Pesantren tidak dapat dilepaskan dari inspirasi yang diperoleh melalui ajaran yang dibawa oleh

BAB I

PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

Pada abad millenium saat ini, pendidikan di Indonesia berkembang sangat pesat. Dari mulai pendidikan yang berbasis murni ilmu pengetahuan, hingga pendidikan yang berbasis murni agama. Masyarakat telah menikmati fasilitas berbagai bidang pendidikan ini guna memperkaya akan kebutuhan ilmu pengetahuan, serta mendedikasikan diri menjadi insan yang berwawasan luas. Sebagai masyarakat yang baik, kita tidak cukup hanya puas dengan pendidikan yang telah kita dapatkan selama ini. Kita harus mengetahui pula bagaimana sejarahnya pendidikan dapat berkembang pesat hingga saat ini. Apakah berjalan lancar atau banyak hambatan.

Jika berbicara tentang masalah pendidikan, pendidikan di Indonesia diwarnai oleh pendidikan yang berbasis agama, atau yang biasa kita kenal dengan pondok pesantren (ponpes). Di era globalisasi yang telah merasuk di Negara ini, pondok pesantren menjadi salah satu pendidikan yang patut dijadikan pembahasan. Kita tilik bahwasannya pondok pesantren saat ini lebih populer dikenal dengan nama “pondok modern”. Pondok pesantren saat ini terasa modern dikarenakan pendidikan yang digunakan tidak semata-mata murni pendidikan agama, melainkan ilmu pengetahuan umum telah banyak diikutsertakan dalam pendidikan pondok pesantren.

Setelah kita mengetahui bahwa pondok pesantren saat ini dikenal dengan “pondok modern”, kita harus mengetahui pula bagaimana sejarah pondok pesantren itu sendiri, apakah banyak mengalami perkembangan atau stagnan. Karena sangat penting kita tahu sejarahnya, agar kita tidak memandang sebelah mata pendidikan pondok pesantren seperti halnya pandangan masyarakat saat ini. Oleh karena itu, penulis mengangkat permasalahan tersebut di atas, dengan judul makalah “Sejarah Berdiri dan Perkembangan Pondok Pesantren” dan akan diuraikan dalam bab pembahasan.

B.     RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, rumusan masalah yang akan dibahas, yaitu :

1.      Bagaimana awal mula berdirinya pondok pesantren di Indonesia ?

2.      Bagaimana perkembangan pondok pesantren prakemerdekaan hingga abad ke-21?

3.      Apa tujuan adanya pendidikan pesantren?

4.      Apa saja unsur-unsur pendidikan pesantren?

5.      Apa saja model-model pendidikan pesantren?

6.      Bagaimana analisis terhadap perkembangan pesantren?

BAB II

PEMBAHASAN

1.      Awal Mula Berdirinya Pondok Pesantren (PonPes)

Pesantren sebagai pusat penyebaran agama Islam lahir dan berkembang semenjak masa-masa permulaan kedatangan agama Islam di negeri kita. Asal-usul pesantren tidak dapat dipisahkan dari sejarah dan pengaruh Walisongo abad 15-16 di Jawa. Lembaga pendidikan ini telah berkembang khususnya di Jawa selama berabad-abad. Maulana Malik Ibrahim, Spiritual Father Walisongo, dalam masyarakat santri Jawa biasanya dipandang sebagai guru-gurunya tradisi pesantren di tanah Jawa.

Keterangan-keterangan sejarah yang berkembang dari mulut ke mulut (oral history) memberikan indikasi yang kuat bahwa pondok pesantren tertua, baik di Jawa maupun luar Jawa, tidak dapat dilepaskan dari inspirasi yang diperoleh melalui ajaran yang dibawa para Walisongo. Para Wali Songo tidak begitu kesulitan untuk mendirikan pesantren karena telah ada sebelumnya Institusi Pendidikan Hindu-Budha dengan sistem biara dan asrama sebagai tempat belajar mengajar bagi para bikshu dan pendeta di Indonesia.

Alwi Shihab menegaskan bahwa Syaikh Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik merupakan orang pertama yang membangun pesantren sebagai tempat mendidik dan menggembleng para santri. Tujuannya, agar para santri menjadi juru dakwah yang mahir sebelum mereka diterjunkan langsung di masyarakat luas.

Terdapat kesepakatan diantara ahli sejarah Islam  yang menyatakan bahwa  pendiri pesantren pertama adalah dari kalangan Walisongo, namun terdapat perbedaan pendapat mengenai siapa dari mereka yang pertama kali mendirikannya. Ada yang mengganggap bahwa Maulana Malik Ibrahim-lah pendiri pesantren pertama, adapula yang menganggap Sunan Ampel, bahkan ada pula yang menyatakan pendiri pesantren pertama adalah Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah. Akan tetapi pendapat terkuat adalah pendapat pertama. Karena pendirian pesantren pada periode awal ini terdapat di daerah-daerah sepanjang pantai utara Jawa, seperti Giri (Gresik), Ampel Denta (Surabaya), Bonang (Tuban), Kudus, Lasem, Cirebon, dan sebagainya.

2.      Perkembangan Pondok Pesantren Prakemerdekaan hingga Abad Ke-21

Satu abad setelah masa Walisongo, abad 17, pengaruh Walisongo diperkuat oleh Sultan Agung yang memerintah Mataram dari tahun 1613-1645. Sultan Agung merupakan penguasa terbesar di Jawa, yang juga terkenal sebagai Sultan Abdurrahman dan Khalifatullah Sayyidin Panotogomo ing Tanah Jawi, yang berarti Khalifatullah pemimpin dan penegak agama di tanah Jawa. Dia memproklamirkan kalender Islam di Jawa. Dengan system kalender baru ini, nama-nama bulan dan hari Hijriyyah seperti Muharram dan Ahad dengan mudah menjadi ucapan sehari-hari lisan Jawa.

Pada tahun 1641, Sultan Agung memperoleh gelar baru “Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarani” dari Syarrif Mekkah setelah Sultan Agung mengirim utusan ke Mekkah untuk memohon anugrah title tersebut tahun 1639. Agaknya Mekkah telah lama memainkan peran penting dalam memperkuat legitimasi politik, keagamaan, serta orientasi pendidikan dunia Islam. Sultan Agung menawarkan tanah perdikan bagi kaum santri serta memberi iklim sehat bagi kehidupan intelektualisme keagamaan hingga komunitas ini berhasil mengembangkan lembaga pendidikan mereka tidak kurang dari 300 pesantren.

Pada masa penjajahan Belanda, pesantren mengalami ujian dan cobaan dari Allah, pesantren harus berhadapan dengan dengan Belanda yang sangat membatasi ruang gerak pesantren, dikarenakan kekhawatiran Belanda akan hilangnya kekuasaan mereka. Sejak perjanjian Giyanti, pendidikan dan perkembangan pesantren dibatasi oleh Belanda. Belanda bahkan menetapkan resolusi pada tahun 1825 yang membatasi jumlah jama’ah haji. Selain itu, Belanda juga membatasi kontak atau hubungan orang Islam Indonesia dengan negara-negara Islam yang lain. Hal-hal ini akhirnya membuat pertumbuhan dan pekembangan Islam menjadi tersendat.

Sebagai respon atas penindasan Belanda, kaum santri pun mengadakan perlawanan. Menurut Clifford Geertz, antara 1820-1880, telah terjadi pemberontakan besar kaum santri di Indonesia, yaitu pemberontakan kaum Paderi di Sumatra dipimpin oleh Imam Bonjol, pemberontakan Diponegoro di Jawa, pemberontakan Banten akibat aksi tanam paksa yang dilakukan Belanda, pemberontakan di Aceh yang dipimpin antara lain oleh Teuku Umar dan Teuku Ciktidiro.

Pada masa penjajahan Jepang untuk menyatukan langkah, visi dan misi demi meraih tujuan, organisasi-organisasi tertentu melebur menjadi satu dengan nama Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Pada masa Jepang ini pula kita saksikan perjuangan K.H. Hasyim Asy’ari beserta kalangan santri menentang kebijakan kufur Jepang yang memerintahkan setiap orang pada pukul tujuh pagi untuk menghadap arah Tokyo menghormati kaisar Jepang yang dianggap keturunan dewa matahari sehingga beliau ditangkap dan dipenjara delapan bulan.

Pada masa awal-awal kemerdekaan kalangan santri turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. K.H. Hasyim Asy’ari pada waktu itu mengeluarkan fatwa, wajib hukumnya mempertahankan kemerdekaan. Fatwa tersebut disambut positif  oleh umat Islam sehingga membuat arek-arek Surabaya dengan Bung Tomo sebagai komando, dengan semboyan “Allahhu Akbar!! Merdeka atau mati” tidak gentar menghadapi Inggris dengan segala persenjataanya pada tanggal 10 November. Diperkirakan sepuluh ribu orang tewas pada waktu itu. Namun hasilnya, Inggris gagal menduduki Surabaya.

 Setelah perang kemerdekaan, pesantren mengalami ujian kembali dikarenakan pemerintahan sekuler Soekarno melakukan penyeragaman atau pemusatan pendidikan nasional yang tentu saja masih menganut sistem barat ala Snouck Hurgronje. Akibatnya pengaruh pesantren pun mulai menurun, jumlah pesantren berkurang, hanya pesantren besar yang mampu bertahan. Hal ini dikarenakan pemerintah mengembangkan sekolah umum sebanyak-banyaknya. Berbeda pada masa Belanda yang terkhusus untuk kalangan tertentu saja dan disamping itu jabatan-jabatan dalam administrasi modern hanya terbuka luas bagi orang-orang bersekolah di sekolah tersebut.

Pada masa Soekarno pula, pesantren harus berhadapan dengan kaum komunis. Banyak sekali pertikaian di tingkat bawah yang melibatkan kalangan santri dan kaum komunis. Sampai pada puncaknya setelah peristiwa G30S/PKI, kalangan santri bersama TNI dan segenap komponen yang menentang komunisme memberangus habis komunisme di Indonesia. Diperkirakan  lima ratus ribu nyawa komunis melayang akibat peristiwa ini. Peristiwa ini bisa dibilang merupakan peristiwa paling berdarah di republik ini, namun hasilnya komunisme akhirnya lenyap dari Indonesia.

Biarpun begitu, dengan jasa yang demikian besarnya, pemerintahan Soeharto seolah tidak mengakui jasa pesantren. Soeharto masih meneruskan lakon pendahulunya yang tidak mengakui pendidikan ala pesantren. Kalangan santri dianggap manusia kelas dua yang tidak dapat melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi dan tidak bisa diterima menjadi pegawai-pegawai pemerintah. Agaknya, hal ini memang sengaja direncanakan secara sistematis untuk menjauhkan orang-orang Islam dari struktur pemerintahan guna melanggengkan ideologi sekuler.

 Namun demikian, pesantren pada kedua orde tersebut tetap mampu mencetak orang-orang hebat yang menjadi orang-orang penting di negara kita seperti, K.H. Wahid Hasyim, M. Nastir, Buya Hamka, Mukti Ali, K.H. Saifuddin Zuhri, dl

Pada dekade pertama abad 20 ditandai dengan munculnya “anak pesantren” yang berupa lembaga pendidikan madrasah. Lembaga ini tumbuh menjamur pada dekade pertama dan kedua dalam rangka merespons sistem klasikal yang dilancarkan pemerintah Belanda sebelumnya. Meskipun ada beberapa perbedaan antara pesantren dan madrasah, tapi hubungan historis, kultural, moral, ideologis antara keduanya tidak dapat dipisahkan.

Populasi pondok pesantren ini semakin bertambah dari tahun ke tahun, baik pondok pesantren tipe salafiyah maupun khalafiyah yang kini tersebar di penjuru tanah air. Pesatnya pertumbuhan pesantren ini akan sekan mendorong pemerintah untuk melembagakannya secara khusus. Sehingga keluarlah surat  keputusan Menteri Agama Republik Indonesia nomor 18 tahun 1975 tentang susunan organisasi dan tata kerja Departemen agama yang kemudian diubah dan disempurnakan dengan keputusan Menteri Agama RI nomor 1 tahun 2001. Dengan keluarnya surat keputusan tersebut, maka pendidikan pesantren dewasa ini telah mendapatkan perhatian yang sama dari pemerintah terutama Departemen Agama. Data yang diperoleh dari kantor Dinas Pendidikan, Departemen Agama serta Pemerintahan Daerah, sebagaian besar anak putus sekolah, tamatan sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah, mereka tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, namun mereka tersebar di pondok pesantren dalam jumlah yang relatif banyak.

Kondisi pondok pesantren yang demikian akhirnya direspons oleh pemerintah. Sehingga lahirlah kesepakatan bersama antara departemen Agama dan departemen Pendidikan dengan nomor 1/U/KB/2000 dan MA/86/2000 tentang pedoman pelaksanaan pondok pesantren salafiyah sebagai pola pendidikan dasar. Secara eskplisit, untuk operasionalnya, setahun kemudian keluar surat keputusan Direktur Jendral Kelembagaan Agama Islam, nomor E/239/2001 tentang panduan teknis penyelenggaraan program wajib belajar pendidikan dasar pada pondok pesantren salafiyah. Lahirnya UU nomor 02 tahun 1989, yang disempurnakan menjadi UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pada pasal 30 ayat 1 sampai ayat 4 disebutkan pendidikan keagamaan, pondok pesantren termasuk bagian dari sistem pendidikan nasional.

3.      Tujuan Pendidikan Pesantren

Pesantren sebagai lembaga pendidikan tidak memiliki formulasi tujuan yang jelas, baik dalam tataran institusional, kurikuler maupun instruksional umum dan khusus. Tujuan yang dimilikinya hanya ada dalam angan-angan. Mastuhu melaporkan bahwa tidak pernah dijumpai perumusan tujuan pendidikan pesantren yang jelas dan standar yang berlaku umum bagi pesantren. Pokok persoalannya bukan karena ketiadaan tujuan, melainkan tidak tertulisnya tujuan. Perkiraan mungkin hanya didasarkan pengamatan dari sudut pandang parsial bukan holistik, sehingga tujuan yang dirumuskan belum merefleksikan realitas sebenarnya atau hanya menunjuk pada rincian yang global.

Hiroko Horikoshi melihat dari segi otonominya, maka tujuan pesantren menurutnya adalah untuk melatih para santri memiliki kemampuan mandiri. Sedang Manfred Ziemek tertarik melihat sudut keterpaduan aspek perilaku dan intelektual. Tujuan pesantren menurutnya adalah membentuk kepribadian, memantapkan akhlak dan melengkapinya dengan pengetahuan.

Sedangkan menurut Mastuhu tujuan pendidikan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian Muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat atau berkhidmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau abdi masyarakat tetapi rasul, yaitu menjadi pelayan masyarakat sebagaimana kepribadian Nabi Muhammad (mengikuti Sunnah Nabi), mampu berdiri sendiri, bebas, dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat di tengah-tengah masyarakat dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian manusia.

4.      Unsur-Unsur Pesantren

Pesantren memiliki unsur-unsur minimal, yaitu :

a.       Kiai yang mendidik dan mengajar.

b.      Santri yang belajar.

c.       Masjid

Tiga unsur ini mewarnai pesantren pada awal berdirinya atau bagi pesantren-pesantren kecil yang belum mampu mengembangkan fasilitasnya. Unsur pesantren dalam bentuk segitiga tersebut mendeskripsikan kegiatan belajar-mengajar keislaman yang sederhana. Kemudian pesantren mengembangkan fasilitas-fasilitas belajarnya sebab tuntutan perubahan system pendidikan sangat mendesak serta bertambahnya santri yang belajar dari kabupaten atau propinsi lain yang membutuhkan tempat tinggal. Maka unsur-unsur pesantren bertambah banyak. Para pengamat mencatat ada lima unsur, yaitu Kiai, santri, masjid, pondok, dan pengajian. Ada yang tidak menyebut unsur pengajian, tetapi menggantinya dengan unsur ruang belajar, aula, atau bangunan-bangunan lain.

Kiai disamping pendidik dan pengajar, juga pemegang kendali manajerial pesantren. Bentuk pesantren yang bermacam-macam adalah pantulan kecenderungan Kiai. Kiai memiliki sebutan yang berbeda-beda tergantung daerah tempat tinggalnya. Kiai disebut alim bila ia benar-benar memahami, mengamalkan dan memfatwakan kitab kuning. Kiai demikian ini menjadi panutan bagi santri pesantren, bahkan bagi masyarakat Islam secara luas. Mohammad Tholchah Hasan melihat Kiai dari empat sisi yakni kepemimpinan ilmiah, spiritualitas, sosial, dan administrasinya.

Santri merupakan peserta didik atau objek pendidikan, tetapi di beberapa pesantren, santri yang memiliki kelebihan potensi intelektual (santri senior) sekaligus merangkap tugas mengajar santri-santri yunior. Sikap santri sekarang ini ada dua macam, yaitu :

a.       Sikap taat dan patuh yang sangat tinggi kepada kiainya, tanpa pernah membantah. Sikap ini dimiliki santri dan lulusan pesantren an sich.

b.      Sikap taat dan petuh sekedarnya. Sikap ini ada pada santri yang memperoleh pendidikan umum.

Masjid memiliki fungsi ganda, selain tempat shalat dan ibadah lainnya juga tempat pengajian terutama yang masih memakai metode sorogan dan wetonan (bandongan). Menurut Abdurrahman Wahid, masjid sebagai tempat mendidik dan menggembleng santri agar lepas dari hawa nafsu.

Asrama sebagai tempat penginapan santri, dan difungsikan untuk mengulang kembali pelajaran yang telah disampaikan kiai atau ustadz, dan pengajian umumnya mengkaji kitab-kitab Islam klasik kecuali pada pesantren modern tertentu. Sedang aula dan bangunan lain merupakan upaya pengembangan fasilitas yang dimanfaatkan untuk pertemuan ilmiah yang membutuhkan ruangan besar dan luas, atau untuk pementasan.

5.      Model-Model Pesantren

Pada awal abad kedua puluhan ini, unsur baru berupa sistem pendidikan klasikal mulai memasuki pesantren. Sejalan dengan  perkembangan dan perubahan bentuk pesantren, Menteri Agama RI mengeluarkan peraturan nomor 3 tahun 1979, yang mengklasifikasikan pondok pesantren sebagai berikut :

a.       Pondok Pesantren tipe A, yaitu dimana para santri belajar dan bertempat tinggal di asrama lingkungan pondok pesantren dengan pengajaran yang berlangsung secara tradisional (sistem wetonan atau sorogan).

b.      Pondok Pesantren tipe B, yaitu yang menyelenggarakan pengajaran secara klasikal dan pengajaran oleh Kyai bersifat aplikasi, diberikan pada waktu-waktu tertentu. Santri tinggal di asrama lingkungan pondok pesantren.

c.       Pondok Pesantren tipe C, yaitu pondok pesantren hanya merupakan asrama sedangkan para santrinya belajar di luar (di madrasah atau sekolah umum lainnya), Kyai hanya mengawasi dan sebagai pembina para santri tersebut.

d.      Pondok Pesantren tipe D, yaitu yang menyelenggarakan sistem pondok pesantren dan sekaligus sistem sekolah atau madrasah.

Dari sekian banyak tipe pondok pesantren, dalam menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran bagai para santrinya, secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam dua bentuk pondok pesantren:

a.       Pondok Pesantren Salafiyah, yaitu yang menyelenggarakan pengajaran Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama Islam, serta kegiatan pendidikan dan pengajarannya sebagaimana yang berlangsung sejak awal pertumbuhannya.

b.      Pondok Pesantren Khalafiyah, yaitu pondok pesantren yang selain menyelenggarakan kegiatan pendidikan kepesantrenan, juga menyelenggarakan kegiatan pendidikan formal (sekolah atau madrasah).

6.      Analisis Terhadap Perkembangan Pesantren

Setelah kita mengetahui bagaimana sejarah panjang berdiri serta perkembangan pondok pesantren, kita masih perlu menganalisa agar kita mendapatkan pemahaman yang lebih mengenai seluk beluk pondok pesantren. Dari beberapa versi pendapat, kita dapat mengikuti atau mendukung versi pendapat yang terkuat. Bahwasanya Walisongo yang berperan sangat besar bagi berkembangnya pondok pesantren. Hambatan pasti dilalui oleh ke-9 para Wali tersebut. Tetapi dengan semangat dakwah yang mereka tanam dalam benak mereka, kita dapat melihat buah dari semangat mereka. Sultan Agung yang juga berperan penting bagi perkembangan pondok pesantren harus kita akui jasanya. Berkat beliau pula, pondok pesantren dapat menyebar dengan luas.

Pada masa penjajahan, pondok pesantren mengalami masa keterpurukannya. Dimana ruang geraknya untuk berkembang dan menjalankan segala aktivitasnya dengan maksimal terbelenggu. Tetapi kita perlu mengapresiasi akan keberanian pihak-pihak pondok pesantren, khususnya para santri. Dengan berbagai pergolakan-pergolakan yang dibentuk, dengan tujuan untuk mengembalikan hak-hak rakyat dan untuk menghapus penjajahan, kita tidak boleh begitu saja melupakannya. Kita bisa lihat bahwa bagaimana pondok pesantren saat ini dengan sesuka hati melakukan berbagai aktivitas pesantren.

Di era reformasi hingga sekarang, kita juga harus mengapresiasi kinerja pemerintah, bahwasannya pemerintah telah mendukung sepenuhnya bagi pendidikan pesantren di Indonesia. Dimana ruang gerak pondok pesantren tidak dibatasi, dan bahkan telah berkembang menjadi pondok pesantren yang modern, dengan memberikan porsi yang seimbang antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum.           

BAB III

PENUTUP

A.    KESIMPULAN

Pesantren sebagai pusat penyebaran agama Islam lahir dan berkembang semenjak masa-masa permulaan kedatangan agama Islam di negeri kita. Asal-usul pesantren tidak dapat dipisahkan dari sejarah dan pengaruh Walisongo abad 15-16 di Jawa. Satu abad setelah masa Walisongo, abad 17, pengaruh Walisongo diperkuat oleh Sultan Agung yang memerintah Mataram dari tahun 1613-1645. Pada masa penjajahan Belanda, pesantren mengalami ujian dan cobaan dari Allah, pesantren harus berhadapan dengan dengan Belanda yang sangat membatasi ruang gerak pesantren, dikarenakan kekhawatiran Belanda akan hilangnya kekuasaan mereka. Pada masa penjajahan Jepang untuk menyatukan langkah, visi dan misi demi meraih tujuan, organisasi-organisasi tertentu melebur menjadi satu dengan nama Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Pada masa Jepang ini pula kita saksikan perjuangan K.H. Hasyim Asy’ari beserta kalangan santri menentang kebijakan kufur Jepang. Pada masa awal-awal kemerdekaan kalangan santri turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pesantren mengalami ujian kembali dikarenakan pemerintahan sekuler Soekarno melakukan penyeragaman atau pemusatan pendidikan nasional yang tentu saja masih menganut sistem barat ala Snouck Hurgronje.

Tujuan pendidikan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian Muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat atau berkhidmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau abdi masyarakat. Para pengamat mencatat ada lima unsur, yaitu Kiai, santri, masjid, pondok, dan pengajian. Pada awal abad kedua puluhan ini, unsur baru berupa sistem pendidikan klasikal mulai memasuki pesantren. Sejalan dengan  perkembangan dan perubahan bentuk pesantren, Menteri Agama RI mengeluarkan peraturan nomor 3 tahun 1979. Dari sekian banyak tipe pondok pesantren, dalam menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran bagai para santrinya, secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam dua bentuk pondok pesantren, salafiyah dan khalafiyah.

B.     SARAN

Demikian makalah yang penulis buat, semoga dengan adanya makalah ini dapat menambah ilmu pengetahuan kita dalam mengenal sejarah pondok pesantren. Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan baik dari segi tulisan maupun referensi yang menjadi bahan rujukan. Untuk itu penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran yang diberikan, guna penyempurnaan makalah penulis berikutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Zuhri, Saifuddin, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, (Bandung : Al-Ma’arif Bandung, 1979).

Page 2

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA