Perlindungan khusus bagi pekerja/buruh perempuan

“Fakta bahwa Indonesia telah meratifikasi Convention on the Elimination of All Form of Discrimination Againts Women (CEDAW) seolah terlupakan. Yang mana hal tersebut dapat dilihat dalam pemberian upah minimum regional (UMR) yang digunakan sebagai  standar adalah buruh laki-laki dengan hitungan hidup lajang yang memiliki kebutuhan berbeda dengan buruh/pekerja perempuan.”

Keterlibatan perempuan dalam dunia kerja merupakan suatu bentuk partisipasi dalam pembangunan nasional. Perkembangan industrialisasi memberikan suatu kesempatan bagi perempuan untuk bisa menjadi bagian dalam memenuhi kebutuhan hidup. Namun nasib pekerja perempuan sangat bergantung dengan kepedulian negara. Tidak menutup kemungkinan masih saja terdapat kontroversi yang terjadi seperti diskriminasi pekerja perempuan dalam hal pemberian upah, cuti haid dan melahirkan, serta pelanggaran terhadap hak-hak lainnya.

Dalam praktiknya, masih terdapat keluh kesah dari para pekerja terutama pekerja perempuan. Keluhan tersebut salah diantaranya yaitu adanya diskriminasi pengupahan untuk pekerjaan yang sama dan untuk waktu yang sama.  Fakta bahwa Indonesia telah meratifikasi Convention on the Elimination of All Form of Discrimination Againts Women (CEDAW) seolah terlupakan. Yang mana hal tersebut dapat dilihat dalam pemberian upah minimum regional (UMR) yang digunakan sebagai standar adalah buruh laki-laki dengan hitungan hidup lajang yang memiliki kebutuhan berbeda dengan buruh/pekerja perempuan. Setiap perempuan mempunyai hak khusus yang harus dipenuhi dan dilindungi oleh undang-undang akan tetapi pada praktiknya pula banyak problematika yang terjadi pada pekerja perempuan, salah satunya pekerja perempuan yang sedang mengalami haid tetap bekerja seperti biasanya tanpa adanya gangguan apa pun, tetapi jika keadaan fisiknya tidak memungkinkan sehingga pekerjaan tidak menjadi persoalan, hal demikian tertuang dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan “Pekerja/buruh wanita yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.”

Tanggung Jawab Negara

Dalam dinamika ketenagakerjaan selalu ada perselisihan antara pekerja dan pemberi kerja dimana perselisihan ini terjadi salah diantaranya adanya diskriminasi yang diterima oleh pekerja baik diskriminasi upah maupun hakhak pekerja lainnya. Negara seharusnya menjadi penjamin atas pemenuhan hak setiap pekerja terutama pekerja perempuan. Bahkan dalam masa pandemi negara harus lebih memperhatikan agar hak setiap pekerja tetap terpenuhi, akan tetapi justru dalam keadaan pandemi seperti ini menjadi kesempatan beberapa perusahaan untuk memutuskan hubungan kerja dengan dalih Force Majure padahal perusahaan tetap beroperasi seperti biasanya. Undang-undang Ketenagakerjaan merupakan solusi dari adanya perselisihan antar pekerja dan pemberi kerja dimana hal ini terdapat dalam Pasal 67 sampai Pasal 101 meliputi perlindungan buruh penyandang cacat, anak, perempuan, waktu kerja, keselamatan dan kesehatan kerja, pengupahan dan kesejahteraan.

Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwasanya setiap orang, baik pria maupun wanita, dalam melakukan pekerjaan yang sepadan dengan martabat kemanusiaannya berhak atas upah yang adil sesuai dengan prestasinya dan menjamin kelangsungan hidup keluarganya. Sesuai dengan ketentuan pasal a quo memberikan implikasi bahwa perempuan mempunyai hak atas pekerjaan dan  perlindungan pekerjaan serta kelangsungan hidup keluarganya. Sebagaimana esensi dari adanya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu memberikan kesejahteraan pada setiap pekerja/buruh agar dapat menjamin kemajuan dunia usaha Indonesia.

Pasal 11 Convention on the Elimination of All Form of Discrimination Againts Women (CEDAW) tentang Hak-hak Politik Perempuan terdapat hak khusus perempuan dimana dalam Pasal 4 menjelaskan tentang affimative action yaitu diskriminasi positif bagi perempuan.

Sedangkan dalam Pasal 11 menjelaskan tentang kewajiban negara untuk meniadakan adanya diskriminasi perempuan di tempat kerja. Dengan demikian dapat menjadi suatu tameng bagi para pekerja perempuan untuk tetap mendapatkan hak-haknya.

Pada masa pandemi, sudah seharusnya negara lebih memperhatikan segala aspek terkait dengan mekani sme peker jaan. Peker ja perempuan harus benar-benar mendapatkan hak-haknya sebagaimana mestinya. Salah satunya yaitu perusahaan/tempat kerja memberikan penyediaan layanan antar jemput bagi pekerja perempuan sebagaimana tertuang dalam Pasal 76 Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Kendati demikian pekerja perempuan pada kenyataannya terutama buruh urban sering kali tidak mendapatkan angkutan umum bilamana ia pulang bekerja.

Dengan demikian melihat pada faktanya perlindungan pekerja perempuan masih menjadi persoalan, terlebih di masa pandemi yang justru para pekerja perempuan kehilangan hak-haknya. Oleh karena itu negara melalui pemerintah harus lebih memperhatikan terhadap perlindungan pekerja perempuan agar tidak adanya diskriminasi pekerja perempuan dan tetap para perempuan dapat berkontribusi terhadap pemulihan ekonomi di masa pandemi Covid-19.

Penulis: Andre Bagus saputra (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia)

Tulisan ini sudah dimuat dalam rubrik Opini, Hukum Laut Internasional LEGALTALK, Buletin Hukum, Vol. 2 No. 7, 2021, September 2021.

Siaran Pers Nomor: B-221/Set/Rokum/MP 01/09/2019

KIIC, Karawang (26/9) – Setiap tenaga kerja baik laki-laki maupun perempuan di Indonesia berhak untuk dilindungi dan mempunyai hak yang sama dalam memperoleh pekerjaan. Namun, masih banyak dijumpai adanya diskriminasi dan kekerasan dalam ketenagakerjaan dan pekerja perempuan cenderung menjadi korban. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise menegaskan untuk dapat mengupayakan optimalisasi perlindungan dan menjawab keresahan para pekerja perempuan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) meresmikan Rumah Perlindungan Pekerja Perempuan (RP3) di Kawasan Industri Karawang. “Dua hari yang lalu saya sudah meresmikan RP3 di PT. Kawasan Berikat Nusantara (KBN) dan hari ini di Karawang International Industrial City (KIIC). Saya sangat mengapresiasi jajaran pimpinan di kawasan industri yang bersedia bekerjasama dengan Kemen PPPA dalam rangka mewujudkan perlindungan bagi perempuan pekerja. RP3 ini akan menjadi tempat untuk menyampaikan pengaduan atas permasalahan yang mereka hadapi sehingga cita-cita kita semua untuk memberikan perlindungan terhadap pekerja perempuan dapat segera tercapai,” ujar Menteri Yohana saat meresmikan RP3 di KIIC, Kamis (26/9). Sebelumnya, pada 15 Agustus 2019 telah dilakukan Penandatanganan MoU bersama 5 (lima) kawasan industri sekaligus peluncuran Rumah Perlindungan Pekerja Perempuan (RP3) di 5 kawasan industri diantaranya, Cakung, Karawang, Cilegon, Pasuruan, dan Bintan. Sementara itu, Direktur Karawang International Industrial City (KIIC), Sani Iskandar mengucapkan terima kasih atas dukungan, dorongan, dan inisiatif dari Bu Menteri Yohana untuk membuat RP3 di KIIC. "Pemilihan tempat di KIIC ini sangatlah tepat sebab kawasan ini mendapat pengahargaan sebagai kawasan industri terbaik se-Indonesia. Jumlah seluruh pekerja perempuan di KIIC sebanyak 62.995 orang yang tersebar di beberapa kawasan dibawah KIIC. Oleh karena itu menjadi strategis jika RP3 ini keberadaannya dapat mendukung optimalisasi kinerja pekerja perempuan," ujar Sani Sani menambahkan sangat menyambut baik keberadaan RP3 sebagai sarana bagi pekerja perempuan untuk komunikasi dan konsultasi dalam rangka meningkatkan produktivitas kerja dan mendukung perlindungan pekerja perempuan di kawasan industri. "Saat ini perempuan yang sudah menjadi seorang Ibu ikut berperan mendukung perekonomian keluarganya, keberadaan RP3 ini menjadi strategis untuk meningkatkan produktivitas sustainability," tambah Sani. Dalam kesemapatan yang sama, Deputi Perlindungan Hak Perempuan, Vennetia R Dannes menuturkan RP3 merupakan wadah lintas sektor yang dibentuk sebagai upaya perlindungan pekerja perempuan di kawasan industri. RP3 menyediakan layanan, penerimaan aduan, dan proses identifikasi jenis pelanggaran atau kekerasan yang dialami. Dalam memproses aduan bentuk layanan yang diberikan berbasis kebutuhan korban misalnya untuk rehabilitasi kesehatan, psikis, mental, bantuan, dan pendampingan hukum. Menteri Yohana menambahkan belum ada data pasti mengenai pelanggaran norma terhadap pekerja perempuan termasuk tindak kekerasan dan pelecehan seksual ditempat kerja dan faktor lain seperti tidak adanya catatan tersebut antara lain adanya rasa takut, rasa malu, tidak tahu harus kemana mengadu, dan lain-lain juga menjadi penyebab masih terjadi diskriminasi dan kekerasan pada pekerja perempuan. Padahal jelas tertuang dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bahwa perempuan pekerja harus mendapatkan perlindungan berupa jaminan perlindungan fungsi reproduksi perempuan yang meliputi pemberian istirahat pada saat hamil dan melahirkan, pemberian kesempatan dan fasilitas untuk menyusui anaknya, perlindungan hak-haknya sebagai pekerja yaitu perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, serta perlindungan kesejahteraan dan jaminan sosial tenaga kerja. “Ke depannya, setelah RP3 ini beroperasi akan ada tahap monitoring dan evaluasi mekanisme pelayanan bersama Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Dinas Ketenagakerjaan, Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan dan lainnya yang ada di Kabupaten/Kota dan Provinsi terkait. Hal ini untuk memastikan mekanisme pelayanan RP3 sudah berjalan dengan optimal dan tepat sasaran,” tutup Menteri Yohana.

PUBLIKASI DAN MEDIA KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK Telp.& Fax (021) 3448510,

e-mail :