Sebutkan delapan bidang ekonomi tapak lapan yang juga bidang-bidang dari peralatan kerja melayu riau


Bagi orang Melayu yang tinggal di desa, mayoritasnya menjalankan aktivitas pertanian dan menangkap ikan. Aktivitas pertanian termasuk mengusahakan tanaman padi, karet, kelapa sawit, kelapa, dan tanaman campuran (mixed farming). Orang Melayu yang tinggal di kota kebanyakannya bekerja dalam sektor dinas, sebagai pekerja di sektor perindustrian, perdagangan, pengangkutan, dan lain-lain. Penguasaan ekonomi di kalangan orang Melayu perkotaan relatif masih rendah dibandingkan dengan penguasaan ekonomi oleh penduduk non-pribumi, terutamanya orang Tionghoa. Tetapi kini telah ramai orang Melayu yang telah sukses dalam bidang perniagaan dan menjadi ahli korporat. Banyak yang tinggal di kota-kota besar dan mampu memiliki mobil dan rumah mewah. Selain itu itu juga, banyak orang Melayu yang mempunyai pendidikan yang tinggi, setingkat universitas di dalam maupun di luar negeri.

SISTEM TEKNOLOGI PERLENGKAPAN HIDUP

Sejak zaman bahari masyarakat Melayu Riau sudah memiliki bermacam cara untuk memenuhi keperluan hidup. Artinya sejak masa lampau masyarakat Melayu Riau telah menguasai teknologi. Teknologi ini diklasifikasi menjadi teknologi pertanian, pernikahan, peternakan, pertukangan, perkapalan, pertambangan, dan pengolahan bahan makanan. Sistem teknologi yang dikuasai orang melayu menunjukkan bahwa orang Melayu kreatif dan peka dalam memfungsikan lingkungan dan sumber daya alam di sekitarnya. Orang Melayu juga tidak tertutup terhadap perubahan teknologi yang menguntungkan dan menyelamatkan mereka.

Teknologi pada hakekatnya adalah cara mengerjakan suatu hal (Masher, 1970:127), yaitu cara yang dipakai manusia untuk beberapa kegiatan dalam kehidupannya. Teknologi terutama terlihat dalam pendayagunaan potensi sumber daya yang ada di sekitar manusia. Oleh karena itu, teknologi merupakan satu diantara sekian banyak hasil budaya manusia dan merupakan cermin daya kreatif dalam memanfaatkan lingkungannya untuk mencapai kesejahteraan hidup.

Pada dasarnya keluarga masyarakat Melayu sejak zaman bahari telah melakukan beragam cara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Masyarakat Melayu juga memiliki dan menguasai bermacam-macam teknologi, mulai dari teknologi yang menghasilkan makanan dan tumbuh-tumbuhan (yang kemudian menjadi pertanian), berburu (yang berkembang menjadi usaha peternakan), menangkap ikan (yang berkembang menjadi usaha perikanan dengan berbagai teknologi penangkapan yang dipakai), serta cara mengangkut hasil-hasil usaha yang disebutkan diatas.

Teknologi yang dikuasai masyarakat Melayu Riau antara lain membuat rumah dan atapnya yang terbuat dari daun-daunan, maupun membuat sejenis keranjang untuk mengangkut hasil pertanian yang bentuk dan jenisnya beragam. Masyarakat

Melayu juga menguasai cara membuat perkakas yang dipakai sehari-hari. Cara ini

masih ada dan berlanjut sampai sekarang.

Terdapat anggapan bahwa beberapa peralatan dan mata pencaharian khas yang masih ditemukan dalam masyarakat Melayu Riau sekarang ini berasal dari masyarakat Melayu bahari. Bukti lain menunjukkan bahwa ditinjau dari segi mata pencahariannya, suatu keluarga Melayu bahari jarang sekali bergantung pada satu mata pencaharian , sehingga mereka tidak bergantung pada satu jenis teknologi. Keragaman mata pencaharian masyarakat Melayu dibagian daratan Sumatera ( Riau Daratan) dapat dijadikan dasar untuk menelusuri keragaman teknologi yang ada dalam masyarakat. Setiap jenis mata pencaharian biasanya mempunyai beberapa cara dan alat. Alat dan cara penggunannya akan menampakkan teknologinya.

Peralatan dan cara penggunaannya dipengaruhi oleh lingkungan dan sumberdaya yang akan di olah, sehingga lahir berbagai teknologi. Walaupun teknologi itu menghasilkan hal yang sama atau mempunyai fungsi yang sama, tapi teknologi tetap berbeda. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa masyarakat Melayu mampu secara aktif menghasilkan berbagai teknologi dan sekaligus mengembangkannya sesuai dengan fungsi dan pengaruh lingkungan tempat digunakannya teknologi tersebut. Masyarakat Melayu tidak canggung dengan perubahan teknologi, asal teknologi tersebut lebih menguntungkan dan mudah diterapkan , seperti teknologi dalam pertanian.

Alat-alat pertanian

Pada dasarnya pertanian didaerah ini adalah pertanian dengan sistem ladang. Disamping itu ada pula usaha perkebunan karet rakyat. Alat-alat yang digunakan untuk perladangan ini sangatlah sederhananya, terdiri dari : beliung, parang panjang, parang pendek atau candung, tuai atau ani-ani, bakul, lesung, dan antan (alu), dan nyiru (tampah).

Pertanian dengan sistem ladang ini, cara pengolahan tanahnya sangat sederhana, tidak memerlukan cangkol atau pacul. Hutan yang dianggap subur, ditebang dengan menggunakan beliung dan parang. Pohon yang besar-besar ditebang dan setelah rebah lantas ditutuh, yaitu dahan-dahannya dipotong supaya gampang nantinya dimakan api. Sebelumnya di sekeliling tempat yang akan dibakar itu di “landing” terlebih dahulu, yaitu dibersihkan dari kayu dan daundaun kering supaya api tidak menjalar ke hutan sekitarnya. Pembakaran dimulai

dari atas angin, sehingga dengan bantuan angin api akan menjalar keseluruh lapangan.

Setelah abu pembakaran tersebut dingin, biasanya pada hari kedua atau ketiga setelah dibakar, bibit padi pun mulai disemai. Menanam bibit ini ada dua cara, yaitu: untuk tanah bencah atau basah, bibit padi ditaburkan ditanah. Kalau padi sudah tumbuh dan mencapai tinggi kira-kira tiga puluh centimeter, lalu di “ubah”, yaitu anak-anak padi tersebut dicabut kembali dan setelah dibersihkan akar-akarnya ditanam kembali secara teratur. Prinsipnya hampir sama dengan penanaman di sawah.

Penanaman padi ini biasanya pada akhir kemarau, karena begitu padi ditanam musim hujan pun tiba. Adapun alat-alat yang digunakan, yaitu: alat-alat yang terbuat dari besi, seperti mata beliung, mata parang dan mata ani-ani dibeli dipasar dan gagangnya dibuat sendiri. Lain pula halnya bagi petani karet, yang keadaannya pun sederhana juga. Umunya di Riau petani ladang jika sudah panen tanah bekas ladangnya itu ditanami karet. Sehingga daerah perladangan makin lama jadi semakin jauh, karena tanah-tanah yang dekat dengan kampung telah diisi karet.

Karet yang ditanam itu dibiarkan tumbuh sendiri tanpa dirawat dan tumbuh bersama belukar. Kalau sudah mencapai umur empat atau lima tahun, yaitu saat karetnya telah boleh disadap, barulah didatangi kembali dan dibersihkan. Alat-alat yang digunakan untuk menyadap untuk pohon karet tersebut terdiri dari:

1. Sudu getah, yaitu semacam talang kecil terbuat dari seng yang dipantelkan ke pohon karet untuk mengalirkan getah.

2. Mangkok getah, terbuat dari tembikar kasar, tetapi sekarang banyak digunakan tempurung kelapa.

3. Pisau getah, disebut juga “pisau toreh”, yaitu pisau untuk menorah kulit pohon, dan ada juga menyebutnya pisau lait”.

4. Ember atau kaleng, digunakan untuk mengumpulkan dan mengangkut hasil getah berbentuk susu ke tempat pengolahan.

WADAH ATAU ALAT-ALAT UNTUK MENYIPAN

Untuk menyimpan hasil produksi terdapat alat-alat sebagai berikut:

1. Kepok: yaitu tempat menyimpan padi berbentuk cylinder dengan garis tengah 11/2 meter dan tinggi 1 meter. Terbuat dari kulit kayu dan disimpan di dalam rumah.

2. Sangkar: ada dua maam:

a. Sangkar tempat penyimpan ikan, terbuat dari anak kayu yang dijalin dengan rotan dan ditendam dalam air.

b. Sangkar ayam atau burung terbuat dari rotan atau anaka kayu. Ada yang diletakkan di dalam rumah dan ada pula yang digantungkan

Untuk menyimpan kebutuhan sehari-hari:

1. Tempayan yaitu tempat air dari tembikar

2. Labu yaitu tempat air, terbuat dari buah labu yang dikeringkan dan dibuang isinya

3. Bakul yaitu tempat bahan makanan sehari-hari terbuat dari pandan anyaman

4. Sumpit yaitu semacam karung, terbuat dari panda yang dianyam, untuk menyimpan beras, ubi kering atau sagu rending lain-lain

Untuk wadah dalam rumah tangga seperti:

1. Bangking yaitu tempat pakaian-pakaian halus dari kayu kapok berasal dari Cina

2. Peti besi yaitu tempat pakaian atau benda-benda lannya.

3. Peti kayu yaitu berukuran lebih besar dari peri besi, juga berasal dari Cina. Tempat menyimpan barang-barang berharga

4. Bintang yaitu terbuat dari kuningan, ada yang bundar dan ada pula yang bersegi delapan. Pakai tutup biasanya unyuk menyimpan alat-alat keperluan wanita.

sumber //mamamia12345.blogspot.com/2013/02/sistem-mata-pencaharian-hidup.html

Page 2

Mata yang paling ‘kaya’ adalah matapencaharian. Sebab itu, orang yang tak punya mata pencaharian segera akan bangkrut. Inilah yang sekarang banyak dikhawatirkan orang karena lingkungan telah binasa sementara perekonomian pun tak bermaya.

Dalam ruang lingkup matapencaharian tradisional, khususnya berkebun, punca kebangkrutan itu salah satunya diakibatkan oleh pola monokultur, khususnya kebun kelapa sawit. Berapa banyak kita dengar cerita masyarakat yang mengganti kebun getah atau sawahnya dengan menanam sawit. Sepintas, kita terbuai oleh hasil produksi yang serba gergasi dan fulus yang mengalir mulus.

Padahal, pengembangan pangan monokultur skala besar, rentan merugikan rakyat, merusak bentang alam dan ekologi. Pemaksaan dominasi satu komoditas terhadap satu sistem menyebabkan banyak mata rantai sistem terputus. Inilah yang menyebabkan perubahan ekosistem seperti wabah ulat bulu, belalang, sampai tomcat hingga mengubah migrasi babi.

Hutan alam yang habis digasak Hak Pengusahaan Hutan (HPH) oleh sejumlah perusahaan dan alih fungsi rimba menjadi ladang perkebunan sawit skala besar berdampak nyata terhadap kualitas lingkungan dan menghancurkan habitat hewan endemik, salah satunya orangutan Sumatera (Pongo abelii).

Praktik monokultur juga merusak ekosistem sungai karena rakus unsur hara dan tingginya pemakaian pupuk hingga banyak nitrogen lepas ke sungai yang mengakibatkan lonjakan populasi beberapa jenis ganggang. Hal itu menutup sungai sehingga kurang oksigen dan tak ramah bagi hewan air. Inilah mengapa keragamanan jenis ikan menurun. Di sisi lain, karena debit air jauh menurun, siklus hidrologi pun terganggu.

Dulu, orang bertani dengan pola polikultur yang berfungsi mengalihkan hama. Homogenitas pangan juga menyebabkan tak multinutrisi lagi dan mengancam pangan lokal. Monokultur pangan yang mensyaratkan jumlah lahan yang serba giga juga telah memberi jalan bagi manipulasi dan rasuah.

Kita selalu lalai mempelajari sejarah. Di zaman penjajahan Belanda, perkebunan kayu skala besar dirintis sejak abad ke-19, sekitar tahun 1847. Kayu dipakai untuk membuat kapal perang dan kapal dagang Belanda. Dampaknya, masyarakat di Jawa krisis pangan dan bencana kelaparan sejak 1843. Pengembangan skala besar inilah yang menyebabkan hutan Jawa hampir nol saat ini.

Padahal, kearifan lokal Melayu telah memperkenalkan macam-macam pekerjaan untuk matapencaharian. Oleh orang Melayu di Rantau Kuantan, istilahnya dikenal dengan nama ‘’tapak lapan’’. Yakni delapan tapak (tempat berpijak) mata pencaharian tradisional untuk mencari penghidupan. Tapak lapan itu ialah: beladang (baik padi maupun sayur), berkebun (terutama kebun getah), beternak, baniro (mengambil air nira untuk dijual airnya atau diolah menjadi gula enau), bapakarangan (mencari ikan), mendulang (mencari emas di sungai atau mencari hasil hutan di sepanjang aliran sungai), bertukang dan berniaga.

Dengan menjalankan tapak lapan, orang Melayu bisa terhindar dari bangkrut. Sebab jika salah satu pekerjaannya kandas, ia bisa pindah ke pekerjaan lain dalam sistem tapak lapan. Karena itu, orang Melayu tidak akrab dengan kata “rajin” (pandai dalam satu bidang) tetapi mengenal kata “tangkas” yaitu mahir dalam beberapa pekerjaan. Konsep “rajin” pada orang Melayu bukanlah fokus pada satu bidang kerja tapi selang-seling pekerjaan yang saling menyambung dalam sistem tapak lapan. Misalnya, jika hari hujan sehingga tak bisa menakik getah, maka orang bisa pergi menjala, mencari petai di rimba atau baniro sesuai kesenangannya.

Karena itu, sampai tahun 1970-an, orang di kampung tidak menanyakan apa pekerjaan seseorang, tetapi apa tapak lapan-nya. Itu karena seseorang bisa memiliki dua sampai tiga matapencaharian. Itu baru keuntungan dari sisi ekonomi. Dari sudut psikologi, tapak lapan bisa menghilangkan tekanan perasaan karena selang-seling pekerjaan yang dipilih berdasar kesukaan.

Sekarang, dengan sistem demokrasi yang merusak hutan tanah, rimba berkecai oleh HPH dan masyarakat dijuruskan untuk monokultur, sesungguhnya telah melapangkan jalan untuk kebangkrutan. Kini kalau hujan, orang tak bisa lagi pergi ke rimba karena hutan sudah binasa. Mencari ikan pun sudah payah karena sungai telah rusak. Dulu, dalam sistem tanah ulayat dikenal istilah padang ternak. Sekarang semua hilang karena dijadikan kebun.

Sistem tapak lapan dengan sendirinya membuat masyarakat memelihara alam dan menyesuaikan diri dengan alam. Bagi masyarakat adat di ceruk-ceruk kampung, rimba belantara yang tak terpemanai keanekaragaman hayatinya adalah ibarat supermarket untuk memenuhi keperluan hidup mereka. Hutan telah menyediakan papan, pangan, nutrisi sampai obat-obatan. Mereka memiliki ikatan budaya dengan rimba.

Sekarang, di era gencarnya isu emisi karbon, orang sibuk mengajak surut ke pangkal jalan. Indonesia menjadi salah satu penghambur gas rumah kaca terbesar di dunia. Kontribusi terbesar berasal dari perubahan tata guna lahan dan hutan, diikuti energi, kebakaran lahan gambut, sampah, pertanian dan industri. Totalnya, Satgas REDD+ mencatat emisi Indonesia mencapai 1,4 juta Gg CO2e.

Jawabannya sungguh jelas di pelupuk mata. Rimba belantara yang terpelihara mengekang emisi karbon karena hutan adalah tandon alami karbon. Hutan yang terjaga memberikan banyak manfaat dalam satu genggaman: melestarikan keanekaragaman hayati, ekosistem yang terkendali, menyerap karbon, energi terbarukan dan petualangan dalam ekoswisata. Masalahnya cuma satu: kita sungguh-sungguh atau tidak.***

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA