Pertanyaan tentang hadits pada masa sahabat brainly

ALIFAH NURUL FA-19105051001/ILHA A)


Hadis adalah sesuatu yang berasal dari Rasulullah SAW yang berupa Qouly (Ucapan), Fi’ly (Perbuatan), Taqrir (Ketetapan), Hammiyah (Keinginan atau Hasrat), dan Siffah (Sifat).

Memahami hadis adalah sesuatu pekerjaan yang rumit karena dibutuhkan analisis yang cermat bagaimana bisa memahami makna tekstual dan kontekstualnya atau apa yang dimaksudkan dari hadis tersebut, Baik itu perkataan atau perbuatan atau ketetapan yag dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW.

Upaya bagi umat Islam awal (zaman sahabat) ini tidak menemui banyak kendala, karena mereka hidup sezaman dengan Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, jika terdapat per masalahan yang terkait dengan agama, khususnya dalam hal muamalah, di samping relatif kompleksnya masalah dunia, mereka dapat segera menanyakan langsung kepada Nabi Muhammad SAW dan mendapatkan solusi atas permasalahan tersebut, sehingga masalah yang mereka hadapi jauh lebih sederhana daripada masalah modern atau zaman sekarang ini.

Hal yang sama terjadi pada generasi Tabi’in, mereka hidup tidak jauh dari zaman Nabi setelah masa sahabat, hanya saja masih banyak peninggalan yang diwariskan oleh Rasulullah dan para sahabat.

Berbeda dengan umat Muslim sekarang yang hidup di zaman modernis atau milenial ini, telah banyak bermunculan berbagai persoalan yang pelik, sehingga diperlukannya identifikasi jawaban atas persoalan tersebut. Karena kompleksitasnya, wilayah hadis berada di urutan kedua setelah Al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran umat islam, karena banyak hal yang tidak dapat dijangkau oleh hadis . Kondisi di atas sungguh menantang umat Islam modern, oleh karena itu, banyak ahli di dunia modern yang berusaha menghidupkan kembali semangat pengkajian Hadis melalui cara-cara terkini yang biasa disebut dengan aliran "Kontekstual" yang berfungsi sebagai penyeimbang dan melengkapi penalaran tekstual.
Kata kontekstual diekstrak dari kata konteks. Kata konteks mengacu pada deskripsi atau kalimat yang mendukung atau menambah artinya, atau terkait dengan peristiwa atau keadaan sekitarnya.

Dalam hal ini kontekstual dibahasakan sebagai penjelas untuk memahami hadis, yang dapat berupa qouly (perkataan), fi’ly (perbuatan), taqrir ( ketetapan) atau segala sesuatu yang disandaran kepada Nabi Muhammad SAW berdasarkan keadaan saat hadits itu muncul.

Sedangkan ada juga aliran “Tekstual” yakni dengan menekankan pembahasan dari perspektif gramatikal bahasa atau linguistik, hal ini merupakan cara memahami hadits yang cenderung berfokus pada kesesuaian makna yang terdapat dalam teks Hadis, dipahami secara saklek. Hematnya, pemikiran ulama-terdahulu dapat dipahami sebagai sesuatu yang mutlak.

Tekstual berasal dari KBBI, kata “teks” tersebut mengandung banyak arti sebagai berikut ini: a. “Kata-kata asli yang tertulis.” b. “Mengutip tulisan dari Kitab Suci” c. “Materi tertulis untuk pengetahuan dasar pada pelajaran, ceramah, dll”

(//kbbi.kemdikbud.go.id/entri/TEKS )

Menurut pengertian diatas dapat dikatakan bahwa dalam memahami hadis secara tekstual berarti memahami hadis berdasarkan makna atau arti secara eksternal, asli atau linguistik. Artinya semua yang tertulis dalam redaksi hadis (matan) dipahami sesuai dengan makna bahasanya, sehingga pembaca dapat langsung memahaminya. Masyarakat hanya dapat menangkap makna atau arti dan ruang lingkup pesan yang disampaikan oleh hadis tersebut dengan membaca teks atau kata yang terdapat di dalam hadis tersebut. Karena makna tersebut lebih familiar dalam kehidupan masyarakat.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa memahami hadis dengan cara tersebut, dapat digolongkan sebagai salah satu cara yang paling mudah atau sederhana dan paling mendasar dalam memahami hadis. Karena hanya dengan membaca lafadz hadis tersebut dan memahami makna bahasanya maka masyarakat bisa mendapatkan pengertian dan maksud dari hadis tersebut.

Jika dikelompokkan menurut redaksi matannya, maka hal tersebut dapat dipahami dengan ungkapan yang relatif singkat namun padat makna atau kokoh. Dalam sebuah hadis dijelaskan bahwa “perang adalah siasat, taktik, atau tipu daya” sebagai berikut:

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ بُورُ بْنُ أَصْرَمَ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَرْبَ خَدْعَةً

Artinya: "Abu Bakar bin Ashram telah bercerita kepada kami, ‘Abdullah telah memberi kabar kepada kami, Ma’mar telah mengabarkan kepada kami dari Hammam bin Munabbih dari Abu Hurairah Ra, Rasulullah Saw. berkata: ”Perang itu adalah tipu daya". (HR. Bukhori No. 2804) (//carihadis.com/Shahih_Bukhari/2804)

Pemahaman pada hadis ini sejalan dengan makna teksnya, yaitu taktik harus digunakan dalam setiap perang. Peraturan ini umumnya berlaku dan tidak dibatasi oleh lingkup ruang atau waktu tertentu. Perang dengan cara apa pun membutuhkan taktik. Perang tanpa adanya taktik seperti dengan menyerah tanpa syarat kepada musuh. Dengan demikian hadis tersebut dapat dipahami secara tekstual karena mengandung makna yang sesuai dengan teks hadisnya.

Namun perlu diketahui bahwasannya memahami hadis secara tekstual itu tidak boleh sendirinya secara tekstual, harus tetap memperhatikan redaksi hadis tersebut, ketika bisa dipahami secara tektual saja, maka sudah cukup secara tekstual, tapi jika memang mengharuskan secara kontekstual maka harus disertakan kontekstual tersebut, karena terkadang ada teks-teks hadis yang ketika dipahami secara tekstualnya saja akan membelokkan makna atau tidak sesuai dengan makna yang mungkin dimaksudkan, sehingga tidak akan terjadi kesalahpahaman dalam menafsirkan makna hadis tersebut. Wallahu A’lam.

Reference : Nafisah, L. (2019) ‘Urgensi pemahaman hadis kontekstual’, Universum, 13 No. 1 J, pp. 1–26. Khudori, M. (2017) ‘Perlunya Memahami Hadis secara Tekstual dan Kontekstual untuk Mendapatkan Pemahaman yang Moderat "Ala Madhhab Ahlisunnah Wal Jam’ah’, pp. 4–5. Available at: //www.alfithrah.ac.id/publikasi-dosen-2/. Urgensi Pemahaman Kontekstual Hadis ( Refleksi terhadap Wacana Islam Nusantara ) Tasbih Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar (2016), 16(1), pp. 81–102.

//library1.nida.ac.th/termpaper6/sd/2554/19755.pdf.

Asriady, M. (2019) ‘Metode Pemahaman Hadis’, Ekspose: Jurnal Penelitian Hukum dan Pendidikan, 16(1), p. 314. doi: 10.30863/ekspose.v16i1.94.

Kolom Terkait

Kolom Terpopuler

Monday, 16 October 2017 Oleh : Qowim Musthofa

Penulis Qowim Musthofa

Di berbagai buku sejarah Islam mencatat bahwa pasca wafatnya Nabi Muhammad Shallahu alaihi wasallam yang kemudian diganti dengan terpilihnya secara aklamasi Sahabat Abu Bakar menjadi khalifah pertama, muncul berbagai persoalan yang sangat mendasar di dalam tubuh agama Islam, yakni banyaknya orang yang murtad dengan kembali ke agama nenek moyang mereka, dan banyaknya orang yang membangkang tidak mau membayar zakat, dan yang paling mengenaskan adalah adanya Musaylamah sebagai tokoh yang mengaku sebagai nabi dengan menggubah surat al-fiil untuk menandingi al-Qur’an.

Namun persoalan-persoalan tersebut berhasil diselesaikan oleh sahabat Abu Bakar dengan cara memerangi para pembangkang tersebut dan berhasil mengembalikan mereka ke jalan Islam dalam waktu yang sangat singkat, mengingat sahabat Abu Bakar hanya menjadi Khalifah hanya dalam kurun waktu tidak lebih dari dua tahun saja (632-634 M.).

Terkait dengan nabi palsu, konon pengikut Musaylamah mencapai 40.000 orang yang terdiri dari suku Thayyi, Asad, Thulayhah dan Banu Hanifah, sehingga Abu Bakar mengutus Khalid bin Walid untuk berangkat memerangi mereka tepatnya di Yamamah (kemudian masyhur dengan istilah perang Yamamah). Dalam peperangan inilah, teramat banyak para penghafal al-Qur’an yang berguguran syahid. Cerita yang lebih panjang bisa dibaca buku the History of The Arab karya Philip K. Hitti, h. 175-177.

Disebabkan peristiwa Yamamah tersebut, sahabat Umar merasa khawatir tentang kondisi dan nasib al-Qur’an di masa yang akan datang, sehingga ia mengusulkan kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan al-Qur’an, sebelum pada akhirnya para sahabat yang hafal al-Qur’an berguguran di medan perang yang lain.

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Zaid bin Tsabit (w. 45 H.) mengatakan: “Saya diutus oleh Abu Bakar untuk ikut memerangi penduduk Yamamah, lalu tiba-tiba Umar datang dan berkata ‘Sungguh, perang Yamamah begitu berat bagi para penghafal al-Qur’an, saya khawatir nanti korban berjatuhan hingga menyebabkan al-Qur’an hilang dengan wafatnya para penghafal al-Qur’an, saya punya inisiatif agar engkau berkenan mengumpulkan al-Qur’an.’

“Bagaimana saya bisa melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah?.” Jawab Abu Bakar merasa keberatan.

“Demi Allah, ini adalah suatu keniscayaan yang baik.” Umar mencoba meyakinkan Abu Bakar.

“Berkali-kali Umar mencoba meyakinkan hal itu, lalu allah telah melapangkan dadaku dengan menerima inisiatif Umar untuk mengumpulkan al-Qur’an.” Jelas Abu Bakar.

Abu Bakar menyampaikan hal itu kepada Zaid dengan mengatakan “Sungguh engkau adalah lelaki yang luar biasa, sebab engkau pernah menulis al-Qur’an untuk baginda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam

(HR. Bukhari. Bab kitabu fadhaili al-Qur’an).

Sang Penulis Mushaf Zaid bin Tsabit

Sahabat Zaid bin Tsabit terkenal dengan kepiawaiannya dalam hal menulis sehingga di masa Abu Bakar dan Usman kelak, ia tetap ditugaskan untuk menulis mushaf. Di antara kecakapannya dalam hal ini adalah ia merupakan seorang yang hafal al-Qur’an, ia juga masih muda yang prigel, hafalannya sangat kuat, logikanya dan kekreatifitasnya berjalan, tenang dan tidak suka tergesa-gesa sekaligus banyak kerjanya. Semua sifat-sifat tersebut dimiliki oleh pribadi seorang Zaid bin Tsabit.

Karena kecakapannya tersebut, ia membuat metode dalam pengumpulan mushaf dengan memberikan syarat sebuah ayat al-Qur’an harus disaksikan minimal dua orang sahabat, sekaligus tidak hanya mengandalkan hafalan para sahabat saja, melainkan terdapat bukti tertulis yang ditulis di masa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Ketika dua syarat tersebut tidak terpenuhi maka ia tidak akan menulis dan memasukkan ayat tersebut ke dalam bagian dari al-Qur’an.

Sehingga pada ujungnya, ia menemukan ayat terakhir surat at-taubah. Kedua ayat tersebut hanya disaksikan oleh Abu Khuzaimah al-Anshari seorang, tidak ada sahabat lain yang memberikan kesaksian. Dua ayat tersebut tak kunjung dimasukkan oleh Zaid ke dalam mushaf. Sampai pada akhirnya, terdapat dua sahabat lagi yang datang memberikan kesaksian, yakni Abdullah bin Zubair dan Umar bin Khattab.

Pengumpulan mushaf ini tidak memakan waktu lama, yakni sekitar satu tahun saja di era khalifah Abu Bakar, kira-kira di akhir tahun 11 Hijriyah atau awal tahun 12 Hijriyah, pengumpulan mushaf ini selesai dilaksanakan. Pada bulan Jumadil akhir tahun 13 Hijriyah, sahabat Abu Bakar wafat, kumpulan mushaf tersebut kemudian pindah tangan ke pangkuan Sahabat Umar bin Khattab, lalu sayyidatina Khafsah, istri Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Dari mushaf yang dibawa oleh Khafsah itulah yang kelak dijadikan sumber primer oleh Usman dalam menggandakan mushaf al-Qur’an.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA