Sebutkan 3 contoh penerapan perilaku mulia yang dapat dilakukan dari perjuangan Rasulullah SAW pada periode Makkah 8 poin?

oleh : Willy Prasetya, S.Pd., M.A —————

Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam. (QS Al-Anbiya: 107)

Sebagai rahmat bagi semesta alam, peran Rasulullah SAW menjangkau semua aspek kehidupan umat manusia dan dunia seisinya. Rasulullah SAW bukan hanya merupakan pemimpin agama, melainkan juga kepala pemerintahan yang bijak dan adil, panglima perang yang cerdas dan tangguh, kepala keluarga yang penuh kasih sayang, guru yang sabar dan mengayomi, serta seorang individu yang berakhlak mulia. Setiap perilaku, perkataan, sikap, kebiasaan, dan perjalanan hidup beliau merupakan teladan bagi seluruh manusia.

Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah. (QS. Al-Ahzab: 21)

Perjalanan Dakwah ke kota Thaif di awal masa kenabian adalah pertama kalinya Rasulullah SAW menyampaikan wahyu di luar kota Mekkah. Ada hikmah berharga yang dapat kita petik dari perjalanan tersebut, yang secara khusus perlu kita terapkan dalam peran kita sebagai pendidik untuk menciptakan suasana belajar yang positif bagi siswa.

Menginspirasi melalui tindakan

Rasulullah SAW tidak pernah meminta siapapun untuk melakukan hal yang beliau tidak mau lakukan. Seringkali, Rasulullah SAW bahkan menjadi orang pertama yang maju untuk melakukan hal-hal yang sulit atau berbahaya. Meskipun hal tersebut bisa menyusahkan atau membahayakan beliau, keberanian Rasulullah SAW untuk menjadi yang pertama dalam bertindak mampu menumbuhkan rasa hormat, kecintaan, dan kesetiaan dari para sahabat.

Ketika mendapatkan perundungan dari kaum kafir Quraisy di Mekkah pasca wafatnya Khadijah RA dan Abu Thalib, Rasulullah SAW merasa perlu mencari dukungan dari kota Thaif sekaligus membawa misi dakwah. Untuk hal tersebut Rasulullah SAW tidak mengirim utusan melainkan beliau sendirilah yang menuju ke kota tersebut dengan ditemani oleh Zaid bin Haritsah RA. Sayangnya, orang-orang Thaif menolak dakwah Rasulullah SAW, dan mereka mengusir Rasulullah SAW dan Zaid bin Haritsah RA dengan lemparan batu hingga terluka parah.

Dari kisah tersebut, dapat kita simpulkan bahwa Rasulullah SAW sebagai pemimpin yang baik selalu berada di depan sesulit apapun situasinya. Keberanian Rasulullah SAW untuk melakukan dakwah secara langsung ke Thaif menunjukkan bahwa beliau tidak setengah-setengah dalam perjuangan untuk Islam, dan hal tersebut menumbuhkan keberanian di dalam diri para sahabat untuk tidak gentar dalam berdakwah dan mempertahankan agama.

Sebagai pendidik yang memimpin jalannya proses belajar-mengajar, kita tidak semestinya meminta siswa untuk melakukan hal yang kita sendiri tidak bisa atau tidak mau melakukannya, apalagi melarang siswa untuk melakukan hal yang kita sendiri lakukan. Jangan sampai kita menjadi pendidik yang hanya bisa menyuruh tanpa bisa memberikan contoh, dan jangan pula kita membuat larangan yang kita sendiri melanggarnya. Siswa akan lupa dengan sebagian besar apa yang kita katakan, tapi mereka akan banyak mengingat teladan yang kita berikan melalui tindakan.

Tawakal dalam menyampaikan ilmu

Rasulullah SAW dan Zaid bin Haritsah RA bersembunyi di kebun milik Uthbah bin Rabi’ah untuk menghindari kejaran orang-orang Thaif. Di sana, Rasulullah SAW memanjatkan doa.

“Ya, Allah kepada-Mu aku mengadukan kelemahanku, kurangnya kesanggupanku, dan kerendahan diriku berhadapan dengan manusia. Wahai Zat Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Engkaulah Pelindung bagi si lemah dan Engkau jualah pelindungku! Kepada siapa diriku hendak Engkau serahkan? Kepada orang jauh yang berwajah suram terhadapku, ataukah kepada musuh yang akan menguasai diriku?

Jika Engkau tidak murka kepadaku, maka semua itu tak kuhiraukan, karena sungguh besar nikmat yang telah Engkau limpahkan kepadaku. Aku berlindung pada sinar cahaya wajah-Mu, yang menerangi kegelapan dan mendatangkan kebajikan di dunia dan akhirat dari murka-Mu yang hendak Engkau turunkan dan mempersalahkan diriku. Engkau berkenan. Sungguh tiada daya dan kekuatan apa pun selain atas perkenan-Mu.” (HR. Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir)

Dalam doa tersebut, Rasulullah SAW bersandar kepada Allah SWT atas usahanya dalam menyampaikan dakwah di kota Thaif. Hal yang sama juga perlu kita lakukan sebagai pendidik saat menyampaikan ilmu kepada siswa. Bisa saja kita memiliki target tertentu untuk dicapai oleh para siswa, akan tetapi kita tidak sepenuhnya memiliki kendali penuh atas kemampuan dan hasil belajar siswa.

Almarhum KH. Maimun Zubair juga pernah berwasiat untuk para pendidik tentang bagaimana cara bersikap dalam mendidik siswa.

“Jadi guru itu tidak usah punya niat bikin pintar orang. Nanti kamu hanya marah-marah ketika melihat muridmu tidak pintar, sehingga ikhlasnya jadi hilang. Yang penting niat menyampaikan ilmu dan mendidik yang baik. Masalah muridmu kelak jadi pintar itu ada pada kehendak Allah. Didoakan saja terus menerus agar muridnya mendapat hidayah.”

Sehingga, kita tidak semestinya terlalu ambisius dalam menyampaikan ilmu ke siswa. Usaha yang maksimal dalam mendidik adalah suatu keharusan, namun hasil akhirnya sudah sepatutnya kita serahkan kepada Allah SWT agar tidak timbul kekecewaan dan keputusasaan dalam hati kita.

Bersabar dan berhati lembut dalam mendidik siswa

Mendengar doa Rasulullah SAW, Allah SWT mengutus malaikat Jibril AS untuk menyampaikan bahwa Allah SWT menerima doa beliau. Bersama Jibril AS turut serta malaikat penjaga gunung yang berkata, “Wahai Muhammad! Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan kaummu terhadapmu. Aku adalah malaikat penjaga gunung dan Rabb-mu telah mengutusku kepadamu untuk engkau perintahkan sesukamu, jika engkau suka, aku bisa membalikkan Gunung Akhsyabin ini ke atas mereka.”

Rasulullah SAW menolak hal tersebut. Bahkan, beliau berharap bahwa suatu saat nanti orang-orang Thaif akan memeluk Islam dan beriman kepada Allah SWT. Rasulullah SAW kemudian berdoa, “Ya Allah! Tunjukkanlah kaumku (ke jalan yang lurus), karena sesungguhnya mereka itu tidak mengerti.”

Sekalipun sudah dilempari batu hingga terluka parah, Rasulullah SAW tidak menyimpan dendam kepada para penduduk Thaif. Di kemudian hari, penduduk Thaif akhirnya menjadi pengikut Rasulullah SAW dan memeluk agama Islam.

Dari kisah tersebut, Rasulullah SAW menunjukkan bahwa dakwah harus dilaksanakan dengan penuh kesabaran dan kelembutan hati. Karena tujuan dakwah adalah menyampaikan wahyu dan membawa kebaikan, maka jangan sampai perasaan kecewa dan dendam justru malah membawa keburukan bagi orang-orang yang dituju.

Begitu pula dengan pendidikan, yang tujuan utamanya adalah meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan karakter siswa. Jangan sampai kita menjadi pendidik yang menghukum siswa yang nakal secara berlebihan atau  memberikan sumpah serapah kepada siswa yang tidak menurut, karena hal-hal semacam itu justru akan membuat siswa memandang pendidikan secara negatif.

Kelembutan hati kita perlahan akan melunakkan hati siswa. Kesabaran kita dalam mendidik perlahan akan mendorong siswa untuk turut berusaha menjadi pribadi yang lebih baik.

Sumber:
Dakwah ke Thaif

Dalam konteks ajaran dan nilai Islam, wacana Moderasi Beragama pada dasarnya bukan berupa spirit yang tumbuh dan hadir belakangan. Nalar dan wacana ini bukan pula karena berupa solusi baru atas persoalan toleransi dan heteregonitas, misalnya. Patut disadari, nilai dan perspektif Moderasi Beragama telah inheren pada diri Rasulullah Muhammad SAW, pada ajaran-ajarannya, terukur dalam sikapnya, dan terpancar pada tindakannya.

Rentang kesejarahan dengan periode nubuwwah telah demikian lama, namun Muhammad SAW memberi teladan perilaku dan inspirasi yang demikian nyata dalam mengelola heterogenitas dengan prinsip penghargaan terhadap hak asasi dan sikap saling memuliakan. Di luar jaminan Al Quran atas semua keutamaannya, teladan dan tindakan Muhammad SAW tersebut dengan sendirinya menempatkannya menjadi rahmat bagi seluruh umat manusia, baik yang beriman kepadanya maupun yang tidak.  

Tidak ditemukan dalam al-Quran seorang pun yang dijuluki dengan Rahmat, kecuali Rasulullah Muhammad SAW, dan tidak juga satu pun makhluk yang disifati dengan sifat Allah ar-Rahim, kecuali Rasulullah Muhammad SAW.

Nabi Muhammad SAW diutus oleh Allah SWT sebagai bentuk rahmat dan rasa kasih sayang, karunia, dan nikmat yang diberikan kepada makhlukNya di seluruh alam semesta (rahmatan lil alamin). Rahmatan lil alamin menunjukkan bahwa kehadiran Rasulullah di tengah kehidupan masyarakat mewujudkan rasa kedamaian dan ketentraman bagi alam semesta dan manusia tanpa membedakan agama, suku, dan ras. Rasulullah menjadi rahmat bagi semesta, termasuk di dalamnya adalah  hewan, tumbuhan, dan lingkungan. Hal ini sesuai denga apa yang terkandung dalam Al Quran, Surat Al Anbiya ayat 107, yaitu :

وَمَآ أَرْسَلْنَٰكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعاٰلَمِينَ

Artinya: “Dan tiadalah kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”

M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah menyatakan, meski redaksi QS. Al-Anbiya’ (21) ayat 107 itu sangat singkat tetapi mengandung makna yang sangat luas. Hanya dengan 5 kata yang terdiri dari 25 huruf, termasuk huruf penghubung, ayat ini merangkum empat hal pokok, yaitu: 1) Rasul/utusan Allah, dalam hal ini Nabi Muhammad SAW; 2) yang mengutus beliau dalam hal ini Allah SWT; 3) yang diutus kepada mereka (al-alamiin); dan 4) risalah, yang kesemuanya mengisyaratkan sifat-sifatnya, yakni rahmat yang sifatnya sangat besar sebagaimana dipahami dari bentuk nakirah dari kata tersebut. 

Istimewanya, kehadiran Muhammad SAW adalah sebuah kesemestaan yang mengatasi waktu dan tempat, karena bukan saja membawa ajaran, tapi lebih jauh adalah rahmat yang dianugerahkan Allah SWT. Ayat ini tidak menyatakan bahwa: Kami tidak mengutus engkau (hai Muhammad) untuk membawa rahmat, tetapi sebagai rahmat atau menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Terdapat empat sifat ketauladanan yang dimiliki Nabi Muhammad SAW yang harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu Siddik (jujur), Amanah (dapat dipercaya), Tabliq (menyiarkan), dan Fathanah (cerdas). Sifat ini menjadi dasar kepribadian yang dimiliki oleh Nabi Muhammad SAW yang menjadikannya figur utama dengan segala nilai kebaikan dan egaliter dalam bersosialisasi. 

Jalan Moderatisme

Sejarah Islam sudah mengenal Hak Asasi Manusia (HAM) sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Islam sudah lebih lama mengenal apa yang disebut dengan HAM, yaitu dengan adanya Piagam Madinah pada tahun 622 M. Para sejarawan dan aktivis HAM Islam menilai pidato terakhir Rasulullah saat Haji Wada' sebagai dokumen tertulis pertama yang berkaitan dengan HAM.  

Pidato Rasulullah yang disampaikan pada tahun 632 M dan dikenal dengan Deklarasi Arafah itu, merupakan dokumen tertulis pertama yang berisi nilai, wacana, dan konsensus HAM. Dunia internasional baru mengenal HAM ribuan tahun setelah adanya konsep HAM dalam dunia Islam yang sudah ada sejak Abad ke VII. Secara universal, dunia internasional mengenal HAM baru terjadi pada tahun 1948. Sebaliknya, Islam telah mengenalnya terlebih dahulu, lebih kurang 1316 sebelumnya. Oleh karena itu, umat Islam tidak perlu merasa asing dan ketinggalan dengan HAM yang ada saat ini. Sebab, sejatinya Islam sudah mengenal HAM sejak ribuan tahun yang lalu.

Sebelum momentum hijrah ke Madinah (nama sebelumnya Yasrib), telah banyak di antara penduduk kota ini memeluk Islam. Penduduk Madinah pada mulanya terdiri dari suku-suku bangsa Arab dan bangsa Yahudi yang saling berhubungan dengan baik. Dari bangsa Yahudi tersebut suku-suku bangsa Arab sedikit banyak mengenal Tuhan, agama Ibrahim, dan sebagainya. Dasar konsep keimanan ini pada kelanjutannya turut memudahkan mereka menerima ajaran Islam. 

Kedatangan Nabi Muhammad SAW bersama kaum muslimin Makkah disambut penduduk Madinah dengan gembira dan penuh rasa persaudaraan. Kaum muslimin mendapat lingkungan baru yang bebas dari ancaman kaum Quraisy Makkah. Akan tetapi, lingkungan baru tersebut ternyata bukanlah lingkungan yang sepenuhnya kondusif dan tidak memiliki masalah.

Secara umum, masalah dasar yang dihadapi pada momentum hijrah ke  Madinah dan setelahnya adalah perbedaan latar sosial dan tantangan penghidupan Muhajirin dan Anshar, serta problem perbedaan identitas keberagamaan di dalamnya.  Kaum Anshar memang dengan ikhlas menerima kaum Muhajirin, namun penghidupan kaum Muhajirin juga patut dikelola agar tidak menjadi beban kaum Anshar. Nabi Muhammad SAW sendiripun memerlukan tempat tinggal yang sekaligus berfungsi sebagai pusat kegiatan bersama, dalam rangka membimbing masyarakat baru di Madinah.

Nabi Muhammad SAW dan kaum Muhajirin juga menghadapi kenyataan dan tantangan baru dengan hijrah ke Madinah, yakni kenyataan untuk hidup berdampingan bersama masyarakat suku bangsa Arab yang belum masuk Islam dan kaum Yahudi yang sudah menjadi penduduk Madinah. Mereka ini, lebih-lebih kaum Yahudi, tentunya tidak merasa senang dengan terbentuknya masyarakat baru kaum muslimin. Dengan potensi disintegratif demikian, ancaman kaum Quraisy Makkah yang sewaktu-waktu dapat datang menyerbu, merupakan kenyataan lainnya yang tidak dapat diabaikan.

Menghadapi perbedaan identitas sosial kaum Muhajirin dan Anshar, Muhammad SAW memberikan solusi moderatisme yang tepat dan jitu. Muhammad SAW berusaha menyatukan potensi dan kekuatan yang ada dengan semangat menyusun suatu masyarakat baru sebagai kesatuan sosial dan politik yang terus berkembang untuk menghadapi segenap tantangan dan rintangan yang berasal dari dalam dan luar.

Jalan moderatisme Muhammad SAW jelas tidak pernah mudah. Kaum Anshar dan kaum Muhajirin disatukan dari latar yang berbeda secara geografis, keimanan, dan adat istiadat. Sebelum bersatu membentuk masyarakat Islam baru di Madinah, kaum muhajirin adalah suku bangsa yang terbiasa dan kerap berselisih. Hijrah ke Madinah, mereka berhadapan dengan masyarakat Madinah lainnya yang belum memeluk agama Islam dan bangsa Yahudi yang merupakan masyarakat lebih awal menetap. Bukan tidak mungkin, orang-orang Yahudi tersebut berusaha untuk merintangi, bahkan menghancurkan pembentukan masyarakat baru kaum muslimin.

Begitu pula dengan kaum lainnya, yaitu kaum musyrikin Makkah yang merupakan ancaman yang harus selalu dihadapi dengan kewaspadaan penuh. Adalah sangat mungkin jika kaum musyrikin Makkah bekerja sama dengan kaum musyrikin Madinah, atau dengan orang-orang Yahudi, bahkan dengan kabilah-kabilah lain di sekitar Madinah, dalam usaha menghancurkan umat Islam yang baru dibentuk itu.

Atas segala kerumitan relasi dan potensi perpecahan sosial tersebut, Nabi Muhammad SAW menulis sebuah perjanjian untuk membangun dan mengikat perpaduan antara kaum Muhajirin dan Anshar. Kaum Yahudi Madinah (dari suku Aus dan Khazraj) juga turut menandatanganinya. Nabi Muhammad SAW menyetujui untuk menghormati agama dan harta mereka menurut persyaratan yang disepakati bersama. Selain itu, dokumen tersebut berisi kesepakatan untuk menghormati prinsip-prinsip nilai kebebasan, ketertiban, dan keadilan dalam kehidupan. 

Kelak, perjanjian ini seterusnya lebih masyhur dikatakan sebagai Piagam Madinah. Dengan cara ini, Yatsrib dan sekitarnya dinyatakan sebagai zona perdamaian serta merupakan tempat suci.

Praksis Toleransi

Toleransi yang diwujudkan dalam sikap berdiri di atas keadilan dan kebaikan tersebut oleh Nabi Muhammad SAW ditunjukkannya ketika berinteraksi dengan non-muslim yang berdamai dan tidak melakukan permusuhan. Imam Al-Bukhori dan Muslim meriwayatkan dari Asma binti Abi Bakar bahwa ibunya yang musyrik pernah datang kepadanya. Lalu dia meminta fatwa kepada Rasulullah. Asma bertanya, "Ibuku datang kepadaku dan dia ingin agar aku berbuat baik kepadanya. Apakah aku harus berbuat baik kepadanya?" Rasulullah menjawab, "Ya, berbuat baiklah kepadanya."

Sikap toleran Muhammad SAW tersebut semakin jelas terlihat ketika beliau memperlakukan Ahli Kitab, baik Yahudi ataupun Nasrani. Beliau sering mengunjungi mereka. Beliau juga menghormati dan memuliakan mereka. Jika ada di antara mereka yang sakit, beliau menjenguknya. Beliau pun menerima hadiah mereka dan memberi hadiah kepada mereka. 

Dalam sirahnya, Ibnu Ishaq menyebutkan, "Ketika rombongan kaum Nasrani Bani Najran datang kepada Rasulallah SAW di Madinah, mereka menemui beliau di dalam masjid selepas salat Asar. Mereka masuk masjid dan salat di sana. Orang-orang pun hendak melarang mereka, namun Nabi berkata, biarkan mereka. Lalu mereka pun salat dengan menghadap ke arah Timur." 

Atas kejadian tersebut, Ibnul Qayyim memberikan sebuah komentar yang mengandung muatan fikih. Dia menulis, "Ahli Kitab boleh memasuki masjid dan melaksanakan salat di masjid di hadapan umat Islam, dengan syarat hal tersebut dilakukan jika ada sesuatu sebab dan tidak menjadi kebiasaan.” 

Di dalam Al-Amwal Abu Ubaid menyebutkan sebuah riwayat dari Said bin Al-Musayyib, bahwa Rasulullah SAW pernah mengeluarkan shadaqah kepada keluarga orang Yahudi. Al-Bukhori meriwayatkan dari Anas, bahwa Nabi pernah menjenguk orang Yahudi. Lalu beliau mengajaknya untuk masuk Islam hingga dia masuk Islam. Setelah itu, beliau keluar dan bersabda, "Segala puji bagi Allah yang dengan perantaraku telah menyelamatkan dia dari api neraka." 

Dalam hadits lain, Al-Bukhori meriwayatkan, ketika Rasulullah SAW wafat, baju perangnya masih digadaikan kepada orang Yahudi untuk memberi nafkah keluarganya. Padahal, beliau bisa meminjam kepada para sahabat. Namun ini tidak berarti bahwa para sahabat kikir kepada beliau. Beliau hanya ingin memberikan pelajaran kepada umatnya, bahwa beliau menerima hadiah dari non-muslim, selama mereka tidak berbuat jahat dan makar, dalam keadaan damai maupun perang. 

Contoh lainnya, suatu hari jenazah seorang Yahudi lewat di depan Nabi. Lalu beliau berdiri. Para sahabat berkata, "Itu adalah jenazah Yahudi!," beliau menjawab, "Bukankah dia juga manusia?" Ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah seorang moderat, sangat menghargai semua orang walaupun berbeda suku, ras, dan agama. 

Penekanan Nabi Muhammad SAW terhadap toleransi dalam Piagam Madinah dan berbagai praktik baik tersebut mencerminkan upayanya untuk mewujudkan kedamaian dan ketenteraman masyarakat dengan segala perbedaannya. Sikap toleran mendorong sikap kasih sayang terhadap sesama umat manusia, pun sesama agama, juga mereka yang berbeda agama. 

Tentu saja, pandangan moderat Nabi Muhammad SAW diuji oleh sikap perlawanan, fitnah, dan cemoohan pihak yang tidak bersetuju. Namun demikian, terhadap semua tindakan negatif tersebut, Rasulullah Muhammad SAW tetap bersikap lemah lembut. Sikap demikian menimbulkan simpati dan keinginan golongan non muslim untuk memasuki Islam. Selain itu, sifat Rasulullah ini dapat membuat golongan non-muslim yang ada di Madinah mendengarkan seruan-seruan kebaikan dan perdamaian yang disampaikannya. Wallahu a'lam bis-shawab

Dr. Biltiser Bachtiar, Lc, MA (Pengembang Teknologi Pembelajaran Direktorat PAI Kemenag RI)

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA