Naskah undang-undang yang sudah disahkan selanjutnya diundangkan oleh?

Perubahan Naskah Rancangan Undang-Undang (“RUU”) yang Disahkan

Menyambung pertanyaan Anda terkait persoalan proses pembentukan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja Tahun 2020 (“RUU Cipta Kerja”), kami akan menyoroti perihal inkonsistensi jumlah halaman naskah RUU tersebut pasca disetujui oleh DPR bersama dengan pemerintah dalam rapat paripurna pada 5 Oktober 2020 lalu.

Setidak-tidaknya dikutip dari berita Berubah Setelah Persetujuan Bersama, Nasib UU Cipta Kerja di Ujung Tanduk?, naskah RUU Cipta Kerja telah mengalami perubahan yakni dari versi 1028 halaman, 905 halaman, 1052 halaman, 1035 halaman, 812 halaman (hal.5), dan terakhir diberitakan berubah menjadi 1187 halaman (hal. 1).

Sebenarnya mengubah atau menyunting naskah RUU adalah hal yang dimungkinkan sebagaimana diatur Pasal 72 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (“UU 12/2011”), yang berbunyi:

Penyampaian Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.

Adapun tenggang waktu 7 hari dianggap layak untuk mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan teknis penulisan RUU ke Lembaran Resmi Presiden sampai dengan penandatanganan pengesahan UU oleh Presiden dan penandatanganan sekaligus pengundangan ke Lembaran Negara Republik Indonesia oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.[1]

Mengenai bagaimana teknis penulisan suatu peraturan perundang-undangan, kita dapat melihat dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 16 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pengundangan Peraturan Perundang-Undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia dan perubahannya.

Pengajuan permohonan pengundangan disertai dengan:[2]

  1. 2 naskah asli;
  2. 1 soft copy naskah asli; dan
  3. 1 fotokopi naskah asli.

Naskah asli itu diketik dengan jenis huruf Bookman Okistyle ukuran huruf 12 dan di atas kertas F4.[3] Kemudian permohonan itu diperiksa oleh Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan meliputi:[4]

  1. pemeriksaan kelengkapan dokumen;
  2. pemeriksaan kesesuaian antara naskah asli dengan soft copy naskah asli; dan
  3. pemeriksaan naskah asli dan soft copy askah asli sesuai dengan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan.

Batasan Perubahan Naskah RUU yang Disahkan

Menjawab pertanyaan Anda, perlu digarisbawahi penyuntingan atau perubahan naskah RUU hanya terbatas pada teknis dan format penulisan saja. Namun untuk mengubah substansi naskah RUU yang telah disetujui bersama, hal ini seharusnya tidak boleh dilakukan, bahkan di saat rapat paripurna tingkat II sekalipun.

Substansi suatu RUU harusnya sudah selesai di pembahasan tingkat I yakni substansi RUU dibahas oleh panitia kerja yang dapat membentuk tim perumus, tim kecil dan tim sinkronisasi.[5]

Hasil di pembahasan tingkat I kemudian dibawa ke pembahasan tingkat II (paripurna) dengan agenda persetujuan bersama atas substansi RUU.[6]

Baca juga: Proses Pembentukan Undang-Undang

Hal yang harus diwaspadai sebenarnya bukan berapa banyak perubahan jumlah halaman naskah RUU Cipta Kerja, melainkan ada atau tidaknya perubahan substansi baik itu penambahan dan/atau penghapusan pasal dan/ayat dalam RUU Cipta Kerja.

Sebagaimana dikutip dari berita Berubah Setelah Persetujuan Bersama, Nasib UU Cipta Kerja di Ujung Tanduk?, Pasal 46 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dihapus dalam naskah versi 1187 halaman yang sudah dipegang pemerintah. Padahal dalam naskah RUU Cipta Kerja versi 812 halaman, ketentuan itu masih ada.

Praktik demikian adalah gambaran buruk legislasi kita karena dapat digolongkan praktik korupsi legislasi dalam bentuk pasal siluman (baik yang muncul atau dihapus saat akan diundangkan).[7]

Seperti yang sebelumnya juga pernah terjadi pada tahun 2009, ayat yang mengatur mengenai tembakau hilang dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang telah disahkan dalam sidang Paripurna DPR bersama pemerintah. Ayat dalam Pasal 113 yang mengatur pengamanan zat adiktif tersebut, raib sebelum UU ditandatangani oleh presiden dan dicatat dalam lembaran negara di sekretariat negara.[8]

Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

  1. Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja Tahun 2020;
  2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
  3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana diubah pertama kali dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, kedua kali dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
  4. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 16 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pengundangan Peraturan Perundang-Undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 31 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 16 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pengundangan Peraturan Perundang-Undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia.

Referensi:

Fahmi Ramadhan Firdaus. Pencegahan Korupsi Legislasi Melalui Penguatan Partisipasi Publik dalam Proses Pembentukan Undang-Undang di Indonesia. Jurnal Legislasi Indonesia Vol (17) No. 3 - September 2020.

[1] Penjelasan Pasal 72 ayat (2) jo. Pasal 73 ayat (1) dan (4) serta Pasal 85 UU 12/2011

[3] Pasal 7 ayat (2) Permenkumham 31/2017

[4] Pasal 8 ayat (1) dan (2) Permenkumham 31/2017

[7] Fahmi Ramadhan Firdaus. Pencegahan Korupsi Legislasi Melalui Penguatan Partisipasi Publik dalam Proses Pembentukan Undang-Undang di Indonesia. Jurnal Legislasi Indonesia Vol (17) No. 3 - September 2020, hal. 282-293

[8] Fahmi Ramadhan Firdaus. Pencegahan Korupsi Legislasi Melalui Penguatan Partisipasi Publik dalam Proses Pembentukan Undang-Undang di Indonesia. Jurnal Legislasi Indonesia Vol (17) No. 3 - September 2020, hal. 282-293

Pengundangan dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan

Proses akhir dari pembuatan peraturan perundang-undangan adalah pengundangan dan penyebarluasan yang memerlukan penanganan secara terarah, terpadu, terencana, efektif dan efesien serta akuntabel. Pengundangan adalah penempatan peraturan perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia. Maksudnya agar supaya setiap orang dapat mengetahui peraturan perundang-undangan, pemerintah wajib menyebarluaskan peraturan perundang-undangan yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan Berita Negara Republik Indonesia. Dengan penyebarluasan diharapkan masyarakat mengerti, dan memahami maksud-maksud yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan, sehingga dapat melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan dimaksud.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pengesahan, Pengundangan, dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan berwenang melakukan pengundangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia. Pelaksanaan pengundangan peraturan perundang-undangan berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor : M.01-HU.03.02 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pengundangan dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan dilaksanakan oleh Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan yang dalam tugas pokok dan fungsinya dilaksanakan oleh Direktorat Publikasi, Kerja Sama dan Pengundangan Peraturan Perundang-undangan yang membawahi Subdirektorat Pengundangan Peraturan Perundang-undangan.

Pengundangan peraturan perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia meliputi:

  1. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

  2. Peraturan Pemerintah;

  3. Peraturan Presiden mengenai:1) pengesahan perjanjian antara negara Republik Indonesia dan negara lain atau badan internasional; dan

    2) pernyataan keadaan bahaya.

  4. Peraturan Perundang-undangan lain yang menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku harus diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Dalam hal peraturan perundang-undangan yang ada penjelasannya, maka pengundangannya ditempatkan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia.

Pengundangan Peraturan Perundang-undangan dalam Berita Negara Republik Indonesia meliputi peraturan yang dikeluarkan oleh:1. Majelis Permusyawaratan Rakyat; 2. Dewan Perwakilan Rakyat;3. Mahkamah Agung;4. Mahkamah Konstitusi; dan

5. Menteri, Kepala Badan, lembaga atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang.

Dalam hal peraturan perundang-undangan yang ada penjelasannya, maka pengundangannya ditempatkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia.
Penerbitan Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia dalam bentuk lembaran lepas dan himpunan.

Tata Cara Pengundangan Peraturan Perundang-undangan

  1. Naskah Peraturan Perundang-undangan yang akan diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia wajib disampaikan kepada Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan disertai dengan 3 (tiga) naskah asli dan 1 (satu) softcopy.
  2. Penyampaian dilakukan oleh pejabat yang berwenang dari instansi yang bersangkutan atau petugas yang ditunjuk disertai surat pengantar untuk diundangkan.
  3. Pengundangan dilakukan dengan memberi nomor dan tahun pada Lembaran Negara Republik Indonesia dan Berita Negara Republik Indonesia, dan memberi nomor pada Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia. Selanjutnya Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan mengajukan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk ditandatangani.
  4. Naskah peraturan perundang-undangan yang telah ditandatangani Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, selanjutnya disampaikan kepada instansi pemohon 2 (dua) naskah asli dan 1 (satu) untuk Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan sebagai arsip.
  5. Penerbitan Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia dan Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia dalam bentuk lembaran lepas dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal peraturan perundang-undangan diundangkan.
  6. Penerbitan Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia dan Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia dalam bentuk himpunan dilakukan pada akhir tahun.

Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan

  1. Penyebarluasan peraturan perundang-undangan dapat dilakukan melalui media cetak, media elektronik, dan cara lainnya.
  2. Penyebarluasan peraturan perundang-undangan melalui media cetak berupa lembaran lepas maupun himpunan.
  3. Penyebarluasan Lembaran Negara Republik Indonesia dalam bentuk lembaran lepas yang dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan untuk disampaikan kepada kementrian/Lembaga yang memprakarsai atau menetapkan peraturan perundang-undangan tersebut, dan masyarakat yang membutuhkan.
  4. Penyebarluasan Lembaran Negara Republik Indonesia dalam bentuk himpunan yang dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan untuk disampaikan kepada Lembaga Negara, Kementerian/Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pemerintah Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan pihak terkait.
  5. Penyebarluasan melalui media elektronik dilakukan melalui situs web Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dan dapat diakses melalui website: www.djpp.depkumham.go.id, atau lainnya.
  6. Penyebarluasan dengan cara sosialisasi dapat dilakukan dengan tatap muka atau dialog langsung, berupa ceramah workshop/seminar, pertemuan ilmiah, konfrensi pers, dan cara lainnya

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA