Nasihat orang tua yang wajib ditaati yaitu

Sebagian ayah yang istiqamah (dalam menjalankan syariat, pent.) … anak-anaknya yang tidak berpegang dengan hukum-hukum Islam secara sempurna. Misalnya, sang ayah melihat bahwa sang anak menjaga shalat wajib dan pokok-pokok Islam yang lain, akan tetapi  anak mereka tersebut terjerumus dalam sebagian maksiat. Seperti menonton film, memakan riba, tidak menghadiri shalat berjamaah -terkadang-, memangkas jenggot, dan kemungkaran yang lain. Lalu, bagaimanakah sikap seorang ayah yang istiqamah tersebut dalam menghadapi anak-anak mereka tersebut? Apakah mereka harus bersikap keras ataukah bersikap lembek kepada anak-anak mereka?

Jawaban:

Yang menjadi pendapatku adalah hendaknya sang ayah mendakwahi (menasihati) anaknya sedikit demi sedikit. Jika sang anak terjerumus ke dalam banyak maksiat, maka dia lihat manakah maksiat yang paling parah. Dari situ, dia mulai menasihati, terus-menerus berbicara (berdialog) dengan sang anak dalam maksiat (yang paling parah) tersebut. Sampai Allah Ta’ala memudahkan usahanya dan sang anak pun akhirnya bisa meninggalkan maksiat tersebut. 

Namun jika sang anak tidak mau menerima nasihat sang ayah, maka perlu diketahui bahwa maksiat itu bervariasi. Sebagian maksiat tidak dapat ditolerir, tidak mungkin Engkau menyetujui anakmu masih berbuat maksiat tersebut, sementara dia masih bersamamu. Dan sebagian maksiat yang lain, levelnya di bawah itu. Kaidahnya, jika seseorang menghadapi dua mafsadah (dalam hal ini maksiat yang dilakukan sang anak), dan dua-duanya terjadi, atau terjadi salah satunya, maka dia boleh mengambil salah satu mafsadah yang lebih ringan. Inilah keadilan dan hal itu pun dibenarkan. 

Akan tetapi, juga terdapat musykilah (kejanggalan) yang lain, sebagai kebalikan dari pertanyaan tersebut. Yaitu, sebagian pemuda tidak melakukan penyimpangan yang dilakukan oleh sang ayah. Maksudnya, pemuda tersebut (sang anak) adalah istiqamah di atas syariat, sedangkan ayahnya adalah kebalikannya. Dia pun menjumpai ayahnya bertentangan dengannya dalam banyak permasalahan. 

Nasihatku kepada sang ayah adalah hendaknya mereka bertakwa kepada Allah Ta’ala, berkaitan dengan diri mereka sendiri dan anak-anak mereka. Hendaklah mereka berpandangan bahwa keshalihan dan keistiqamahan anak-anak mereka sebagai nikmat Allah Ta’ala yang harus disyukuri. Hal ini karena keshalihan anak-anak mereka tersebut akan bermanfaat untuk mereka, baik ketika masih hidup maupun ketika sang ayah tersebut meninggal dunia. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Jika seseorang meninggal, terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: (1) sedekah jariyah; (2) ilmu yang bermanfaat; (3) atau anak shalih yang senantiasa mendoakannya.” (HR. Muslim no. 1631)

Kemudian aku juga menujukan nasihatku kepada anak-anak, baik laki-laki dan perempuan, bahwa ayah dan ibu mereka, jika memerintahkan berbuat maksiat, maka tidak boleh ditaati. (Perintah mereka) tidak wajib ditaati. Melawan (menyelisihi) perintah mereka -meskipun mereka menjadi marah- bukanlah termasuk dalam perbuatan durhaka kepada kedua orang tua. Bahkan, hal itu termasuk dalam berbuat baik kepada kedua orang tua, karena dosa dan kedzaliman orang tua tidak menjadi bertambah ketika kalian mematuhi perintah maksiat yang berasal dari orang tua. Oleh karena itu, jika kalian menolak berbuat maksiat yang diperintahkan kepada kalian, maka kalian pada hakikatnya telah berbuat baik kepada mereka. Hal ini karena kalian telah mencegah bertambahnya dosa atas mereka, maka janganlah taat dalam berbuat maksiat sama sekali. 

Adapun dalam perkara ketaatan yang apabila ditinggalkan bukanlah maksiat (yaitu, perkara sunnah, pent.), maka hendaknya seseorang melihat manakah yang lebih baik. Jika dia melihat bahwa yang lebih baik adalah menyelisihi (perintah orang tua), maka hendaknya dia menyelisihinya. Akan tetapi, dia bisa bersikap basa-basi. Yaitu apabila perintah orang tua itu masih memungkinkan untuk diingkari (tidak ditaati), namun dengan sembunyi-sembunyi, maka hendaknya tidak taat dan menyembunyikannya dari mereka berdua. Namun jika tidak mungkin disembunyikan dari mereka, maka hendaklah ditampakkan, dan hendaknya membuat mereka tenang (lega) dengan menjelaskan kepada orang tua bahwa perbuatan tersebut tidak menimbulkan mudharat (bahaya) bagi mereka (kedua orang tua) dan juga bagi dirinya sendiri, atau kalimat-kalimat sejenis yang bisa menenangkan hati kedua orang tua. 

Baca Juga:

[Selesai]

***

@Rumah Lendah, 1 Jumadil akhir 1441/ 26 Januari 2020

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki:

Diterjemahkan dari kitab Ash-Shahwah Al-Islamiyyah: Dzawabith wa Taujihaat hal. 118-119, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala.

🔍 Muslimah Or Id, Makna Sabar Dalam Kehidupan, Hadits Tentang Jodoh, Nabidz, Ramalan Sifat

Liputan6.com, Jakarta Yang namanya nasihat orangtua memang harus didengarkan. Selain karena memang sudah kewajiban kita sebagai anak, pengalaman hidup mereka pun pasti jauh lebih banyak dari kita. Jadi wajar kalau nasihat orangtua itu sering banyak benarnya.

Tapi, bukan berarti kita harus mengikuti semua omongan orangtua tanpa pertimbangan. Karena mungkin nasihat mereka kadang sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman. Jadi kita harus skeptis, tapi tetap sopan.

Memangnya ada nasihat orangtua yang tidak benar? Bukannya tidak benar, tapi mungkin jangan Anda telan mentah-mentah. Menurut DuitPintar.com, ini dia beberapa nasihat yang sering dilontarkan orangtua tapi tidak sepenuhnya benar.

1. Kalau tidak kuliah tidak mungkin sukses
Orangtua kita zaman dulu pastinya belum menikmati beragam fasilitas seperti kecanggihan teknologi seperti sekarang. Bagi mereka, duduk di bangku kuliah adalah jalan satu-satunya untuk meneguk ilmu sebanyak-banyaknya dan mendapatkan bekal sukses di luar sana.

Itulah kenapa orangtua selalu berusaha sekuat tenaga untuk menguliahkan anak-anaknya. Supaya ketika dilepas di dunia kerja, kita bisa punya karier dan masa depan sukses. Perusahaan zaman dahulu juga lebih mengutamakan mereka dengan ijazah universitas. Hal itu dijadikan ukuran kemampuan seseorang untuk bekerja.

Tapi sekarang zaman sudah berbeda. Internet bisa digunakan sebagai senjata untuk memperluas cakrawala ilmu. Kini kesempatan berkarier sangat luas dan tidak terbatas bagi mereka yang lulus universitas saja.

Contohnya Mark Zuckerberg yang tidak lulus kulliah, tapi sukses dengan Facebook. Atau Bill Gates yang sekarang jadi salah satu orang terkaya di dunia karena Microsoft.

Tapi jangan salah mengartikan. Kuliah itu tetap penting, hanya saja kesempatan untuk mengenyamnya tidak dimiliki semua orang. Jadi, buat yang belum berkesempatan kuliah, jangan khawatir tidak bisa sukses ya.

2. Banyak anak banyak rezeki
Anak adalah anugerah terindah dari Tuhan. Bagi orangtua, memiliki anak adalah rezeki tak ternilai. Lalu bagaimana dengan anggapan “banyak anak banyak rezeki”? Apa benar? Realitanya tidak selalu seperti itu.

Anggapan ini sudah jadi budaya di Indonesia. Dengan jumlah anak banyak, orangtua berpikir suatu saat ketika anak-anaknya sudah mapan, mereka bisa membantu orangtua. Kalau diimplementasikan di zaman sekarang, coba pikir lagi.

Dengan harga-harga kebutuhan, biaya pendidikan, dan kesehatan yang tinggi, masih relevankah anggapan tersebut? Belum lagi kalau keadaan finansial orangtua di bawah garis kemiskinan, maka banyak anak artinya pengeluaran yang berkali lipat.

Bukan berarti punya banyak anak itu salah, tapi rencanakan jumlah anak sesuai dengan kemampuan finansial Anda. Akan tidak adil untuk anak kalau hidup mereka nanti serba kekurangan dan tidak bisa tercukupi kebutuhannya hanya karena kondisi ekonomi Anda tidak memadai.

3. Investasi itu judi atau cuma berisiko rugi

Zaman sekarang, investasi sudah semakin aman dan banyak dilirik sebagai alat penambah penghasilan pasif. Tapi, bagi orangtua kita, tidak sedikit yang masih memandang sebelah mata hal yang satu ini.

Bagi mereka, yang aman itu deposito atau menabung. Padahal, bunga yang kita peroleh dari tabungan biasa dan deposito itu sangat kecil.

Tidak sedikit juga orangtua yang menilai investasi itu “perjudian” karena tidak terukur dan tidak jelas keuntungannya. Anggapan seperti ini timbul karena mereka kurang mempelajari tentang investasi sepenuhnya.

Padahal, kini investasi makin banyak jenisnya, aman, mudah, dan modalnya terjangkau siapa saja. Bisa dipilih sesuai kemampuan finansial masing-masing. Contohnya reksa dana yang bisa dimulai dengan dana Rp 100 ribu saja.

4. Kalau kerja itu jangan jadi kutu loncat
Loyalitas alias kesetiaan bekerja di satu perusahaan hingga puluhan tahun adalah salah satu prinsip yang juga dipegang oleh orangtua kita zaman dulu. Jangan heran kalau mereka sering menasihati kita yang mungkin setiap tahun berpindah kerja.

Zaman dahulu perusahaan pastinya belum sebanyak dan sekreatif sekarang, jadi ini bisa dimaklumi. Sementara kini para eksekutif muda semuanya punya target untuk terus meningkatkan karier dan pendapatan. Salah satunya dengan terus mencari kesempatan yang terbaik.

Jadi “kutu loncat” dianggap orangtua sebagai pekerja yang tidak setia dan tidak bisa diandalkan. Padahal realitanya, zaman sekarang jadi “kutu loncat” bisa jadi malah mempercepat karier, selama jalurnya benar dan melalui proses pertimbangan terlebih dahulu.

Orangtua memang harus dihormati dan tak ada salahnya mengikuti beberapa nasihat yang bisa bermanfaat bagi kita. Tapi ingat, orangtua bukan berarti tidak bisa salah. Jika memang ada nasihat yang tidak benar, tentu boleh dikritisi. Tapi tetap harus dengan cara yang santun.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA