Tarian tradisional dari suku mentawai yang diakhiri dengan loncat batu setinggi 4 meter disebut tari

Liputan6.com, Mentawai - Malam sudah semakin larut ketika seorang pembawa acara meminta Sanggar Uma Jaraik Sikerei untuk mengambil tempat di atas panggung guna menampilkan kesenian tradisional khas Mentawai, Sumatera Barat.

Beberapa penari yang di antaranya adalah sikerei atau dukun tradisional masyarakat adat Mentawai mulai mengambil tempat yang kemudian diiringi oleh tiga orang pemusik.

Pemusik tersebut duduk berbaris di belakang penari yang masing-masingnya memegang gajeuma, gendang khas Mentawai yang menggunakan kulit ular atau biawak sebagai sumber bunyi.

Sikerei, yang bertindak sebagai penari, tampil dengan mengenakan pakaian adat dengan berbagai kelengkapan, perlahan mereka mulai bergerak mengikuti alunan musik yang dihasilkan dari gajeuma, sesekali mereka menghentakkan kaki ke lantai kayu, sehingga menjadi instrumen tambahan.

Dentuman irama gendang khas musik primitif dengan ritme berulang dan datar, yang biasa digunakan untuk keperluan ritual tersebut menjadi daya tarik tersendiri bagi orang yang menyaksikan.

Tarian tradisional yang bagi masyarakat Mentawai dikenal dengan Turuk Lagai itu, sesekali diiringi dengan nyanyian dalam bahasa setempat yang dilantunkan oleh penari.

Selain entakan kaki seirama, sesekali mereka mengembangkan lengan menyerupai burung. Di ujung jari mereka, tepatnya di antara telunjuk dan jari manis terselip sehelai daun yang tumbuh di Mentawai.

Selain di sela-sela jari, dedaunan juga dipasangkan pada beberapa bagian lain di tubuh, seperti pada lengan, dan di bagian belakang tubuh, dedaunan tersebut disematkan pada cawat atau kabit yang merupakan pakaian tradisional masyarakat Mentawai.

Sebagai sikerei, hampir seluruh tubuh para penari tersebut dihiasi tato tradisional, di bagian kepala, mereka mengenakan luat, ikat kepala yang terbuat dari manik-manik, serta jara-jara yang dipasangkan di belakang kepala serupa rambut tambahan.

Pada bagian leher terdapat tuddak yang menyerupai kalung, tapi kalung itu tidak dapat dikenakan oleh sembarang orang. Hanya sikerei-lah yang diperkenankan mengenakannya.

Selain mengenakan cawat atau kabit, pada bagian pinggang penari juga dikenakan sabok, serupa kain penutup dari pinggang hingga lutut dengan motif garis-garis yang memadukan warna merah, putih dan hitam. Sementara pada bagian lengan atas terdapat lekkau yang juga berguna untuk menyelipkan dedaunan.

Pada penampilan turuk, jumlah peserta tidak dibatasi. Akan tetapi, biasanya tidak dilakukan oleh terlalu banyak orang, karena jika terlalu ramai, maka irama entakan kaki di lantai akan terlalu ramai, sehingga berpengaruh pada estetika bunyi.

"Siapa pun boleh menampilkan turuk, akan tetapi sikerei adalah orang yang diwajibkan menguasainya, sebab turuk juga dipergunakan dalam ritual pengobatan," tutur pelatih seni di Sanggar Uma Jaraik Sikerei, Mateus Sakukuret.

Scroll down untuk melanjutkan membaca

Liputan6.com, Den Haag - Selama berabad-abad suku Mentawai telah mendiami pulau yang terletak sekitar seratus kilometer dari pantai di Sumatra Barat. Pada abad ke-17 untuk pertama kalinya VOC melaporkan adanya populasi di kepulauan tersebut.

Suku Mentawai terkenal dengan pemikiran religus semenjak dahulu kala. Namun, masih berpengaruh hingga saat ini.

Suku Mentawai percaya bahwa tidak hanya manusia dan hewan yang mempunyai jiwa, tetapi juga tumbuhan, barang barang seni maupun peralatan tradisional lainnya. Dari itulah semua harus dihargai dan diperlakukan secara baik.

Filosofi kehidupan Suku Mentawai kini dibawa ke Belanda. Dalam scara Leiden Asian Year dan Festival Europalia Indonesia Arts di Leiden pengunjung terpukau dengan kehidupan suku itu.

Dalam keterangan Kedutaan Belanda yang diterima Liputan6.com pada Senin (22/10/2017), warga Belanda mendapat kesempatan yang menarik untuk menikmati kekayaan seni yang dimiliki oleh suku Mentawai. Dari keunikan peralatan tradisional, benda benda seni dan juga sejarah yang melatarbelakanginya.

Para pengunjung dapat lebih mengenal berbagai tradisi yang telah hidup berabad-abad lamanya dan kultur kontemporer saat ini. Pameran yang berlangsung pada tanggal 21 Oktober – 28 Mei 2018 di Museum Volkenkunde, Leiden adalah berkat kerjasama dan sumbangan pemikiran dari para ahli Mentawai dan guru besar Antropologi Indonesia di Universitas Leiden, Reimar Schefold.

Museum Volkenkunde dapat memiliki koleksi khusus barang seni dan berbagai peralatan tradisional dari Mentawai.

Pada pameran ini museum Volkenkunde juga melansir sebuah situs koleksi tematis di mana seluruh koleksi Mentawai secara lengkap dijelaskan dalam Bahasa Indonesia. Acara pembukaan pameran ini dihadiri oleh Duta Besar Indonesia untuk Kerajaan Belanda, I Gusti Agung Wesaka Puja dan diawali dengan sambutan oleh Stijn Schoonderwoerd selaku Direktur Museum Volkenkunde.

Acara dilanjutkan dengan penyerahan eksemplar pertama dari publikasi ‘Toys for the Souls. Life and Art on the Mentawai island’ kepada Juniator Tulius.

Kemudian dipandu oleh Reimar Schefold, pengunjung dapat menyaksikan pameran koleksi Mentawai secara lengkap di lantai atas museum yang bernuansa modern.

Pengunjung terlihat antusias saat mengamati benda tradisional yang dipakai oleh suku Mentawai dalam kehidupan mereka sehari-hari seperti alat pertanian, alat penangkap ikan, senjata untuk berburu bahkan perhiasan.

Gambaran tentang kehidupan nyata suku Mentawai juga diperlihatkan dalam bentuk film pendek yang mengisahkan bagaimana mereka dapat bertahan hidup dalam keterbatasan yang ada.

Pameran ini berfokus pada bagaimana mempertahankan nilai-nilai tradisi Mentawai di zaman modern dan sampai sejauh mana penduduk kepulauan Mentawai ingin menjadi bagian dari dunia.

Tari Adat Baluse – Tari Adat Baluse merupakan tarian tradisional yang berasal salah satu provinsi terbesar di Indonesia yaitu Sumatera Utara, lebih tepatnya dari Nias Selatan. Tarian ini juga biasa disebut sebagai Tari Fataele. Tari Adat Baluse tergolong dalam jenis tari perang yang biasanya dipertunjukkan untuk menyambut tamu penting atau wisatawan asing. Baca juga Tari Adat Tradisional Sumatera Utara yang lainnya.

Makna Sejarah Tari Adat Baluse – Foto: indonesia.go.id

Tari tradisional ini menjadi sangat menarik karena menyimpan sejarah dalam asal-usul terciptanya dan makna yang tersurat dalam gerakan maupun properti yang digunakan. Kali ini, kita akan membahas makna sejarah tari yang  berasal dari Nias Selatan ini. Mari kita baca ulasan selengkapnya.

Asal Tari Adat Baluse

Asal Tari Adat Baluse – Foto: catatanrelis.blogspot.com

Baluse dalam Bahasa Nias mempunyai arti ‘perisai’. Terciptanya tarian ini, menurut sejarah, sebagai simbol dari gagalnya prajurit-prajurit di medan perang dan perwujudan tradisi serta kebiasaan masyarakat Nias pada jaman dahulu. Pada masa itu, setiap desa memiliki seorang pemimpin yang disebut dengan raja.

Perebutan kekuasaan atau sengketa sudah menjadi tradisi dan kebiasaannya. Sehingga, sudah sangat sering apabila terjadi perang antar desa atau kampung. Untuk memenangkan peperangan, seorang raja biasanya mengumpulkan para lelaki untuk menjadi tentara perang. Kemudian mereka dibeli alat-alat perang seperti perisai dan tombak atau parang tajam.

Dari tradisi dan kebiasaan inilah kemudian tercipta suatu tari yang bernama Tari Adat Baluse atau Tari Perang. Melalui tarian ini, diharapkan dapat menumbuhkan rasa semangat dan jiwa kesatria pemuda Nias sekarang ini. Meskipun tidak dalam peperangan, namun semangat dalam menggapai cita-citanya.

Ketika Anda mengunjungi Nias, mungkin Anda juga ingin mencoba datang ke Tempat Wisata di Gunungsitoli Nias serta mencicipi Kuliner dan Makanan Khas Gunungsitoli Nias

Gerakan Tari Adat Baluse

Gerakan Tari Adat Baluse – Foto: catatanrelis.blogspot.com

Tari tradisional ini ditarikan oleh sekumpulan laki-laki gagah dan perkasa yang mencerminkan seorang prajurit perang. Tarian ini memiliki gerakan yang menonjolkan sikap kegagahan dan keberanian, menggambarkan seolah-olah sang penari sedang bertarung di medan perang.

Tari Adat Baluse dipimpin oleh seorang komando selayaknya pemimpin dalam perang. Komando tari kemudian akan memberikan tanda atau aba-aba kepada anggota penari lainnya untuk membuat sebuah formasi yang terdiri dari empat baris. Sang komando berada di posisi terdepan berhadapan dengan sang penari.

Gerakannya dimulai dengan gerakan kaki yang maju mundur sembari menghentakkanya ke tanah diiringi dengan meneriakkan kata-kata penyemangat. Hal ini dilakukan untuk membangun semangat seolah-olah sedang dalam perang yang nyata. Seiring dengan gerakan kaki yang menghentak tanah, alunan musik mengiringi sekaligus mengayunkan perisai serta tombak atau parang secara berirama.

Baca juga ya artikel terkait:

Makna dari gerakan tersebut menunjukkan kesiapan pasukan maju tanpa gentar dengan mengayunkan parang serta mundur dengan melindungi diri dengan perisai apabila musuh menyerang. Selain membentuk formasi berbaris, gerakannya juga membentuk formasi melingkar yang bertujuan untuk mengepung musuh. Tarian ini diakhiri dengan melompat tinggi ke udara setinggi 2 meter.

Properti Tari Adat Baluse yang Digunakan

Alat Tari Adat Baluse 

Alat Tari Adat Baluse – Foto: pesonaindo.com

Tarian ini menggunakan baluse ba toho dan balegawari. Baluse ba toho merupakan Bahasa Nias yang artinya baluse adalah perisai dan toho adalah tombak. Baluse ba toho yang digunakan terbuat dari batang kayu yang diukir dengan sedemikian rupa sehingga menghasilkan bentuk seperti daun pisang dan ukiran yang khas dan diwarnai dengan warna tanah cokelat kehitaman. Ukiran khas ini memiliki sebutan aweta. Perisai ini memiliki panjang hampir 2 meter dan berfungsi sebagai alat perlindungan diri atau menangkis serangan lawan.

Sedangkan balegawari dalam Bahasa Nias berarti parang. Parang ini sangat tajam dan memiliki fungsi untuk menyerang lawan musuh. Balegawari ini memiliki sarung kayu khas yang diukir untuk menunjukkan ciri khas tradisi Nias Selatan.

Kostum Tari Adat Baluse

Kostum Tari Adat Baluse – Foto: sisteminformasipulaunias.wordpress.com

Kostum atau busana yang digunakan penari dalam Tari Adat Baluse didominasi oleh warna hitam, kuning, dan merah serta dilengkapi dengan topi perang atau mahkota. Tari ini juga mengenakan jenis kostum rompi atau busana tanpa lengan yang menggambarkan prajurit perang.

Busana yang biasanya dikenakan dalam Tari Adat Baluse cenderung sederhana dan seadanya. Hal ini menunjukkan bahwa prajurit yang berperang adalah dari kalangan rakyat biasa.

Kunjungi juga artikel terkait dibawah ini:

  • Sejarah Tari Cangget
  • Tari Kuntulan dari Banyuwangi
  • Tari Serampang Dua Belas

Sumber: id.wikipedia.org, nias-indo.blogspot.com

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA