedaulatan sepenuhnya oleh Belanda dalam Konferensi Meja Bundar pada 2 November 1949 di Den Hag.

“Amerika Serikat dan Indonesia tahun ini juga merayakan 70 tahun hubungan diplomatik resmi, kami mengharapkan kemajuan kemitraan strategis terus berlanjut untuk kepentingan rakyat Indonesia dan Amerika serta untuk mendukung perdamaian dan kemakmuran di kawasan dan di dunia,” ujarnya.

Menlu Pompeo menyebutkan pemerintah Amerika Serikat akan mencatat momentum bersejarah tersebut dan berharap Indonesia dapat menjadi negara yang tumbuh dan berkembang serta menjadi penentu kebijakan di kawasan Indo-Pasifik.

“Amerika Serikat menghargai Indonesia sebagai pemimpin yang demokratis di kawasan Indo-Pasifik dan sebagai suara penting untuk prioritas global. Nilai-nilai dan kepentingan kita bersama akan mendorong hubungan kedua negara yang lebih erat di tahun-tahun yang akan datang,” katanya.

Sejarawan Amerika Serikat dari Ohio State University, Robert J. McMahon mengatakan dukungan kemerdekaan Amerika terhadap Indonesia baru terwujud pada rentang 1948-1949 dan mencapai puncaknya pada Konferensi Meja Bundar. Menurut Robert ada beberapa sebab dukungan Amerika terhadap Indonesia baru muncul beberapa tahun sesudah proklamasi. Di antaranya karena kuatnya perlawanan gerilya terhadap Belanda serta kebijakan politik Presiden AS, Harry Truman kala itu.

“Dukungan kuat dan tegas untuk kemerdekaan Indonesia tidak datang sampai awal 1949. Alasan utamanya karena efektivitas perlawanan gerilya Indonesia terhadap Belanda; opini publik yang anti-Belanda dan pro-Indonesia yang kuat di AS dan seluruh dunia; Dukungan kongres untuk tujuan Indonesia; dan keprihatinan yang mendalam oleh pemerintahan Truman bahwa perilaku Belanda akan melemahkan dukungan kongres penting untuk Rencana Marshall dan NATO,” ujar Robert dalam petikan wawancara dengan Gatra.com, Februari lalu.

Sinyal dukungan Washington terhadap kemerdekaan Indonesia menurutnya terlihat sejak musim gugur 1948. Belanda saat itu membelotkan sarana dan dana yang diperoleh dari bantuan Marshall Plan untuk menekan kekuatan Republik Indonesia. Amerika akhirnya mengancam dan menahan bantuan militer dan ekonomi setelah Belanda secara sepihak melanggar kesepakatan yang ditengahi AS.

“Fakta bahwa Belanda mengalihkan dana Marshall Plan untuk menutupi pengeluaran yang terkait dengan kegiatan militernya di Indonesia adalah faktor yang sangat penting dalam keputusan AS pada awal 1949 untuk mengancam memotong dana tersebut jika Belanda tidak bergerak cepat untuk memberikan kemerdekaan sejati kepada rakyat Indonesia,” kata sejarawan yang juga penulis buku The Origins of the Cold War itu.

Presiden pertama Republik Indonesia Ir. Sukarno bersama wakilnya Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, namun kemerdekaan sejati dan diakui secara resmi diperoleh pada 27 Desember 1949, ketika Belanda akhirnya menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia. Selama masa sekitar empat setengah tahun Indonesia terus terlibat dalam serangkaian perundingan dan perang kemerdekaan di dalam negeri serta perjuangan melalui diplomasi di dunia internasional.

Robert J. McMahon, Ph.D., Ralph D. Mershon Distinguished Professor Emeritus, Ohio State University (foto: courtesy).

Robert J. McMahon, Ph.D, guru besar emeritus ilmu sejarah di Ohio State University yang berspesialisasi dalam sejarah hubungan luar negeri Amerika dan sejarah modern Amerika menceritakan bagaimana perjalanan tersebut. Menurutnya, Indonesia berhasil secara militer dan mampu menunjukkan kepada dunia internasional bahwa pada awal perjuangan kemerdekaan para pemimpin kunci Indonesia pro-Barat dan moderat. Para pemimpun NKRI dinilai tidak tertarik untuk mengakhiri hubungan perdagangan dengan Barat, atau menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing.

Menurut Profesor McMahon, para tokoh Indonesia di bawah pimpinan Sukarno menyadari bahwa jalan menuju kemerdekaan akan lebih mulus jika para diplomatnya dapat menjelaskan pandangan moderat itu kepada para diplomat di PBB dan dunia internasional pada umumnya.

Indonesia Independence Ciliwung. (Foto: Courtesy/Sekolah Perempuan)

Profesor McMahon mengakui bahwa kebijakan Amerika terhadap gerakan kemerdekaan Indonesia melewati serangkaian tahapan yang berbeda. Pada awalnya Amerika Serikat berusaha tetap netral, dan tidak ingin meninggalkan Belanda, sekutu penting Eropa. Di pihak lain, katanya, Amerika juga menyadari pentingnya menunjukkan simpati kepada negara-negara yang baru muncul di Asia dan bagian-bagian lain dunia, utamanya kawasan “Selatan Dunia,” termasuk Indonesia.

“Jadi, pada dasarnya Amerika gagal mengakui kemerdekaan Indonesia, meskipun para pemimpin Indonesia seperti Sukarno telah memohon pengakuan Amerika, karena Amerika mempertahankan posisi netralitas itu, dan cenderung condong ke Belanda,” ujar Profesor McMahon.

“Memang, Amerika menjadi salah satu anggota dari apa yang disebut Good Offices Committee of the United Nations (Komisi Tiga Negara PBB) pada tahun 1947, tetapi Komisi itu tidak memiliki kekuasaan dan hanya bisa memberikan rekomendasi,” imbuhnya.

BACA JUGA: Pengusulan Ali Sastroamidjojo Sebagai Pahlawan Nasional

Namun, Amerika melibatkan diri lebih serius ketika Belanda melancarkan Agresi Militer II yang dimulai pada Desember 1948, dan dalam prosesnya melanggar kesepakatan yang dirundingkan dengan Komisi Tiga Negara PBB.

Profesor McMahon mengatakan Amerika terutama memainkan peran yang menentukan dalam tahap akhir perjuangan kemerdekaan RI, pada awal 1949, yang memaksa Belanda sampai pada keputusan untuk memulai Konferensi Meja Bundar dengan para pemimpin Republik dan akhirnya mengarah pada pengakuan formal kemerdekaan RI pada 27 Desember 1949.

Peran penting Amerika itu terbukti dari pembicaraan dalam pertemuan yang menentukan antara Menteri Luar Negeri AS Dean Acheson dengan Menteri Luar Negeri Belanda Dirk Stikker pada akhir bulan Maret 1949, di mana dalam pertemuan itu, Acheson menjelaskan bahwa jika Belanda tidak bergerak dengan sangat cepat untuk memulai perundingan serius dengan kaum nasionalis Indonesia dengan tujuan memberikan kemerdekaan yang murni, maka Amerika Serikat harus mempertimbangkan penarikan bantuan keuangannya ke Belanda.

Presiden AS Donald Trump berbicara dengan Presiden Indonesia Joko Widodo selama KTT G20 di Hamburg, Jerman 8 Juli 2017. (Foto: Reuters/Wolfgang Rattay)

“Ada ancaman tersirat, dan itu disampaikan dengan sopan dalam bahasa diplomatik, tetapi tetap saja itu jelas merupakan ancaman tersirat. Amerika Serikat memiliki pengaruh yang sangat besar pada pemerintah Belanda karena di bawah Marshall Plan, ekonomi Belanda menjadi sangat bergantung pada bantuan ekonomi Amerika," kata Profesor McMahon.

"Itu tentunya salah satu faktor kunci yang membuat Belanda memutuskan bahwa mereka tidak dapat memenangkan konflik secara militer tanpa membayar harga yang terlalu tinggi untuk kebutuhan politik luar negeri yang paling vital," lanjutnya.

Selain itu, serikat-serikat pekerja dan kelompok-kelompok liberal di Amerika mengadakan reli dan semakin keras menyuarakan dukungan bagi kemerdekaan Indonesia sekaligus menekan pemerintahan Presiden Harry S. Truman agar berbuat sama.

“Kelompok-kelompok progresif liberal dalam masyarakat sipil Amerika bersatu mendukung perjuangan Indonesia, dan juga gerakan buruh Amerika. Kongres Organisasi-Organisasi Industri tampil untuk mendukung gerakan kemerdekaan Indonesia, NAACP mendukung gerakan kemerdekaan Indonesia, dan ada banyak suara di Kongres Amerika yang mendukung," ujar Profesor McMahon.

AS Tekan Belanda Agar Akui Kemerdekaan dan Kedaulatan RI

"Jadi, yang terjadi adalah adanya tekanan pada pemerintahan Truman dari Kongres dan dari aliansi buruh, kelompok-kelompok yang memperjuangkan hak-hak sipil, kelompok Afrika-Amerika yang termasuk di antara mereka yang menyuarakan dukungan terkuat bagi rakyat Indonesia," katanya.

Keberhasilan militer Indonesia memadamkan aksi Partai Komunis Indonesia di Madiun pada September 1948 meyakinkan pemerintah Amerika akan Indonesia yang anti-komunis. Ditambah dengan suara keras dukungan rakyat Amerika berhasil mengubah kebijakan Amerika yang secara tradisional cenderung mendukung Eropa.

“Jadi, para pemimpin Indonesia mengirim semua sinyal ke Amerika dan Barat bahwa mereka moderat dan bisa diajak bekerja sama, dan itu merupakan keberhasilan para diplomat Indonesia, termasuk Sutan Sjahrir, Amir Sjarifuddin, dan Muhammad Hatta,” pungkasnya.

Hal senada disampaikan Romo Baskara T. Wardaya, S.J., Ph.D., sejarawan dan dosen Program Pasca Sarjana, Universitas Sanata Dharma di Yogyakarta. Ia mengakui bahwa peran Amerika dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia sangat kompleks dan panjang ceritanya, tetapi secara singkat bisa dikatakan bahwa Amerika memainkan peran sangat besar dalam proses perjuangan kemerdekaan Indonesia, terutama untuk mencapai pengakuan internasional pada tahun 1949.

Warga Indonesia mengibarkan bendera nasional merah putih besar dan yang lebih kecil saat unjuk rasa di Jakarta, Indonesia, Minggu, 4 Desember 2016. (Foto: AP)

Sebelumnya, Romo Baskara mengatakan, sewaktu Perang Pasifik masih berlangsung, Presiden Amerika Franklin D. Roosevelt sempat menjanjikan kepada Ratu Wilhelmina dalam sepucuk surat yang kira-kira berbunyi: “Jangan khawatir, nanti setelah perang dunia ini selesai, Hindia Belanda (Indonesia) akan kami kembalikan kepada Belanda.”

Romo Baskara T. Wardaya, S.J., Ph.D. Dosen Program Pasca Sarjana, Universitas sanata Dharma (foto: courtesy).

Namun, Romo Baskara menambahkan, Presiden Roosevelt kemudian sadar bahwa ada Atlantic Charter di mana negara-negara yang dulu dijajah harus bisa menentukan nasib sendiri. Presiden Amerika itu lalu berubah pikiran dan ketika bertemu dengan Ratu Wilhelmina dia mengatakan bahwa Indonesia harus merdeka. Arah kebijakan Roosevelt berlanjut di bawah kepemimpinan Presiden Harry S. Truman.

Romo Baskara juga mengingatkan bahwa sebagai anggota Komisi Tiga Negara, ketika pembicaraan antara Indonesia dengan Belanda mengalami deadlock, Amerika kemudian menawarkan pembicaraan dilangsungkan di tempat yang netral, yakni di kapal Amerika USS Renville. Dia memuji keberhasilan diplomasi Indonesia sebagai unsur sangat penting dalam memenangkan dukungan Amerika dan negara-negara lain di dunia.

BACA JUGA: Sambut HUT ke-75 RI, Bank Indonesia Luncurkan Uang Pecahan Baru

Sejarawan dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta itu mengatakan telah menemukan dokumen penting. “Saya telah menemukan dokumen berupa telegram tahun 1948 yang dikirimkan oleh George Marshall, menteri luar negeri Amerika dan pencetus Marshall Plan, kepada duta besar Amerika di Den Haag yang mengatakan bahwa Amerika mendengar Belanda merencanakan Agresi Militer Kedua ke Indonesia dan Amerika menyatakan menentang rencana itu.”

Dia menambahkan bahwa dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag tahun 1949 Amerika menekan Belanda supaya segera mengakui kemerdekaan Indonesia. [lt/ab]

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA