perbedaan tauhid rububiyah dan uluhiyah

Sejak maraknya dakwah Wahhabiyah di Indonesia, banyak sekali buku agama yang menyebutkan bahwa tauhid dibagi menjadi tiga, yakni: Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Asma’ was-Shifat. Sebelum itu, istilah ini tergolong asing di telinga kaum muslimin, meskipun konsep tauhid sudah mereka pahami dengan sangat baik dalam ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah (Asy’ariyah-Maturidiyah).

Pada artikel sebelumnya yang berjudul “Agenda di Balik Pembagian Tiga Macam Tauhid ala Ibnu Taimiyah”, penulis telah memaparkan apa dan bagaimana yang dimaksud dengan ketiga pembagian ini sehingga tak perlu diulangi di sini. Kali ini penulis akan mengaji masalah pembedaan secara tegas antara Tauhid Rububiyah dan Uluhiyah sebenarnya tidaklah tepat dalam tataran implementasinya.

Sebagai sebuah klasifikasi ilmiah, sebenarnya tak masalah bila tauhid dilihat dari dua aspek berbeda, yakni aspek penciptaan dan aspek peribadahan. Aspek penciptaan ini kemudian melahirkan konsep “Tauhid Rububiyah” yang menjelaskan bahwa Sang Pencipta alam semesta ini hanyalah satu saja, yakni Allah subhanahu wata‘ala. Dari aspek peribadahan kemudian muncul aspek “Tauhid Uluhiyah” yang menjelaskan bahwa masyarakat harus menyembah Allah semata tanpa dibarengi dengan sesembahan lainnya. Sampai di sini sebenarnya klasifikasi ini biasa saja dan tak ada yang baru sehingga para ulama sebelum Ibnu Taymiyah juga banyak menyinggungnya. Misalnya saja Imam at-Thabari dalam tafsirnya berkata:

كانت العرب تقر بوحدانية الله غير أنها كانت تشرك به في عبادته 

“Orang Arab (jahiliyah) mengakui keesaan Allah tetapi mereka menyekutukan-Nya dalam hal ibadah.” (Ibnu Jarir at-Thabari, Tafsîr at-Thabari, I: 128)

Klasifikasi istilah “rububiyah” dan “uluhiyah” itu didasarkan pada perbedaan arti kata “rabb” dan “ilah” yang menjadi kata dasar dari keduanya. Sebagaimana diterangkan oleh al-Maqrizi, seorang sejarawan bermazhab Syafi’i yang hidup di abad kesembilan Hijriah, kata “rabb” berasal dari kata rabba-yarubbu yang berarti yang mencipta, merawat, dan yang bertanggung jawab atas penciptaan, rezeki, kesehatan dan perbaikan. Sedangkan kata “ilah” berarti menjadikan sebagai yang disembah (ma’lûh) sehingga menjadi satu-satunya yang dicintai, ditakuti, diharapkan dan sebagainya (al-Maqrizi, Tajrîd at-Tauhîd, 5). 

Meskipun secara bahasa diketahui bahwa makna leksikal antara “rabb” dan “ilah” mempunyai perbedaan, namun dalam tataran penggunaannya tak demikian. Keduanya menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan sebab dalam logika paling sederhana dapat diketahui bahwa sosok yang mencipta dan merawat alam semesta (aspek rububiyah) adalah satu-satunya sosok yang layak disembah (aspek rububiyah) dan demikian pula mustahil seorang manusia berakal akan melakukan penyembahan (aspek uluhiyah) pada sosok yang sama sekali tak terlibat dalam penciptaan dan perawatan alam semesta (aspek rububiyah). Itulah sebabnya para penyembah berhala tidak menyembah segala objek yang mereka lihat atau mereka buat, namun hanya objek tertentu saja yang mereka yakini punya andil dalam sisi rububiyah. 

Musyrikin jahiliyah tahu betul bahwa mereka mendapat manfaat yang banyak dari pohon kurma, satu-satunya pohon yang dapat hidup subur menghasilkan makanan pokok di padang pasir, tetapi tak ada satu pun yang menyembahnya sebab mereka tak meyakini pohon kurma punya sisi ketuhanan. 

Sebaliknya, mereka tahu betul kalau patung-patung buatan mereka tak bergerak dan tak bisa melakukan apa pun secara fisik tetapi mereka meyakininya sebagai sosok yang mempunyai aspek rububiyah, karena itulah mereka menyembahnya. Andai mereka begitu bodohnya (jahil) menyembah sesuatu yang mereka yakini tak punya kuasa rububiyah sama sekali, maka pasti mereka akan lebih menuhankan pohon kurma atau unta daripada berhala buatan tangan mereka sendiri yang secara kasat mata tak bisa apa-apa itu.

Karena makna “rabb” dan “ilah” ini tak terpisahkan dalam praktiknya, maka kedua kata ini biasa diterjemah sama sebagai “Tuhan” dalam bahasa apa pun dan tak dibedakan lagi penggunaanya secara umum. Bahkan dalam Al-Qur’an pun, penggunaan keduanya juga tak dibedakan. Allah berfirman:

 وَلَا يَأْمُرَكُمْ أَن تَتَّخِذُوا۟ ٱلْمَلَٰٓئِكَةَ وَٱلنَّبِيِّنَ أَرْبَابًا ۗ أَيَأْمُرُكُم بِٱلْكُفْرِ بَعْدَ إِذْ أَنتُم مُّسْلِمُونَ 

“Dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan malaikat dan para nabi sebagai rabb-rabb (Tuhan-Tuhan). Apakah (patut) dia menyuruhmu berbuat kekafiran di waktu kamu sudah (menganut agama) Islam?” (QS. Ali Imran: 70)

Dalam ayat di atas secara tegas Allah mengisyaratkan bahwa orang-orang musyrik menjadikan para malaikat dan pada nabi sebagai “rabb” di samping Allah. Ini bukti bahwa kata “rabb” juga bermakna sesembahan seperti kata “ilah”. Penggunaan bentuk plural dari kata “rabb” menjadi “arbâb” dalam ayat itu menjadi bukti lain bahwa asumsi sebagian orang bahwa kaum musyrik bertauhid dalam level rububiyah adalah isapan jempol belaka sebab nyata-nyata mereka mengenal adanya “arbâb” atau Tuhan-Tuhan yang memiliki kuasa rububiyah. Meskipun memang “rabb” dalam keyakinan kaum musyrik bertingkat; ada yang utama (supreme God) dan ada yang biasa (lesser God).

Dalam ayat lain, Allah lebih tegas lagi berfirman:

 تَٱللَّهِ إِن كُنَّا لَفِى ضَلَٰلٍۢ مُّبِينٍ إِذْ نُسَوِّيكُم بِرَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ 

"Demi Allah, sungguh kami dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata, karena kami mempersamakan kalian (para berhala) dengan Tuhan (Rabb) semesta alam". (QS. As-Syu’ara’: 97-98)

Ayat itu menjadi bukti tak terbantahkan bahwa para berhala yang disembah itu oleh para kaum musyrik jahiliyah disejajarkan dengan “Rabb al-‘âlamîn” atau Tuhan semesta alam, yang tak lain adalah Allah. Dengan demikian menjadi jelas bahwa pembedaan istilah “tauhid rububiyah” dan “tauhid uluhiyah” hanyalah benar dalam tinjauan kebahasaan saja atau sebagai klasifikasi yang murni teoritis. Sedangkan dalam praktiknya keduanya sama sekali tak bisa dibedakan. 

Dengan demikian, klaim bahwa orang musyrik jahiliyah sebenarnya bertauhid di level rububiyah tetapi musyrik hanya di level uluhiyah adalah klaim yang tidak tepat sebagaimana yang juga telah penulis paparkan di artikel sebelumnya. Bahkan pembagian seperti ini menjadi sama sekali tak relevan ketika kita sadar bahwa yang dilawan oleh para Nabi bukan hanya kaum musyrik tetapi juga kaum ateis yang sama sekali tak percaya keberadaan Allah. Wallahu a'lam.

Ustadz Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember dan Peneliti Bidang Aqidah di Aswaja NU Center Jawa Timur

Amalan-Amalan Bulan Sya'ban

Dalam Islam, ilmu tauhid adalah ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap muslim. Ilmu tauhid sendiri terbagi lagi dalam beberapa jenis sebagaimana telah kita bahas pada artikel sebelumnya. Begitu pula sebagaimana yang dijelaskan Allah dalam Al Quran,

رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهِ هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيّاً

“Rabb (yang menguasai) langit dan bumi dan segala sesuatu yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadah kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?” (Maryam: 65).

Namun pada artikel kali ini, kita akan mengenal lebih jauh mengenai pengertian tauhid uluhiyah dan tauhid rububiyah.

Tauhid uluhiyah adalah mentauhidkan atau mengesakan Allah SWT dalam setiap kegiatan ibadah. Segala macam ibadah harus dilakukan hanya kepada Allah dan untuk Allah.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَٰنُ الرَّحِيمُ

“Dan Rabb-mu adalah Allah Yang Maha Esa, tidak ada sesembahan yang diibadahi dengan benar melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” [Al-Baqarah: 163]

Syaikh al-‘Allamah ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata:

“Bahwasanya Allah itu tunggal Dzat-Nya, Nama-Nama, Sifat-Sifat, dan perbuatan-Nya. Tidak ada sekutu bagi-Nya, baik dalam Dzat-Nya, Nama-Nama, maupun Sifat-Sifat-Nya. Tidak ada yang sama dengan-Nya, tidak ada yang sebanding, tidak ada yang setara, dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Tidak ada yang mencipta dan mengatur alam semesta ini kecuali hanya Allah. Apabila demikian, maka Dia adalah satu-satunya yang berhak untuk diibadahi. Dia (Allah) tidak boleh disekutu-kan dengan seorang pun dari makhluk-Nya. (Lihat Taisiirul Kariimir Rahmaan fii Tafsiiri Kalaamil Mannaan (hal. 63), cet. Maktabah al-Ma’arif, th. 1420 H)

Baca juga:

Allah adalah satu-satunya zat yang menciptakan manusia, maka dari itu sudah seharusnya manusia beribadah hanya kepada Allah SWT. Allah berfirman dalam Al Quran,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ ۖ فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Wahai manusia, beribadahlah kepada Rabb-mu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertaqwa. Dia-lah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap. Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rizki untukmu, karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” [Al-Baqarah: 21-22]

Tauhid rububiyah merupakan alasan dari tauhid uluhiyah. Tauhid rububiyah adalah mengesakan Allah sebagai satu-satunya pencipta dan pengatur segala hal yang ada di dunia maupun akhirat.

Baca juga:

Allah Ta’ala berfirman:

اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ

“Allah yang menciptakan segala sesuatu.” [Az-Zumar: 62]

أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ ۗ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

“Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah. Mahasuci Allah, Rabb semesta alam.” [Al-A’raaf: 54]

قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ سَيَقُولُونَ لِلَّهِ ۚ قُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيرُ وَلَا يُجَارُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ سَيَقُولُونَ لِلَّهِ ۚ قُلْ فَأَنَّىٰ تُسْحَرُونَ

“Katakanlah, ‘Siapakah Rabb langit yang tujuh dan Rabb ‘Arsy yang besar?’ Mereka akan menjawab, ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah , ‘Maka mengapa kamu tidak bertaqwa?’ Katakanlah, ‘Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi dan tidak ada yang dapat dilindungi dari-Nya, jika kamu mengetahui?’ Mereka menjawab, ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah, ‘(Kalau demikian) maka dari jalan manakah kamu ditipu?” [Al-Mu’-minun: 86-89]

Baca juga:

Hubungan tauhid rububiyah dan uluhiyah

Dengan kesadaran bahwa Allah itu satu-satunya yang berhak disembah inilah (tauhid rububiyah) yang menyebabkan manusia harus menyembah dan beribadah hanya kepada Allah SWT (tauhid uluhiyah).

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

قَالَ أَفَرَأَيْتُم مَّا كُنتُمْ تَعْبُدُونَ ﴿٧٥﴾ أَنتُمْ وَآبَاؤُكُمُ الْأَقْدَمُونَ ﴿٧٦﴾ فَإِنَّهُمْ عَدُوٌّ لِّي إِلَّا رَبَّ الْعَالَمِينَ ﴿٧٧﴾ الَّذِي خَلَقَنِي فَهُوَ يَهْدِينِ ﴿٧٨﴾ وَالَّذِي هُوَ يُطْعِمُنِي وَيَسْقِينِ ﴿٧٩﴾ وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ ﴿٨٠﴾ وَالَّذِي يُمِيتُنِي ثُمَّ يُحْيِينِ ﴿٨١﴾ وَالَّذِي أَطْمَعُ أَن يَغْفِرَ لِي خَطِيئَتِي يَوْمَ الدِّينِ ﴿٨٢﴾

“Ibrahim berkata: “Maka apakah kamu telah memperhatikan apa yang selalu kamu sembah, kamu dan nenek moyang kamu yang dahulu?, karena sesungguhnya apa yang kamu sembah itu adalah musuhku, kecuali Allah Rabb Semesta Alam, (yaitu Tuhan) Yang telah menciptakan aku, maka Dialah yang menunjuki aku, dan Tuhanku, Yang Dia memberi makan dan minum kepadaku, dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku, dan Yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali), dan Yang amat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat“.” (QS. Asy-Syu’ara[26]: 82)

Baca juga:

Dalam surat An-Naas ayat 1-3 sendiri terdapat jelas hubungan antara tauhid rububiyah dan tauhid uluhiyah yang diungkapkan secara bersamaan.

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ ﴿١﴾ مَلِكِ النَّاسِ ﴿٢﴾ إِلَـٰهِ النَّاسِ ﴿٣﴾

“Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja manusia. Sembahan manusia.” (QS. An-Naas[114]: 1-3)

Itulah penjelasan singkat mengenai pengertian tauhid uluhiyah dan tauhid rububiyah. Kedua jenis ilmu tauhid ini memang tidak bisa dipisahkan. Keduanya merupakan satu kesatuan ilmu tauhid yang harus dimiliki oleh setiap muslim. Demikianlah artikel yang singkat ini. Semoga artikel ini menambah wawasan dan menguatkan keimanan kita semua. Aamiin.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA