Surah al-baqarah ayat 186 menerangkan kepada kita tentang

(Segolongan orang-orang bertanya kepada Nabi saw., "Apakah Tuhan kami dekat, maka kami akan berbisik kepada-Nya, atau apakah Dia jauh, maka kami akan berseru kepada-Nya." Maka turunlah ayat ini. ("Dan apabila hamba-hamba-Ku menanyakan kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku Maha Dekat) kepada mereka dengan ilmu-Ku, beritahukanlah hal ini kepada mereka (Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa, jika ia berdoa kepada-Ku) sehingga ia dapat memperoleh apa yang dimohonkan. (Maka hendaklah mereka itu memenuhi pula perintah-Ku) dengan taat dan patuh (serta hendaklah mereka beriman) senantiasa iman (kepada-Ku supaya mereka berada dalam kebenaran.") atau petunjuk Allah.

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Aku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. Ibnu Abu Hatim mengatakan, ayahku telah menceritakan kepada kami, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnul Mugirah, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Abdah ibnu Abu Barzah As-Sukhtiyani, dari As-Silt ibnu Hakim ibnu Mu'awiyah (yakni Ibnu Haidah Al-Qusyairi), dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa ada seorang penduduk Badui bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah Tuhan kita dekat, maka kita akan bermunajat (berbisik) kepada-Nya; ataukah Dia jauh, maka kita akan menyeru-Nya?" Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diam, tidak menjawab. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Aku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku. (Al-Baqarah: 186) Dengan kata lain, apabila kamu perintahkan mereka untuk berdoa kepada-Ku, hendaklah mereka berdoa kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkan mereka. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir, dari Muhammad ibnu Humaid Ar-Razi, dari Jarir dengan lafal yang sama. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Mardawaih serta Abusy Syekh Al-Asbahani, melalui hadits Muhammad ibnu Abu Humaid, dari Jarir dengan lafal yang sama. Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Sulaiman, dari Auf, dari Al-Hasan yang menceritakan bahwa para sahabat bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, "Di manakah Tuhan kita?" Maka Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan firman-Nya: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku. (Al-Baqarah: 186), hingga akhir ayat. Ibnu Juraij meriwayatkan dari ‘Atha’, telah sampai kepada ‘Atha’ bahwa ketika firman-Nya ini diturunkan: Dan Tuhan kalian berfirman, "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagi kalian." (Al-Mumin: 60) Maka orang-orang bertanya, "Sekiranya kami mengetahui, saat manakah yang lebih tepat untuk melakukan doa bagi kami?" Maka turunlah firman-Nya: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat, Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku. (Al-Baqarah: 186) . Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab ibnu Abdul Majid As-Saqafi, telah menceritakan kepada kami Khalid Al-Hazza, dari Abu Usman An-Nahdi, dari Abu Musa Al-Asy'ari yang menceritakan, "Ketika kami (para sahabat) bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu peperangan, tidak sekali-kali kami menaiki suatu tanjakan dan berada di tempat yang tinggi serta tidak pula kami menuruni suatu lembah melainkan kami mengeraskan suara kami seraya mengucapkan takbir." Abu Musa melanjutkan kisahnya, "Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendekat ke arah kami dan bersabda: 'Wahai manusia, tenangkanlah diri kalian, karena sesungguhnya kalian bukan berseru kepada orang yang tuli, bukan pula kepada orang yang gaib; sesungguhnya kalian hanya berseru kepada Tuhan Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Sesungguhnya Tuhan yang kalian seru lebih dekat kepada seseorang di antara kalian daripada leher unta kendaraannya. Wahai Abdullah ibnu Qais, maukah kamu kuajarkan suatu kalimat (doa) yang termasuk perbendaharaan surga? (Yaitu) la haula wala quwwata ilia billah (tiada upaya dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah)'." Hadits ini diketengahkan di dalam kitab Shahihain dan jamaah lainnya melalui hadits Abu Usman An-Nahdi yang nama aslinya ialah Abdur Rahman ibnu Ali, dari Abu Musa Al-Asy'ari dengan lafal yang semisal. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, telah menceritakan kepada kami Qatadah, dari Anas yang mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, "Aku menurut dugaan hamba-Ku mengenai diri-Ku, dan Aku selalu bersamanya jika dia berdoa kepada-Ku." Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Abdullah, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Yazid ibnu Jabir, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ubaidillah, dari Karimah binti Ibnu Khasykhasy Al-Muzaniyyah yang mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Hurairah yang pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, "Aku selalu bersama hamba-Ku selagi ia ingat kepada-Ku dan kedua bibirnya bergerak menyebut-Ku." Menurut kami, hadits ini sama pengertiannya dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala yang mengatakan: Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan. (An-Nahl: 128) Sama pula dengan firman-Nya kepada Nabi Musa dan Nabi Harun, yaitu: Sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat. (Thaha: 46) Makna yang dimaksud dari kesemuanya itu adalah, Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan mengecewakan doa orang yang berdoa kepada-Nya dan tidak sesuatu pun yang menyibukkan (melalaikan) Dia, bahkan Dia Maha Mendengar doa. Di dalam pengertian ini terkandung anjuran untuk berdoa, dan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan menyia-nyiakan doa yang dipanjatkan kepada-Nya. Sehubungan dengan hal ini Imam Ahmad mengatakan: telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami seorang lelaki yang pernah mendengar dari Abu Usman (yakni An-Nahdi) ketika ia menceritakan hadits berikut dari Salman (yakni Al-Farisi ), bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala benar-benar malu bila ada seorang hamba mengangkat kedua tangannya memohon suatu kebaikan kepada-Nya, lalu Allah menolak permohonannya dengan kedua tangan yang hampa. Yazid berkata, "Sebutkanlah kepadaku nama lelaki itu." Mereka menjawab bahwa dia adalah Ja'far ibnu Maimun. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Abu Dawud, Imam At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah melalui hadits Ja'far ibnu Maimun (pemilik kitab Al-Anbat) dengan lafal yang sama. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa predikat hadits ini hasan gharib. Hadits ini diriwayatkan pula oleh sebagian dari mereka, tetapi dia tidak me-rafa'-kannya. Syekh Al-Hafidzh Abul Hajjah Al-Mazi di dalam kitab Atraf-nya mengatakan bahwa periwayatan hadits ini diikuti pula oleh Abu Hammam Muhammad ibnu Abuz Zabarqan, dari Sulaiman At-Taimi, dari Abu Usman An-Nahdi dengan lafal yang sama. Imam Ahmad mengatakan pula: telah menceritakan kepada kami Abu Amir, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Abul Mutawakkil An-Naji, dari Abu Sa'id, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: Tiada seorang muslim pun yang memanjatkan suatu doa kepada Allah yang di dalamnya tidak mengandung permintaan yang berdosa dan tidak pula memutuskan silaturahmi, melainkan Allah pasti memberinya berkat doa itu salah satu dari tiga perkara berikut, yaitu: Adakalanya permohonannya itu segera dikabulkan, adakalanya permohonannya itu disimpan oleh Allah untuknya kelak di hari kemudian, dan adakalanya dipalingkan darinya suatu keburukan yang semisal dengan permohonannya itu. Mereka (para sahabat) berkata, "Kalau begitu, kami akan memperbanyak doa." Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, "Allah Maha Banyak (Mengabulkan Doa)." Abdullah ibnu Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Mansur Al-Kausaj, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Yusuf, telah menceritakan kepada kami Ibnu Sauban, dari ayahnya, dari Makhul, dari Jubair ibnu Nafir, bahwa Ubadah ibnus Samit pernah menceritakan hadits berikut kepada mereka, yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: tiada seorang lelaki muslim pun di muka bumi ini berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala memohon sesuatu melainkan Allah pasti mengabulkan permintaannya itu atau mencegah darinya keburukan yang seimbang dengan permintaannya, selagi dia tidak meminta hal yang berdosa atau memutuskan hubungan silaturahmi. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam At-Tirmidzi, dari Abdullah ibnu Abdur Rahman Ad-Darami,dari Muhammad ibnu Yusuf Al-Faryabi, dari Ibnu Sauban (yaitu Abdur Rahman ibnu Sabit ibnu Sauban) dengan lafal yang sama. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini berpredikat hasan shahih bila ditinjau dari jalur yang terakhir ini. Imam Malik meriwayatkan dari Ibnu Syihab, dari Abu Ubaid maula Ibnu Azhar, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: Dikabulkan bagi seseorang di antara kalian selagi dia tidak tergesa-gesa mengatakan, "Aku telah berdoa, tetapi masih belum diperkenankan juga bagiku." Hadits ini diketengahkan pula oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim melalui hadits Malik dengan lafal yang sama. Hadits ini menurut apa yang ada pada Imam Al-Bukhari rahimahullah. ": Imam Muslim mengatakan di dalam kitab sahihnya, telah menceritakan kepadaku Abut Tahir, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Mu'awiyah ibnu Saleh, dari Rabi'ah, dari Yazid, dari Abu Idris Al-Khaulani, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah bersabda: Doa .seorang hamba masih tetap dikabulkan selagi dia tidak mendoakan hal yang berdosa atau yang memutuskan silaturahmi, bilamana dia tidak tergesa-gesa. Lalu ditanyakan, "Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan tergesa-gesa itu?" Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, "Seorang hamba mengatakan, 'Aku telah berdoa, aku telah berdoa, tetapi masih belum diperkenankan juga bagiku,' lalu saat itu dia merasa kecewa dan menghentikan doanya." ": Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdus Samad, telah menceritakan kepada kami Abu Hilal, dari Qatadah, dari Anas, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: Seorang hamba masih tetap berada dalam kebaikan selagi dia tidak tergesa-gesa. Mereka (sahabat) bertanya, "Bagaimanakah pengertian tergesa-gesa itu?" Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, "Dia mengatakan, 'Aku telah berdoa kepada Tuhanku, tetapi masih belum diperkenankan juga bagiku'." Imam Abu Ja'far At-Tabari di dalam kitab tafsirnya mengatakan, telah menceritakan kepadaku Yunus ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Abu Sakhr, bahwa Yazid ibnu Abdullah ibnu Qasit telah menceritakan kepadanya, dari Urwah ibnuz Zubair, dari Siti Aisyah yang pernah mengatakan bahwa tidak sekali-kali seorang hamba yang mukmin berdoa kepada Allah memohon sesuatu, lalu doanya itu disia-siakan, sebelum disegerakan baginya di dunia atau ditangguhkan baginya untuk di akhirat, selagi dia tidak tergesa-gesa atau putus asa. Urwah bertanya, "Wahai bibi, apakah yang dimaksud dengan tergesa-gesa dan putus asa itu?" Siti Aisyah menjawab, "Dia mengatakan, 'Aku telah meminta, tetapi tidak diberi; dan aku telah berdoa, tetapi tidak dikabulkan'." Ibnu Qasit mengatakan pula bahwa ia pernah mendengar Sa'id ibnul Musayyab mengatakan hal yang serupa dengan apa yang dikatakan oleh Siti Aisyah Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, telah menceritakan kepada kami Bakr ibnu Amr, dari Ibnu Abdur Rahman Al-Jaili, dari Abdullah ibnu Amr, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: Hati manusia itu bagaikan wadah, sebagian di antaranya lebih memuat daripada sebagian yang lain. Karena itu, apabila kalian meminta kepada Allah, wahai manusia, mintalah kepada-Nya, sedangkan hati kalian merasa yakin diperkenankan; karena sesungguhnya Allah tidak akan mengabulkan bagi hamba yang berdoa kepada-Nya dengan hati yang lalai. Ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq ibnu Ayyub, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim ibnu Abu Nafi' ibnu Ma'di Kariba di Bagdad, telah menceritakan kepadaku Ibnu Abu Nafi' ibnu Ma'di Kariba yang mengatakan bahwa ia dan Siti Aisyah pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai makna firman-Nya: Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku. (Al-Baqarah: 186) Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Wahai Tuhanku, ini adalah pertanyaan Aisyah?" Maka turunlah Malaikat Jibril dan berkata: Allah menyampaikan salam-Nya kepadamu, ada seorang hamba-Ku yang saleh, dengan niat yang benar dan hatinya bersih mengatakan, "Wahai Tuhanku." Maka Aku berfirman, "Labbaika," lalu Aku penuhi permintaannya. Akan tetapi, hadits ini gharib bila ditinjau dari sanad ini. Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari hadits Al-Kalbi, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, telah menceritakan kepadaku Jabir ibnu Abdullah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membacakan firman-Nya: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku. (Al-Baqarah: 186), hingga akhir ayat. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ya Allah, Engkau memerintahkan untuk berdoa dan aku bertawakal dalam masalah pengabulannya. Kupenuhi seruan-Mu, ya Allah, kupenuhi seruan-Mu, kupenuhi seruan-Mu, tiada sekutu bagimu, kupenuhi seruan-Mu. Sesungguhnya segala puji dan nikmat hanyalah milik-Mu dan begitu pula semua kerajaan, tiada sekutu bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa Engkau tiada tandingan lagi Maha Esa, bergantung kepada-Mu segala sesuatu, tidak beranak dan tidak diperanakkan, serta tiada seorang pun yang setara dengan-Mu. Aku bersaksi bahwa janji-Mu adalah benar, pertemuan dengan-Mu adalah benar, surga adalah benar, neraka adalah benar, dan hari kiamat pasti akan datang tanpa diragukan lagi, dan Engkaulah yang akan membangkitkan manusia dari kuburnya. Al-Hafidzh Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan pada kami Al-Hasan ibnu Yahya Al-Azdi dan Muhammad ibnu Yahya Al-Qat'i; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hajjaj ibnu Minhal, telah menceritakan kepada kami Saleh Al-Mari, dari Al-Hasan, dari Anas, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersabda: Allah SWT berfirman, "Wahai anak Adam, satu hal untukmu, dan satu hal untuk-Ku, serta satu hal lagi antara Aku dan kamu. Adapun hal yang untuk-Ku ialah kamu harus menyembah-Ku, janganlah kamu persekutukan Aku dengan sesuatu pun. Dan adapun yang bagimu ialah semua hal yang kamu lakukan atau amal apa pun, maka Aku pasti menunaikan (pahala)nya kepadamu. Dan adapun yang antara Aku dan kamu ialah kamu berdoa dan Aku yang memperkenankan (mengabulkan). Penyisipan anjuran untuk berdoa di antara hukum-hukum puasa ini mengandung petunjuk yang menganjurkan agar berdoa dengan sekuat tenaga di saat menyempurnakan bilangan Ramadan, dan bahkan di setiap berbuka. Seperti yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud Ath-Thayalisi di dalam kitab Musnad-nya: telah menceritakan kepada kami Abu Muhammad Al-Mulaiki, dari Amr (yakni Ibnu Syu'aib ibnu Muhammad ibnu Abdullah ibnu Amr), dari ayahnya, dari kakeknya (yakni Abdullah Ibnu Amr) yang telah menceritakan bahwa ia pernah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Bagi orang puasa di saat berbukanya ada doa yang dikabulkan. Tersebutlah bahwa Abdullah ibnu Amr selalu berdoa untuk keluarga dan anaknya; begitu pula anak dan keluarganya, sama-sama berdoa ketika berbuka puasa. Abu Abdullah Muhammad ibnu Yazid ibnu Majah di dalam kitab sunannya; . telah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim, dari Ishaq ibnu Abdullah Al-Madani, dari Ubaidillah ibnu Abu Mulaikah, dari Abdullah ibnu Amr yang menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: Sesungguhnya bagi orang puasa di saat berbukanya terdapat doa yang tidak ditolak (untuknya). Ubaidillah ibnu Abu Mulaikah mengatakan, ia pernah mendengar Abdullah ibnu Amr selalu mengucapkan doa berikut bila berbuka: Ya Allah, sesungguhnya Aku memohon demi rahmat-Mu yang memuat segala sesuatu, sudilah kiranya Engkau mengampuniku. Di dalam kitab Musnad Imam Ahmad, Sunan At-Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah disebutkan sebuah hadits dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: Ada tiga macam orang yang doanya tidak ditolak, yaitu imam yang adil, orang puasa hingga berbuka, dan doa orang yang teraniaya diangkat oleh Allah sampai di bawah gamam (awan) di hari kiamat nanti, dan dibukakan baginya semua pintu langit, dan Allah berfirman, "Demi kemuliaan-Ku, Aku benar-benar akan menolongmu, sekalipun sesudahnya."

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu, Nabi Muhammad, tentang Aku karena rasa ingin tahu tentang segala sesuatu di sekitar kehidupannya, termasuk rasa ingin tahu tentang Tuhan, maka jawablah bahwa sesungguhnya Aku sangat dekat dengan manusia. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa dengan ikhlas apabila dia berdoa kepadaKu dengan tidak menyekutukan-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi perintah-Ku yang ditetapkan di dalam Al-Qur'an dan diperinci oleh Rasulullah, dan beriman kepada-Ku dengan kukuh agar mereka memperoleh kebenaran atau bimbingan dari Allah. Dihalalkan bagimu pada malam hari bulan puasa untuk bercampur dengan istrimu. Semula hanya dihalalkan makan, minum, dan mencampuri istri hingga salat Isya atau tidur. Setelah bangun tidur semuanya diharamkan. Umar bin Khattab pernah mencampuri istrinya sesudah salat Isya. Beliau sangat menyesal dan menyampaikannya kepada Rasulullah, maka turunlah ayat ini yang memberikan keringanan. Mereka adalah pakaian bagimu yang melindungi kamu dari zina, dan kamu adalah pakaian bagi mereka yang melindungi mereka dari berbagai masalah sosial. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri untuk tidak berhubungan dengan istri pada malam bulan Ramadan, tetapi Dia menerima tobatmu dan memaafkan kamu karena kamu menyesal dan bertobat kepada-Nya. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu dengan mengharapkan keturunan yang baik. Makan dan minumlah dengan tidak berlebihan hingga jelas bagimu perbedaan antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar, untuk memulai puasa. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai datang malam yang ditandai dengan terbenamnya matahari. Tetapi jangan kamu campuri mereka ketika kamu beriktikaf dalam masjid pada malam hari Ramadan. Itulah ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya, yakni istri ketika beriktikaf, apalagi berhubungan intim. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, agar mereka bertakwa, menjaga dan mengendalikan diri dengan penuh kesadaran. .

Di dalam ayat ini, Allah menyuruh hamba-Nya agar berdoa kepada-Nya, serta Dia berjanji akan memperkenankannya, tetapi pada akhir ayat ini Allah menekankan agar hamba-Nya memenuhi perintah-Nya dan beriman kepada-Nya agar mereka selalu mendapat petunjuk. Di dalam hadis banyak diterangkan hal-hal yang bertalian dengan doa antara lain: 1. Sabda Rasulullah saw: Tiga macam orang tidak ditolak doanya, yaitu Imam yang adil, orang yang sedang berpuasa hingga ia berbuka dan doa seorang yang teraniaya. (Riwayat Muslim) 2. Sabda Rasulullah saw: "Senantiasa diterima permohonan setiap hamba, selama ia tidak mendoakan hal-hal yang menimbulkan dosa atau memutuskan hubungan silaturrahim (dan) selama tidak meminta agar segera dikabulkan. Rasulullah ditanya, "Apakah maksud segera dikabulkan ya Rasulullah?" Beliau menjawab, "Maksudnya ialah seorang hamba yang berkata, "Saya sesungguhnya telah berdoa, tetapi saya lihat belum diperkenankan, karena itu ia merasa kecewa lalu tidak berdoa lagi". (Riwayat Ahmad, at-Tirmidzi, an-Nasa'i dan Ibnu Majah) Walaupun ada pendapat yang mengatakan bahwa Allah swt Mahakuasa, Maha Mengetahui dan mengatur segalanya, diminta atau tidak diminta Dia berbuat sekehendak-Nya, sehingga manusia tidak perlu berdoa, tetapi pendapat itu bertentangan dengan ayat ini dan hadis-hadis Nabi Muhammad. Apabila di antara doa yang dipanjatkan kepada Allah ada yang belum dikabulkan, maka ada beberapa sebab: a. Tidak memenuhi syarat-syarat yang semestinya. b. Tidak mutlak Allah memberikan sesuai dengan yang dimohonkan oleh hamba-Nya, tetapi diganti atau disesuaikan dengan yang lebih baik bagi pemohon, baik di dunia maupun di akhirat. Dalam ayat ini Allah menghubungkan antara doa yang dijanjikan akan dikabulkan-Nya itu dengan ketentuan bahwa hamba-hamba-Nya harus mematuhi segala perintah-Nya dan beriman kepada-Nya. Selain itu doa hendaklah dilakukan dengan khusyuk, sungguh-sungguh dan dengan sepenuh hati, dan bukan doa untuk menganiaya orang, memutuskan hubungan silaturrahim dan lain-lain perbuatan maksiat. Memang segala sesuatu harus menurut syarat-syarat atau tata cara yang baik dan dapat menyampaikan kepada yang dimaksud. Kalau seorang berkata, "Ya Tuhanku berikanlah kepadaku seribu rupiah," tanpa melakukan usaha, maka dia bukanlah berdoa tetapi sesungguhnya dia seorang jahil. Artinya permohonan serupa itu tidak ada artinya, karena tidak disertai usaha yang wajar.


Ayat 186

“Dan apabila hamba-hamba-Ku itu bertanya kepada engkau darihal Aku maka sesungguhnya Aku adalah dekat."

Oleh sebab Allah dekat dari kita hamba-hamba-Nya ini, silakanlah memohon dengan ikhlas. Dia tidaklah jauh. Lantaran Dia tiada jauh dari sisimu, tidak usah kamu bersorak keras-keras memanggil-manggil nama-Nya, “Ya, Allah! Ya, Allah! Tolonglah aku! Bantulah aku!" Apa guna suara keras demikian, padahal Dia lebih dekat kepadamu daripada urat lehermu sendiri? Mengapa keras-keras, padahal Dia bukan pekak?

Yang kedua, lantaran Dia dekat, tidaklah perlu memakai orang perantaraan atau wasilah. Terang-terang Dia berfirman.

“Serulah Aku, supaya Aku perkenankan seruan-mu itu" (al-Mu'min: 60)

Di dalam surah al-Waaqi'ah (surah 56), tentang seorang yang telah menarik nafasnya yang penghabisan akan mati bahwa di saat sakaratul maut itu pun Allah ada di sana,

“Dan Kami adalah lebih dekat kepadanya daripada kamu, akan tetapi kamu tidak melihat." (al-Waaqi'ah: 85)

Berdasar kepada ujung ayat di atas maka jadikanlah bulan puasa itu sebuah bulan yang penuh dengan ibadah, membaca Al-Qur'an, shalat, dan berdoa. Oleh karena doa adalah

Dari hal dekatnya Tuhan kita, perlu kita memakai berbagai penaksiran, sebab Zat Yang Mahakuasa itu meliputi seluruh alam, dan bagaimana keadaannya yang sebenarnya tidaklah kuat kita membicarakannya. Moga-moga latihan jiwa kita sendiri sebagaimana selalu dilakukan oleh ahli-ahli tasawuf akan dapat memberi kita pengetahuan yang lebih dalam dari hal dekatnya Tuhan kita kepada kita. Yang penting ialah memohon langsung kepada-Nya, jangan memakai perantaraan. Kalau Dia sendiri telah menyatakan Dia dekat, guna apa kita mencari perantaraan lagi? Orang yang menyembah berhala kita cela karena mereka memakai perantaraan berhala buat me-nyampaikan kepada Allah, akan kita diamkan sajakah orang yang bila ditimpa kesusahan menyeru nama Sayyid Abdulqadir Jailani atau Syekh Samman?

Padalanjutanayat.Allahyangmemesankan bahwa Dia dekat dari hamba-hamba-Nya itu, berfirman lagi, “Aku perkenankan permohonan orang yang memohon apabila dia memohon kepada-Ku."

Apa kesan yang kita dapat dari bunyi lanjutan ayat ini? Allah telah menutup pintu yang lain. Allah menyuruh kita langsung kepada-Nya. Allah telah menjelaskan di sini, kepada-Ku saja, supaya permohonanmu ter-kabul. Sedang dalam ayat tidak sedikit pun terbayang bahwa permohonan baru dikabulkan Allah kalau disampaikan dengan perantaraan Syekh Anu atau Sayyid Fulan! Kemudian datang lagi lanjutan ayat, yang membuatnya lebih jelas lagi,

“Maka, hendaklah mereka sambut setuanku dan hendaklah mereka petcaya kepada-Ku, supaya mereka betoleh kecerdikan."

Terang sekali ayat ini, tidak berbelit-belit.

Pertama, Allah itu dekat.

Kedua, segala permohonan dari hamba-Nya yang memohon akan mendapat perhatian yang sepenuhnya dari-Nya. Tidak ada satu permohonan pun yang bagai air jatuh ke pasir, hilang saja sia-sia, karena tidak didengar atau tidak dipedulikan.

Ketiga, supaya permohonan itu mendapat

perhatian Ilahi, hendaklah si hamba yang memohon itu menyambut pula terlebih dahulu bimbingan dan petunjuk yang diberikan Allah kepadanya.

Keempat, dan amat penting, yaitu hendaklah percaya benar-benar, beriman benar-benar kepada Allah.

Kelima, dengan sebab menyambut seruan Allah dan percaya penuh kepada Allah, si hamba akan diberi kecerdikan. Si hamba akan diberi petunjuk jalan yang akan ditempuh hingga tidak tersesat dan tidak berputus asa.

Seandainya kata dekat kita perluas lagi, dapat kita pahamkan bahwa Allah dekat dan kita pun wajib mendekatkan diri kepada-Nya. Kalau seruan-Nya tidak disambut dan kepercayaan kepada-Nya tidak penuh, betapa pun kita mencari-Nya, Dia akan tetap jauh. Bukan Dia yang jauh, tetapi kita sendiri telah amat jauh. Jika boleh diambil misal yang mudah, dapAllah kita misalkan orang-orang yang miskin atau gembel yang karena tidak ada rumah, tidur atau duduk sehari-harian di muka sebuah bank yang di sana tersimpan emas berjuta-juta harganya. Meskipun jarak si gembel dengan uang itu hanya dinding saja, tetapi bagi dia uang itu sangat jauh. Atau seumpama dua orang bertetangga dekat, berdekat rumah telah bertahun-tahun, tetapi tidak kenal-mengenal, karena hidup nafsi-nafsi. Sebab itu, mereka sangat berjauhan.

Maka, orang yang tidak menyambut seruan Allah dan yang tidak membina imannya kepada Allah, orang yang maksiat atau mempersekutukan yang lain dengan Allah, kian lama jauhlah dari Allah walaupun Allah itu tetap berada di dekatnya. Lantaran itu susahlah permohonannya akan terkabul.

Menyambut seruan Allah dan iman kepada Allah adalah jalan satu-satunya untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Apabila sudah dekat, Allah pun berjanji akan memberikan petunjuk sehingga menjadi orang yang cerdik cendekia, arif bijaksana.

Dalam mengerjakan puasa, dilatihlah dia dalam ibadah dan doa. Bertambah makrifat kepada Allah bertambah pulalah tertanam rasa ikhlas dan tawakal. Ikhlas yaitu jujur dan tutus. Tawakal ialah menyerah dengan tidak separuh hati. Dan, kalau mendapat percobaan iman, dapAllah bertahan dengan sabar.

Cobalah kita perhatikan! Ayat yang sebuah ini terletak di tengah-tengah, ketika membicarakan dari hal puasa dan hukum-hukumnya. Dilihat sepintas lalu, seakan-akan tidak ada hubungan ayat ini dengan yang sebelum-nya atau yang sesudahnya, padahal erat sekali hubungan itu.

Sebab, doa orang yang sedang puasa itu lebih dekat dikabulkan, sebagaimana yang dirawikan oleh Imam Abu Dawud ath-Thayatisi dalam Musnad-nya, diterima dari Abdullah bin Umar. Beliau berkata, “Aku dengar Rasulullah saw. bersabda,

‘Bagi orang yang berpuasa itu, ketika dia berbuka adalah doa yang mustajab.'"

Terdapat pula sebuah hadits dalam Musnad Imam Ahmad dan Sunan an-Nasa'i dan Tirmidzi dan Ibnu Majah, diterima daripada Abu Hurairah r.a., berkata dia bahwa berkata Rasulullah saw.,

“Bertiga yang doanya tidak akan ditolak: imam (kepala pemerintah) yang adil, orang yang puasa sampai dia berbuka, dan orang yang teraniaya. Akan diangkat doa itu oleh Allah ke atas awan di Hari Kiamat dan akan dibukakan baginya pintu langit, lalu Allah berfirman, ‘Demi kemuliaan-Ku! Sesungguhnya, akan Aku tolong engkau walaupun sesudah sebentar waktu.'"

Akan tetapi, ada satu hal yang tidak boleh dilupakan di dalam mengerjakan ibadah dan doa ataupun berpuasa itu. Di dalam surah adz-Dzariyat: 56, Allah berfirman bahwa maksud Allah menjadikan jin dan manusia hanyalah semata-mata untuk beribadah kepada-Nya. Jadi, adanya ibadah kepada Allah adalah bergantung pada adanya manusia. Manusia dijadikan Allah dengan perantaraan bertemunya laki-laki dengan perempuan. Selama dunia terkembang, manusia mesti selalu ada di muka bumi. Sebab itu, apabila orang sudah terlalu asyik beribadah kepada Allah, sekali-kali jangan lupa bahwa dia pun mempunyai kewajiban lain lagi, yaitu mengembangkan keturunan. Maka, ketika syari'at puasa sudah diturunkan Allah, banyak sahabat Rasulullah yang memandang bahwa kalau sudah berpuasa hendaklah pada malam harinya juga berpuasa dari mendekati istri. Bahkan ada juga yang mencoba wishal, terus-menerus puasa dengan tidak berbuka dan tidak sahur.

Seorang sahabat Rasulullah yang besar, yaitu Umar bin Khaththab yang berpikiran tajam itu merasa dalam hatinya bahwa tidak mungkin agama memberati sedemikian rupa sehingga nafsu kelamin juga mesti dihentikan malam hari. Meskipun sahabat-sahabat yang lain banyak yang benar-benar menjauhi istri pada malam hari puasa itu, beliau sendiri merasa hal yang sedemikian rupa tidaklah kehendak agama Islam. Meskipun syari'at puasa ini telah disyari'atkan juga kepada umat yang dahulu-dahulu sehingga pendeta-pendeta Kristen ada yang menjauhi perkawinan sama sekali, beliau Umar bin Khaththab merasa kehendak Islam tidak sampai sedemikian. Sebab itu, di satu malam beliau lakukanlah apa yang dilakukan suami terhadap istri. Dan, siangnya, untuk menghilangkan keraguan, beliau menemui Rasulullah dan menyatakan keadaan yang sebenarnya. Menurut riwayat yang dirawikan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas, Umar pun datanglah meminta penjelasan kepada Rasulullah. Maka, turunlah ayat ini,

Ayat 187

“Dihalalkan bagi kamu pada malam puasa bercampur kepada istri kamu."

Di dalam ayat dikatakan rafatsu. Menurut bahasa, rafatsu ialah segala senda gurau dan percakapan di antara suami-istri ketika mereka mulai seketiduran. Kita artikan saja dengan bercampur, menurut jiwa yang terkandung dalam ayat. Ini karena tidak pernah Al-Qur'an memakai perkataan yang tepat terhadap urusan persetubuhan, melainkan selalu memakai kata-kata halus.

Lalu, lanjutan ayat, “Mereka adalah pakaian bagi kamu dan kamu adalah pakaian bagi mereka." Kalimat-kalimat ini pun adalah kata-kata yang sangat halus dan mendidik sopan santun di antara manusia. Sebab, apabila suami-istri telah berjumpa secara suami-istri benar-benarlah mereka pakAl-memakai, bahkan menjadi satu tubuh sehingga disebut juga setubuh dalam bahasa kita.

Demikianlah Allah menyatakan bahwa pada malam hari hal itu adalah hal yang halal dan tidak menghalangi puasa. Kemudian, disesali orang-orang yang selama ini sampai menjauhi pula urusan persuami-istrian itu dengan sambungan firman-Nya, “Allah mengetahui bahwasanya kamu telah berkhianat kepada diri-diri kamu!' Karena, pada waktu yang halal kamu sendiri mengharamkan diri melakukan tugas sebagai manusia yang beristri. Ini namanya mengkhianati hukum! Padahal sambungan turunan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah jua adanya."Maka, telah diampuni-Nya kamu dan dimaafkan-Nya kamu." Meskipun hal ini belumlah dosa besar, apatah lagi mereka meninggalkan persuami-istrian itu adalah karena belum tahu, di sini Tuhan memakai kata memberi ampun dan maaf. Tandanya kalau hal yang demikian mereka teruskan juga, Artinya, mengubah maksud puasa untuk takwa dengan cara yang lain yang bukan dari ajaran Islam. Lantaran itu, Tuhan lanjutkan, “Maka, sekarang singgunglah mereka, dan carilah apa yang telah ditentukan Allah buat kamu." Di sini sekali lagi terdapat kata-kata halus, yang dalam bahasa aslinya dikatakan basyiruhunna, yang kita pilih arti ke bahasa Indonesia dengan singgunglah mereka, yaitu bersenda gurau menurut kebiasaan suami-istri.


Tentu saja karena yang dilarang pada siang hari itu bukan persetubuhan suami-istri saja, tetapi juga makan dan minum, maka dijelaskan lagi pada lanjutan ayat, “Dan makanlah dan minumlah, sehingga berbeda bagi kamu tali putih dari tali hitam dari waktu fajar." Jadi, kesimpulannya ialah bahwa sebelum berbeda “tali putih" yaitu bayangan fajar dengan “tali hitam" ialah gelap malam, bolehlah kamu melakukan kebiasaan suami-istri dan bolehlah makan, bolehlah minum sesukamu. Akan tetapi, apabila tali putih, bayangan fajar merah di sebelah timur telah tampak, dan tali hitam yaitu gelap malam mulai hendak hilang, berhentilah dari segalanya itu.


Tentang “tali putih" dan “tali hitam" ini ada pula satu riwayat jenaka yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwasanya sahabat Rasulullah saw. yang bernama Adi bin Hatim, putra dari Hatim ath-Thai yang terkenal, yang dahulunya memeluk agama Nasrani, kemudian datang menghadap Rasululah dan langsung memeluk Islam. Dia adalah seorang Muslim yang taat dan setia. Demikian setianya memegang bunyi ayat, sehingga diletakkannya dua potong benang-benang di atas kasurnya, sepotong benang putih dan sepotong benang hitam. Sebelum matanya dapat membedakan warna putih dan warna hitam kedua potong benang itu, beliau masih makan sahur. Setelah jelas perbedaannya karena fajar telah menyingsing, barulah beliau berhenti makan. Lalu, dia datang kepada Rasulullah menerangkan perbuatannya itu. Berkatalah Rasulullah kepadanya sambil tersenyum, “Kasur tempat kamu meletakkan kedua benang itu amat luas, hai Adi. Sebab, yang dimaksud dengan tali putih ialah merah fajar tanda hari telah siang dan tali hitam ialah gelap malam yang telah ditinggalkan."


“Kemudian itu sempurnakanlah puasa sampai malam," yaitu sampai matahari telah terbenam dan dengan demikian datanglah waktu Maghrib; waktu itu segeralah bukakan puasamu. Kemudian, berkenaan dengan per-suami-istrian tadi dilanjutkan lagi peringatan, “Dan jangan kamu singgung mereka, padahal kamu sedang iktikaf di dalam masjid-masjid Artinya, meskipun pada malam harinya kamu bebas melakukan persuami-istrian dengan istri kamu, tetapi kalau kamu sedang melakukan ibadah iktikaf di masjid, janganlah istrimu disinggung yang akan membawa kepada setubuh walaupun di malam hari. Apatah lagi siang! Sebab ibadah iktikaf, yaitu duduk tafakur di dalam salah satu masjid pun adalah menjadi syari'at pula. Dianjurkan melakukannya, entah buat sehari, dua hari, seminggu, atau dua minggu. Maka, kalau niat telah kamu pasang buat iktikaf, janganlah dia gagal karena engkau telah bersenda gurau lagi dengan istrimu. Selanjutnya, Allah berfirman, “Itulah batas-batas Allah maka janganlah kamu dekati akan dia."


Maka, pada saat yang tertentu itu, yaitu siang hari seluruhnya ditambah dengan malam harinya pun kalau sedang iktikaf, Allah telah menentukan batas, jangan mendekat-dekat kepada batas itu. Sebab, kalau sudah terlalu dekat, bahayanya besar jika berdekatan di saat yang terlarang itu, dengan timbulnya syahwat akan mengancam puasa yang sedang berlaku dan iktikaf yang tengah dilaksanakan. Apalagi bocornya puasa karena bersetubuh berat juga dendanya; memerdekakan budak, dan kalau tidak sanggup, wajib diganti dengan memberi makan fakir miskin sebanyak enam puluh orang; dan kalau tidak sanggup, wajib puasa dua bulan berturut-turut. Dan, menurut ijtihad seorang ulama besar Abu Ali al-Qali, ketika salah seorang khalifah bani Umayyah meminta fatwanya apa kaffarab (denda) yang akan dilakukan terhadap diri baginda sebab baginda telah terdekat kepada istri lalu telanjur sehingga bocor puasanya. Ulama itu telah berfatwa bahwa baginda wajib puasa dua bulan berturut-turut. Demikian patuh khalifah terhadap fatwa ulama sehingga baginda puasa dua bulan berturut-turut. Lalu, seorang murid bertanya kepada ulama besar itu, apa sebab beliau berfatwa demikian, padahal urutan sabda Nabi itu puasa dua bulan berturut-turut adalah yang ketiga, sesudah tidak sanggup memerdekakan budak atau memberi makan fakir miskin. Orang alim itu menjawab, “Kalau aku fatwakan memerdekakan seorang budak, seratus budak pun baginda sanggup memerdekakan. Kalau aku ganti dengan memberi makan enam puluh orang miskin, enam ribu orang miskin pun baginda sanggup memberi makan. Nanti baginda telanjur lagi. Namun, dengan aku memfatwakan puasa dua bulan berturut-turut, baginda kelak dengan sendirinya akan jera mendekati batas-batas yang ditentukan Allah karena puasa dua bulan berturut-turut adalah amat berat bagi orang sebagaimana baginda."

Kemudian, Allah menutup firman-Nya tentang urusan puasa demikian,

“Demikianlah Allah telah menjelaskan perintah-perintah-Nya kepada manusia, supaya Mereka jadi takwa."

Niscaya panjang lebar pulalah di dalam kitab-kitab fiqih buah pikiran ulama-ulama kita tentang bimbingan berpuasa ini. Kadang-kadang lantaran sangat dalam ijtihad beliau timbullah hal-hal yang rumit sehingga ada yang mengatakan bercelak mata ketika puasa membatalkan puasa. Ada juga yang mengatakan bahwa muntah pun membatalkan puasa, bahkan ada yang berpendapat bahwa luka pun membatalkan puasa. Maka, sebelum kita menilai ijtihad-ijtihad beliau-beliau itu, akan diikut atau tidak dapat diterima, terlebih dahulu hendaklah kita rasakan benar-benar bunyi di dalam ayat ini. Karena susunan ayat benar-benar menunjukkan cinta kasih Allah akan hamba-Nya. Benar-benar menunjukkan bahwa Allah menjatuhkan suatu perintah bukanlah mempersukar, melainkan yang mudah dikerjakan. Yang pokok ialah memupuk iman dan takwa.

Dan, tidaklah bertemu dalam Al-Qur'an pertengkaran perkara puasa dengan ru'yatul hilal atau dengan hisab. Karena ru'yatul hilal (pergi melihat terbitnya bulan baru) memang ada dasarnya. Begitulah yang dianjurkan Rasulullah ketika beliau hidup sebab pada waktu itu umat masih ummi. Dan, memakai hisab pun ada dasarnya, yaitu bahwa Rasulullah tidak menghendaki supaya ke-ummi-an (tidak tahu tulis-baca) itu supaya dipertahankan terus-menerus. Maksud ialah mengeluarkan manusia dari gelap kejahilan kepada terang-benderang pengetahuan. Kemajuan ilmu tentang hisab, terutama di zaman sekarang, sudahlah sama dimaklumi dan sudah kita turuti. Shalat lima waktu yang lebih berat hukumnya daripada puasa, telah kita turuti menurut jam dan jam seluruh dunia (inter-nasional) pun telah kita pakai. Tidak lagi menunggu Shubuh dengan pergi melihat fajar, menunggu Zhuhur dengan menentang matahari melihat apa sudah tergelincir dari pertengahan siang atau belum, waktu Ashar tidak lagi kita mengukur bayang-bayang lebih dari panjang diri, waktu Maghrib tidak lagi kita tilik apakah matahari sudah terbenam atau belum, waktu Isya tidak lagi kita menunggu habisnya syafaq yang merah di pinggir langit sebelah barat.

Yang penting bagi kita bukanlah mempertentangkan hisab dan ru'yah, melainkan menegakkan iman dan takwa. Dan, pemerintah yang bijaksana dapAllah mempergunakan keduanya sebab hisab yang sejati tidaklah ber-selisih dengan ru'yah sejati. Kalaupun pemerintah misalnya memutuskan memakai hisab, tidak jugalah salah sebab ilmu tentang hisab itu di zaman sekarang telah mempunyai alat-alat yang lengkap, menjadi sebagian dari ilmu alam atau ilmu falak yang dapat dipertanggungjawabkan.

Oleh sebab itu, tidaklah ada salahnya jika suatu pemerintah Islam mengadakan panitia hisab yang menghisab perjalanan bulan itu lalu mengeluarkan perintah memulai dan menutup puasa dengan berdasar pada penyelidikan ahli hisab itu. Karena maksud pemerintah melihat bulan bukanlah berarti soal lihatnya, melainkan soal guna menegaskan dan meyakinkan bahwa bulan telah wujud. Hisab yang teliti jauh lebih dapat di-pertanggungjawabkan daripada semata-mata pergi melihat.

Di Republik Indonesia, di zaman Menteri Agama K.H. Fakih Usman telah beliau kerahkan setiap kantor-kantor agama di seluruh Indonesia benar-benar pergi melihat bulan ke tempat bulan dapat dilihat. Dan, beliau beri kebebasan orang-orang percaya kepada hisab agar puasa pula menurut keyakinan hisabnya. Oleh karena melihat bulan itu telah dilakukan dengan teliti, selama K.H. Fakih Usman menjadi menteri agama dan digantikan oleh menteri-menteri lain yang memegang teguh peraturan yang telah beliau adakan itu, tidaklah pernah terjadi perselisihan di antara pemegang ru'yah dengan pemegang hisab.

Sebab, dahulu-dahulu telah terjadi perselisihan hisab dan ru'yah, terutama di zaman penghulu-penghuiu di tanah jawa menguasai urusan masjid, demikian pula ulama-ulama kerajaan di zaman ada sultan-sultan, ialah karena mereka tidak mengadakan panitia melihat bulan, puasa saja menurut tradisi dan menghukum sesat, dan “kaum muda" orang-orang yang berpegang hisab. Bahkan ada yang mengatakan bahwa tukang hisab sama dengan tukang tenung! Ialah karena pengetahuan mereka tentang itu tidak ada dan berpikir agama telah membeku.

Akan tetapi, ada pula seorang menteri agama yang mencap dan menuduh orang-orang yang berpuasa menurut hisab itu tidak menurut perintahnya berkenan dengan memulai dan menutup puasa, bahwa orang itu memecah persatuan nasional. Dengan kekuasaan, dia hendak memaksakan pahamnya kepada orang banyak sehingga mendapat tantangan di mana-mana.

Kesimpulannya, menurut penafsir ini ialah bahwa perintah Rasul menyuruh melihat bulan untuk memulai atau menyudahi puasa, ialah supaya jelas benar bahwa Ramadhan masuk atau telah habis. Maka, Rasul tidaklah melarang orang memakai alat yang lebih modern daripada hanya mata, yaitu alat perkakas hisab, untuk menyatakan jelas telah masuknya atau habisnya bulan Ramadhan.


Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA