Nilai moral pada syair dapat ditemukan pada larik

ISSN 2354-7200 (cetak)

ISSN 2621-2013 (daring)

Volume 6 Nomor 1 Edisi Juni 2018

JURNAL ILMIAH KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN

Sirok Bastra

Jurnal Kebahasaan

dan Kesastraan

P-ISSN

2354-7200

E-ISSN

2621-2013

KANTOR BAHASA KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

ISSN 2354-7200 (cetak)

ISSN 2621-2013 (daring)

Volume 6 Nomor 1 Edisi Juni 2018

JURNAL ILMIAH KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN

Jurnal ini merupakan wadah informasi kebahasan, kesastraan, dan pengajarannya yang memuat

hasil penelitian, studi kepustakaan, dan tulisan ilmiah bidang kebahasan dan kesastraan serta

pengajarannya. Sirok Bastra terbit dua kali setahun, yakni Juni dan Desember; terbit sejak Juni

2013 (cetak) dan Juni 2018 (cetak dan daring).

Penanggung Jawab

Kepala Kantor Bahasa Kepulauan Bangka Belitung (Drs. Hidayatul Astar, M.Hum.)

Mitra Bestari

Prof. Dr. Agus Nuryatin, M.Hum. Universitas Negeri Semarang

Prof. Amrin Saragih, Ph.D., M.A. Universitas Negeri Medan

Prof. Suwardi Endraswara, M.Hum Universitas Negeri Yogyakarta

Dr. Felicia Nuradi Utorodewo, M.Hum. Universitas Indonesia

Dr. Pujiharto, M.Hum. Universitas Gadjah Mada

Dr. Katubi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Yulitin Sungkowati, M.Hum. Balai Bahasa Jawa Timur

Nazarudin, M.A. Universitas Indonesia

Pemimpin Redaksi

Prima Hariyanto

Penyunting

Dr. Asyraf Suryadin, M.Pd. STKIP Muhammadiyah Bangka Belitung

Dwi Oktarina, S.S. Kantor Bahasa Kepulauan Bangka Belitung

Hotnida Novita Sary, M.Hum. Editor Bahasa PT Liputan Enam Dot Com

Edwin Dwijaya, S.S. Kantor Bahasa Kepulauan Bangka Belitung

Desain Grafis

Feri Pristiawan, S.S.

Pengatak

Dewi Septi Kurniawati, S.Kom.

Alamat Redaksi dan Penerbit

Kantor Bahasa Kepulauan Bangka Belitung

Kompleks Perkantoran dan Permukiman Terpadu Pemerintah Provinsi Kep. Bangka Belitung

Jalan Pulau Bangka, Airitam, Kota Pangkalpinang, Prov. Kepulauan Bangka Belitung

Telepon (0717) 438455, Faksimile (0717)9103317

Laman: //sirokbastra.kemdikbud.go.id/

Pos-el: d,

Pemuatan suatu tulisan dalam jurnal ini tidak berarti redaksi menyetujui isi tulisan tersebut.

Isi tulisan menjadi tanggung jawab penulis. Tulisan telah ditinjau dan diulas oleh mitra

bestari. Setiap karangan dalam jurnal ini dapat diperbanyak setelah mendapat izin tertulis

dari penulis, redaksi, dan penerbit.

i

PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Pemilik dan Pencipta semesta ini yang memiliki kuasa atas diri-Nya

sendiri. Dialah Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga

Volume 6 Nomor 1 Jurnal Sirok Bastra Tahun 2018 dapat terbit meskipun terlambat satu bulan.

Pada edisi ini dimuat sembilan tulisan, yakni lima tulisan kebahasaan, tiga tulisan

kesastraan, serta satu tulisan pengajaran bahasa dan sastra.

Dalam penelitiannya, Jumani mendeskripsikan struktur dan nilai moral pantun pada rubrik

“Bujang Besaot” untuk dijadikan bahan ajar sastra di SMA. Berdasarkan hasil penelitian, pantun

pada rubrik “Bujang Besaot” didominasi tema percintaan dan rima akhir dengan pola rima a b a

b. Citraan visual dan nilai moral persahabatan adalah unsur yang mendominasi pantun rubrik

“Bujang Besaot”. Berdasarkan analisis struktur dan nilai moral, pantun rubrik “Bujang Besaot”

dapat dijadikan alternatif bahan ajar sastra di SMA.

Dalam tulisannya, Wahyu Heriyadi membahas politik teror gotik-postmodern dan

representasi disabilitas dalam Ular di Mangkuk Nabi karya Triyanto Triwikromo. Pada buku ini,

jalinan cerita dengan susunan kerumitan, teror, erotika, metafiksi, mistik, ruang tafsir pembaca

yang dibuyarkan. Cerita ini menawarkan sebuah pengalaman baru bagi pembacanya, politik

teror gotik-postmodern. Berdasarkan penelitian, disimpulkan bahwa Triyanto Triwikromo

membawa politik teror melalui genre gotik-postmodern kepada pembaca, di dalam kumpulan

cerita Ular di Mangkuk Nabi.

Dalam kajiannya, Sakila membahas penerapan metode latihan (drill) dalam pembelajaran

menulis resensi buku pengetahuan sehingga dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas IX

dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Teknik dan langkah-langkah pembelajaran dengan

menggunakan metode latihan (drill) dapat diterapkan pada pembelajaran materi pokok

meresensi buku pengetahuan. Penerapan metode ini memungkinkan para siswa melatih dirinya

sendiri menulis resensi buku pengetahuan dan menemukan sendiri informasi yang diperlukan

untuk mencapai tujuan instruksional pada mata pelajaran Bahasa Indonesia

Dalam penelitiannya, Bram Denafri membahas struktur informasi yang dikemas dalam

konstruksi gramatikal kalimat bahasa Indonesia. Berdasarkan hasil analisis data, ditemukan

bahwa unsur topik kalimat tunggal bahasa Indonesia dapat diisi oleh subjek dan keterangan.

Topik dapat dibubuhi penanda berupa penanda demonstratif, seperti leksikal ini dan itu yang

berkaitan dengan konteks. Pemarkah takrif ini dan itu menjadikan topik bersifat terbatas,

struktur fokus-praanggapan dalam kalimat tunggal bahasa Indonesia terdapat tiga jenis struktur

fokus, yaitu struktur fokus kalimat, struktur fokus argumen dan struktur fokus predikat. Struktur

fokus-praanggapan dalam kalimat majemuk bahasa Indonesia terdapat dua jenis struktur fokus,

yaitu struktur fokus argumen dan struktur fokus predikat.

Dalam kajiannya, Ni Nyoman Ayu Suciartini membahas pemertahanan bahasa Bali

dalam parodi “Hai Puja”. Video parodi “Hai Puja” telah ditonton ribuan masyarakat sebagai salah

satu media yang memiliki kedudukan strategis dan potensial dalam usaha pembinaan serta

pengembangan bahasa Bali sejak usia dini. Berdasarkan analisis, ditemukan faktor sosiolinguistik

yang memengaruhi pemertahanan bahasa Bali dalam parodi “Hai Puja” ini, yaitu (1) loyalitas

terhadap bahasa Ibu, (2) sikap bahasa golongan muda, serta (3) penggunaan media sosial yang

sesuai dengan perkembangan zaman.

Dalam tulisannya, Rissari Yayuk membahas makna implikatur percakapan tuturan

enyekan sebagai manifestasi melecehkan muka dalam bahasa Banjar. Hasil penelitian

menunjukkan terdapat tiga manisfestasi melecehkan muka pada tuturan enyekan dalam bahasa

Banjar dengan sinis, dengan kata-kata kasar, dan ejekan. Makna implikaturnya meliputi makna

memerintah berkategori melecehkan muka dengan kata sinis dan kasar; makna implikatur

melarang berkategori melecehkan muka dengan sinis dan kasar; dan mmakna implikatur

penegasan dengan ejekan.

Dalam artikelnya, Hestiyana membahas bentuk kesalahan berbahasa pada penulisan

iklan media luar ruang di Kota Pelaihari. Bentuk-bentuk kesalahan berbahasa yang ditemukan

berkaitan dengan ejaan, pilihan kata atau diksi, dan unsur serapan dari bahasa asing.

Dalam tulisannya, Desi Wulandari mengkaji keterkaitan pembelajaran puisi melalui

metode konstruktivisme berbasis karakter untuk meningkatkan keterampilan menulis esai.

ii

Dengan menggunakan metode konstruktivisme, peserta didik dapat membangun atau menyusun

ide baru berdasarkan pengalaman dari pembelajaran puisi menjadi esai. Dari hasil penelitian

terdapat peningkatan kemampuan peserta didik dalam mengembangkan ide baru dari

pembelajaran puisi menjadi esai.

Dalam kajiannya, Agoes Hendriyanto,Arif Mustofa, dan Bakti Sutopo

mendeskripsikan nilai filosofis yang terkandung dalam seni Kethek Ogleng Desa Tokawi,

Kecamatan Nawangan, Kabupaten Pacitan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gerakan seni

Kethek Ogleng mengandung filsafat yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat Jawa. Hal

filosofis tersebut menyangkut manusia sebagai individu maupun makhluk sosial.

Kami mengucapkan terima kasih kepada para penulis yang telah bersedia menerbitkan

karya mereka pada edisi ini. Para penulis merupakan peneliti, pakar, dosen, dan mahasiswa dari

berbagai perguruan tinggi dan instansi. Terima kasih juga kami sampaikan kepada para mitra

bestari kami yang telah memberi ulasan terhadap tulisan-tulisan yang masuk ke redaksi.

Demi memenuhi keberagaman isi dan penulis, Sirok Bastra membuka kesempatan bagi

para peneliti dan penulis menyampaikan hasil penelitian dan pemikiran mutakhir dalam bidang

kebahasaan, kesastraan, dan pengajarannya.

Pangkalpinang, Agustus 2018

Redaksi

iii

DAFTAR ISI

PENGANTAR ....................................................................................................... i

DAFTAR ISI........................................................................................................ iii

KUMPULAN ABSTRAK........................................................................................... iv

ABSTRACT COLLECTIONS.................................................................................... ix

STRUKTUR DAN NILAI MORAL PANTUN PADA RUBRIK “BUJANG BESAOT” SERTA

PEMANFAATANNYA SEBAGAI BAHAN AJAR

(Structure and Moral Value of Pantun at Rubric “Bujang Besaot” and Its Utilization

as Literature Materials)

Jumani.............................................................................................................. 1—21

POLITIK TEROR GOTIK-POSTMODERN DAN REPRESENTASI DISABILITAS DALAM

ULAR DI MANGKUK NABI

(Gothic-Postmodern Political Terror and Disability Reprententation on “Ular di

Mangkuk Nabi”)

Wahyu Heriyadi ............................................................................................... 23—28

PENERAPAN METODE LATIHAN (DRILL) DALAM PEMBELAJARAN MENULIS

RESENSI BUKU PENGETAHUAN

(Application of Drill Method in Learning of Writing Knowledge Book Review)

Sakila ............................................................................................................... 29—42

STRUKTUR INFORMASI KALIMAT BAHASA INDONESIA

(Information Structure of Indonesian Sentence)

Bram Denafri.................................................................................................... 43—49

PEMERTAHANAN BAHASA BALI DALAM PARODI “HAI PUJA”

(Defense of Balinese Language in Parody “Hai Puja”)

Ni Nyoman Ayu Suciartini................................................................................ 51—65

MAKNA IMPLIKATUR PERCAKAPAN TUTURAN ENYEKAN SEBAGAI MANIFESTASI

MELECEHKAN MUKA DALAM BAHASA BANJAR

(The Meaning of Speech Implicature of Enyekan Statement as Manifestation of

Face Harassment in Banjar Language)

Rissari Yayuk ................................................................................................... 67—79

BENTUK KESALAHAN BERBAHASA PADA PENULISAN IKLAN MEDIA LUAR RUANG

DI KOTA PELAIHARI

(The Form of a Language Error in the Writing of Outdoor Media Advertising in

Pelaihari City)

Hestiyana......................................................................................................... 81—92

PEMBELAJARAN PUISI MELALUI METODE KONSTRUKTIVISME BERBASIS

KARAKTER UNTUK MENINGKATKAN KETRAMPILAN MENULIS

(Poetry Learning by Conducting Character Based Contructivism Method to

Enchance Writing Skill)

Desi Wulandari................................................................................................. 93—104

FILOSOFI JAWA DALAM SENI KETHEK OGLENG DESA TOKAWI, KECAMATAN

NAWANGAN, KABUPATEN PACITAN

(Javanese Philosophy in Kethek Ogleng Art of Tokawi Village, Nawangan District,

Pacitan Regency)

Agoes Hendriyanto, dkk. ................................................................................. 105—115

Volume 6 Nomor 1 Edisi Juni 2018

P-ISSN 2354-7200, E-ISSN 2621-2013

JURNAL ILMIAH KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN

Kata kunci yang dicantumkan di sini adalah kata-kata yang mewakili konsep yang digunakan

dalam sebuah tulisan. Abstrak dapat digandakan tanpa izin dari penerbit dan bebas biaya.

Jumani (SMA Negeri 1 Pangkalpinang)

“Struktur dan Nilai Moral Pantun “Bujang Besaot” serta Pemanfaatannya sebagai Bahan Ajar

Sastra di SMA”

Sirok Bastra, Volume 6 Nomor 1 Edisi Juni 2018, halaman 1—21

Pantun sebagai salah satu karya sastra dapat dikaji dari berbagai aspek. Pantun dapat dikaji

sebagai sebuah struktur yang bermakna dan mengandung nilai. Penelitian ini bertujuan untuk

mendeskripsikan struktur dan nilai moral pantun pada rubrik “Bujang Besaot” untuk dijadikan

bahan ajar sastra di SMA. Sumber data penelitian ini adalah surat kabar harian Bangka Pos

terbitan Juni--September 2008. Data penelitian berupa data tulis. Pengumpulan data penelitian ini

dilakukan dengan metode studi pustaka dengan teknik baca dan catat. Dalam analisis data,

metode yang digunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Berdasarkan hasil

penelitian, pantun pada rubrik “Bujang Besaot” didominasi tema percintaan dan rima akhir dengan

pola rima a b a b. Citraan visual dan nilai moral persahabatan adalah unsur yang mendominasi

pantun rubrik “Bujang Besaot”. Berdasarkan analisis struktur dan nilai moral, pantun rubrik

“Bujang Besaot” dapat dijadikan alternatif bahan ajar sastra di SMA.

Kata Kunci: pantun, nilai moral, bahan ajar, struktur pantun

Wahyu Heriyadi (Penerbit Vidya Mandiri)

“Politik Teror Gotik-Postmodern dan Representasi Disabilitas dalam Ular di Mangkuk Nabi”

Sirok Bastra, Volume 6 Nomor 1 Edisi Juni 2018, halaman 23—28

Sastra bergenre gotik ternyata mampu menyedot pembaca, seperti novel-novel karya Abdullah

Harahap pada 1970—1980. Namun, muncul kontroversi berkepanjangan untuk menyebut karya

sastra gotik sebagai sebuah genre yang patut dikaji dan diapresiasi para pengkritik sastra di

Indonesia. Sebab, moralitas yang disajikan melalui karya sastra justru dapat dilakukan dengan hal-

hal yang berbanding terbalik dengan kaidah moralitas yang mestinya berlaku. Oleh karena itu,

kritik sastra gotik semakin mendapat ruang untuk membedah sebuah karya sastra, terlebih lagi

dengan kehadiran alat analisis melalui pendekatan gotik-postmodern. Pendekatan gotik-

postmodern dan disabilitas dipakai untuk membongkar segala aspek dalam kumpulan cerita Ular di

Mangkuk Nabi karya Triyanto Triwikromo. Pada buku ini, jalinan cerita dengan susunan kerumitan,

teror, erotika, metafiksi, mistik, ruang tafsir pembaca yang dibuyarkan. Cerita ini menawarkan

sebuah pengalaman baru bagi pembacanya, politik teror gotik-postmodern. Berdasarkan

penelitian, disimpulkan bahwa Triyanto Triwikromo membawa politik teror melalui genre gotik-

postmodern kepada pembaca, di dalam kumpulan cerita Ular di Mangkuk Nabi.

Kata kunci : politik teror, gotik-posmodern, disabilitas

Volume 6 Nomor 1 Edisi Juni 2018

P-ISSN 2354-7200, E-ISSN 2621-2013

JURNAL ILMIAH KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN

Kata kunci yang dicantumkan di sini adalah kata-kata yang mewakili konsep yang digunakan

dalam sebuah tulisan. Abstrak dapat digandakan tanpa izin dari penerbit dan bebas biaya.

Sakila (SMP Negeri 2 Singkawang)

“Penerapan Metode Latihan (Drill) dalam Pembelajaran Menulis Resensi Buku Pengetahuan”

Sirok Bastra, Volume 6 Nomor 1 Edisi Juni 2018, halaman 29—42

Metode sangat penting dan harus dimiliki oleh guru sebelum memasuki ruang belajar. Hal ini

disebabkan karena metode merupakan pondasi awal untuk mencapai tujuan pendidikan dan

keberhasilan sebuah pembelajaran. Guru memegang peranan penting dalam proses dan

peningkatan mutu pendidikan. Peningkatan kompetensi guru berbanding lurus dengan prestasi

siswa. Tujuan penulisan ini adalah untuk memberi sumbangan pemikiran dan gagasan, dan

langkah-langkah penerapan metode latihan (drill) dalam pembelajaran menulis resensi buku

pengetahuan sehingga dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas IX dalam mata pelajaran

Bahasa Indonesia. Teknik dan langkah-langkah pembelajaran dengan menggunakan metode

latihan (drill) dapat diterapkan pada pembelajaran materi pokok meresensi buku pengetahuan.

Siswa ditempatkan sebagai subyek yang belajar. Mereka tidak hanya berperan sebagai penerima

pelajaran melalui penjelasan guru secara verbal, tetapi mereka berperan untuk menemukan

sendiri inti dari materi pelajaran yang sedang dipelajarinya. Kesimpulan akhir dapat disampaikan

bahwa dengan penerapan metode latihan (drill) memungkinkan para siswa melatih dirinya sendiri

menulis resensi buku pengetahuan dan menemukan sendiri informasi yang diperlukan untuk

mencapai tujuan instruksional pada mata pelajaran Bahasa Indonesia.

Kata kunci: metode latihan (drill), pembelajaran menulis resensi buku pengetahuan,

Bram Denafri (Universitas Pamulang)

“Struktur Informasi Kalimat Bahasa Indonesia”

Sirok Bastra, Volume 6 Nomor 1 Edisi Juni 2018, halaman 43—49

Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan struktur informasi yang dikemas dalam konstruksi

gramatikal kalimat bahasa Indonesia. Struktur informasi memperhatikan bentuk ujaran dalam

hubungannya dengan asumsi penutur dan pendengar. Asumsi ini berhubungan dengan bentuk

teks yang diproduksi dan bentuk dasar tertentu yang dipilih oleh penutur dan mitra tutur. Semua

hal tersebut tecermin dalam struktur gramatikal kalimat. Analisis data dilakukan menggunakan

metode agih. Teknik yang digunakan adalah teknik bagi unsur langsung, teknik lesap dan teknik

baca markah. Berdasarkan hasil analisis data, ditemukan bahwa unsur topik kalimat tunggal

bahasa Indonesia dapat diisi oleh subjek dan keterangan. Topik dapat dibubuhi penanda berupa

penanda demonstratif, seperti leksikal ini dan itu yang berkaitan dengan konteks. Pemarkah takrif

ini dan itu menjadikan topik bersifat terbatas,struktur fokus-praanggapan dalam kalimat tunggal

bahasa Indonesia terdapat tiga jenis struktur fokus, yaitu struktur fokus kalimat, struktur fokus

argumen dan struktur fokus predikat. Struktur fokus-praanggapan dalam kalimat majemuk bahasa

Indonesia terdapat dua jenis struktur fokus, yaitu struktur fokus argumen dan struktur fokus

predikat

Kata kunci: struktur informasi, bahasa Indonesia.

Volume 6 Nomor 1 Edisi Juni 2018

P-ISSN 2354-7200, E-ISSN 2621-2013

JURNAL ILMIAH KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN

Kata kunci yang dicantumkan di sini adalah kata-kata yang mewakili konsep yang digunakan

dalam sebuah tulisan. Abstrak dapat digandakan tanpa izin dari penerbit dan bebas biaya.

Ni Nyoman Ayu Suciartini (STMIK STIKOM Bali)

“Pemertahanan Bahasa Bali dalam Parodi ‘Hai Puja’”

Sirok Bastra, Volume 6 Nomor 1 Edisi Juni 2018, halaman 51—65

Berkembangnya teknologi memberi pengaruh tersendiri bagi pemakaian bahasa, terutama bahasa

daerah. Bahasa Bali sebagai bahasa ibu atau bahasa daerah harus terus produktif dan dikenalkan

dengan cara-cara kekinian untuk tetap bertahan pada generasi milenial. Kemunculan saluran

Youtube dalam bentuk parodi “Hai Puja” penting diapresiasi sebagai salah satu media

pemertahanan bahasa Bali. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan penggunaan kalimat

berbahasa Bali dalam video parodi “Hai Puja” yang telah ditonton ribuan masyarakat sebagai salah

satu media yang memiliki kedudukan strategis dan potensial dalam usaha pembinaan serta

pengembangan bahasa Bali sejak usia dini. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori

sosiolinguistik, yaitu teori pergeseran dan pemertahanan bahasa. Metode yang digunakan adalah

metode simak, metode cakap, dan metode wawancara. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa

ada faktor sosiolinguistik yang memengaruhi pemertahanan bahasa Bali dalam parodi hai puja ini,

yaitu 1) loyalitas terhadap bahasa Ibu, 2) sikap bahasa golongan muda, serta 3) penggunaan

media sosial yang sesuai dengan perkembangan zaman.

Kata Kunci: Hai Puja, pemertahanan bahasa Bali

Rissari Yayuk (Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan)

“Makna Implikatur Percakapan Tuturan Enyekan sebagai Manifestasi Melecehkan Muka dalam

Bahasa Banjar”

Sirok Bastra, Volume 6 Nomor 1 Edisi Juni 2018, halaman 67—79

Tuturan enyekan pada bahasa Banjar berfungsi sebagai ungkapan untuk mematahkan

pembicaraan orang lain. Tuturan ini merupakan salah satu manisfestasi ketidaksantunan

berbahasa yang berwujud melecehkan muka dengan ragam makna implikaturnya. Penelitian ini

mengkaji (1) bagaimana manifestasi melecehkan muka dalam kalimat enyekan pada bahasa

Banjar; dan (2) apa saja konteks implikatur enyekan sebagai manifestasi melecehkan muka pada

Bahasa Banjar. Tujuan penelitian adalah mendeskripsikan manifestasi melecehkan muka dalam

kalimat enyekan pada bahasa Banjar serta memaparkan konteks implikatur enyekan sebagai

manifestasi melecehkan muka pada bahasa Banjar. Data diambil di Desa Bincau, Kabupaten

Banjar, Kalimantan Selatan. Metode pengumpulan data penelitian adalah pengamatan langsung

dengan teknik catat. Data dikaji berdasarkan teori pragmatik. Metode analisis data menggunakan

deskriptif analitik dan teknik interpretatif. Hasil penelitian menunjukkan terdapat tiga manisfestasi

melecehkan muka pada tuturan enyekan dalam bahasa Banjar dengan sinis, dengan kata-kata

kasar, dan ejekan. Selanjutnya, makna implikatur percakapan tuturan enyekan sebagai manifestasi

melecehkan muka dalam bahasa Banjar meliputi makna memerintah berkategori melecehkan

muka dengan kata sinis dan kasar. Berikutnya, makna implikatur melarang berkategori

melecehkan muka dengan sinis dan kasar. Terakhir makna implikatur penegasan dengan ejekan.

Kata Kunci: linguistik, implikatur, bahasa Banjar

Volume 6 Nomor 1 Edisi Juni 2018

P-ISSN 2354-7200, E-ISSN 2621-2013

JURNAL ILMIAH KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN

Kata kunci yang dicantumkan di sini adalah kata-kata yang mewakili konsep yang digunakan

dalam sebuah tulisan. Abstrak dapat digandakan tanpa izin dari penerbit dan bebas biaya.

Hestiyana (Balai Bahasa Kalimantan Selatan)

“Bentuk Kesalahan Berbahasa pada Penulisan Iklan Media Luar Ruang di Kota Pelaihari”

Sirok Bastra, Volume 6 Nomor 1 Edisi Juni 2018, halaman 81—92

Penulisan iklan media luar ruang di Kota Pelaihari masih ditemukan banyak kesalahan berbahasa.

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan bentuk kesalahan berbahasa pada penulisan iklan media

luar ruang di Kota Pelaihari. Penelitian ini menggunakan pendekatan objektif dengan

memfokuskan perhatian pada bahasa dan menggambarkan apa adanya suatu bahasa. Penelitian

ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik

observasi langsung (pengamatan), teknik catat, dokumentasi, dan sampling bertujuan. Hasil

penelitian menunjukkan bentuk kesalahan berbahasa pada penulisan iklan media luar ruang di

Kota Pelaihari masih banyak ditemukan penggunaan bahasa yang tidak sesuai dengan kaidah

bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bentuk-bentuk kesalahan berbahasa pada penulisan iklan

media luar ruang di Kota Pelaihari, sebagai berikut: 1) ejaan, yang mencakup (a) pemakaian huruf

kapital, (b) penulisan kata, yakni penulisan kata depan dan penulisan singkatan dan akronim,

serta (c) pemakaian tanda baca, yakni tanda baca titik dan tanda baca koma; 2) pilihan kata atau

diksi; dan 3) unsur serapan dari bahasa asing.

Kata kunci: kesalahan berbahasa, penulisan, media luar ruang

Desi Wulandari (SMA Plus Bahrul Ulum Islamic Centre-Sungailiat)

“Pembelajaran Puisi melalui Metode Konstruktivisme Berbasis Karakter untuk Meningkatkan

Ketrampilan Menulis”

Sirok Bastra, Volume 6 Nomor 1 Edisi Juni 2018, halaman 93—104

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan keterkaitan pembelajaran puisi melalui metode

konstruktivisme berbasis karakter untuk meningkatkan keterampilan menulis esai. Puisi sebagai

salah satu bentuk sastra mempunyai peran sangat penting dalam pembentukan karakter peserta

didik. Karakter yang penting dimiliki oleh peserta didik adalah semangat kebangsaan. Melihat

video puisi, memaknai puisi, dan menulis esai dengan tema semangat kebangsaan dapat

menumbuhkan karakter tersebut. Dengan menggunakan metode konstruktivisme, peserta didik

dapat membangun atau menyusun ide baru berdasarkan pengalaman dari pembelajaran puisi

menjadi esai. Langkah-langkah pembelajaran melalui metode konstruktivisme adalah (1) orientasi,

(2) elisitasi, (3) restrukturisasi ide, (4) penggunaan ide, dan (5) review ide. Metode pengumpulan

data yang digunakan pada penelitian ini dilakukan dalam dua siklus yang terdiri dari pendahuluan,

perencanaan, tindakan, dan refleksi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis

data deskriptif atau nonstatistik. Dari hasil penelitian terdapat peningkatan kemampuan peserta

didik dalam mengembangkan ide baru dari pembelajaran puisi menjadi esai. Pada siklus 1 hanya 8

peserta didik yang melampaui KKM dengan rata-rata 76, sedangkan pada siklus 2 terjadi

peningkatan, yakni seluruh peserta didik mendapatkan nilai melampaui KKM dengan rata-rata 83.

Dapat disimpulkan bahwa integrasi pembelajaran puisi melalui metode konstruktivisme berbasis

karakter direkomendasikan dapat meningkatkan keterampilan menulis esai.

Kata kunci: karakter, puisi, konstruktivisme, menulis

Volume 6 Nomor 1 Edisi Juni 2018

P-ISSN 2354-7200, E-ISSN 2621-2013

JURNAL ILMIAH KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN

Kata kunci yang dicantumkan di sini adalah kata-kata yang mewakili konsep yang digunakan

dalam sebuah tulisan. Abstrak dapat digandakan tanpa izin dari penerbit dan bebas biaya.

Agoes Hendriyanto, Arif Mustofa, Bakti Sutopo ( STKIP PGRI Pacitan)

“Filosofi Jawa dalam Seni Kethek Ogleng Desa Tokawi, Kecamatan Nawangan, Kabupaten

Pacitan”

Sirok Bastra, Volume 6 Nomor 1 Edisi Juni 2018, halaman 105—115

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan nilai filosofis yang terkandung dalam seni Kethek Ogleng

Desa Tokawi, Kecamatan Nawangan, Kabupaten Pacitan. Seni Kethek Ogleng merupakan satu-

satunya seni yang dimiliki oleh masyarakat Desa Tokawi. Keberadaan seni tersebut sekarang

dikenal di beberapa kalangan dan telah dikelola secara baik oleh Sukisno dengan mendirikan

Paguyuban Condro Wanoro sebagai wadah untuk melestarikan sekaligus memasyarakatkan seni

yang dikreasi oleh Sutiman. Seni Kethek Ogleng berbasis nilai yang ada di sekitar masyarakat

sehingga filosofi yang dimaksud adalah filosofi masyarakat Jawa. Penelitian ini termasuk penelitian

kualitatif. Data diperoleh dengan observasi, wawancara, dan studi pustaka. Adapun analisis data

menggunakan metode deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gerakan seni

Kethek Ogleng mengandung filsafat yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat Jawa. Hal

filosofis tersebut menyangkut manusia sebagai individual maupun sosial. Secara individu, segi

filosofis mengajarkan hakikat manusia, tata cara manusia berkegiatan dalam kehidupan, dan

mengajarkan hidup hemat sebagaimana prinsip orang Jawa. Adapun dimensi sosial menekankan

pentingnya relasi antarmanusia dilaksanakan secara baik dan damai serta menghindarkan diri dari

ketegangan dan konflik agar terjalin hubungan yang hormonis sebagaimana manusia dititahkan

sebagai makhluk yang berpikir dan berbudaya serta sebagai salah satu entitas dalam

kesemestaan.

Kata kunci: seni, Kethek Ogleng, filosofis, manusia, masyarakat Jawa

Volume 6 Nomor 1 Edisi Juni 2018

P-ISSN 2354-7200, E-ISSN 2621-2013

JURNAL ILMIAH KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN

The keywords noted here are the words which represent the concept applied in a writing. These

abstract are allowed to copy without permission from publisher and free of charge.

Jumani (SMA Negeri 1 Pangkalpinang)

“Structure and Moral value of Pantun at Rubric of “Bujang Besaot” and Its Utilization as Literature

Materials”

Sirok Bastra, Volume 6 Nomor 1 Edisi Juni 2018, pp. 1—21

Pantun is one of the literature works which can be reviewed from various aspects. Pantun can be

reviewed as a meaningful and valuable structure. The aimed of study to describe the structure

and the moral value at pantun in rubric of “Bujang Besaot” for literature material at Senior High

School level. Source of data This research is Bangka Pos daily newspaper published during June-

September 2008. Research data in the form of written data. The data collection of this research is

done by using literature study method by reading and writing technique. In analyzing the data, the

method used is descriptive method with qualitative approach. Based on the results of research,

pantun on rubric "Bujang Besaot" are dominated by the theme of romance and rhyme end with

the pattern of rhyme a b a b. Visual imagery and moral values are dominant in pantun "Bujang

Besaot". The use of analysis and moral values, pantun rubric "Bujang Besaot" can be used as an

alternative literary materials in Senior High School.

Keywords: pantun, moral values, teaching materials, structure of pantun

Wahyu Heriyadi (Penerbit Vidya Mandiri)

“Gothic-Postmodern Political Terror and Disability Repretentation on “Ular di Mangkuk Nabi ”

Sirok Bastra, Volume 6 Nomor 1 Edisi Juni 2018, pp. 23—28

Gothic literature apparently is able to attract the public, for example through the novels by

Abdullah Harahap during 1970—1980s. But, the controversy appears to call the work of gothic

literature as a genre that should be studied and appreciated by the literary critics in Indonesia. It

is because the morality which is presented through literary works can be done with things that are

inversely proportional to the rules of morality that should apply. Because of that, the critique of

gothic literature increasingly got the space to dissect a literary work, even more so with the

presence of analytical tools through the postmodern gothic approach. Postmodern gothic approach

and disability are used to dismantle the entire aspect in stories collection of Ular di Mangkok Nabi

by Triyanto Twikromo. In this book, the fabric of stories with complexity, terror, erotica,

metaphysic, mystic, interrupted reading spaces. This story offers a new experience for its readers,

gothic postmodern political terror. In conclusion, Triyanto Triwikromo brings political terror

through gothic postmodern genre to the readers in stories collection of Ular di Mangkuk Nabi.

Keywords: political terror, gothic-postmodern, disability

Volume 6 Nomor 1 Edisi Juni 2018

P-ISSN 2354-7200, E-ISSN 2621-2013

JURNAL ILMIAH KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN

The keywords noted here are the words which represent the concept applied in a writing. These

abstract are allowed to copy without permission from publisher and free of charge.

Sakila (SMP Negeri 2 Singkawang)

Application of Drill Method in learning of Writing Knowledge Book Review

Sirok Bastra, Volume 6 Nomor 1 Edisi Juni 2018, pp. 29—42

Method is very important and must be owned by the teacher before entering the study room. This

is because the method is the initial foundation to achieve the goal of education and the success of

a learning. Teachers play an important role in the process and enhancement of the quality of

education. Enchancement of teacher competence is directly proportional to student achievement.

The purpose of this paper is to contribute thoughts and ideas, and the steps of applying the drill

method in learning of writing knowledge book review to improve student learning outcomes in the

class IX class IX in Indonesian Subject. Techniques and learning steps by using the drill method

can be applied to the learning of writing knowledge book review. Students are placed as study

subjects. Not only do they serve as teachers through verbal explanations of teachers, they play a

role in finding the essence of the subject they are studying. The final conclusion can be said that

the application of the drill method allows students to train themselves to write knowledge book

review and to find the information they need to achieve instructional goals in Indonesian subject.

Keywords: methods, learning, practice, reviews, knowledge books

Bram Denafri (Universitas pamulang)

“Information Structure of Indonesian Sentence”

Sirok Bastra, Volume 6 Nomor 1 Edisi Juni 2018, pp. 43—49

This article is aimed at describing and explaining the information structure in Indonesian

sentences grammatical construction. Information structure concerns about form of utterances in

relation with presupposition of speaker and listener. This presupposition is related to text form

which is produced and certain based form which is selected by speaker and listener. Then, these

can be seen through grammatical structure of sentences delivered by participants. The data were

analyzed by using distributional method. The techniques used in this research were segmenting

immediate constituent technique, deletion technique, and read marker technique. Based on the

analysis, it was found that a single element Indonesian topic sentence can be filled by the subject

and complement. Topic can be appended with a marker in the form of demonstrative markers,

such as “ini” and “itu” which is related to the context. The words “ini” and “itu” make the topic as

definite. The structure of the focus-presupposition in Indonesian single sentence, there are three

types of focus structures, which are sentence-focus structure, argument-focus structure and

predicate-focus structure. While the structure of the focus-presupposition in Indonesian compound

sentence, there are two types of focus structures, which are the argument-focus structure and

predicate-focus structure.

Keywords: Information structure, Indonesian language.

Volume 6 Nomor 1 Edisi Juni 2018

P-ISSN 2354-7200, E-ISSN 2621-2013

JURNAL ILMIAH KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN

The keywords noted here are the words which represent the concept applied in a writing. These

abstract are allowed to copy without permission from publisher and free of charge.

Ni Nyoman Ayu Suciartini (STMIK STIKOM BALI)

“Defense of Balinese Language in Parody “Hai Puja”

Sirok Bastra, Volume 6 Nomor 1 Edisi Juni 2018, pp. 49—55

The development of technology has its own influence for the use of language, especially local

languages. The Balinese language itself as a mother tongue or local language must continue to be

productive and introduced in contemporary ways to survive millennials. The appearance of

youtube channel in the form of parody "Hai Puja" is important to be appreciated as one of

Balinese language defense media. This study aims to describe the use of Balinese sentences in the

video parody of "Hai Puja" which has been watched by thousands of people as one of the media

that has a strategic and potential position in the development and training of Balinese language

from an early age. The theory used in this research is sociolinguistic theory that is the theory of

language shift and defense. The method used is simak method, skill method, and interview

method. The results of this study conclude that there are sociolinguistic factors that influence

Balinese language preservation in parody of this parody, namely 1) Loyalty to the mother tongue,

2) the attitude of young people, 3) the use of social media in accordance with the development of

the times.

Keywords: Hi Puja, Defense of Balinese language

Rissari Yayuk (Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan)

“The Meaning of Speech Implicature of Enyekan Statement as Manifestation of Face Harassment

in Banjar Language”

Sirok Bastra, Volume 6 Nomor 1 Edisi Juni 2018, pp. 67—79

Enyekan statement on the Banjar language has a function as an expression to twist the

conversation of other people. This is one of the manifestations of language misconduct in the form

of face harassment with the variety of implicature meaning. This research studies about (1) how is

the manifestation of face harassment in the sentence of enyekan in Banjar language; (2) what is

the implicature context of enyekan as a face harassment manifestation in Banjar Language. The

purpose of the research was to describe 1. manifestations of insulting in the sentence of enyekan

in Banjar language. 2. The implicature context of enyekan as a face-harassment manifestation in

Banjar Language. The research method is qualitative descriptive. Data collection was held in

Bincau village, Banjar regency, South Kalimantan and started from January to February 2018. The

research data was collected using direct observation method with recording technique. Data were

reviewed based on pragmatic theory. Methods of data analysis using descriptive analytic and

interpretative techniques. The results of data analysis are presented in ordinary words. The steps

of research work include data collection, identification, classification, selection, and interpretation

of data based on theory. The results and discussion of the research indicate there are three

manifestations of face harassment. In sarcastical speech, in cynical language with harsh words,

and mockery. Furthermore, the implicature meaning of speech conversation as a manifestation of

face harassment in banjar language includes the meaning of command categorized in insults with

cynical and abusive word. Next, the meaning of implicature prohibition categorized in insults with

cynical and abusive word. The last is implicature meaning of affirmation with mockery.

Keywords: linguistic, implicature, Banjar

Volume 6 Nomor 1 Edisi Juni 2018

P-ISSN 2354-7200, E-ISSN 2621-2013

JURNAL ILMIAH KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN

The keywords noted here are the words which represent the concept applied in a writing. These

abstract are allowed to copy without permission from publisher and free of charge.

Hestiyana (Balai Bahasa Kalimantan Selatan)

“The Form of a Language Error in the Writing of Outdoor Media Advertising in Pelaihari City”

Sirok Bastra, Volume 6 Nomor 1 Edisi Juni 2018, pp. 81—92

Many language errors are still found in the writing of outdoor media advertising in Pelaihari City.

This research aims to describe the form of language errors on the writing of outdoor media

advertising in Pelaihari City. The approach used in this research is an objective approach by

focusing attention on the language itself and describing what a language is. This research used

descriptive qualitative method. Data collection was done by direct observation technique, record

technique, documentation, and purposive sampling. The results showed a lot of form of language

errors on the writing of outdoor media advertising in Pelaihari City that is not in accordance with

the rules of the Indonesian language. Forms of language error in the writing of outdoor media

advertisements in Pelaihari City, as follows: 1) spelling, which includes (a) the usage of capital

letters, (b) word writing, which are front-end writing and abbreviation and acronyms writing, and

(c) ) the usage of punctuation, which is Comma punctuation and period punctuation; 2) choice of

words or diction; and 3) the absorption element of a foreign language.

Keywords: language error, writing, outdoor media

Desi Wulandari (SMA Plus Bahrul Ulum Islamic Centre-Sungailiat)

“Poetry Learning by Conducting Character Based Constructivism Method to Enchance Writing Skill”

Sirok Bastra, Volume 6 Nomor 1 Edisi Juni 2018, pp. 93—104

The aim of this research is to explain the connection of poetry learning through character

based constructivism method to improve essay writing skill. Poetry as one of literature work

has essential role in building students character. Important character that have to be owned

by students is nationalism. Poetry Video, poety interpretation, and essay writing with the

theme of nationalism were able to build and create nationalism character. By conducting

constructivisme method, students were able to build or compile a new concept according to

the experience of poetry learning to become an essay. The learning steps through the

constructivsm method these are, 1. Orientation, 2. Elicitation, 3. Idea restructurisation , 4.

Idea usage, 5. Idea review. The method used in collecting the data in this study was applied

in two cycles that consisted of introduction, planning, action and reflection. The method used

in this research was descriptive data analysis or non-statistic. Based on the result of the

research, there was a significant improvement of the students in developing new concept of

the poetry learning to become an essay. By the first cycle, only 8 participants with the mean

76 score which is hingher than KKM (Minimum Criteria of Mastery Learning). Moreover by

the second cycle, all students exceeded the mean score 83 which was hingher than KKM

(Minimum Criteria of Mastery Learning). It can be concluded that the integration of poetry

learning through a character based conctructivsm method is recommended to improve

writing skill.

Keywords: character, poetry, constructivisme, writing

Volume 6 Nomor 1 Edisi Juni 2018

P-ISSN 2354-7200, E-ISSN 2621-2013

JURNAL ILMIAH KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN

The keywords noted here are the words which represent the concept applied in a writing. These

abstract are allowed to copy without permission from publisher and free of charge.

Agoes Hendriyanto, Arif Mustofa, dan Bakti Sutop0 (STKIP PGRI Pacitan)

Javanese Philosophy in Kethek Ogleng Art of Tokawi Village, Nawangan District, Pacitan

Regency

Sirok Bastra, Volume 6 Nomor 1 Edisi Juni 2018, pp. 105—115

This research aim to describe the philosophical values contained in the art of Kethek Ogleng,

Tokawi Village, Nawangan District, Pacitan Regency. Kethek Ogleng art is the only art owned by

the Tokawi Village community. The existence of this art is now known in some circles and has

been managed well by Sukisno by establishing the Condro Wanoro Circle of Friends as a place to

preserve and promote the art created by Sutiman. Ogleng Kethek art is based on values that exist

around the community so the philosophy in question is the philosophy of Javanese society. This

research was included in qualitative research. Data obtained by observation, interviews, and

literature studies. The data analysis uses was qualitative descriptive method. The results showed

that the Kethek Ogleng art movement contained a philosophy related to the life of the Javanese

people. This philosophical matter concerns humans as individuals and socially. Individually, the

philosophical aspect teaches the nature of human beings, the procedures for human activities in

life, and teaches the life of frugality as the Javanese principle. The social dimension emphasizes

the importance of good and peaceful inter-human relations and avoids tension and conflict in

order to establish hormonal relationships as humans are ordered as thinking and cultured beings

and as one entity in universality.

Keywords: art, Kethek Ogleng, philosophical, human, Javanese society

Jumani: Struktur dan Nilai Moral Pantun pada Rubrik “Bujang Besaot” serta Pemanfaatannya ...

SIROK BASTRA, Vol. 6 No. 1, Juni 2018: 1—21 1

STRUKTUR DAN NILAI MORAL PANTUN PADA RUBRIK “BUJANG BESAOT” SERTA

PEMANFAATANNYA SEBAGAI BAHAN AJAR SASTRA DI SMA

Structure and Moral Value of Pantun at Rubric of “Bujang Besaot” and its Utilization as Literature

Materials

Jumani

SMA Negeri 1 Pangkalpinang

Jalan Usman Ambon, Kota Pangkalpinang, Kepulauan Bangka Belitung

Naskah masuk: 23 Mei 2018, disetujui: 31 Mei 2018, revisi akhir: 17 Juni 2018

Abstrak

Pantun sebagai salah satu karya sastra dapat dikaji dari berbagai aspek. Pantun dapat dikaji

sebagai sebuah struktur yang bermakna dan mengandung nilai. Penelitian ini bertujuan untuk

mendeskripsikan struktur dan nilai moral pantun pada rubrik “Bujang Besaot” untuk dijadikan

bahan ajar sastra di SMA. Sumber data penelitian ini adalah surat kabar harian Bangka Pos

terbitan Juni--September 2008. Data penelitian berupa data tulis. Pengumpulan data penelitian ini

dilakukan dengan metode studi pustaka dengan teknik baca dan catat. Dalam analisis data,

metode yang digunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Berdasarkan hasil

penelitian, pantun pada rubrik “Bujang Besaot” didominasi tema percintaan dan rima akhir dengan

pola rima a b a b. Citraan visual dan nilai moral persahabatan adalah unsur yang mendominasi

pantun rubrik “Bujang Besaot”. Berdasarkan analisis struktur dan nilai moral, pantun rubrik

“Bujang Besaot” dapat dijadikan alternatif bahan ajar sastra di SMA.

Kata Kunci: pantun, nilai moral, bahan ajar, struktur pantun

Abstract

Pantun is one of the literature works which can be reviewed from various aspects. Pantun can be

reviewed as a meaningful and valuable structure. The aimed of study to describe the structure and

the moral value at pantun in rubric of “Bujang Besaot” for literature material at Senior High School

level. Source of data This research is Bangka Pos daily newspaper published during June-

September 2008. Research data in the form of written data. The data collection of this research is

done by using literature study method by reading and writing technique. In analyzing the data, the

method used is descriptive method with qualitative approach. Based on the results of research,

pantun on rubric "Bujang Besaot" are dominated by the theme of romance and rhyme end with

the pattern of rhyme a b a b. Visual imagery and moral values are dominant in pantun "Bujang

Besaot". The use of analysis and moral values, pantun rubric "Bujang Besaot" can be used as an

alternative literary materials in Senior High School.

Keywords: pantun, moral values, teaching materials, structure of pantun

1. PENDAHULUAN

Pantun sebagai salah satu karya sastra yang

lahir di tengah-tengah masyarakat pernah

memegang peranan penting dalam budaya

Indonesia. Begitu pula dengan pantun yang

ada di Bangka Belitung. Dahulu, orang

Bangka Belitung mengungkapkan perasaan,

hasrat, atau kata hatinya melalui pantun.

Kepandaian seseorang dalam berpantun

mencerminkan tingkat intelektualitasnya.

Dengan demikian, selain untuk sarana

ekspresi, pantun pun mampu mewakili

tingkat dan derajat keilmuan seseorang.

Saat ini, keberadaan pantun terkesan

dipinggirkan. Sudah sangat jarang sastrawan

menulis pantun (Mafrukhi dkk., 2007:92).

Selanjutnya, Sucipto dalam Republika,

(2017) menjelaskan bahwa pantun masuk

dalam kategori budaya yang berada dalam

situasi mendesak dan hampir punah. Hal ini

disebabkan oleh sedikitnya jumlah tokoh

yang masih melestarikan tradisi berpantun

sementara regenerasi penerus pantun

belum banyak. Oleh karena itu, pantun

dimasukkan ke kategori "Urgent

Safeguarding List" untuk usulan ke

UNESCO. Begitu juga dengan eksistensi

pantun di Bangka Belitung yang

keberadaannya sudah mulai tergusur oleh

jenis-jenis karya seni yang lain. Kalaupun

Jumani: Struktur dan Nilai Moral Pantun pada Rubrik “Bujang Besaot” serta Pemanfaatannya ...

SIROK BASTRA, Vol. 6 No. 1, Juni 2018: 1—21 2

pantun masih digunakan, pembacaan pantun

hanyalah sebagai pelengkap acara dan

bukan sebagai sebuah proses pewarisan

nilai-nilai. Hal tersebut sejalan dengan

pendapat Tenas Effendy (2004:77) yang

mengatakan bahwa dalam kehidupan masa

kini pantun masih “hidup” dan berkembang

tetapi isinya tidak lagi berpuncak kepada

nilai-nilai luhur budaya asalnya.

Kehadiran pantun dalam kehidupan

masyarakat tidak akan terlepas dari nilai-nilai

budaya, tradisi, dan keyakinan masyarakat

pencipta dan penggunanya. Unsur-unsur

budaya itu melekat pada ekspresi yang dapat

menimbulkan perasaan senang, nikmat,

terharu, menarik perhatian, dan

menyegarkan penikmatnya. Dalam hal ini,

penyair dan juga cerpenis berkebangsaan

Amerika Edgar Alen Poe melontarkan

pernyataan bahwa sastra itu berfungsi

menghibur dan sekaligus mengajarkan

sesuatu (Wellek dan Warren dalam

Warsiman, 2016:3). Selanjutnya, konsep

yang sama juga disampaikan Horace,

seorang berkebangsaan Yunani tentang

istilah dulce and utile yang artinya “indah

dan berguna” (Wellek dan Warren dalam

Warsiman, 2016:3).

Pelestarian pantun sebagai sebuah karya

sastra dan sebagai sarana untuk

menyampaikan pesan moral akan lebih

efektif bila pantun yang berkembang di

masyarakat itu digunakan atau dimasukkan

ke dalam bahan ajar kesusastraan di

sekolah. Karena itu, penulis bermaksud

untuk menjadikan pantun yang dimuat pada

rubrik “Bujang Besaot” sebagai alternatif

bahan ajar sastra di sekolah. Penggunaan

pantun pada rubrik “Bujang Besaot” tersebut

disambut antusias oleh masyarakat Bangka

Belitung. Hal ini terbukti dengan banyaknya

kiriman pantun dari pembaca (umumnya

anonim) melalui pesan pendek (SMS) ke

redaksi. Selain itu, kajian tentang pantun

pada rubrik “Bujang Besaot” juga belum

pernah dilakukan.

Penggunaan pantun rubrik “Bujang

Besaot” sebagai bahan ajar di sekolah

didasarkan pada beberapa alasan. Pertama,

jika diamati secara teliti dan didasarkan pada

data empiris, pembelajaran sastra sejak

dahulu sampai sekarang tidak banyak

mengalami peningkatan. Seperti yang

dijelaskan Endraswara (2005:28),

perwujudan KBK dalam bidang sastra untuk

menepis anggapan bahwa pengajaran

sastra selama ini tidak berpengaruh apa-

apa terhadap peserta didik. Sama halnya

dengan yang disampaikan Musthafa

(2008:197) bahwa sastra sering

dianaktirikan dalam pengajaran di sekolah

sehingga mendapat status yang kurang

menggembirakan. Warsiman (2016:5)

bahkan mendeskripsikan bahwa

pembelajaran sastra saat ini telah

membawa anak dengan berbagai kegiatan

yang serta-merta dapat menjenuhkan dan

membosankan, bahkan dapat menimbulkan

kebencian terhadap sastra. Anak dituntut

untuk menghafal, mencatat, dan mencari

hal-hal yang bersangkut-paut dengan

sastra.

Kedua, materi-materi sastra yang

terdapat dalam buku-buku teks yang

diwajibkan di sekolah masih kurang

lengkap. Minimnya materi tersebut

menyebabkan guru tidak leluasa memilih

bahan sesuai dengan kebutuhan siswa

sehingga sulit untuk memvariasikan materi

ajar. Hal ini sejalan dengan tulisan di harian

Kompas (2009:12) bahwa materi

pembelajaran sastra di SMA sangat minim.

Ketiga, jika berbicara tentang

keberhasilan pengajaran sastra di sekolah,

minat siswa tentang mata pelajaran yang

disajikan oleh guru ikut memengaruhi hasil

belajar mereka. Selain metode yang tepat,

bahan ajar yang menarik juga dapat

membangkitkan minat siswa terhadap mata

pelajaran yang diikutinya. Menurut Rusyana

(1984:335), guru harus selalu berinisiatif

dalam mencari bahan ajar yang menarik

untuk memenuhi kebutuhan belajar

siswanya. Selanjutnya, Warsiman (2016:8)

menjelaskan bahwa munculnya keluhan-

keluhan tentang rendahnya apresiasi siswa

terhadap sastra karena kurangnya

pengetahuan dan kemampuan guru dalam

bidang kesastraan, terbatasnya buku dan

bacaan yang tersedia untuk pembelajaran

sastra di sekolah, dan rendahnya minat

membaca karya sastra para siswa.

Berdasarkan kenyataan tersebut, penelitian

terhadap pantun dan pemanfaatannya

sebagai bahan ajar sastra merupakan salah

satu upaya yang dilakukan untuk

meningkatkan apresiasi sastra siswa.

Beberapa penelitian terdahulu yang

berhubungan dengan pantun belum ada

yang dikaitkan dengan pembelajaran.

Jumani: Struktur dan Nilai Moral Pantun pada Rubrik “Bujang Besaot” serta Pemanfaatannya ...

SIROK BASTRA, Vol. 6 No. 1, Juni 2018: 1—21 3

Penelitian yang dilakukan oleh Wiyana

(2008:1) hanya menyoroti tema-tema yang

terdapat dalam pantun Melayu. Berdasarkan

kajian tersebut, penulis berkeinginan

mengkaji karya sastra lama berbentuk

pantun, khususnya pantun pada rubrik

“Bujang Besaot” sebagai sebuah karya sastra

yang patut dipertimbangkan sebagai bahan

ajar kesusastraan di Sekolah Menengah Atas

(SMA).

Berdasarkan uraian di atas, rumusan

masalah penelitian ini adalah bagaimana

stuktur dan nilai-nilai moral yang terkandung

di dalam pantun rubrik “Bujang Besaot”

dapat dijadikan sebagai alternatif bahan ajar

sastra untuk Sekolah Menengah Atas. Sesuai

dengan rumusan masalah tersebut,

penelitian ini bertujuan untuk

mendeskripsikan struktur dan nilai moral

pantun pada rubrik “Bujang Besaot” untuk

dijadikan bahan ajar sastra di SMA.

Pantun merupakan bagian dari puisi lama

yang digunakan orang sebagai alat

komunikasi. Pantun pada mulanya adalah

senandung atau puisi rakyat yang

dinyanyikan (Yock Fang, 2011:556). Menurut

Ensiklopedi Sastra Indonesia (2007:580)

pantun termasuk jenis puisi lama yang setiap

baitnya terdiri dari empat larik biasanya

berjumlah empat kata. Dua larik pertama

disebut sampiran (tumpuan bicara),

merupakan petunjuk rimanya; dua larik

berikutnya mengandung inti artinya disebut

isi pantun (maksud bicara).

Pantun dianggap sebagai bentuk krama

dari kata Jawa parik yang berarti pari artinya

pribahasa atau peribahasa dalam bahasa

Melayu. Arti ini juga berdekatan dengan

umpama atau seloka yang berasal dari India.

Dr. R. Brandstetter dalam Yock Fang,

(2011:556) seorang ahli perbandingan

bahasa dari Swiss berkata bahwa pantun

berasal dari akar kata tun, yang terdapat

dalam berbagai bahasa nusantara, misalnya

dalam bahasa Pampanga, tuntun yang

berarti teratur; dalam bahasa Tagalog ada

tonton yang berarti bercakap menurut aturan

tertentu; dalam bahasa Jawa Kuno, tuntun

yang berarti benang dan atuntun yang

berarti teratur dan matuntun yang berarti

memimpin; dalam bahasa Toba pula kata

pantun berarti kesopanan, kehormatan (Yock

Fang, 2011:556). Dari pengertian-pengertian

tersebut dapat diartikan bahwa pantun

merupakan karya sastra lama berbentuk

puisi yang digunakan sebagai alat

komunikasi, disusun secara teratur, dengan

bahasa yang sopan.

Pantun merupakan salah satu jenis puisi

lama yang sangat dikenal dalam bahasa-

bahasa Nusantara. Sebagai produk puisi asli

Indonesia, tradisi berpantun hampir dimiliki

semua daerah di Indonesia. Dibandingkan

dengan jenis-jenis puisi lama lainnya,

pantun memiliki ciri-ciri khusus yang

membedakannya dengan syair, gurindam,

mantra, maupun bidal. Pantun

menunjukkan adanya ikatan yang kuat

dalam hal struktur kebahasaan atau

tipografi atau struktur fisiknya. Untuk

struktur tematik atau struktur makna

dijelaskan menurut aturan jenis pantun.

Struktur kebahasaan meliputi (1) jumlah

suku kata setiap baris; (2) jumlah baris

setiap bait; (3) aturan dalam hal rima dan

ritma (Waluyo, 1991:8)

Salah satu ciri khas yang menandai

pantun adalah adanya dua larik pertama

yang disebut sampiran dan dua larik kedua

yang disebut isi. Hubungan sampiran dan isi

seringkali tidak ada hubungannya bila

ditinjau dari sudut semantis. Walaupun

demikian, kehadiran sampiran tidak serta-

merta lahir begitu saja, sebagai pemanis

bunyi, melainkan mungkin merupakan

simbolisasi dari proses berpikir si

pemantun. Mahayana (2005:189—190)

melihat sedikitnya ada lima kecendrungan

khas yang menandai sampiran, yaitu (1)

sampiran lazimnya mengungkapkan citraan

alam dan benda-benda konkret, (2)

hubungan antarkata dalam satuan sintaksis

dan semantis, seringkali tidak logis, (3)

kalimat-kalimat sampiran tidak mudah

dipahami, (4) satuan kalimat sampiran

tampak lebih kompleks, dan (5) mengingat

sampiran lebih menekankan pada bunyi,

bukan pada makna, maka ada semacam

licentia poetica yang digunakan pemantun,

yaitu kebebasan untuk menyimpang dari

kenyataan, dari bentuk atau aturan

konvensional untuk menghasilkan efek yang

dikehendaki.

Pada umumnya isi pantun berhubungan

dengan hal-hal berikut: (1) perkara tingkah

laku, moral, etika yang semuanya

berpulang pada diri individu, (2) hubungan

antarkata dalam satuan sintaksis dan

semantis, dapat terterima dan logis, (3)

tata kalimat relatif dapat dipahami, (4)

Jumani: Struktur dan Nilai Moral Pantun pada Rubrik “Bujang Besaot” serta Pemanfaatannya ...

SIROK BASTRA, Vol. 6 No. 1, Juni 2018: 1—21 4

menggunakan kalimat sederhana, dan (5)

memperhatikan konvensi yang berlaku

(Mahayana, 2005:190).

Menurut Badudu (1984:8—11) isi pantun

dibedakan atas: (a) pantun anak-anak; (b)

pantun orang muda (umumnya pantun

berkasih-kasihan); (c) pantun orang tua

(berisi nasihat, juga tentang adat atau

agama); (d) pantun jenaka; dan (e) pantun

teka-teki. Pada dasarnya pantun tersusun

dari baris-baris atau urutan-urutan perkataan

yang berulang-ulang dalam kedudukan

sejajar. Sebuah pantun dikatakan bagus dan

tidak cacat—mengutip Hutomo (1993:xxxix)

dalam Pantun Kentrung—yakni apabila

jumlah suku kata setiap baris sama, yaitu

antara delapan sampai sebelas suku kata,

atau jumlah suku kata baris berselingan

sama (baris pertama dan ketiga; baris kedua

dan keempat). Rima akhir harus mengikuti

hukum a-b-a-b. Dengan demikian, sebuah

pantun yang baik akan mempunyai

pasangan-pasangan yang sempurna bukan

saja dari segi rima dan jumlah suku katanya,

melainkan juga perkataan-perkataan yang

mungkin berpasangan. Struktur yang

menjadi fokus dalam pantun rubrik “Bujang

Besaot” yang akan diungkapkan adalah

unsur pembentuk pantun yang terdiri atas

tema (sense), rima (rhyme), dan citraan

(imagery).

Tema merupakan salah unsur yang

sangat penting dalam sebuah cerita

prosa/puisi secara keseluruhan. Melalui

tema, pengarang dapat menyampaikan

maksud dan tujuannya kepada pembaca.

Menurut Stanton dan Kenny dalam

Nurgiyantoro, (2007:67) tema adalah makna

yang dikandung oleh sebuah cerita.

Selanjutnya, Siswanto (2008:124)

menyamakan pengertian tema dengan

makna. Waluyo (2005:17—18) kemunculan

tema disebabkan oleh kuatnya situasi yang

mendorong jiwa penyair, dan dorongan

itulah yang menyebabkan munculnya

bermacam-macam arah tema tersebut.

Tema yang paling banyak terdapat dalam

puisi adalah tema ketuhanan (religius), tema

kemanusiaan, cinta, patriotisme, perjuangan,

kegagalan hidup, alam, keadilan, kritik sosial,

demokrasi, dan tema kesetiakawanan.Jika

dorongan yang kuat itu berupa hubungan

penyair dengan Tuhan, lahirlah puisi yang

bertema ketuhanan. Tema ketuhanan

seringkali disebut tema religius filosofis,

yakni sebuah tema yang mampu membawa

manusia untuk lebih bertakwa,

merenungkan kekuasaan Tuhan, dan

menghargai alam seisinya. Jika desakan

yang kuat itu berupa rasa belas kasih atau

kemanusiaan, lahirlah puisi (pantun) yang

bertema kemanusiaan. Tema kemanusiaan

berusaha menyakinkan pembaca tentang

prinsip-prinsip pemartabatan manusia,

yakni manusia harus dihargai, dihormati,

diperhatikan hak-haknya, dan diperlakukan

secara adil dan manusiawi. Perbuatan yang

mengorbankan martabat manusia, apapun

alasannya harus ditentang atau tidak

disetujui. Jika seorang penyair mengajak

pembaca untuk meneladani orang-orang

yang telah berkorban demi bangsa dan

tanah air, lahirlah puisi-puisi yang

bertemakan patriotisme. Sebaliknya, bila

tema puisi berupa pujaan kepada tanah

kelahiran atau negeri tercinta, berarti

bertemakan cinta tanah air.

Jika puisi atau pantun yang berisi

tentang perkenalan, berkasih-kasihan,

perpisahan, maupun beriba hati, putus

cinta, kesedihan, akan lahir puisi puisi

(pantun) yang bertemakan cinta kasih.

Selanjutnya, Rosmawati dkk. (1990:58)

menggolongkan sebelas bagian

berdasarkan temanya, yaitu pantun

bertemakan tradisi manusia, kepahlawanan,

agama dan kepercayaan, pendidikan,

pengembaraan dan perantauan, percintaan,

budi, peribahasa, kias dan ibarat, jenaka

dan permainan, dan teka-teki. Berdasarkan

pendapat-pendapat di atas, jenis tema dan

ciri penandanya dijelaskan dalam penelitian

ini dapat ditabelkan sebagai berikut.

Rima adalah pengulangan bunyi dalam

puisi. Dengan pengulangan bunyi tersebut

puisi menjadi merdu bila dibaca. Untuk

mengulang bunyi ini, penyair juga

mempertimbangkan lambang bunyi

(Waluyo, 1991:90).

Menurut Aminuddin, (2004:137)

berbicara tentang bunyi dalam puisi tidak

akan terlepas dalam konsep rima, yang di

dalamnya mengandung berbagai aspek,

meliputi (a) asonansi atau runtun vokal, (b)

aliterasi atau purwakanti, (c) rima akhir, (d)

rima dalam, (e) rima rupa, (f) rima identik,

dan (g) rima sempurna.

Semua penyair ingin menyuguhkan

pengalaman batin yang pernah dialaminya

kepada penikmat karyanya. Salah satu

Jumani: Struktur dan Nilai Moral Pantun pada Rubrik “Bujang Besaot” serta Pemanfaatannya ...

SIROK BASTRA, Vol. 6 No. 1, Juni 2018: 1—21 5

untuk mencapai keinginan tersebut adalah

dengan pemilihan serta penggunaan kata-

kata yang tepat untuk menjelmakan

gambaran yang nyata. Citraan merupakan

gambaran-gambaran angan dalam puisi.

(Pradopo, 2007:79). Gambaran angan-angan

tersebut dimaksud untuk menimbulkan

suasana khusus; membuat gambaran pikiran

serta penginderaan lebih hidup untuk

menarik perhatian. Menurut S. Effendi

(2002:50) bermacam-macam imaji dapat

muncul dalam batin kita, ketika membaca

puisi. Imaji-imaji yang muncul itu seperti

imaji visual (penglihatan), imaji auditif

(pendengaran), imaji taktilis (perabaan),

imaji gustatif (pengecapan), dan imaji

olfaktif (penciuman). Berdasarkan pendapat

tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa

citraan (imaji) adalah segala sesuatu yang

dapat kita lihat, kita dengar, cium, sentuh,

atau rasakan. Dengan kata lain, sebuah

citraan adalah sesuatu yang dapat kita

rasakan.

Pantun sebagai sebuah karya sastra di

dalamnya mengandung nilai-nilai sastra

seperti digambarkan Darma (1981:6) bahwa

karya sastra yang baik selalu memberi pesan

pembaca untuk berbuat baik. Pesan ini

dinamakan “moral” atau sering juga

dinamakan “amanat”. Maksudnya sama,

yaitu sastra yang baik selalu mengajak

pembaca untuk menjunjung tinggi norma-

norma moral. Dengan demikian sastra

dianggap sebagai sarana pendidikan moral.

Pesan moral tersebut merupakan petunjuk

tentang berbagai masalah kehidupan, seperti

tingkah laku, sopan santun dalam pergaulan,

dan sebagainya. Pesan moral yang bersifat

praktis merupakan petunjuk yang dapat

ditampilkan atau ditemukan modelnya dalam

kehidupan nyata.

Ada beberapa indikator yang dapat

dijadikan panduan dalam mengidentifikasi

nilai moral. Indikator moral yang dimaksud

dalam penelitian ini adalah prinsip-prinsip

moral yang menentukan kriteria benar

salahnya sesuatu teori. Standar nilai moral

seperti yang dikemukakan oleh Miskawaih

(1994:46—50) seperti kearifan,

kesederhanaan, keberaniaan, dan keadilan.

Kosasih (1999) dalam penelitiannya yang

berjudul: ”Nilai-Nilai Moral dalam Karya

Sastra Melayu Klasik Islam” menemukan

beberapa nilai moral yaitu (a) keberanian,

(b) ketaqwaan, (c) kesatriaan, (d) kesetiaan,

(e) persahabatan, (f) hormat pada orang

tua, (g) kasih sayang orang tua terhadap

anak, (h) kesabaran, (i) kemanusiaan, (j)

kedermawanan, (k) kesederhanaan, (l)

kepemimpinan.

2. METODE PENELITIAN

Penelitian ini secara umum merupakan

penelitian deskriptif yakni penelitian yang

bertujuan membuat deskripsi atau

gambaran secara sistematis, faktual, dan

akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, dan

hubungan-hubungan antarfenomena yang

diteliti (Nazir dalam Sungkowati, 2012:66).

Sumber data penelitian ini adalah surat

kabar harian Bangka Pos yang terbit antara

Juni—September 2008. Bangka Pos

merupakan surat kabar harian yang

memuat berbagai informasi bidang

kehidupan seperti masalah sosial, ekonomi,

politik, olah raga, dan kebudayaan

termasuk sastra. Selain itu, surat kabar

harian Bangka Pos merupakan satu-satunya

koran di Bangka Belitung yang memuat

rubrik pantun dan secara kontinyu

menerbitkan pantun rubrik “Bujang Besaot”

setiap hari Minggu. Setiap Minggu, pantun

yang dimuat berkisar 35—50 pantun dan

anonim (hanya mencantumkan nomor

ponsel pengirimnya). Data yang dijadikan

sampel dalam penelitian ini adalah 409

pantun. Pengumpulan data penelitian ini

dilakukan dengan metode studi pustaka

dengan teknik baca dan catat. Data yang

telah dibaca dan dicatat, ditulis dalam

lembaran data. Selanjutnya, memindahkan

ke kartu data sehingga didapat 409 kartu

data yang berisi masing-masing satu data.

Setelah itu, mulai diadakan proses

identifikasi struktur dan nilai moral pantun

berdasarkan kartu data. Selanjutnya,

dilakukan analisis dan kemudian hasilnya

disajikan secara deskriptif.

3. PEMBAHASAN

3.1 Tema

Para pengirim pesan pendek yang mengirim

pantun di Bangka Pos menampilkan

beragam tema. Mulai dari tema percintaan,

sosial, agama, pendidikan, teka-teki, adat,

dan budi pekerti. Mengamati hasil tersebut,

terlihat tema percintaan sangat dominan

dalam rubrik ”Bujang Besaot”. Hal ini

menunjukkan bahwa masalah cinta adalah

masalah yang universal yang dialami oleh

Jumani: Struktur dan Nilai Moral Pantun pada Rubrik “Bujang Besaot” serta Pemanfaatannya ...

SIROK BASTRA, Vol. 6 No. 1, Juni 2018: 1—21 6

setiap orang di mana pun berada.

Dominannya tema-tema percintaan

dimungkinkan pula karena para pengirim

pantun adalah kaum muda (remaja) yang

sedang memasuki masa pubertas. Mereka

masih menyenangi hal-hal berbau

romantisme. Bagi remaja, mengungkapkan

perasaan dan tahap-tahap hubungan cinta

kasih, berkenalan, berkasih-kasihan

merupakan suatu keniscayaan.

Sementara itu, tema adat memiliki

persentase terendah dari pantun yang

diamati. Hal ini dimungkinkan karena

pemahaman masyarakat tentang adat

istiadat dan budaya yang hidup di Bangka

Belitung sedikit demi sedikit sudah mulai

dilupakan. Adat dianggap produk lama yang

hanya digunakan oleh orang-orang tua.

Padahal, melalui pantun, dapat diturunkan

adat istiadat yang dijunjung tinggi sepanjang

masa, yang tidak lekang oleh panas dan

tidak lapuk oleh hujan.

3.1.1 Pantun Bertema Percintaan

Pantun bertema percintaan ditandai adanya

nasihat dalam percintaan, kritik/protes

sosial/sindiran, kesetiaan/ketidaksetiaan,

puji-pujian, dan beriba hati.

a. Nasihat dalam Percintaan

Banyak pesan atau nasihat yang dapat

diambil dari sebuah pantun. Seperti halnya

pantun percintaan dalam rubrik “Bujang

Besaot”. Nasihat yang disampaikan adalah

tentang nasihat yang berhubungan dengan

percintaan. Nasihat dalam percintaan dapat

dilihat pada kutipan pantun berikut.

Akar nibung meresap-resap

Akar mati dalam perahu

Terbakar kampung terlihat asap

Terbakar hati siapa tahu

Pantun tersebut terdiri atas dua baris

pertama sebagai sampiran, yakni “Akar

nibung meresap-resap/Akar mati dalam

perahu”. Sampiran pantun tersebut

sebenarnya tidak mempunyai makna, kecuali

sebagai pembayang menuju isi. Pada baris

ketiga ’Terbakar kampung terlihat asap”

mengandung makna jika sebuah kampung

terjadi kebakaran, orang akan segera dapat

mengetahuinya melalui munculnya asap

yang keluar dari peristiwa kebakaran

tersebut, sedangkan baris 4 yang berbunyi

“Terbakar hati siapa tahu” menegaskan

bahwa manusia tidak akan pernah dapat

menebak isi hati seseorang.

Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan

bahwa pantun di atas mengandung pesan

agar dalam bercinta, setiap orang harus

berhati-hati agar orang yang kita cintai

tidak merasa sakit hati. Pantun yang berisi

tentang nasihat dalam percintaan terdapat

pula pada pantun berikut.

Bedicak bedaek syair Melayu

Petik gambus berdawai enam

Karena aku tak pandai merayu

Cinta putus lalu tenggelam

Dua baris pertama pada pantun di atas

berfungsi sebagai sampiran dan tidak

mengandung makna apa-apa. Baris-baris

tersebut hanya sebagai pemanis bunyi

untuk pengantar menuju isi. Makna

sesungguhnya terdapat pada baris 3 dan 4

yang berfungsi sebagai isi atau pesan

pantun. Pantun tersebut menceritakan

riwayat percintaan dua sejoli yang terputus

karena ketidakpandaian dalam berbicara.

Ini terlihat pada baris ke- 3 “Karena aku tak

pandai merayu”. Akibatnya, cinta sepasang

sejoli ini putus bahkan tidak pernah kembali

lagi. Baris 4 mempertegas hal tersebut

yakni berbunyi “Cinta putus lalu

tenggelam”. Pesan atau nasihat yang ingin

disampaikan melalui pantun tersebut adalah

bahwa untuk dapat menjalin cinta, seorang

laki-laki harus pandai mengungkapkan isi

hatinya agar pasangan tahu apa yang

diinginkan dari pasangannya.

Ketidakpandaian dalam mengungkapkan

isi hati akan membuat pasangan sulit

membina hubungan cinta yang abadi.

B. Kritik/Protes Sosial/Sindiran

Bunga mawar banyak durinya

Bunga melati putih kemilau

Bukan aku tak cinta padanya

Sebab dia banyak yang mau

Kalimat yang berbunyi “Bukan aku tak cinta

padanya/Sebab dia banyak yang mau”

menggambarkan tentang seseorang yang

tidak dapat mencintai lawan jenisnya

karena seseorang yang ingin dicintai

tersebut terlalu banyak diinginkan oleh

orang lain. Melalui uraian tersebut, dapat

disimpulkan bahwa pantun tersebut berisi

tema percintaan yang memberi sindiran

Jumani: Struktur dan Nilai Moral Pantun pada Rubrik “Bujang Besaot” serta Pemanfaatannya ...

SIROK BASTRA, Vol. 6 No. 1, Juni 2018: 1—21 7

kepada seseorang yang terlalu banyak

menerima cinta orang lain.

Duduk merana di tengah taman

Mata sendur murung memandang

Kuncup bunga indah idaman

Mengapa layu sebelum berkembang

Pantun di atas melukiskan seorang gadis

yang sedang mekar-mekarnya dan cantik

serta menjadi idaman setiap lelaki, dikiaskan

seperti baris ke-3 yang berbunyi “Kuncup

bunga indah idaman”. Namun, sang gadis

yang cantik tersebut telah kehilangan

kesuciaannya/keperawanannya sebelum

waktunya (menikah). Hal ini terlihat pada

kalimat: “Mengapa layu sebelum

berkembang” (baris ke-4).

Melalui pantun tersebut, pesan yang ingin

disampaikan adalah memberi kritik kepada

para remaja yang telah melakukan hubungan

seksual sebelum waktunya padahal agama

sangat melarang hal tersebut dan

dikategorikan sebagai dosa besar. Dalam

budaya ketimuran pun, virginitas atau

keperawanan masih sangat diagung-

agungkan. Melakukan hubungan seksual

sebelum waktunya merupakan aib bagi

keluarga. Selain melanggar tata aturan

agama, juga bertentangan dengan nilai-nilai

moral ada.

c. Kesetiaan

Berjuta-juta pohon di hutan

Hanya satu yang kutebang

Berjuta-juta cowok yang tampan

Hanya satu yang kusayang

Pantun di atas hendak menyatakan bahwa di

dunia ini banyak pemuda yang memiliki

wajah tampan yang dapat dijadikan pilihan

untuk menjadi pasangan (baris ke- 3).

Kalimat “Hanya satu yang kusayang” (baris

ke-4) menegaskan bahwa walaupun di dunia

ini banyak lelaki tampan, namun hanya satu

orang yang sangat dicintai dan disayangi.

Melalui baris tersebut, pesan yang ingin

disampaikan adalah tentang kesetiaan dalam

menjalin cinta dengan pasangan.

Bilamana hidup bersahabat

Di akhirat pastilah ketemu

Biarpun hujan turun lebat

Abang datang di malam Minggu

Pantun tersebut menunjukkan adanya

sikap setia seseorang terhadap

pasangannya. Hal ini dapat dibuktikan pada

kalimat: “Biar hujan turun lebat/Abang

datang di malam Minggu” (baris ke-3 dan

baris ke-4). Di tengah guyuran hujan yang

sangat lebat, sang kekasih masih bisa

berkunjung. Melalui baris tersebut

digambarkan bahwa wujud kesetiaan yaitu

pengorbanan untuk melakukan apa saja

asal dapat menunjukkan rasa setia

tersebut. Hujan yang lebat tidak menjadi

halangan untuk tetap berkunjung sebagai

bukti tanda cinta dan setia.

Sikap setia ini hanya akan lahir tatkala

seseorang benar-benar mencintai

pasangannya. Kesetiaan merupakan barang

mahal di tengah-tengah bergelimpangannya

godaan di luar. Setelah kita memutuskan

untuk memilih seseorang, maka jadikanlah

kesetiaan sebagai lambang cinta yang tulus

dan bermakna.

d. Ketidaksetiaan

Cempedak nangka dekat dermaga

Rupanya memutih mekar di batang

Tidak kusangka tidak kuduga

Rupanya adik dilamar orang

Pantun pada kalimat: “Tidak kusangka

tidak kuduga” (baris ke-3) menyatakan

bahwa seseorang tersebut tidak pernah

menyangka dan menduga akan terjadi

sesuatu peristiwa yang menyakitkan pada

dirinya. Peristiwa atau kejadian tersebut

adalah orang yang selama ini dicintai

dengan sepenuh hati tiba-tiba telah dilamar

orang lain. Hal ini digambarkan pada

kalimat baris ke-4: “Rupanya adik dilamar

orang”. Kejadian itu tentu sangat

menyakitkan. Kekasih yang kita dambakan

dan harapkan tidak dapat memegang janji

yang telah diucapkan. Peristiwa tersebut

memberi gambaran bahwa adanya

ketidaksetiaan dari sang kekasih akan cinta

yang telah dibina. Gambaran ketidaksetiaan

juga terlihat pada kutipan berikut.

Jika dahulu gandum mengembang

Tiadalah daku menakar lagi

Bunga layu sebelum berkembang

Karena madu mengingkari janji

Pantun di atas menggambarkan tentang

seorang gadis yang sudah ternoda (hilang

keperawanannya) sebelum waktunya

sehingga menyebabkan kehidupan sang

gadis tidak lagi ceria. Hal ini tergambar

Jumani: Struktur dan Nilai Moral Pantun pada Rubrik “Bujang Besaot” serta Pemanfaatannya ...

SIROK BASTRA, Vol. 6 No. 1, Juni 2018: 1—21 8

pada kalimat “Bunga layu sebelum

berkembang” (baris ke-3). Sang gadis

melakukan hubungan terlarang tersebut

karena si pria pintar mengumbar janji-janji.

Sang gadis terlena dan terbuai dengan janji-

janji manis yang diucapkan. Kata-kata indah

dan amat halus telah menyebabkan si wanita

memberikan sesuatu yang tidak layak

diberikan. Namun, janji-janji tersebut tidak

pernah ditepatinya. Hal ini dipertegas pada

kalimat: “Karena madu mengingkari janji”

(baris ke-4). Penderitaan yang dialami oleh

wanita yang tertipu ini sungguhlah berat

karena harus kehilangan kesuciaannya. Ini

tentu berbeda dengan si pria yang masih

bisa menjual rayuan gombalnya kepada

wanita-wanita lain.

e. Puji-Pujian

Buah jambu berwarna merah

Ingin hatiku memetiknya

Bagaimana aku tak cinta

Melihat Dinda tersenyum mesra

Pantun di atas menyiratkan bahwa cinta

dapat tumbuh dari seseorang karena sikap

kita. Rasa cinta dapat muncul karena sikap

kita yang manis. Wujud cinta itu melalui

memuji sang kekasih yang sedang

tersenyum. Kalimat “Bagaimana aku tak

cinta / Melihat Dinda tersenyum mesra”

(baris ke-3 dan ke-4) menunjukkan si pria

sedang memuji-muji si wanita untuk menarik

rasa simpati dari si wanita.

f. Beriba Hati

Basah sudah si kain sarung

Kain dibawa ke tukang loak

Memang hidup belum beruntung

Setiap bercinta selalu ditolak

Pantun di atas menjelaskan tentang kisah

cinta seseorang yang selalu diliputi rasa

sedih sehingga menimbulkan rasa belas

kasihan. Kalimat “Memang hidup belum

beruntung” (baris ke-3) identik dengan

kesedihan karena seolah-olah dalam kisah

percintaan yang dijalani tidak pernah

merasakan kebahagiaan. Hal ini juga

dipertegas dengan kalimat “Setiap bercinta

selalu ditolak” (baris ke-4). Dalam hidup

kadang-kadang tidak semua yang kita

harapkan sesuai dengan kenyataan. Selain

menceritakan masalah percintaan, pantun ini

memberi petunjuk tentang kadar cinta

seseorang apakah sejati, palsu, atau hanya

cinta sesaat.

3.1.2 Pantun Bertema Sosial

Pantun bertema sosial berkaitan dengan

sosial masyarakat, politik, dan ekonomi.

a. Sosial Masyarakat

Pantun yang berhubungan dengan sosial

masyarakat dalam rubrik “Bujang Besaot”

dapat dilihat pada kutipan pantun berikut.

Ada orang bernama aboy

Udah insaf jadi perampok

Jadi cowok jangan playboy

Nanti jadi bujang lapok

Pantun di atas mengandung pesan agar

laki-laki tidak berbuat sekehendak hati

terhadap wanita. Ini terlihat pada kalimat

“Jadi cowok jangan playboy/Nanti jadi

bujang lapok” (baris ke-3 dan ke-4). Bila hal

itu dilakukan, bisa jadi sang lelaki siap-siap

untuk menjadi laki-laki yang tidak

mendapatkan pasangan hidup selama-

lamanya. Pantun tersebut memberi nasihat

kepada laki-laki untuk tidak berperilaku

playboy’ kalau tidak ingin membujang

selamanya.

Gadis jelita paras memikat

Merona jengah senyum menawan

Karena kita sudah sahabat

Keluh kesah hamba dengarkan

Pantun tersebut menggambarkan betapa

pentingnya seorang sahabat. Sahabat dapat

membantu kita untuk memecahkan

permasalahan yang dialami. Sahabat dalam

suka banyak jumlahnya, tetapi sahabat

dalam duka dapat dihitung jumlahnya.

Seorang sahabat yang mau diajak dalam

duka hanyalah sahabat yang setia dari

dunia sampai di akhirat. Oleh karena itu,

pilihlah sahabat yang mau mengerti keluh

kesah kita. Hal tersebut tergambar pada

kalimat: “Karena kita sudah sahabat/Keluh

kesah hamba dengarkan” (baris ke-3 dan

ke-4) yang menunjukkan betapa

pentingnya peran seorang sahabat dalam

membantu memecahkan masalah yang

dialami.

b. Politik

Buah mengkudu di dalam hutan

Masak setangkai dimakan tupai

Kursi jabatan menjadi rebutan

Jangan sampai cerai berai

Jumani: Struktur dan Nilai Moral Pantun pada Rubrik “Bujang Besaot” serta Pemanfaatannya ...

SIROK BASTRA, Vol. 6 No. 1, Juni 2018: 1—21 9

“Kursi jabatan menjadi rebutan/Jangan

sampai cerai berai” (baris ke-3 dan ke-4)

menggambarkan kondisi masyarakat kita

yang menjadikan jabatan sebagai tujuan

hidup. Namun demikian, hendaknya jabatan

yang telah diperjuangkan tersebut jangan

sampai membuat hidup tercerai-berai.

Jabatan hanyalah titipan yang akan

dipertanggungjawabkan dari apa yang

dititipkan tersebut. Pantun ini memberi

nasihat bahwa jabatan yang ada jangan

dijadikan bahan untuk rebutan sehingga

hidup tidak menjadi tercerai berai. Jabatan

hendaknya merupakan amanah yang harus

dipertanggungjawabkan di hadapan Yang

Mahakuasa.

c. Ekonomi

Helm mini tersandung kaki

Sakit tersepak risih mencuat

BBM kini melambung tinggi

Nasib rakyat semakin melarat

Pantun di atas menyebut kalimat “BBM

kini melambung tinggi/Nasib rakyat semakin

melarat” yang berisi kritik kepada

pemerintah terhadap kondisi ekonomi

masyarakat yang semakin buruk. Kondisi

rakyat semakin tidak menentu bahkan

sebagian dari masyarakat hidupnya semakin

melarat karena diperparah oleh harga BBM

yang tinggi.

3.1.3 Pantun Bertema Agama

Pantun-pantun bertema agama dalam rubrik

“Bujang Besaot” mendeskripsikan tentang

salat, perceraian, nasihat, dan kritik/protes,

dan sosial/sindiran.

a. Salat

Burung bayan burung pelatuk

Terbang tinggi di atas awan

Biarpun mata masih mengantuk

Tapi teringat azab Tuhan

Pantun di atas mengingatkan manusia

tentang kewajiban untuk melaksanakan

salat. Kalimat “Biarpun mata masih

mengantuk” menjelaskan bahwa kewajiban

salat tidak dapat ditinggalkan dengan alasan

apapun, termasuk mengantuk. Meninggalkan

salat berarti telah melakukan dosa besar

sekaligus menanam bibit azab di akhirat

kelak. Walaupun dalam suasana kantuk,

salat harus dilakukan.

Pantun ini memberi nasihat kepada

setiap muslim untuk tidak meninggalkan

salat dalam keadaan apapun. Pantun ini

secara tidak langsung mengingatkan kita

untuk selalu mengingat Allah swt. dalam

kondisi bagaimana pun. Hal ini sesuai

dengan janji yang kita ucapkan pada setiap

salat. “...innashalati wannusuki wamahyaya,

wamamati, lillahi rabbil alamin”. Jadi, apa

pun yang kita kerjakan adalah karena Allah

dan apa pun yang terjadi adalah atas

kehendak Allah swt.

Pergi berlayar ke laut seberang

Di tengah laut melempar ragi

Selagi sadar mari sembahyang

Sudah mati tak guna lagi

Pantun pada kalimat “Selagi sadar mari

sembahyang/Sudah mati tak guna lagi”

mengingatkan dan memberi nasihat kepada

manusia (umat Islam) agar melaksanakan

kewajiban salat selagi kita masih diberikan

kesadaran dan kesempatan karena kalau

sudah meninggal dunia tidak ada gunanya

lagi. Amal yang pertama kali dihisab adalah

salat. Jika salatnya baik, amal-amal lain pun

akan baik. Kalau kita selalu mengikuti

petunjuk dan nasihat agama selama

menjalani kehidupan di dunia, kebahagiaan

dunia dan akhirat pasti akan diperoleh.

b. Perceraian

Ada buaya makan bekicot

Karena kenyal giginya patah

Ku nak nanyak kek Bujang Besaot

Perbuatan halal apa dibenci Allah

Pantun di atas mengambarkan tentang

suatu perbuatan yang halal tetapi Allah swt.

sangat membenci perbuatan tersebut.

Perbuatan itu adalah perceraian. Hal

tersebut tergambar pada kalimat:

“Perbuatan halal apa dibenci Allah”. Pantun

ini memberi nasihat kepada orang Islam

untuk tidak melakukan perceraian walaupun

perbuatan itu halal.

Kalau bunga patah tangkainya

Banyak kelana berdiam duka

Kalau hamba tak salah terka

Talak namanya yang Tuan tanya

“Kalau hamba tak salah terka / Talak

namanya yang Tuan tanya”. Pantun ini

menggambarkan tentang suatu perbuatan

dalam agama Islam yang berhubungan

dengan keberlangsungan dalam rumah

Jumani: Struktur dan Nilai Moral Pantun pada Rubrik “Bujang Besaot” serta Pemanfaatannya ...

SIROK BASTRA, Vol. 6 No. 1, Juni 2018: 1—21 10

tangga. Perbuatan tersebut berhubungan

dengan masalah perkawinan, yaitu masalah

talak. Talak merupakan perceraian dalam

hukum Islam antara suami istri atas

kehendak suami. Perceraian adalah

perbuatan halal, tetapi Allah swt. sangat

membencinya.

c. Nasihat

Ada kuda nil mandi di kali

Airnya keruh tak jernih lagi

Hidup mati hanya sekali

Selagi mampu ayo berbagi

Pantun di atas menjelaskan bahwa selagi

masih diberikan rezeki oleh Allah manusia

wajib untuk memberikan harta atau

rezekinya itu untuk orang lain. Dalam agama

Islam dikatakan bahwa harta yang kita miliki

sebagiannya ada hak-hak bagi orang yang

tidak mampu (miskin). Baris isi memberikan

penjelasan bahwa hidup di dunia ini hanya

sekali. Oleh karena itu, selagi mampu

hendaknya kita dapat mengeluarkan harta

kita itu untuk orang yang tidak mampu.

Patah dahan kayu kemiri

Dahan kemiri emban di bahu

Tangan kanan akan memberi

Tangan kiri tak boleh tahu

Dalam memberikan/mengeluarkan harta

yang kita miliki hendaknya tidak ada niat

untuk dipuji oleh orang lain. Bahkan kalau

tangan kanan memberi, tangan kiri jangan

sampai tahu. Dengan demikian, apa yang

diberikan akan menjadi pahala baik pahala

dunia maupun pahala akhirat. Kalimat

“Tangan kanan akan memberi/Tangan kiri

tak boleh tahu” (baris ke-3 dan ke-4)

memberikan gambaran bahwa kalau

memberi bantuan jangan mengharapkan

balasan dari orang yang dibantu.

3.1.4 Pantun Bertema Pendidikan

Pantun bertema pendidikan dalam rubrik

“Bujang Besaot” merincikan tentang nasihat

tentang pendidikan, kritik/protes, dan

sosial/sindiran.

a. Nasihat

Hitam pekat si sayap lebah

Hinggap sebentar di pohon kates

Bila niat ingin berubah

Harus belajar pada yang sukses

Pantun di atas pada kalimat “Bila niat

ingin berubah / Harus belajar pada yang

sukses” menggambarkan bahwa kalau kita

ingin mengubah hidup, kita harus

mengambil contoh teladan dari orang-orang

yang telah berhasil. Pantun tersebut

memberi nasihat tentang pentingnya

belajar kepada orang-orang yang sukses

bila hidup ingin ada perubahan.

Sutra unggu taruh di paha

Beli kembang satu persatu

Jika ilmu penuh di dada

Rezeki datang bertalu-talu

“Jika ilmu penuh di dada/Rezeki datang

bertalu-talu”. Pantun di atas

menggambarkan betapa berharga dan

bermaknanya jika seseorang memiliki ilmu

yang banyak. Salah satunya adalah dengan

ilmu yang banyak (penuh di dada) rezeki

pun akan diperoleh dengan berlipat ganda

dan selalu datang setiap waktu atau terus

menerus tak pernah berhenti (bertalu-talu).

Ilmu yang banyak dapat menjaga dan

membawa kita hidup lebih baik.

b. Kritik/Protes Sosial/Sindiran

Gunung namak bukit berahu

Tempat bermalam di hari Sabtu

Punya anak didik tak tahu

Kompas terbenam arah tak tahu

Kalimat ”Punya anak didik tak

tahu/Kompas terbenam arah tak tahu”

(baris ke-3 dan ke-4) menggambarkan

tentang kondisi dunia pendidikan kita yang

terpuruk. Hal ini ditunjukkan dengan siswa

yang tidak tahu tentang arah mata angin

(kompas).

Burung camar di kaki meja

Patah meja terbelah dua

Susah benar cari kerja

Ijazah SMA tak ada guna

Pantun pada kalimat “Susah benar cari

kerja/Ijazah SMA tak ada guna” melukiskan

keadaan alumni SMA yang susah

memperoleh pekerjaan. Tamatan SMA tidak

dipersiapkan untuk bekerja melainkan

untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih

tinggi. Sementara itu, tamatan SMK

memang dipersiapkan untuk dunia kerja.

Jumani: Struktur dan Nilai Moral Pantun pada Rubrik “Bujang Besaot” serta Pemanfaatannya ...

SIROK BASTRA, Vol. 6 No. 1, Juni 2018: 1—21 11

3.1.5 Pantun Bertema Teka-Teki

Pantun bertema teka-teki dalam rubrik

“Bujang Besaot” mendeskripsikan keseriusan

berpikir dan senda gurau.

a. Keseriusan Berpikir

Mancing ikan kuat arusnya

Terjerat jala tengah samudera

Kalau Tuan tinggi ilmunya

Penyakit apa tak ada obatnya

Kalimat “Kalau Tuan tinggi ilmunya/

Penyakit apa tak ada obatnya”

menggambarkan bahwa orang-orang berilmu

itu harus siap untuk menjawab atau

memberikan jawaban bila ada yang

bertanya.

Sungguh enak buah semangka

Dimakan tidak dengan kulitnya

Badan sakit memikirkan kanda

Hati rindu apalah obatnya

Pantun di atas menggambarkan tentang

seseorang yang berusaha mencari obat hati

yang rindu. Kerinduan yang dirasakan telah

menyebabkan seluruh tubuhnya menjadi

sakit. Sementara, jawaban untuk obat hati

yang rindu tak ditemukan (menggantung).

b. Senda Gurau

Buluh sedepa dirangkai bunga

Kalau patah nilon talinya

Sungguh hamba tak pandai menerka

Kalau tak salah bunglon namanya

Pantun di atas menegaskan adanya teka-

teki yang berisi senda gurau, yang terlihat

pada kalimat “Kalau tak salah hamba

bunglon namanya”. Pantun tersebut

menggambarkan seseorang yang rendah

hati, tidak sombong walaupun sebenarnya

dia sudah tahu apa yang diminta. Tanggapan

pun dia berikan dengan senda gurau

sehingga kalau pun salah tidak

menyebabkan perselisihan.

3.1.6 Pantun Bertema Adat

Pantun bertema adat dalam rubrik “Bujang

Besaot” berhubungan dengan nasihat yang

berhubungan dengan adat istiadat.

Adat ngganggung mari dijaga

Titah barokah tradisi dulu

Adat dijunjung bersendi sara

Itulah petuah negeri Melayu

Pantun di atas menegaskan bahwa

orang Melayu akan selalu menjunjung adat

istiadat yang dimiliki dengan tetap

berlandaskan hukum yang ada. Pernyataan-

pernyataan ini telah menjadi sumber hukum

adat (petuah) untuk menjadikan orang

Melayu sebagai orang-orang yang

bermartabat dan berbudaya. Hal tersebut

tergambar pada kalimat: “Adat dijunjung

bersendi sara/Itulah petuah negeri Melayu”

(baris ke-3 dan ke-4). Orang Melayu

memiliki aturan khusus yang dijadikan

pedoman untuk memelihara atau

menyelamatkan hidupnya (bersendi sara).

Pantun tersebut memberi nasihat agar

selalu menjaga adat budaya bangsa sendiri.

Belikan cita berupa katun

Baju berhias daunlah bambu

Rangkaian kata indah terlantun

Itu ciri khas pantun Melayu

Pantun di atas menggambarkan tentang

kata-kata yang indah yang dilantunkan oleh

seseorang. Kata-kata tersebut adalah

pantun. Pantun merupakan ciri khas orang

Melayu. Keberadaan pantun bagi orang

Melayu diharapkan jadi penuntun dalam

menjalani hidup. Baris ke-3 dan ke-4

kalimat “Rangkaian kata indah terlantun/Itu

ciri khas pantun Melayu” menjelaskan

bahwa pantun memiliki susunan kata-kata

yang indah sehingga dapat dimanfaatkan

untuk hiburan dan pendidikan. Pantun yang

lahir di tengah-tengah masyarakat sudah

sepantasnya terus dijaga dan dilestarikan

keberadaannya. Selain ciri khas Melayu,

pantun banyak mengandung nilai-nilai yang

dapat dijadikan refleksi pengalaman dan

pengetahuan.

3.1.7 Pantun Bertema Budi

Pekerti

Pantun bertema budi pekerti pada rubrik

“Bujang Besaot” berkaitan dengan tingkah

laku, akhlak, atau watak seseorang yang

dipergunakan untuk menimbang baik atau

buruknya tingkah laku tersebut. Isinya

berupa nasihat atau petunjuk kepada

seseorang tentang tata cara bertingkah laku

yang baik.

Anak kancil berjalan nyasar

Resah tersesat di pantai Sanur

Masalah kecil kian membesar

Bila tidak pandai bertutur

Jumani: Struktur dan Nilai Moral Pantun pada Rubrik “Bujang Besaot” serta Pemanfaatannya ...

SIROK BASTRA, Vol. 6 No. 1, Juni 2018: 1—21 12

Sebelum kita mengeluarkan suatu

pernyataan, hendaklah dipikirkan matang-

matang agar tidak menjadi masalah di

kemudian hari. Pantun pada kalimat

“Masalah kecil kian membesar / Bila tidak

pandai bertutur” memberikan nasihat kepada

kita agar dalam berbicara atau bertutur

harus betul-betul dipikirkan. Kesalahan

dalam berbicara akan dapat mengakibatkan

masalah-masalah kecil menjadi masalah

besar.

Hilang ikan dalam pukat

Mari dicari dipulau kelasa

Hilang kawan mudah didapat

Hilang budi badan binasa

“Hilang kawan mudah didapat/hilang budi

badan binasa”. Pantun tersebut

menggambarkan bahwa kalau kita

kehilangan teman atau sahabat, kita dapat

dengan mudah untuk mencari penggantinya.

Jika yang hilang itu budi baik, kehilangannya

akan membuat jiwa dan raga kita menderita.

Hubungan yang terjalin melalui budi baik

tidak akan pernah putus, terus berlanjut,

bahkan akan dikenang walaupun badan

hancur di dalam tanah. Kehilangan budi atau

berhutang budi tidak dapat dibayar dengan

apapun. Orang yang tidak berbudi akan

dijauhi masyarakat sehingga kalau terjadi

sesuatu tidak ada orang yang peduli. Pantun

ini mengisyaratkan betapa pentingnya budi

pekerti dalam kehidupan bermasyarakat.

3.2 Rima

Rima akhir dan rima rangkai merupakan

bagian rima yang dideskripsikan dalam

penelitian ini. Kajian terhadap kedua rima ini

dilakukan karena rima-rima tersebut sangat

dominan dalam pantun rubrik ”Bujang

Besaot”. Rima akhir pantun dengan ciri baris

pertama berima dengan baris ketiga dan

baris kedua berima dengan baris keempat

(pola rima a-b-a-b) tetap menjadi dominan

dalam menulis pantun walaupun muncul

bentuk-bentuk rima di luar konvensi (aturan

pola rima yang baik dalam menulis pantun)

seperti a-b-c-b , a-b-a-c, a-a-b-a, a-b-b-b, a-

b-a-a, a-a-a-b, dan a-b-b-a. Rima lain yang

dominan digunakan dalam pantun rubrik

”Bujang Besaot” adalah rima rangkai, yaitu

rima yang terdapat pada kalimat-kalimat

yang beruntun (pola rima akhir setiap baris

sama a-a-a-a).

Penggunaan rima akhir terdapat pada

pantun bertema percintaan, sosial, agama,

pendidikan, teka-teki, adat, dan budi

pekerti.

Bencana terjadi di mana-mana

Badai banjir dan juga petir

Ingatkah kita akan pada-Nya

Pertanda dunia akan berakhir

Pantun di atas terdapat pola rima akhir

a-b-a-b, yaitu kata /mana-padaNya/ pada

baris 1 dan 3 dan kata /petir-berakhir/ pada

baris 2 dan 4.

Bagai haus melepas dahaga

Ambil air, airnya matang

Kemana Kanda mencari cinta

Kalau bukan adik seorang

Pantun di atas kata dahagaakhir baris

pertama mempunyai persamaan bunyi

dengan kata cintaakhir baris ketiga dan

kata matang akhir baris kedua mempunyai

persamaan bunyi dengan kata seorang

akhir baris keempat. Rima akhir terdapat

pula pada pantun berikut.

Baju kemeja berkancing tujuh

Hendak disulam di atas meja

Kalo memang cintamu sungguh

Air segelas kubagi dua

Pantun berikut kata melayang baris akhir

baris pertama mempunyai persamaan bunyi

dengan kata sembahyang akhir baris ketiga

dan kata benih akhir baris kedua

mempunyai persamaan bunyi dengan kata

bersih akhir baris keempat.

Layang-layang terbang melayang

Sugi-sugi pengarah benih

Elok benar orang sembahyang

Hati suci mukanya bersih

Pantun-pantun bertema percintaan lebih

dominan dalam menggunakan rima akhir

dibandingkan pantun bertema adat.

Selanjutnya, penggunaan rima rangkai juga

lebih didominasi pantun-pantun yang

bertema percintaan dibandingkan jenis-

jenis tema yang lain. Pantun bertema budi

pekerti lebih sedikit digunakan.

Buah semangka dibelah dua

Mari dimakan bersama-sama

Kalau adinda rindukan kanda

Saling bertemu itulah obatnya

Jumani: Struktur dan Nilai Moral Pantun pada Rubrik “Bujang Besaot” serta Pemanfaatannya ...

SIROK BASTRA, Vol. 6 No. 1, Juni 2018: 1—21 13

Kata duapada pantun di atas dan kanda

di akhir baris 1 dan 3 dan bersama-sama

dengan obatnyadi akhir baris 2 dan 4

memiliki perulangan bunyi yang sama pada

setiap akhir baris (rima rangkai).

Dayung-dayung kita ke muara

Pantun bersahut pantun jenaka

Mari adik kita bersama

Dayung berdua bahtera

Kata muaradengan bersamadi akhir

baris 1 dan 3 dan jenakadengan bahteradi

akhir baris 2 dan 4 memiliki perulangan

bunyi yang sama pada setiap akhir baris

(rima rangkai).

Pakailah kayu sebagai tanda

Diberi garis biar gak lupa

Janganlah terlalu memuja cinta

Habis manis pahit terasa

Kata tandadengan cintadi akhir baris 1

dan 3 dan lupadengan terasadi akhir baris

2 dan 4 memiliki perulangan bunyi yang

sama pada setiap baris (rima rangkai).

Berdasarkan data tersebut dapat diketahui

bahwa penulis pantun hanya mementingkan

bunyi akhir pantun dan mengabaikan pola

rima akhir pantun yang cenderung ketat.

3.3 Citraan

a. Citraan visual ditemukan pada

pantun-pantun bertema percintaan,

sosial, agama, pendidikan, teka-teki,

adat, dan budi pekerti.

Kacang panjang tumbuh di ladang

Tumbuh melilit batang durian

Oh adik yang berambut pirang

Bolehkah aku ikut berkenalan

Pada baris pertama terlihat kalimat

”Kacang panjang tumbuh di ladang”. Apabila

pembaca membaca baris tersebut maka akan

terbayang bahwa ada tumbuhan yang

bernama kacang panjang yang tumbuh di

ladang. Pembaca dapat membayangkan

bentuk tumbuhan kacang panjang,

batangnya, daunnya, dan juga buahnya.

Pembaca pun dapat membayangkan ladang

dan bukan sawah karena yang digunakan

oleh penulisnya adalah kata “ladang” dan

bukan kata “sawah”.

Burung merpati terbang tinggi

Ada satu yang telah mati

Cinta buat si Andi

Tapi mengapa dia khianati

Pada baris pertama terlihat kalimat

”Burung merpati terbang tinggi”. Melalui

baris tersebut pembaca seakan-akan dapat

melihat bahwa ada burung merpati yang

sedang terbang dengan ketinggian tertentu.

Ikan kecil beribu-ribu

Ikan besar jual di pasar

Masih kecil disayang ibu

Sudah besar disayang pacar

Baris pertama berbunyi ”Ikan kecil

beribu-ribu”. Dengan membaca baris

tersebut, pembaca seakan-akan dapat

melihat adanya ribuan ikan. Pembaca dapat

membayangkan ikan kecil yang jumlahnya

ribuan, walau tidak disebutkan jenis

ikannya atau nama ikannya.

Dalam menulis pantun, para penulis

menggunakan kata yang bervariasi

utamanya untuk menimbulkan efek visual

atau citraan visual. Kata-kata yang

dimaksud umumnya kata benda seperti

burung merpati, ikan, kacang panjang,

layang-layang, paku, pucuk kelapa, anak

rusa, pohon ketapang, buah mengkudu,

mega, janda, bisul, cendawan, ranjang,

buaya, bekicot, burung camar, kaki meja,

buluh, bunga, lempah (sayur) keladi, dan

buah durian.

b. Citraan auditori ditemukan pada

semua jenis tema kecuali tema

teka-teki dan budi pekerti.

Burung merpati suara merdu

Terbang ke rawa turun menepi

Dua hati saling merindu

Mari dibawa ke alam mimpi

Baris pertama pantun di atas berbunyi

”Burung merpati suara merdu”. Baris ini

mengindikasikan bahwa para pembaca dan

pendengar dapat membayangkan seakan-

akan mendengar suara burung merpati

yang merdu. Merdu atau tidaknya suara

burung sebenarnya sangatlah relatif bagi

seseorang. Ada orang yang menganggap

suara burung perkutut lebih merdu dari

suara burung merpati tetapi ada juga yang

beranggapan bahwa suara burung merpati

lebih merdu dari suara burung perkutut.

Yang jelas, dengan baris itu pembaca atau

pendengar dibawa oleh penulis pantun

seakan-akan dapat mendengar suara

burung merpati yang merdu.

Jumani: Struktur dan Nilai Moral Pantun pada Rubrik “Bujang Besaot” serta Pemanfaatannya ...

SIROK BASTRA, Vol. 6 No. 1, Juni 2018: 1—21 14

Belikan cita berupa katun

Baju berhias daunlah bambu

Rangkai kata indah terlantun

Itu ciri khas pantun Melayu

Baris ketiga yang berbunyi “rangkai kata

indah terlantun” menyebabkan pembaca

seakan-akan dapat mendengarkan indahnya

kata yang sedang dilantunkan. Hal tersebut

menjadi lebih jelas lagi setelah membaca

baris keempat ”Itu ciri khas pantun Melayu”.

Artinya bahwa yang indah terlantun adalah

pantun Melayu. Jadi, pembaca atau

pendengar seakan-akan dapat

mendengarkan indahnya pantun Melayu

yang dilantunkan.

Berdasarkan data yang dianalisis dapat

diketahui bahwa dalam menampilkan citraan

auditori, penulis pantun menggunakan tokoh

yang dapat bersuara seperti tokoh burung

merpati, tuan, ibu, ayah, dan tokoh tanpa

nama atau tidak perlu disebutkan namanya.

c. Citraan Taktual

Basah sudah si kain sarung

Kain dibawa ke tukang loak

Memang hidup belum beruntung

Setiap bercinta selalu ditolak

Baris pertama “Basah sudah si kain

sarung” .Kata “basah” digunakan oleh

penulis pantun untuk menimbulkan citraan

taktual. Dengan kata “basah” seakan-akan

kulit pembaca atau pendengar pantun juga

merasakan basahnya kain sarung.

Penggunaan kata “sarung” sangat berkaitan

dengan masyarakat Bangka yang agamis

yang suka menggunakan sarung saat salat.

Menurut pendapat peneliti, penggunaan

kalimat “kain dibawa ke tukang loak” kurang

tepat karena bila kain sarung tersebut

hendak diloakkan mengapa dibawa saat

basah? Tentu penulis pantun tidak berpikir

sampai ke sana karena yang dipikirkan

penulis tentunya untuk mendapatkan rima/

persajakan yang tepat.

Hujan mendera angin menerpa

Raga berduka meratap senja

Pikiran merana ingin bertanya

Luka apa tetap menganga

Rasa kulit yang sakit ditunjukkan oleh

kata “mendera” dan “menerpa” pada baris

pertama pantun di atas yang berbunyi

“Hujan mendera, angin menerpa”. Bila kulit

terkena deraan hujan atau terpaan angin,

kulit akan terasa sakit. Melalu baris tersebut

para pembaca atau pendengar seakan-akan

dapat merasakan kulit yang sakit karena

didera oleh hujan (yang cukup lebat) dan

diterpa angin (yang cukup kencang).

Berdasarkan data yang tersedia dan

analisis dapat diketahui bahwa dalam

menulis pantun para penulis

memperhatikan aspek citraan taktual

dengan menggunakan kata basah, terinjak,

sedih, bingung, mendera, menerpa, susah,

dan senang. Kata-kata tersebut

disandingkan dengan kata lain seperti kata

sarung, kaki, hujan, angin, sinar ilahi, dan

teman sejati.

d. Citraan Gustatori

Buah mengkudu pahit buahnya

Jangan diminum pakai jahe

Siang malam teringat dia

Wajah ganteng tapi duda

Berdasarkan baris ke-1 kutipan pantun

tersebut, pembaca atau pendengar seolah-

olah dapat merasakan pahitnya buah

mengkudu. Seseorang dapat merasakan

pahitnya buah mengkudu karena telah

mencecapnya. Pada baris berikutnya

penulis menyarankan “Jangan diminum

pakai jahe”. Ada kemungkinan pahitnya

rasa mengkudu diakibatkan karena

dicampur “jahe”. Tanpa hadirnya baris

kedua sebenarnya baris pertama sudah

sangat jelas bahwa penulis ingin

menyampaikan informasi bahwa buah

mengkudu rasanya pahit.

Dari data yang tersedia dan analisis,

dapat diketahui bahwa dalam menulis

pantun para penulis menggunakan kata

yang beragam sehingga menimbulkan

adanya citraan pencecapan (gustatori)

seperti kata pahit, manis, dan sedap. Kata-

kata tersebut melekat pada kata buah

mengkudu, buah pisang, makanan otak-

otak, dan gulai.

e. Citraan Olfaktori

Sungguh harum bunga mawar

Lebih harum bunga melati

Memang indah rasanya punya pacar

Demi dia aku rela mati

Baris pertama yang berbunyi ”Sungguh

harum bunga mawar” mengakibatkan

pembaca atau pendengar seakan-akan

dapat mencium harumnya bunga mawar.

Jumani: Struktur dan Nilai Moral Pantun pada Rubrik “Bujang Besaot” serta Pemanfaatannya ...

SIROK BASTRA, Vol. 6 No. 1, Juni 2018: 1—21 15

Penggunaan kata “bunga mawar” menjadi

penting karena penulis mencoba

membandingkan dengan “bunga melati”

pada baris berikutnya. Menurut penulis

aroma bunga mawar memang tidak seharum

bunga melati. Namun, penggunaan bunga

mawar identik dengan cinta. Melalui baris

pertama seakan-akan pembaca dapat

mencium harumnya bunga mawar yang

menyebarkan keindahan.

Dari data dan analisis dapat diketahui

bahwa untuk menuliskan pantun penulis

menggunakan citraan olfaktori dengan

menggunakan kata yang berasal dari

golongan buah dan bunga. Mengkudu,

mawar, melati, dan bunga pada umumnya

dipilih untuk menimbulkan citraan

penciuman.

f. Citraan Organik

Mangga golek masak sebiji

Masak menguning di batangnya

Alangkah molek anak pak haji

Kepala pusing memikirkannya

Kutipan baris keempat pantun yang

berbunyi ”Kepala pusing memikirkannya”

disebabkan karena pernyataan pada baris

”Alangkah molek anak pak haji”. Jadi, karena

melihat kemolekan anak pak haji

menyebabkan kepala menjadi pusing. Bisa

jadi penulis pantun berminat untuk memacari

atau bahkan menikahi anak pak haji, tetapi

yang bersangkutan sudah ada yang punya.

Melalui dua baris tersebut pendengar atau

pembaca seakan-akan ikut merasa pusing

kepalanya.

Helm mini tersandung kaki

Sakit tersepak risih mencuat

BBM kini melambung tinggi

Nasib rakyat semakin melarat

Kalimat baris kedua pantun tersebut

menyebabkan pembaca atau pendengar

seakan-akan merasakaan sakit karena

tersepak. Kata “tersepak” menunjukkan

bahwa yang digunakan untuk menyepak

adalah kaki. Tidak dijelaskan bagian tubuh

mana yang tersepak karena tersepak

tersebut menyebabkan bagian tubuh

tertentu menjadi sakit. Dari uraian di atas

dapat diketahui bahwa untuk menunjukkan

citraan organik dalam pantun, penulis pantun

menggunakan frasa “kepala pusing” dan

frasa “sakit tersepak”.

g. Citraan Kinestetik

Berkalang tanah kayu tanaman

Memotong rumput di tepi kebun

Begitu lama cinta kupendam

Hingga mencapai ke ubun-ubun

Baris kedua pantun di atas menyebut

bahwa “Memotong rumput di tepi kebun”

menyebabkan pembaca atau pendengar

seakan-akan ikut melakukan suatu gerakan

memotong atau menebas rumput. Dalam

hal ini tidak terlalu penting mengetahui

jenis rumput dan juga letak kebun. Penulis

pantun pun tidak menjelaskan bagaimana

gerakan memotong rumput apakah dari

arah kiri ke kanan atau sebaliknya. Yang

jelas, pembaca dapat membayangkan

bagaimana gerakan seorang pemotong

rumput yang sedang mengerjakan

tugasnya. Kata memotong rumput

mengindikasikan kata yang berasal dari

lingkungan pekerja penebas rumput.

Mancing ikan di telaga restu

Sambil mancing ngisep cerutu

Ini mak calon menantu

Minta dukungan dan doa restu

Kalimat pada baris ke-1 pada pantun di

atas memberikan gambaran seolah-olah

pembaca atau pendengar mengikuti gerak

joran yang digeser ke sana ke mari untuk

mendapatkan ikan. Melalui kata “mancing”,

pendengar atau pembaca seolah-olah ikut

bergerak memindahkan joran atau tangkai

pancing ke sana ke mari di telaga yang

bernama telaga Restu. Kata “mancing”

mengindikasikan penulis berasal dari

lingkungan nelayan atau orang yang gemar

memancing.

Kata dan frasa yang digunakan oleh

penulis pantun yang mengindikasikan

citraan kinestetik cukup beragam seperti

frasa dan kata: memotong rumput,

memancing ikan, menjamu anak perawan,

menghalau badak, makan, memetik duku,

berdoa, menanam bunga, mencari timah,

mengeja huruf, dan bergoyang. Hal itu

menunjukkan masyarakat Bangka Belitung

memiliki profesi yang bermacam-macam

seperti tergambar dari pantun yang

dikirimkan melalui rubrik “Bujang Besaot”.

Jumani: Struktur dan Nilai Moral Pantun pada Rubrik “Bujang Besaot” serta Pemanfaatannya ...

SIROK BASTRA, Vol. 6 No. 1, Juni 2018: 1—21 16

3.4 Nilai Moral

a. Kesetiaan

Baju kemeja berkancing tujuh

Hendak disulam di atas meja

Kalo memang cintamu sungguh

Air segelas kubagi dua

Banyak ungkapan yang biasa digunakan

oleh mereka yang sedang dimabuk cinta

untuk menunjukkan adanya kesetiaan

pasangan seperti “kalau engkau kembang

aku tangkainya”, “kalau engkau baju aku

kancingnya”, “makan sepiring berdua”, “rela

tidur di atas koran asalkan denganmu”, dan

lain-lain. Ungkapan pada baris keempat

pantun di atas “Air segelas kubagi dua” juga

menunjukkan adanya kesetiaan pada

pasangan. Ungkapan itu menunjukkan

bahwa yang satu rela berbagi pada yang

lain. Bukankah cinta adalah rasa rela berbagi

dalam suka dan duka? Penulis pantun

hendak menyampaikan pesan moral agar

setiap pasangan hendaklah saling berbagi

dalam suka dan duka.

Bulu merindu di kota Malang

Bawa satu buat dikenang

Walau seribu pria yang datang

Cintaku padamu takkan bergoyang

Baris ketiga yang berbunyi “Walau seribu

pria yang datang” dan baris keempat yang

berbunyi ”Cintaku padamu takkan

bergoyang” menunjukkan adanya kesetiaan

dari seorang wanita. Memang demikianlah

seharusnya seorang wanita. Penulis pantun

hendak menyampaikan pesan moral

pentingnya seorang wanita menjaga

kesetiaan cintanya.

Seringkali ada ungkapan kalau cinta

sudah melekat, tahi kucing terasa coklat.

Ungkapan ini mungkin sekali ada benarnya

mengingat masalah cinta adalah masalah

rasa, masalah hati. Kalau saja hati sudah

terkena panah asmara, tidak akan melihat

lagi harta dan kedudukan bahkan ada

kalanya tidak memperhatikan saran atau

pendapat orang tua.

Wujud nilai moral kesetiaan dalam pantun

rubrik “Bujang Besaot” meliputi: minum air

segelas berdua, tidak tergoda oleh rayuan

lelaki lain, rela disumpah emak, rela mati di

ujung keris, rela badan hancur binasa, rela

menjadi janda, dan tidak cari yang tampan

yang penting setia.

b. Kepemimpinan

Batang palem tumbuh di kali

Tumbuh juga batang mengkelik

Kalau BBM naik lagi

Rakyat miskin makin mencekik

Nilai moral yang ingin disampaikan

penulis pantun berdasarkan pantun di atas

adalah bahwa pemerintah pusat hendaknya

bersikap bijaksana dalam menaikkan BBM

mengingat naik-turunnya BBM merupakan

kebijakan pemerintah pusat. Melalui pantun

tersebut dapat ditangkap bahwa penulis

pantun yang mewakili masyarakat berharap

jangan sampai BBM dinaikkan lagi karena

akan menyengsarakan rakyat. Apabila

pemerintah menaikkan BBM berarti

kebijakannya tidak berpihak pada rakyat

kecil atau rakyat miskin. Penulis pantun

sebenarnya ingin menyampaikan pesan

kepada para pemimpin di pemerintahan

pusat agar bijaksana dalam mengambil

keputusan. Pemimpin yang baik adalah

pemimpin yang menyejahterakan

masyarakat yang dipimpinnya.

Jalan rusak semakin parah

Tidak bisa dilewati kereta

Hidup sekarang semakin susah

Semua barang naik semua

Penulis pantun berusaha mencermati

apa yang terjadi pada masyarakat, yakni

harga-harga yang semakin naik dan hal itu

menyusahkan masyarakat. Seorang

pemimpin diharapkan mempunyai kebijakan

yang populis yaitu kebijakan yang berpihak

kepada masyarakat kebanyakan. Oleh

karena itu, bila pemimpin membuat

kebijakan yang dapat mengakibatkan

harga-harga menjadi naik tentu kebijakan

semacam itu tidak disenangi oleh

masyarakat kecil.

c. Kedermawanan

Musim hujan tumbuh cendawan

Musim panas jadi kemarau

Terima kasih para dermawan

Tuk sumbangan membangun surau

Kalimat baris ke-3 “Terima kasih para

dermawan” dan baris ke-4 “Tuk sumbangan

membangun surau” menunjukkan sikap

kedermawanan masyarakat (Bangka).

Umumnya, dana untuk membangun rumah

ibadat berasal dari sumbangan umat yang

rela menyumbangkan sebagian miliknya

Jumani: Struktur dan Nilai Moral Pantun pada Rubrik “Bujang Besaot” serta Pemanfaatannya ...

SIROK BASTRA, Vol. 6 No. 1, Juni 2018: 1—21 17

atau hartanya dengan ikhlas. Penggunaan

kata “berterima kasih” dan kata “dermawan”

merupakan ungkapan yang tepat karena

orang yang sudah berderma dengan iklhas

pantas mendapatkan ucapan terima kasih.

Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat

Bangka berderma bukan hanya dalam

rangka membangun surau, tetapi juga dalam

kegiatan lain seperti membantu orang

jompo, fakir miskin, dan lain-lain. Jadi,

dengan pantun tersebut penulis pantun

berharap agar para pembaca juga bisa

berterima kasih kepada para dermawan yang

telah menyisihkan hartanya untuk

kepentingaan pembangunan surau.

Berdasarkan data yang tersedia dapat

diketahui bahwa penulis pantun hendak

menyampaikan pesan moral kepada

penderma dan penerima derma. Kepada

para penderma penulis pantun hendak

menyampaikan pesan moral bahwasanya

kalau menjadi penderma hendaknya ikhlas,

rido, serta tidak mengharapkan adanya

imbalan dan pujian.

d. Ketakwaan

Anak dara di tepi pedalaman

Merenung diri terangan gundah

Sanak saudara jadi sandaran

Bernaung diri lindungan Allah

Baris ketiga yang berbunyi “Saudara jadi

sandaran” mengisyaratkan bahwa dalam

hidup ini tidaklah dapat sendirian. Kehadiran

manusia di dunia ini selalu memerlukan

bantuan orang lain. Kita bisa makan nasi

karena ada petani. Kita bisa berpakaian

karena ada tukang jahit. Kita saling

memerlukan satu dengan yang lain. Oleh

sebab itu, dalam hidup ini tidaklah bijaksana

bila menyombongkan diri. Sehebat-hebatnya

manusia, pada akhirnya akan kembali

kepada Allah Swt. Perhatikan baris berikut

yang berbunyi ”Bernaung diri lindungan

Allah”. Baris ini mengisyaratkan agar

manusia senantiasa berlindung pada Allah

swt. Orang yang berlindung pada Allah akan

merasa damai dan tenteram. Jadi, dengan

pantun di atas penulis hendak

menyampaikan pesan moral bahwa dalam

hidup ini hendaknya saling menghormati,

saling tolong, dan senantiasa berpegang dan

percaya pada Allah swt. Selain itu, jangan

menggantungkan hidup kepada makhluk

ciptaan-Nya.

Nilai moral ketakwaan diwujudkan oleh

adanya suatu tindakan atau perbuatan

sebagai berikut: beriman, bernaung pada

Allah, bertobat, mendengarkan nasihat

baik, percaya kepada akhirat, dan percaya

bahwa segala sesuatu sudah ditentukan

oleh Allah.

e. Persahabatan

Beli pita warnanya biru

Hendak dibeli diakhir pekan

Duduk bersanding pengantin baru

Selamat bahagia aku ucapkan

Kebahagiaan dalam hidup akan semakin

dirasakan manakala banyak kawan yang

ikut serta merasakannya. Pesta perkawinan

seseorang misalnya akan terasa lebih

bahagia dirasakan oleh pasangan pengantin

jika para sahabat dan handai tolan ikut

serta hadir dalam pesta. Baris keempat

pantun di atas ”Selamat bahagia aku

ucapkan” menandakan bahwa ada sahabat

yang hadir dalam suatu pesta perkawinan

dan memberikan ucaapan selamat

berbahagia kepada pengantin baru yang

duduk bersanding. Dalam kehidupan sehari-

hari sangatlah wajar bila antara dua

sahabat saling memberi ucapan selamat.

Ucapan selamat tersebut merupakan wujud

perhatian dari seseorang kepada

sahabatnya. Persahabatan tidak harus

sampai ke pelaminan ataupun menikah.

Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali

persahabatan lebih langgeng daripada

pernikahan.

Wujud nilai moral persahabataan adalah

senda gurau, sanjungan, ajakan berbuat

baik, ajakan berkawan, ajakan berkenalan,

melupakan lembaran hitam, tidak

menyombongkan diri, indahnya tutur kata,

dan hati-hati dalam berbuat dan bertutur

kata.

f. Kesabaran

Basah sudah si kain sarung

Kain di bawa ke tukang loak

Memang hidup belum beruntung

Setiap bercinta selalu ditolak

Baris ketiga yang berbunyi “Memang

hidup belum beruntung” dan baris keempat

yang berbunyi ”Setiap bercinta selalu

bertolak”, mengisyaratkan agar orang

tersebut bersabar dalam menghadapi setiap

peristiwa atau kejadian. Sabar tentu saja

Jumani: Struktur dan Nilai Moral Pantun pada Rubrik “Bujang Besaot” serta Pemanfaatannya ...

SIROK BASTRA, Vol. 6 No. 1, Juni 2018: 1—21 18

harus disertai dengan introspeksi diri,

mengapa selalu ditolak? Mungkin ada sikap-

sikap yang mesti diperbaiki karena tidak

disenangi oleh lawan jenis. Dengan pantun

tersebut, penulis pantun berharap agar

pembaca tetap bersabar sambil

berinstrospeksi diri manakala cintanya

ditolak.

Wujud dari nilai moral kesabaran cukup

bervariasi. Nilai moral kesabaran diwujudkan

dengan sabar ketika cinta ditolak, ketika

cinta ternyata bertepuk sebelah tangan,

ketika pacar ternyata dilamar orang.

3.5 Pemanfaatan Pantun Rubrik

“Bujang Besaot” sebagai Bahan

Pembelajaran Apresiasi Sastra di

SMA

Berdasarkan hasil analisis, pantun-pantun

rubrik “Bujang Besaot dapat dimanfaatkan

dan dijadikan bahan pembelajaran apresiasi

sastra khususnya pantun di SMA. Pantun-

pantun yang dimuat di surat kabar harian

Bangka Pos merupakan pantun-pantun

terpilih dan layak muat di harian tersebut.

Sehubungan dengan itu, pantun yang

dijadikan sampel dalam tulisan ini

merupakan pantun-pantun yang sudah

melalui penilaian redaksi. Selain itu, ada

beberapa alasan mengapa pantun ini

ditawarkan dan patut dipertimbangkan

sebagai bahan ajar yang dipilih dalam

pengajaran apresiasi sastra di sekolah.

Alasan tersebut adalah sebagai berikut. Dari

sudut aspek sastra, pantun rubrik “Bujang

Besaot” mengandung nilai-nilai sastra dan

unsur pantun yang lengkap sebagaimana

struktur sebuah pantun berdasarkan

konvensi sastra. Pantun rubrik “Bujang

Besaot” mengandung unsur-unsur pantun

seperti tema yang universal, penggunaan

rima pantun yang mencirikan pantun, citraan

yang bervariasi, dan nilai moral yang dapat

dijadikan pedoman.

Bukan buluh sembarang buluh

Buluh ditumpangi si buah benalu

Adik jauh abang pun jauh

Dalamnya rindu kita bertemu

Berdasarkan baris ketiga ”Adik jauh abang

pun jauh” dan baris keempat yang berbunyi

”Dalamnya rindu kita bertemu”

menggambarkan masalah percintaan. Pantun

tersebut menggunakan rima akhir dengan

pola rima a-b-a-b yang merupakan ciri-ciri

pantun. Citraan visual tampak pada larik

sampiran (larik ke-1 dan larik ke-2) dengan

pesan moral yang ingin disampaikan penulis

pantun, yaitu hendaklah kita setia dengan

pasangan yang sudah kita miliki atau yang

akan kita miliki seperti bunyi kalimat “Adik

jauh abang pun jauh/Dalamnya rindu kita

bertemu”. Baris tersebut menggambarkan

bahwa walaupun posisi kita berjauhan,

perasaan rindu dan sayang tetap selalu

muncul dalam setiap gerak dan langkah

serta rasa yang mengikuti.

Pukat harimau mengancam nelayan

Hasil tangkapan mulai berkurang

Tulus ikhlas memberi bantuan

Jangan mengharap dipuji orang

Baris “Tulus ikhlas memberi bantuan”

menyarankan kepada semua pihak bahwa

dalam membantu orang lain hendaknya

tulus dan ikhlas. Baris berikutnya ”Jangan

mengharapkan dipuji orang” semakin

memperjelas bahwa dalam membantu

seseorang hendaknya tanpa pamrih. Tema

yang ingin ditonjolkan adalah masalah

agama. Dikatakan bahwa tatkala tangan

kanan memberi, tangan kiri tidak boleh

tahu. Dalam memberikan bantuan harus

ikhlas tanpa mengharapkan pamrih dari

orang yang dibantu. Dalam kehidupan

sehari-hari, seringkali orang membantu

orang lain dengan berbagai motif agar

dipilih menjadi pimpinan, agar dihormati,

dan lain-lain. Pemberian bantuan dengan

motif tertentu tidaklah tulus. Jadi, dengan

pantun tersebut penulis pantun

mengharapkan kepada para pembaca untuk

bersikap tulus, ikhlas, tanpa mengharapkan

imbalan, penghormatan, apalagi pujian saat

memberikan bantuan kepada orang lain.

Rima yang digunakan rima akhir dengan

pola rima a-b-a-b. Citraan visual sangat

menonjol dalam pantun seperti pada

kalimat “Pukat harimau mengancam

nelayan” yang menggambarkan seolah-olah

kita melihat dengan mata adanya pukat

harimau yang digunakan nelayan dalam

menangkap ikan (larik sampiran, larik ke-1

dan ke-2). Nilai moral kedermawanan yang

terdapat pada pantun tersebut harus

digelorakan setiap waktu agar menjadi

pembelajaran dalam setiap aktivitas yang

dilakukan.

Jadi, jika ditinjau dari nilai-nilai

kesastraan, pantun rubrik “Bujang Besaot”

Jumani: Struktur dan Nilai Moral Pantun pada Rubrik “Bujang Besaot” serta Pemanfaatannya ...

SIROK BASTRA, Vol. 6 No. 1, Juni 2018: 1—21 19

memenuhi kriteria pemilihan bahan ajar

pantun karena mengandung unsur-unsur

yang telah ditentukan. Dari sudut aspek

bahasa, pilihan kata atau kosa kata yang

digunakan dalam pantun rubrik “Bujang

Besaot” adalah kosa kata dan ungkapan

dalam bahasa sehari-hari sehingga siswa

tidak terlalu sulit memahami makna kata-

katanya. Walaupun di dalam pantun rubrik

“Bujang Besaot” terdapat kosa kata bahasa

daerah, pantun tersebut masih dapat

dipahami maknanya.

Ditinjau dari aspek psikologis, siswa SMA

sudah memasuki tahap generalisasi dalam

perkembangan jiwa anak. Sesuai dengan ciri

pada tahap ini, siswa dapat

menggeneralisasikan hal-hal yang praktis

dan berminat menemukan konsep abstrak

dengan menganalisis fenomena serta

menemukan penyebab fenomena untuk

menentukan keputusan moral dalam dirinya.

Jika memperhatikan tingkat perkembangan

mental siswa SMA yang rata-rata berada di

antara usia 15 sampai 20 tahun, sifat-sifat

dan karakter mereka sedang riskan dan

mudah terpengaruh oleh lingkungan. Di

benaknya masih didominasi oleh

romantisme-romantisme, baik yang

menyenangkan maupun yang tragis.

Paradigma dalam berpikir pun masih belum

mampu berpikir secara realistis dan masih

dipengaruhi oleh perasaan yang cukup

signifikan di banding logika. Pada usia

setingkat SMA, daya pikir dan daya jelajah

termasuk ke dalam tahap generalisasi

(Rahmanto, 1988:30). Pada tahap ini anak

telah gemar menemukan konsep-konsep

abstrak walaupun masih sederhana. Mereka

telah mulai menganalisis fenomena dan

permasalahan untuk menemukan jawabnya

dan menuju ke arah kemandirian. Pantun

rubrik “Bujang Besaot” yang menyajikan

tema-tema dan masalah aktual dan terkini

yang diangkat dari masalah kehidupan dapat

memenuhi kriteria pada aspek psikologis ini,

yakni menarik minatnya untuk mengenal hal-

hal praktis dan mendorongnya menemukan

konsep serta fenomena yang ada di sekitar

kehidupannya.

Jika ditinjau dari aspek latar belakang

budaya, pantun pada rubrik “Bujang Besaot”

lahir dari budaya Melayu Bangka. Tema,

masalah, dan kosa kata yang disajikan dalam

pantun rubrik “Bujang Besaot” lebih variatif

dan menggunakan bahasa Indonesia

sehingga dapat digunakan untuk bahan

pembelajaran sastra di jenjang atau

tingkatan SMA, tidak hanya SMA yang

berada di Bangka Belitung. Pantun rubrik

“Bujang Besaot” juga lebih memasyarakat

karena banyak memaparkan hal-hal yang

terjadi dalam realita kehidupan yang

berkaitan dengan budaya, moral, etika,

pendidikan, agama, dan adat. Banyak nilai-

nilai atau ajaran-ajaran hidup yang dapat

ditarik dari pantun rubrik “Bujang Besaot”.

4. SIMPULAN

Dari hasil penelitian dan pembahasan dapat

disimpulkan bahwa pantun-pantun pada

rubrik “Bujang Besaot” memiliki tema yang

bervariasi. Permasalahan yang berkaitan

dengan percintaan lebih dominan

digunakan oleh penulis pantun, sedangkan

yang berkaitan dengan adat-istiadat

merupakan permasalahan yang paling

sedikit digunakan penulis pantun.

Permasalahan yang disajikan berkaitan

dengan fenomena aktual dan faktual yang

diangkat dari masalah kehidupan. Pantun-

pantun yang disajikan didominasi rima akhir

dan rima rangkai dengan menggunakan

pola rima yang bervariasi. Penggunaan pola

rima yang tidak begitu ketat menunjukkan

bahwa penulis pantun memiliki

kecendrungan ingin menonjolkan isi

pantun. Citraan yang paling sering

digunakan adalah citraan visual, sedangkan

yang paling jarang digunakan adalah

organik. Pantun-pantun pada rubrik “Bujang

Besaot” lebih cenderung menggunakan

citraan visual yang membuat gambaran

seolah-olah pembaca melihat sendiri hal

dan kejadian yang dilukiskan penulis di

dalam pantunnya. Lengkapnya,

penggunaan citraan pada pantun rubrik

“Bujang Besaot” menunjukkan kekayaan

pantun akan unsur citraan. Nilai

persahabatan mendominasi nilai moral

pantun. Hal ini menggambarkan bahwa

kemauan untuk memperhatikan orang

dengan cinta yang tulus, dan berbuat baik

untuk orang lain masih sangat dominan

dalam masyarakat. Sementara itu, nilai

moral yang jarang disebutkan adalah nilai

moral kedermawanan. Hal ini

menggambarkan bahwa ada kecendrungan

masyarakat mulai berkurang nurani

kemanusiaan. Pantun-pantun pada rubrik

“Bujang Besaot” jika ditinjau dari aspek

Jumani: Struktur dan Nilai Moral Pantun pada Rubrik “Bujang Besaot” serta Pemanfaatannya ...

SIROK BASTRA, Vol. 6 No. 1, Juni 2018: 1—21 20

bahasa, psikologis, dan budaya sudah

memenuhi kriteria pemilihan bahan ajar.

Penelitian ini berimplikasi terhadap guru-

guru sastra dan pengembangan ilmu sastra

khususnya di Bangka Belitung. Guru

diharapkan mulai memberdayakan pantun

rubrik “Bujang Besaot” sebagai salah satu

alternatif bahan yang patut dipilih untuk

diajarkan. Tuntutan pengajaran sastra yang

apresiatif membuat guru dan siswa harus

berlomba aktif dalam mencari bahan ajar

yang baik dan berkualitas dengan cara yang

mudah didapat, aktual, dan bervariasi.

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. (2004). Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Badudu, J.S. (1984). Sari Kesusastraan Indonesia 2. Bandung: CV Pustaka Prima.

Darma, Budi. (1981). Moral dalam Sastra, Pidato Ilmiah. Surabaya:IKIP.

Dewan Redaksi Ensiklopedi Sastra Indonesia. (2007). Ensiklopedi Sastra Indonesia. Bandung:

Titian Ilmu.

Effendi, S. (2002). Bimbingan Apresiasi Puisi. Jakarta: Pustaka Jaya.

Effendi, Tenas. (2004). Tunjuk Ajar dalam Pantun Melayu. Yogyakarta: Adi Cita

Endraswara, Suwardi. (2005). Metode dan Teori Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Buana Pustaka.

Hutomo, Suripan Hadi (Editor). (1993). Pantun Kentrung. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Kosasih. (1999). Nilai-Nilai Moral dalam Karya Sastra Melayu Klasik Islam (Analisis Deskriptif

terhadap Hikayat Raja Khaibar, Hikayat Raja Saif Zulyazan, dan Hikayat Mariam Zanariah

dan Nurdin Masri). Tesis Magister pada PPs Universitas Pendidikan Indonesia: tidak

diterbitkan.

Kompas. (2009). “Pengajaran Sastra Perlu Diperbanyak,” 12 September, hlm.12.

Liaw, Yock. Fang. (2011). Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik (ed.), Riris K. Toha Sarumpaet.

Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Mafrukhi, Wahono, S. Prasetyo Utomo, Rusmiyanto, Imam Taufik, dan Bambang Hartono.

(2007). Kompetensi Berbahasa Indonesia, untuk SMA Kelas X (ed), Ida Syafrida. Jakarta:

Erlangga.

Mahayana, Maman S. (2005). Sembilan Jawaban Sastra Indonesia. Jakarta: Bening.

Miskawaih, Ibn. (1994). Menuju Kesempurnaan Akhlak (terjemahan). Bandung: Mizan.

Musthafa, Bachrudin. (2008). Teori dan Praktik Sastra, dalam Penelitian dan Pengajaran.

Jakarta: PT Cahaya Insan Sejahtera.

Nurgiyantoro, Burhan. (2009). Teori Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Jumani: Struktur dan Nilai Moral Pantun pada Rubrik “Bujang Besaot” serta Pemanfaatannya ...

SIROK BASTRA, Vol. 6 No. 1, Juni 2018: 1—21 21

Pradopo, Rachmat Djoko. (2007). Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rahmanto, B. 1998. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius.

Rusyana, Yus. (1984). Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: Diponogoro.

Rosmawati R., Anni Krisna Siregar, Ahmad Samin Siregar, dan Zainal Abidin. (1990). Struktur

Sastra Lisan Melayu Serdang. Jakarta: Depdikbud.

Siswanto, Wahyudi. (2008). Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Grasindo.

Sungkowati, Yulitin. (2012). “Jenis dan Orientasi Kritik Sastra Indonesia pada Surat Kabar di Kota

Surabaya,” dalam Widyaparwa Volome 40, Nomor 2, 1 Edisi Desember 2012, hlm. 66—

67.

Sucipto, Toto. (2017). “Pantun Dimasukkan Kategori Budaya Hampir Punah,” dalam

//www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/17/03/12/omog4j382-pantun-

dimasukkan-kategori-budaya-hampir-punah, diakses 10 Juni 2018 pukul 09.40 WIB

Waluyo, Herman J. (1991). Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.

Waluyo, Herman J. (2005). Apresiasi Puisi, untuk Pelajar dan Mahasiswa. Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama.

Warsiman. (2016). Membumikan Pembelajaran Sastra yang Humanis. Malang: UB Media

Universitas Brawijaya.

Wiyana, Desri. (2008). “Analisis Tema pada pantun Melayu, Suatu Kajian Fungsional Sistematik,”

dalam https/www.researchgate.net/publication/42323654 Analisis-Tema- Pada- Pantun-

Melayu-Suatu-kajian-Fungsional-Sistematik, diakses 24 Mei 2018 pukul 11.50 WIB.

Jumani: Struktur dan Nilai Moral Pantun pada Rubrik “Bujang Besaot” serta Pemanfaatannya ...

SIROK BASTRA, Vol. 6 No. 1, Juni 2018: 1—21 22

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA