Pemberian harta oleh Utsman kepada sanak famili tanpa alasan yang jelas diambil dikembalikan ke

Februari 14, 2015 by MUHAMMAD ANSYARI  - dibaca 11196 kali

Setelah wafatnya Rasulullah SAW, Islampun memasuki masa transisi pemerintahan dari zaman yang langsung dipimpin oleh Rasul yang selalu mendapat bimbingan  langsung dari Allah melalui wahyu kepada seorang Abu Bakar (632-634 M) yang hanya sahabat Nabi dan juga seorang manusia biasa. Maka masa ini diwarnai pesoalan agama seperti kemurtadan dan keengganan membayar zakat.

Masa transisi ini berhasil dilalui oleh ummat Islam dengan selamat, maka Islam sebagai agama, politik dan budaya mulai menggeliat setelah ditinggal Rasul. Banyak keputusan-keputusan baru yang harus diambil, tanggung jawab ini diemban oleh khalifah ke-II Umar Ibn Khattab (634-644 M). Penyebaran agama Islam pun dilaksanakan seiring dengan perluasan wilayah Islam. Banyak orang yang takluk di bawah Islam memeluknya sebagai agama meskipun ada sebagian dari mereka yang membenci Islam ataupun bangsa Arab yang menurut mereka merupakan penjajah. Umar memerintah dengan tegas dan disiplin, rakyat maupun pegawainya akan dihukum bila terbukti bersalah. Pada akhir pemerintahannya timbul gejala-gejala ketidakpuasan terhadap kebijakan-kebijakannya yang disuarakan pertama kalinya oleh mereka yang membenci Islam ataupun bangsa Arab. Hal yang paling menonjol adalah pembagian hasil rampasan perang yang dinilai tidak adil. Tetapi hingga akhir hayatnya tidak ada yang berani mengutarakan secara terang-terangan.

Maka Khalifah yang selanjutnya yaitu Utsman Ibn Affan tak akan terlepas dari pengaruh geliat jahiliah ini. Pada masa Utsman sendiri terjadi pemberontakan yang menyebabkan terbunuhnya Utsman Ibn Affan. Dalam sejarah, salah satu yang menyebabkan pemberontakan terjadi adalah gaya kepemimpinan Utsman yang tidak tegas dan memihak kepada keluarganya (nepotisme).

Dengan peristiwa-peristiwa yang telah lalu semasa khalifah Utsman yang hidup pada abad ke-7 M, bagi penulis untuk menilai khalifah Utsman pda konteks masa kini tidaklah mudah karena sumber yang tersedia saat ini telah didominasi oleh naskah yang ditulis pada masa Abbasiah yang merupakan rival Umayyah.

Makalah ini akan mencoba untuk menjelaskan sekelumit biografi khalifah Utsman ibn Affan, kemudian bagaimanakah tuduhan nepotisme itu muncul? Bagaimana munculnya pemberontakan dan terbunuhnya Utsman?

  1. Sekelumit Biografi Khalifah Utsman Ibn Affan

Utsman ibn Affan, salah satu sahabat Nabi Muhammad dan dikenal sebagai khalifah Rasulullah yang ketiga (memerintah 644-656 M/23-35 H). Pada masa Rasulullah masih hidup, Utsman terpilih sebagai salah satu sekretaris Rasulullah sekaligus masuk dalam Tim penulis wahyu yang turun dan pada masa Kekhalifahannya Al Quran dibukukan secara tertib.[1] Utsman juga merupakan salah satu sahabat yang mendapatkan jaminan Nabi Muhammad sebagai ahlul jannah. Utsman Ibn Affan Ibn Abdillah Ibn Umayyah Ibn Abdi Syams Ibn Abdi Mannaf Ibn Qushayi. Utsman ibn Affan lahir  di Thaif pada tahun ke-enam tahun Gajah, kira-kira lima tahun lebih muda dari Rasullulah SAW. Ibunya adalah Urwah, putri Ummu Hakim al-Baidha, putri Abdul Muthalib nenek Nabi SAW.[2] Dzu al-Nurain atau mempunyai dua cahaya (julukan ini diberikan kepada Utsman karena menikah dengan dua orang putri Rasulullah SAW, yaitu Roqayyah dan Ummi Kaltsum). Ayahnya Affan adalah seorang saudagar yang kaya raya dari suku Quraisy Umayyah.  Kekerabatan Utsman dengan Muhammad Rasulullah bertemu pada urutan silsilah Abdul Manaf.[3] Rasulullah berasal dari Bani Hasyim sedangkan Utsman dari kalangan Bani Umayyah. Antara Bani Hasyim dan Bani Umayyah sejak jauh sebelum masa kenabian Muhammad, dikenal sebagai dua suku yang saling bermusuhan dan terlibat dalam persaingan sengit pada setiap aspek kehidupan.[4] Maka tidak heran jika proses masuk Islamnya Utsman Ibn Affan dianggap merupakan hal yang luar biasa, populis, dan sekaligus heroik. Hal ini mengingat kebanyakan kaum Bani Umayyah, pada masa masuk Islamnya Utsman, bersikap memusuhi Nabi dan agama Islam.

Kemudian pada periode awal dakwah Rasulullah di Mekkah tepatnya pada saat hijrah pertama kali ke Habasyah yang terdiri dari 12 laki-laki dan 4 wanita (termasuk Ruqayyah putri Rasulullah) yang dipimpin oleh Utsman Ibn Affan. Rasulullah bersabda tentang Ruqayyah dan Utsman Ibn ‘Affan:

إنهما أول بيت هاجر في سبيل الله بعد إبراهيم ولوط عليهما السلام

“Sesungguhnya mereka berdua adalah penduduk Baitul Haram pertama yang hijrah di jalan Allah setelah Ibrahim dan Luth ‘alaihimassalam.” (Mukhtashar Siratir Rasul hal. 92-93, Zadul-Ma’ad 1/24, Rahmatul-Lil’alamin 1/61).

Mereka pergi ke pinggir pantai pada malam hari agar tidak diketahui oleh orang musyrikin Quraisy, kemudian mengangkut mereka dua kapal di pelabuhan Syaibah yang secara kebetulan akan berangkat ke Habasyah. Orang-orang Quraisy, yang kemudian mengetahui hal itu, berusaha mengejar dan menangkap namun Allah telah menyelamatkan mereka sehingga mereka telah bertolak menuju Habasyah.

Utsman Ibn Affan terpilih menjadi khalifah ketiga berdasarkan suara mayoritas dalam musyawarah tim formatur yang anggotanya dipilih oleh Khalifah Umar Ibn Khattab menjelang wafatnya. Pada masa pemerintahan Umar, ia menetapkan enam orang sahabat yang berwenang untuk bermusyawarah dalam menetapkan khalifah setelahnya.  Sa’ad yang tidak hadir memberikan suaranya untuk Abdur Rahman bin Auf, adapun Thalhah memberikan kepada Utsman Ibn Affan, Zubeir memberikan kepada Ali. Maka muncullah  tiga nama calon  yaitu Utsman Ibn Affan, Ali dan Abdur Rahman, tetapi kemudian Abdur Rahman melepaskan haknya untuk dipilih dan berusaha untuk berkomunikasi dengan rakyat umum tentang calon mereka secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan  hingga ia sampai kepada kesimpulan bahwa rakyat lebih memilih Utsman Ibn Affan ketimbang Ali. Maka pada tanggal 29 Dzul Hijjah 23 H (6 Nov 644)  Utsman dibaiat dan mulai mengemban tugasnya pada 1 Muharram 24 H. Pengangkatan ini adalah hasil permusyawaratan dewan yang dihadiri oleh seluruh anggota kecuali Sa’ad.[5] Utsman Ibn Affan menduduki amanah sebagai khalifah berusia sekitar 70 tahun sampai 82 tahun.[6] Pada masa pemerintahan beliau, bangsa Arab berada pada posisi permulaan zaman perubahan. Hal ini ditandai dengan perputaran dan percepatan pertumbuhan ekonomi disebabkan aliran kekayaan negeri-negeri Islam ke tanah Arab seiring dengan semakin meluasnya wilayah yang tersentuh syiar agama. Akses perekonomian semakin mudah didapatkan. Sedangkan masyarakat telah mengalami proses transformasi dari kehidupan bersahaja menuju pola hidup masyarakat perkotaan.[7]

Dalam manajemen pemerintahannya Utsman menempatkan beberapa anggota keluarga dekatnya menduduki jabatan publik strategis. Hal ini memicu penilaian ahli sejarah untuk menekankan telah terjadinya proses dan motif nepotisme dalam tindakan Utsman tersebut.[8]

Adapun daftar keluarga Utsman dalam pemerintahan yang dimaksud sebagai alasan motif nepotisme tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Muawiyah Ibn Abu Sufyan yang menjabat sebagai gubernur Syam. Beliau termasuk Sahabat Nabi, keluarga dekat dan satu suku dengan Utsman.[9]
  2. Pimpinan Basyrah, Abu Musa Al Asy’ari, diganti oleh Utsman dengan Abdullah Ibn Amir, yang merupakan sepupu Utsman.
  3. Pimpinan Kuffah, Sa’ad Ibn Abu Waqash, diganti dengan Walid Ibn ‘Uqbah, saudara tiri Utsman. Lantas Walid ternyata kurang mampu menjalankan syariat Islam dengan baik akibat minum-minuman keras, maka diganti oleh Sa’id Ibn ‘Ash. Sa’id sendiri merupakan saudara sepupu Utsman.
  4. Pemimpin Mesir, Amr Ibn ‘Ash, diganti dengan Abdullah Ibn Sa’ad Ibn Abu Sarah, yang masih merupakan saudara seangkat ( dalam sumber lain saudara sepersusuan, atau bahkan saudara sepupu) Utsman.
  5. Marwan Ibn Hakkam, sepupu sekaligus ipar Utsman, diangkat menjadi sekretaris Negara.
  6. Khalifah dituduh sebagai koruptor dan nepotis dalam kasus pemberian dana khumus (seperlima harta dari rampasan perang) kepada Abdullah Ibn Sa’ad Ibn Abu Sarah, kepada Mirwan Ibn Al Hakkam, dan kepada Al Harits Ibn Al Hakkam.

Beberapa penulis Muslim mencoba melakukan rasionalisasi bahwa tindakan Utsman tersebut bukan tanpa alasan. Hal ini merupakan sebuah upaya pembelaan terhadap tindakan Utsman tidak atau bahkan sama sekali jauh dari motif nepotisme. Sebagai contoh salah satu bentuk rasionalisasi menyebutkan bahwa Utsman mengangkat wali-wali negeri dari pihak keluarga beralasan untuk memperkuat wilayah kekuasaannya melalui personal yang telah jelas dikenal baik karakteristiknya.[10] Hal ini mengingat wilayah kekhalifahan pada masa Utsman semakin meluas. Demikian juga tanggungjawab dakwah dimasing-masing wilayah tersebut.

Dalam Manajemen, mengangkat pekerja berdasarkan kekerabatan bukan hal yang salah. Kemungkinan pengenalan karakteristik anggota keluarga jelas lebih baik dibandingkan melalui seleksi dari luar keluarga. Jika hal tersebut menyangkut kinerja dan harapan ketercapaian tujuan dimasa mendatang jelas pemilihan bawahan dari pihak keluarga tidak bertentangan dengan sebuah aturan apa pun. Artinya secara mendasar nepotisme sendiri bukan merupakan sebuah dosa. Namun demikian kata “nepotisme’ dewasa ini telah mengalami perubahan makna substansial menjadi bermuatan negatif. Bukan hanya bagi Indonesia, namun bagi sejumlah negara “pendekatan kekeluargaan” tersebut telah menempati urutan teratas bagi kategorisasi “dosa-dosa politis” sebuah rezim kekuasaan.

Oleh karena itu maka penjelasan bahwa pemilihan anggota keluarga untuk menempati struktur kepemimpinan dalam kasus Khalifah Utsman dengan rasionalisasi pengenalan karakteristik, jelas kurang relevan diterapkan pada masa ini, walaupun bukan berarti tidak benar. Maka salah satu jalan yang harus dilakukan guna membedah isu seputar nepotisme ini adalah melalui cross check sejarah terhadap masing-masing anggota keluarga Utsman yang terlibat dalam kekuasaan. Disadari proses ini tidaklah mudah. Maka perlu dibatasi permasalahan kajian ini dengan menfokuskan pembahasan guna menjawab pertanyaan : Mengapa Khalifah Utsman mengangkat beberapa keluarga dekatnya dalam struktur jabatan publik strategis ?

Dakwah Islam pada masa awal kekhalifahan Utsman Bin Affan menunjukkan kemajuan dan perkembangan signifikan melanjutkan estafeta dakwah pada masa khalifah sebelumnya. Wilayah dakwah Islam menjangkau perbatasan Aljazair (Barqah dan Tripoli sampai Tunisia), di sebelah utara meliputi Allepo dan sebagaian Asia Kecil. Di timur laut sampai Transoxiana dan seluruh Persia serta Balucistan (Pakistan sekarang), serta Kabul dan Ghazni. Utsman juga berhasil membentuk armada dan angkatan laut yang kuat sehingga berhasil menghalau serangan tentara Byzantium di Laut Tengah. Peristiwa ini merupakan kemenangan pertama tentara Islam dalam pertempuran di lautan.

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa Utsman mengangkat anggota keluarganya sebagai pejabat publik. Di antaranya adalah Muawiyah Ibn Abu Sufyan. Sosok Muawiyah dikenal sebagai politisi piawai dan tokoh berpengaruh bagi bangsa Arab[11] yang telah diangkat sebagai kepala daerah (Gubernur) Syam sejak masa khalifah Umar Ibn Khattab. Muawiyyah tercatat menunjukkan prestasi dan keberhasilan dalam berbagi pertempuran menghadapi tentara Byzantium di front utara. Muawiyah adalah sosok negarawan ulung sekaligus pahlawan Islam pilih tanding pada masa khalifah Umar maupun Utsman. Dengan demikian tuduhan nepotisme Utsman jelas tidak bisa masuk melalui celah Muawiyah tersebut. Sebab beliau telah diangkat sebagai gubernur sejak masa Umar. Belum lagi prestasinya bukannya mudah untuk dianggap ringan.

Selanjutnya penggantian Gubernur Basyrah yakni Abu Musa al Asyari dengan Abdullah Ibn Amir, sepupu Utsman juga sulit dibuktikan sebagai tindakan nepotisme. Proses pergantian pimpinan tersebut didasarkan atas aspirasi dan kehendak rakyat Basyrah yang menuntut Abu Musa al Asyari meletakkan jabatan. Oleh rakyat Basyrah, Abu Musa dianggap terlalu hemat dalam membelanjakan keuangan Negara bagi kepentingan rakyat dan bersikap mengutamakan orang Quraisy dibandingkan penduduk pribumi. Pasca menurunkan jabatan Abu Musa, khalifah Utsman menyerahkan sepenuhnya urusan pemilihan pimpinan baru kepada rakyat Basyrah. Rakyat Basyrah kemudian memilih pimpinan dari golongan mereka sendiri. Namun pilihan rakyat tersebut justru dianggap gagal menjalankan roda pemerintahan dan dinilai tidak cakap oleh rakyat Basyrah yang memilihnya sendiri. Maka kemudian secara aklamasi rakyat menyerahkan urusan pemerintahan kepada khalifah dan meminta beliau menunjuk pimpinan baru bagi wilayah Basyrah. Maka kemudian khalifah Utsman menunjuk Abdullah Ibn Amir sebagai pimpinan Basyrah dan rakyat setempat menerima pimpinan dari khalifah tersebut. Abdullah Ibn Amir sendiri telah menunjukkan reputasi cukup baik dalam penaklukan beberapa daerah Persia.[12] Dengan demikian nepotisme kembali belum terbukti melalui  penunjukan Abdullah Ibn Amir tersebut.

Sementara itu di Kuffah, terjadi pemecatan atas Mughirah Ibn Syu’bah karena beberapa kasus yang dilakukannya. Pemecatan ini sebenarnya atas perintah khalifah Umar Bin Khattab namun baru terealisasi pada masa khalifah Utsman. Penggantinya, Sa’ad Bin Abu Waqqash, juga diberhentikan oleh khalifah Utsman akibat penyalah gunaan jabatan dan kurang transparansinya urusan keuangan daerah. Salah satu kasusnya, Sa’ad meminjam uang dari kas provinsi tanpa melaporkannya kepada pemerintah pusat. Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin, setiap daerah menikmati otonomi penuh, kecuali dalam permasalah keuangan tetap terkait dan berada dibawah koordinasi Bendahara pemerintah Pusat. ‘Amil (pengumpul zakat, semacam bendahara) Kuffah saat itu, Abdullah Ibn Mas’ud, dipanggil sebagai saksi dalam pengadilan atas peristiwa tersebut. Abdullah Ibn Mas’ud sendiri akhirnya juga dipecat akibat peristiwa tersebut. Perlu diketahui, Abdullah Ibn mas’ud termasuk keluarga dekat dan sesuku dengan Khalifah Utsman. Pengganti Sa’ad Ibn Abu Waqqash adalah Walid Ibn Uqbah, saudara sepersusuan atau dalam sumber lain saudara tiri Khalifah Utsman. Namun karena Walid memiliki tabiat buruk (suka minum khamr dan berkelakuan kasar), maka Khalifah Utsman memecatnya dan menyerahkan pemilihan pimpinan baru kepada kehendak rakyat Kuffah. Sebagaimana kasus di Basyrah, gubernur pilihan rakyat Kuffah tersebut terbukti kurang cakap menjalankan pemerintahan dan hanya bertahan selama beberapa bulan. Atas permintaan rakyat, pemilihan gubernur kembali diserahkan kepada khalifah. Ustman Bin Affan kemudian mengangkat Sa’id Ibn ‘Ash, kemenakan Khalid Ibn Walid dan saudara sepupu Utsman, sebagai gubernur Kuffah, karena dianggap cakap dan berprestasi dalam penaklukan front utara, Azarbaijan.[13] Namun terjadi konflik antara Sa’id dengan masyarakat setempat sehingga Khalifah Utsman berfikir ulang terhadap penempatan sepupunya tersebut. Maka kemudian Sa’ad digantikan kedudukannya oleh Abu Musa Al Asy’ari, mantan gubernur Basyrah. Namun stabilitas Kuffah sukar dikembalikan seperti semula sampai peristiwa tewasnya sang khalifah. Meskipun demikian nepotisme dalam frame makna negativenya kembali sukar dibuktikan.

Sedangkan di Mesir, Utsman meminta laporan keuangan daerah kepada Amr Ibn Ash selaku gubernur dan Abdullah Ibn Sa’ah Ibn Abu Sarah selaku ‘Amil. Laporan Amil dinilai timpang sedangkan Amr dianggap telah gagal melakukan pemungutan Pajak. Padahal negara sedang membutuhkan pendanaan bagi pembangunan armada laut guna menghadapi serangan Byzantium. Khalifah Utsman tetap menghendaki Amr Ibn Ash menjadi gubernur Mesir sekaligus diberi jabatan baru sebagai panglima perang. Namun Amr menolak perintah Khalifah tersebut dengan kata-kata yang kurang berkenan di hati sang Khalifah (perkataan kasar). Maka kemudian Amr Ibn Ash dipecat dari jabatannya. Sedangkan Abdullah Ibn Sa’ah Ibn Abu Sarah diangkat menggantikannya sebagai gubernur. Namun kebijakan gubernur baru tersebut dalam bidang agraria kurang disukai rakyat sehingga menuai protes terhadap Khalifah Utsman. Dari peristiwa inilah akhirnya muncul isu nepotisme dalam pemerintahan Utsman. Isu yang beredar dari Mesir ini pada akhirnya menyebabkan Khalifah terbunuh.[14]

Salah satu bukti penguat isu nepotisme yang digulirkan adalah diangkatnya Marwan Ibn Hakkam, sepupu sekaligus ipar Utsman, sebagai Sekretaris Negara. Namun tuduhan ini pada dasarnya hanya sekedar luapan gejolak emosional dan alasan yang dicari-cari. Marwan Ibn Hakam sendiri adalah tokoh yang memiliki integritas sebagai pejabat Negara disamping dia sendiri adalah ahli tata negara yang cukup disegani, bijaksana, ahli bacaan Al Quran, periwayat hadits, dan diakui kepiawaiannya dalam banyak hal serta berjasa menetapkan alat takaran atau timbangan.[15] Di samping itu Utsman dan Marwan dikenal sebagai sosok yang hidup bersahaja dan jauh dari kemewahan serta tidak memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian pemilihan Marwan Ibn Hakam adalah keharusan dan kebutuhan negara yang memang harus terjadi serta bukan semata-mata atas motif nepotisme dalam kerangka makna negatif.

Selain itu tuduhan penggelapan uang negara dan nepotisme dalam pemberian dana al khumus yang diperoleh dari kemenangan perang di Laut Tengah kepada Abdullah Ibn Sa’ad Ibn Abu Sarah, saudara sepersusuan Utsman (sumber lain saudara angkat), dapat dibuktikan telah sesuai dengan koridor yang seharusnya dan diindikasikan tidak ditemukan penyelewengan apa pun.  Al Khumus yang dimaksud berasal dari rampasan perang di Afrika Utara. Isu yang berkembang terkait al khumus tersebut adalah Khalifah Utsman telah menjualnya kepada Marwan Ibn Hakkam dengan harga yang tidak layak. Duduk persoalan sebenarnya adalah khalifah Utsman tidak pernah memberikan al khumus kepada Abdullah Ibn sa’ad Ibn Abu Sarah. Sebagaimana telah diketahui ghanimah (rampasan perang) dalam Islam 4/5-nya akan menjadi bagian dari tentara perang sedangkan 1/5-nya atau yang dikenal sebagai al-khumus akan masuk ke Baitul Mal.[16] Perlu diketahui jumlah ghanimah dari Afrika Utara yang terdiri dari berbagai benda yang terbuat dari emas, perak, serta mata uang senilai dengan 500.000 dinar. Abdullah Ibn sa’ad kemudian mengambil alkhumus dari harta tersebut yaitu senilai 100.000 dinar dan langsung dikirimkan kepada Khalifah Utsman di ibu kota. Namun masih ada benda ghanimah lain yang berupa peralatan, perkakas, dan hewan ternak yang cukup banyak. Al khumus (20 % dari ghanimah) dari ghanimah yang terakhir tersebut itulah yang kemudian dijual kepada Mirwan Ibn Hakkam dengan harga 100.000 dirham. Penjualan ganimah dengan wujud barang dan hewan ternak tersebut dengan mempertimbangkan efektifitas dan efisiensi. Al khumus berupa barang dan ternak tersebut sulit diangkut ke ibu kota yang cukup jauh jaraknya.[17] Belum lagi jika harus mempertimbangkan faktor keamanan dan kenyamanan proses pengangkutannya. Kemudian hasil penjualan al khumus berupa barang dan ternak tersebut juga dikirimkan ke baitul mal di ibu kota. Di sisi lain Abdullah Ibn Sa’ad Ibn Abu Sarah mendapatkan sebagian dari pembagian 4/5 hasil rampasan perang sebab dia telah memimpin penaklukan afrika Utara tersebut. Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa 4/5 (atau 80 %) dari ghanimah adalah hak bagi tentara yang mengikuti perang, termasuk diantaranya adalah Abdullah Ibn Sa’ad Ibn Abu Sarah. Dengan demikian sebenarnya tidak ada masalah karena telah sesuai dengan koridor aturan yang berlaku.

Kemudian Khalifah Utsman juga diisukan telah menyerahkan masing-masing 100.000 dirham dari Baitul Mal kepada Harits Ibn Hakkam dan Marwan Ibn Hakkam. Desas-desus tersebut pada dasarnya merupakan fitnah belaka. Duduk persoalan sebenarnya adalah Khalifah Utsman mengawinkan seorang puteranya dengan puteri Harits Ibn Hakkam dengan menyerahkan 100.000 dirham yang berasal dari harta pribadinya sebagai bantuan. Demikian juga Khalifah Utsman telah menikahkan puterinya yang bernama Ummu Ibban dengan putera Marwan Ibn Hakkam disertai bantuan dari harta miliknya sejumlah 100.000 dirham.[18]

Dengan demikian terbukti bahwa Khalifah Utsman Ibn Affan tidak melalukan nepotisme dan praktek korupsi selama masa kepemimpinannya. Hal ini sesuai dengan pengakuan Khalifah Utsman sendiri dalam salah satu khotbahnya yang menyatakan, “ Mereka menuduhku terlalu mencintai keluargaku. Tetapi kecintaanku tidak membuatku berbuat sewenang-wenang. Bahkan aku mengambil tindakan-tindakan (kepada keluargaku) jikalau perlu. Aku tidak mengambil sedikit pun dari harta yang merupakan hak kaum muslimin. Bahkan pada masa Nabi Muhammad pun aku memberikan sumbangan-sumbangan yang besar, begitu pula pada masa Khalifah Abu Bakar dan pada masa Khalifah Umar ….”.[19]

Dalam khutbahnya tersebut Khalifah Utsman juga menyatakan sebuah bukti kuat tentang kekayaan yang masih dimilikinya guna membantah isu korupsi sebagai berikut, “ Sewaktu aku diangkat menjabat Khalifah, aku terpandang seorang yang paling kaya di Arabia, memiliki ribuan domba dan ribuan onta. Dan sekarang ini (setelah 12 tahun menjabat khilafah), manakah kekayaanku itu ? Hanya tinggal ratusan domba dan dua ekor unta yang aku pergunakan untuk kendaraan pada setiap musim haji”.[20]

  1. Pemberontakan dan Terbunuhnya Utsman Ibn Affan

Dalam pemerintahan Khalifah Utsman tergolong sukses pada enam tahun awal dari pemerintahannya, namun sesuai dengan catatan sejarah bahwa enam kedepan banyak terjadi perubahan-perubahann termasuk tuntutan rakyat, dimana adanya Nepotisme ditubuh pemerintahan Utsman sangat meresahkan kehidupan rakyat. Ketika Utsman mengangkat Marwan Ibn Hakkam, sepupu Khalifah yang dituduh sebagai orang yang mementingkan diri sendiri dan suka intrik, menjadi sekretaris utamanya, dan ketika itu spontan rakyat timbul mosi tak percaya terhadap keputusan yang diambil oleh Utsman tersebut. Begitu pula penempatan Muawiyah, Walid Ibn Uqbah dan Abdullah Ibn Sa’ad masing-masing menjadi Gubernur Suriah, Irak, dan Mesir, sangat tidak disukai oleh umum.

Ditambah lagi tuduhan-tuduhan keras bahwa kerabat Khalifah memperoleh harta pemerintah dengan mengorban kekayaan umum dan tanah Negara. Hakkam ayah Marwan mendapatkan tanah Fadah dan Marwan sendiri menyalahgunakan harta Baitul Mal (dipakai untuk kepentingan pribadi dan diberikan juga untuk kaum kerabat lainnya dan seakan-akan beliau tidak sadar bahwa harta Baitul Mal adalah Harta Kaum Muslimin) Muawiyah mengambil alih tanah Negara Suriah dan Khalifah mengijinkan Abdullah untuk mengambil untuk dirinya sendiri seperlima dari harta rampasan perang Tripoli.

Situasi itu benar-benar semakin mencekam, bahkan usaha-usaha yang bertujuan baik dan mempunyai alasan kuat untuk kemaslahatan ummat disalah pahami dan melahirkan perlawanan dari masyarakat. Penulisan Al-Qur’an yang diperkirakan sebagai langkah yang efektif malah menjadi menambah permasalahan dan bahkan mengundang kecaman, dan juga Utsman malah dituduh tidak punya otoritas untuk menetapkan edisi al-Qur’an yang dibakukan itu. Rasa tidak puas terhadap Khalifah Utsman semakin besar dan menyeluruh, di Kuffah dan Basrah, yang dikuasai oleh Thalhah dan Zubair, rakyat bangkit menentang Gubernur yang diangkat oleh Khalifah. Selain ketidaksetiaan rakyat terhadap Abdullah ibnu Sa’ad saudara angkat Khalifah sebagai penggati Gubernur ‘Amr ibn Ash juga karena komplik soal pembagian ghanimah.

Ada beberapa hal yang mendasari kenapa hal itu terjadi, yaitu pada saat pemerintahan Abu Bakar  dan Umar para pejabat senior tidak diperbolehkan keluar dari Madinah. Karena mereka adalah sebagai percontohan bagi pejabat junior, namun aturan itu tidak diterapkan lagi oleh Utsman. Tetap Utsman lebih cenderung dan lebih sering berdiskusi dengan pejabat junior yang notabenenya adalah kaum kerabatnya sendiri yang haus akan kekuasaan dan jabatan.

Pergolakan semakin memanas saat itu, Abdullah Ibn Saba' seorang Yahudi yang berpura-pura masuk Islam, memotori para sahabat untuk membuat gerakan-gerakan pemberontakan, sahabat yang terpancing oleh tipu daya muslihat Abdullah Ibn Saba' adalah: Abu Zar al-Ghiffari, Ammar Ibn Yasir` dan Abdullah Ibn Mas'ud. Sebenarnya Abdullah Ibn Saba' telah cukup lama menantikan moument ini, dimana situasi ini dapat menghancurkan Islam, yang pertama-tama ia mempropaganda barisan pengikut Ali Ibn Thalib.

Waktu itu barisan pengikut Ali selalu dimarjinalkan oleh pejabat-pejabat dari pihak Utsman, isu-isu yang dilancarkan oleh Abdullah Ibn Saba' bagaikan gayung bersambut, dan saat itu lahirlah golongan yang disebut dengan "Mazhab Whisayah". Mazhab ini mempunyai ideologi bahwa Ali-lah yang berhak menjadi Khalifah dan dia adalah orang yang mendapat wasiat dari Nabi Muhammad SAW. Para penganut mazhab ini sangat memuliakan Ali sebagaimana rasul menjulukinya sebagai "Pintu Ilmu". Paham tersebut sesuai dengan doktrin dan ideologi yang dibawa oleh Abdullah Ibn Saba' dan ia menambahi paham itu dengan paham-paham yang dibawanya dari Persi yaitu paham "Hak Ilahi", aliran ini berasal dari Persi yang dibawa ke Yaman tempat kelahiran Abdullah Ibn Saba' fase sebelum datangnya Islam. Menurut paham ini Ali-lah yang berhak sebagai Khalifah tetapi Utsman mengambilnya dengan jalan pemaksaan.

Beranjak dari hasutan-hasutan Abdullah Ibn Saba', semua isu-isu kotornya sangat tepat sasaran, sehingga setiap kebijakan-kebijakan Utsman menjadi bumerang baginya, ditambah lagi para kerabatnya tidak punya tanggung jawab terhadap rakyat.

Terjadilah pemberontakan-pemberontakan dimana-mana, saat itu yang paling getol mengkritisi Utsman adalah Abu Zar al-Ghiffari, ia menyoroti aspek nefotisme dan kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi ditubuh pemerintahan Utsman. Ketika kobaran-kobaran pemberontakan di daerah menuntut agar Utsman segera turun dari pemerintahan, namun Utsman Ibn Affan tetap bersikukuh mempertahankan kekhalifahannya.

Mesir dan Basrah, mereka merapatkan barisan menuju ke Madinah dan sampai disana mereka bertemu dengan Ali Ibn Thalib yang berusaha bernegosiasi dengan mereka yang datang dari Mesir dan Basrah. Karena kebijakan dan ketawadukan Ali Ibn Thalib, para pemberontak itu bersikap legowo dan memahami saran-saran Ali, dan bersedia untuk kembali kedaerah masing-masing.

Saat diperjalanan, menuju daerah masing-masing, pemberontak asal Mesir memergoki seorang kurir yang membawa surat perintah, yang isi surat tersebut ditujukan kepada Gubernur Mesir untuk membunuh pemimpin pemberontak ketika mereka sampai di Mesir, dan surat tersebut berstempelkan Khalifah. Dalam memahami isi surat tersebut terdapat kekeliruan maksud sebenarnya adalah sambutlah bukan bunuhlah.[21]

Setelah diteliti ternyata surat tesebut ditulis oleh Marwan Ibn Hakkam tanpa sepengetahuan Utsman Ibn Affan, kemudian mereka membatalkan untuk kembali pulang ke Mesir dan menghubungi pemberontak yang dari Basrah agar segera kembali dan bersama-sama menuju Madinah untuk mempertanyakan hal tersebut. Dalam perjalanan ke Madinah mereka mendengar kabar bahwa pasukan dari Mesir dan Syam sedang bersiap-siap menuju Madinah untuk melindungi Utsman Ibn Affan dan pasukan tersebut bermaksud untuk membasmi mereka.

Saat itu keadaan semakin genting, dan begitu mendengar kabar tentang kedatangan pasukan dari Mesir dan Syam tersebut, pasukan pemberontak bahkan bermaksud untuk membunuh Utsman Ibn Affan. Padahal ketika menemukan surat dari kurir (yang berisikan untuk membunuh pemimpin mereka) tidaklah ada prasangka yang positif mereka apa maksud dan tujuan surat tersebut, apakah hanya berbentuk provokasi atau sebagai politik Marwan Ibn Hakkam untuk menjatuhkan Utsman agar bani Umayyah menggantikan  keKhalifahan Utsman Ibn Affan.

Walaupun selintas, surat tersebut adalah berstempelkan Khalifah dan jelas-jelas yang memegang stempel saat itu adalah Marwan Ibn Hakkam, namun yang membuat surat belum diketahui pastinya dan hanya tuduhan tanpa saksi dan bukti konkrit.

Ditambah lagi provokasi Abdullah Ibn Saba' maka hilanglah keimanan dan ketaqwaan mereka terhadap ajaran-ajaran Islam, yang ada saat itu hanyalah dendam dan nafsu ingin membunuh Utsman Ibn Affan. Akibat nafsu yang tidak dapat dikendalikan lagi, sesampai di Madinah mereka langsung mendatangi rumah Utsman Ibn Affan, ketika itu Ali dan kedua anaknya Hasan dan Husin dan beberapa orang lainnya berusaha menghalau dan mencoba bernegosiasi kembali, Namun hal tersebut gagal, karena banyaknya para pembrontak, Ali Ibn Thalib dan yang lainnya tak kuasa menghalangi mereka yang penuh dengan hawa nafsu untuk membunuh Utsman Ibn Affan. Mereka mengepung rumah Utsman selama kurang lebih 40 hari. Meskipun rumah itu dijaga oleh Putra Ali dan Zubeir mereka tetap masuk dan membunuh Utsman yang sedang membaca Al-qur’an sehabis shalat,  istrinya Nailah-pun menjadi korban keganasan orang-orang ini. Hingga Wardan bin  Samurah berhasil membunuh beliau.  Kejadian ini berlangsung pada hari jum’at  8 dzul hijjah 35 H. Dengan tangan-tangan Iblis para pemberontak itu menghujamkan pedangnya kearah Utsman yang sudah tua-renta  itu, dan pemberotak lainnya berduyun-duyun menghabisi Utsman dan akhirnya ia tewas bersama keluarganya.

Dengan bersimbah darah Utsman Ibn Affan terbujur kaku di atas sajadahnya dan saat itu tiada lagi aroma keIslaman yang ada hanya aroma Iblis yang mengisi ruang-ruang rumah Khalifah Utsman Ibn Affan. Maka berakhirlah ke Khalifahan Utsman Ibn Affan yang berlangsung sampai dua belas tahun lamanya.

Berdasarkan kajian di atas telah diketahui bahwa isu nepotisme dalam pemerintahan Utsman terbukti tidak benar. Sebab masing-masing tindakan Utsman telah memiliki rasionalisasi berdasarkan kebutuhan zaman yang terjadi  serta mewakili kebijakan yang seharusnya diambil. Sementara itu kegagalan pemerintahan Utsman lebih banyak disebabkan faktor stamina dan kondisi kesehatan beliau. Pada saat diangkat Utsman telah berusia 70 tahun sehingga kurang leluasa memerintah mengingat kondisi tubuhnya tersebut sehingga pada masa akhir pemerintahannya beberapa hal kurang dapat diatasi secara memuaskan. Namun Utsman adalah sosok pemimpin yang luar biasa terkait dengan jasanya terhadap Islam. Semasa Rasulullah masih menunggui umat, beliau adalah salah satu donatur tetap bagi dakwah. Dan pada masa setelahnya beliau tetaplah seorang pejuang muslim yang teguh kepada pendirian dan keislamannya.

Selain itu secara kuantitas jumlah pejabat negara keluarga Utsman dibandingkan dengan yang bukan familinya jelas bukan mayoritas. Tuduhan nepotisme tersebut setidaknya hanya di dasarkan kepada 6 perkara di atas. Sementara jumlah pejabat publik diluar anggota keluarga tersebut adalah mayoritas. Lantas mengapa kita harus mempercayai isu nepotisme tersebut ?

[1] Abubakar Aceh. Sejarah Al Quran. Cetakan Keenam. (Ramadhani, Surakarta, 1989). Hal. 37-39

[2] Ali, K. A Study of Islamic History. New Delhi : Idarah al-Arabiyah, t. Th. History of India, Pakistan, and Bangladesh. Dhaka: Bangla Academy,1976. Hal. 221-222. Yang dikutip oleh Abdul Karim. M Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Cetakan Ketiga (Bagaskara, Yogyakarta, 2011). Hal. 89 

[3]Abdul Manaf memiliki putra yaitu Hasyim dan Abdus Syams. Dari Hasyim kemudian menurunkan Abdul Muththalib lalu Abdullah dan sampai kepada Nabi Muhammad. Sedangkan Abdus Syams memiliki anak bernama Ummayah lalu Abdullah lantas Affan dan kemudian sampai kepada urutan Utsman. (Lihat Soekama Karya. Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam. (Logos, Jakarta,1996). Hal. 254

[4]M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007). Hal. 89

[5] Dalam sidang Formatur yang dipimpin oleh Abdurrahman Ibn ‘Auf, Utsman mengusulkan nama Ali Ibn Abi Thalib dalam pencalonan sebagai khalifah ketiga. Sedangkan Ali Ibn Abi Thalib bersikeras agar Utsman yang terpilih sebagai khalifah pengganti Umar Ibn Khatthab. Karena hal inilah maka kemudian diadakan musyawarah penentuan suara sampai terpilihnya Utsman Ibn Affan dengan suara mayoritas. Dengan demikian terbukti jelas bahwa Tokoh Ali maupun Utsman bukanlah tokoh yang ambisius terhadap kekuasaan. Selengkapnya baca Al Hafidz Jalaluddin As Suyuthi. Tarikh al Khulafa. (Dar al Fikr, Beirut, 2001). Hal. 176. Lihat pula Hafidz Dasuki. A. (Pimred).et. all. Ensiklopedi Islam. Jilid I. (PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1997). Hal. 25

[6] A. Latif Osman. Ringkasan Sejarah Islam. Cetakan XXIX. (Penerbit Widjaya, Jakarta, 1992). Hal. 67

[8] Di antara buku yang menyebutkan indikasi terjadinya nepotisme dalam pemerintahan Khalifah Utsman bisa dilihat pada Abu A’la Al Maududi. Khilafah dan Kerajaan. Terj. Al Baqir. (Mizan, Bandung, 1984). Hal. 120-130. Juga Philip K. Hitti. History of The Arabs. (The MacMillan Press, London, 1974). Hal. 44

[9] Keterikatan silsilah antara Utsman dan Muawiyah bertemu pada garis silsilah Ummayah. Utsman adalah putra Affan putra Abdullah Putra Ummayyah. Sedangkan Muawiyah adalah putra Abu Sufyan putra Harb putra Ummayyah. Lihat Soekama Karya. Opcit. Hal. 254

[10] A. Latif Osman. Locpcit.

[11]Hafidz Dasuki, A (Pimred).et.all. Ensiklopedi Islam. Jilid III. Cetakan IV. (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1997). Hal. 247

[12] William Muir. The Caliphate : Its Rise, Decline, and Fall. (The R.T. Society, Esinbargh, 1892). Hal. 216-217

[13] Nourouzzaman Shiddiqi. Menguak Sejarah Muslim. (PLP2M, Yogyakarta, 1984). Hal. 80

[14] Termasuk didalamnya tentang isu surat rahasia khalifah yang sebenarnya adalah buatan Marwan Ibn Hakkam yang memicu huru-hara. Lihat  Hafidz Dasuki,  A. (Pimred) et all. Ensiklopedi Islam. Jilid V. Cetakan IV. (PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1997). Hal. 143

[15] Hafidz Dasuki. A (Pimred). et. all. Ensiklopedi Islam. Jilid III. Cetakan IV. (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1997). Hal. 169

[16] Musthafa Dieb Al Bigha. Fiqih Islam. Terjemah : Ahmad Sunarto dari At Tadzhib Fil Adillati Matnil Ghayyah wa Taqrib. (Insan Amanah, Surabaya, 2004). Hal. 444-450. Juga Sulaiman Rasyid. Fiqih Islam. Cetakan XXIII. (Sinar Baru, Bandung, 1990). Hal. 426-427

[17]Joesoef Sou’yb. Sejarah Daulat Khulafaur-Rasyidin. (Bulan Bintang, Jakarta, 1979). Hal. 438-439

[19] Joesoef Sou’yb. Op.Cit.. Hal. 437

[20] Joesoef Sou’yb. Op.Cit. Hal. 438

[21]  M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Cetakan ke III, Ygyaarta: Bagaskara, 2011. Hal. 103-104

DAFTAR PUSTAKA

Aceh, Abu Bakar, 1989. Sejarah Al Quran, Cetakan Keenam, Surakarta: Ramadhani.

Al Bigha, Musthafa Dieb, 2004.  Fiqih Islam, Terjemah: Ahmad Sunarto dari,  At Tadzhib Fil Adillati Matnil Ghayyah wa Taqrib, Surabaya: Insan Amanah.

Al Maududi, Abu A’la, 1984. Khilafah dan Kerajaan. Terj. Al Baqir, Bandung: Mizan.

As Suyuthi, Al Hafidz Jalaluddin, 2001. Tarikh al Khulafa, Beirut: Dar al Fikr.

Dasuki, Hafidz A,  Ensiklopedi Islam, Jilid III, Cetakan IV, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997

———–,  Ensiklopedi Islam, Jilid V, Cetakan IV, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997

———–, 1997.  Ensiklopedi Islam, Jilid I, Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve.

Karim, M. Abdul, 2001. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Cetakan Ketiga, Yogyakarta: Bagaskara.

———–, 2007. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.

Karya, Soekama, 1996. Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Logos.

Muir, William, 1892. The Caliphate : Its Rise, Decline, and Fall, Esinbargh: The R.T. Society.

Osman, Latif A, 1992. Ringkasan Sejarah Islam, Cetakan XXIX, Jakarta: Widjaya.

Rasyid, Sulaiman, 1990. Fiqih Islam, Cetakan XXIII, Bandung: Sinar Baru.

Shiddiqi, Nourouzzaman, 1984. Menguak Sejarah Muslim, Yogyakarta: PLP2M.

Sou’yb, Joesoef, 1979. Sejarah Daulat Khulafaur-Rasyidin, Bulan Bintang, Jakarta.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA