Menjelang tahun ketiga tokoh yang membenahi kalender Islam adalah

“Surat-surat sampai kepada kami dari Amirul Mu’minin, tetapi kami bingung bagaimana menjalankannya. Kami membaca sebuah dokumen tertanggal Sya’ban, namun kami tidak tahu ini untuk tahun yang lalu atau tahun ini.” Abu Musa Al-Asy’ari kepada Amirul Mu’minin Umar bin Khattab dalam Biografi Kholifah Rasulullah.

Hal tersebut menjadi sebuah persoalan tersendiri pada masa Khalifah Umar bin Khattab, sekaligus membuat Sang Khalifah mengumpulkan para sahabat khususnya mereka yang bertugas di pusat pemerintahan untuk segera membahas dan mencari solusi dari persoalan tersebut.

Terlebih sejak awal Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam hijrah dari Makkah Al-Mukarromah ke Madinah Al-Munawwaroh, juga tidak ada tahun yang digunakan dalam penanggalan. Termasuk pada masa Abu Bakar As-Siddiq sebagai khalifah hingga 4 (empat) tahun pertama kepemimpinan Amirul Mu’minin Umar bin Khattab.

Dalam majelis bersama para sahabat, Umar bin Khattab menyampaikan kegelisahan dari persoalan pencatatan beragam surat maupun sejumlah dokumen penting lainnya. Termasuk juga semakin meluasnya kekuasaan Islam yang justru memiliki persoalan serupa, yakni persoalan di bidang administrasi.

Bahkan surat menyurat antar gubernur pada masa itu juga belum sistemik karena tidak adanya acuan penanggalan, masing-masing wilayah hanya menggunakan kalender lokal yang tentunya berbeda antara penanggalan satu wilayah dengan wilayah lainnya. Sehingga dibutuhkan penyeragaman melalui hitungan kalender yang sama.

Persoalan selanjutnya muncul untuk menentukan awal penghitungan kalender Islam, apakah menggunakan tahun kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, atau masa pengangkatan Nabi sebagai Rasul, masa turunnya al-Qur’an hingga usulan saat kemenangan kaum muslimin dalam peperangan.

Dari beragam usulan tersebut, akhirnya disepakati penentuan awal Hijriyah dimulai dari peristiwa Hijrah. Sehingga kalender Islam hingga saat ini dikenal dengan sebutan Kalender Hijriah.

Peristiwa Hijrah dijadikan pilihan sebagai tonggak awal penanggalan Islam, justru memiliki makna yang amat dalam. Di mana fase hijrah menjadi titik balik bagi umat Islam untuk meletakkan landasan melangkah kedepan, sekaligus menjadi kunci pesat kemenangan dan perkembangan Islam.

Nama-Nama Bulan dalam Kalender Hijriah
Sistem penanggalan hijriah yang dipakai sudah memiliki tuntunan jelas dalam al-Qur’an, yakni sistem kalender bulan atau qamariyah. Di mana kalender hijriah menghitung durasi satu tahun berdasar 12 siklus sinodis bulan atau 12 fase ketika bulan menampakkan hilalnya.

Sistemnya dimulai dari Ahad hingga Sabtu dan diawali dengan bulan Muharram hingga Dzul Hijjah, siklus sinodis per bulan kalender hijriah juga terbilang variatif dengan rata-rata 29,53 hari. Berbeda dengan kalender Masehi yang menggunakan jumlah hari dalam sebulan sebanyak 30 atau 31 hari, sementara kalender Hijriah hanya 29 dan/atau 30 hari, itupun tidak teratur dengan berfokus pada status hilal (adakalanya tanggal 29 sudah tampak hilal).

Karena perbedaan tersebut, dalam hitungan satu tahun kalender hijriah, biasanya 11 hari lebih pendek daripada kalender masehi. Dan tidak kalah penting, keberadaan kalender hijriah juga menjadi tonggak sistem kemajuan peradaban Islam hingga saat ini.

Dari 12 bulan kalender hijriah tersebut, meliputi 1) Muharram; 2) Shafar; 3) Rabi’ul Awal; 4) Rabi’ul Akhir; 5) Jumadil Awal; 6) Jumadil Akhir; 7) Rajab; 8) Sya’ban; 9) Ramadhan; 10) Syawal; 11) Dzul Qa’dah; serta 12) Dzul Hijjah. Wallahu A’lam. [adm]

Artikel serupa diterbitkan di beritajatim.com

Inisitiaf dilakukan Umar upaya merasionalisasikan sistem penanggalan pemerintahan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Dunia Islam memiliki kalender sendiri dalam menentukan tanggal, bulan, dan tahun. Kalender Hijriyah adalah sistem penanggalan bagi umat Islam yang di dalamnya terdapat makna, sejarah, dan ibadah khusus pada masing- masing bulannya agar umat Islam selalu mendekatkan diri kepada Allah.

Tak seperti penanggalan Masehi yang berpatokan pada matahari, sistem penanggalan Hijriyah ditentukan berdasarkan peredaran bulan. Sehingga kalender ini disebut juga sebagai kalender Kamariah (bulan).

Dalam buku Kalender Islam ke Arah Integrasi Muhammadiyah-NU, Susiknan Azhari menjelaskan, kalender Hijriyah berdasarkan sistem Kamariah. Awal bulannya terjadi setelah ijtimak dengan posisi hilal di atas ufuk dan matahari terbenam terlebih dahulu dibandingkan bulan.

Kalender Hijriyah dimulai dari peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah yang bertepatan dengan 15 Juli 622 Masehi. Hijrahnya Rasulullah ini menunjukkan adanya tujuan dalam menggapai kedamaian bagi umat Islam. Sejak itulah, dihitung sebagai tahun Hijriyah.

Peristiwa hijrah Nabi Muhammad beserta para pengikutnya dipilih sebagai titik awal perhitungan tahun karena merupakan peristiwa besar dalam sejarah awal perkembangan Islam. Peristiwa hijrah adalah pengorbanan besar pertama yang dila kukan Nabi dan umatnya untuk keyakinan Islam.

Kendati merujuk pada hiijrahnya Nabi, penanggalan Islam baru resmi digunakan saat sistem pemerintahan Islam dipimpin Khalifah kedua Umar bin Khattab. Dia adalah pemimpin Islam yang pertama kali menetapkan kander Hijriyah, sehingga Umar pun dijuluki sebagai bapak kalender Hijriyah.

Dalam buku Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik, Muhyiddin Khazin menjelaskan, pada suatu waktu terdapat persoalan yang menyangkut sebuah dokumen pengangkatan Abu Musa al-Asy'ari sebagai gubernur di Basrah yang terjadi pada Sya'ban.

Saat Abu Musa al-Asy'ari mejadi gubernur, dia juga menerima surat dari Umar tanpa ada nomor bilangan tahunnya. Tentunya, sebuah surat yang tanpa ada catatan tahunnya akan bermasalah dan menjadi persoalan serius jika diarsipkan ke dalam administrasi kenegaraan.

Saat itu, Abu Musa al Asy'ari menulis surat kepada Umar, "Surat-surat sampai kepada kami dari Amirul Mu'minin, tetapi kami bingung bagaimana menjalankannya. Kami membaca sebuah dokumen tertanggal Sya'ban, namun kami tidak tahu ini untuk tahun yang lalu atau tahun ini."(Syaikh Abdurrahman al Jabarti, 1825).

Diceritakan dari Ibnu Abbas bahwa semenjak Nabi datang ke Madinah, memang tidak ada tahun yang digunakan dalam penanggalan. Demikian juga saat Abu Bakar menggantikan dia sebagai khalifah dan juga di awal pemerintahan Umar bin Khattab.

Akhirnya, Umar mengumpulkan para sahabat dan mereka yang bertugas di pusat pemerintahan. Dalam pertemuan tersebut Umar berkata, "Perbendaharaan negara semakin banyak. Apa yang kita bagi dan sebarkan selama ini tidak memiliki catatan tanggal yang pasti. Bagaimana kita bisa mengatasi ini?" Setelah melalui berbagai usulan tentang titik acuan dimulainya penanggalan atau ka lender Hijriyah, akhirnya diputuskan bahwa peristiwa hijrah menjadi tahun per tama kalender Islam. Sebelumnya, diusul kan tahun lahir Nabi atau tahun wafat beliau.

Namun, semua itu dianggap kurang tepat. Penetapan awal tahun Hijriyah yang dilakukan Umar merupakan upaya merasionalisasikan berbagai sistem penanggalan yang digunakan pada masa pemerintahan.

Karena, terkadang sistem penanggalan yang satu tidak sesuai dengan sistem pe nanggalan yang lain, sehingga sering menim bulkan persoalan dalam kehidupan umat.

Berdasarkan catatan sejarah, sebelum datangnya Islam, bangsa Arab sebenarnya telahmenggunakan kalander tersendiri dan sudah mengenal nama-nama bulan dan hari. Tapi, mereka belum menetapkan tahun. Kalaupun harus menggunakan tahun, itu hanya berkaitan dengan peris tiwa yang terjadi, seperti Tahun Gajah yang dinisbatkan pada masa penyerbuan Abrahah ketika akan menghancurkan Ka'bah.

Karena kesulitan dalam menetapkan tahun tersebut dan seiring dengan makin banyaknya persoalan yang ada terkait dengan sistem kalender yang baku, Khalifah Umar berinisiatif menetapkan awal hijrah sebagai permulaan tahun, setelah melakukan musyawarah dengan sejumlah sahabat.

Di masa Umar bin Khattab, ditetapkan kapan awal tahun Hijriyah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam Sirah Nabawiyah, di masa Nabi Muhammad SAW belum ada yang namanya tahun baru Hijriyah. Namun penamaan bulan seperti Muharram, Safar, Rabiul Awal, Ramadhan, Dzulhijjah dan Dzulqodah sudah dikenal.

Menurut Ustaz Ahmad Sarwat, masyarakat Arab menjadikan peristiwa-peristiwa besar sebagai acuan tahun. Misalnya Tahun Gajah sebagai tahun kelahiran Rasulullah SAW. Dinamakan Tahun Gajah karena di tahun itu, Makkah diserbu oleh raja dengan pasukan gajah. Kemudian, ada masa dinamakan Tahun Duka Cita. Ini begitu saat istri Rasulullah, Siti Khadijah meninggal dunia dan pamannya Abu Thalib meninggal dunia, maka tahun itu disebut juga Tahun Duka Cita.

Sistem penanggalan seperti ini, kata Sarwat terus berlanjut di masa Rasulullah dan Khalifah Abu Bakar. Barulah di masa Khalifah Umar bin Khatab ditetapkan tahun di kalender hijriyah.

"Baru ada istilah tahun baru (hijriyah) itu di zaman Khalifah Umar," kata Ustadz Sarwat melalui sambungan telepon, Rabu (12/8).

Ustadz Sarwat melanjutkan, di masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab, agama Islam telah menyebar di berbagai negara. Komunikasi Khalifah Umar dengan para gubernurnya adalah dengan menggunakan surat yang diantar oleh kurir.

"Nah pada masa itu, namanya surat harus ketahuan kepada siapa, oleh siapa dan kapan dikirimnya. Masalahnya adalah ini bulan Muharram tanggal sekian, tapi Muharram yang mana? kan tiap tahun ada Muharram terus, nah jadi bingung," terang Ustadz Sarwat.

Misalnya saja, surat-surat yang diterima oleh Gubernur Bashrah, Abu Musa Al-Asyari dari Khalifah Umar. Abu Musa membaca salah satu surat tersebut yang dikirim pada bulan Syaban, tapi Abu Musa tidak tahu ia tidak tahu apa Syaban tahun ini atau tahun kemarin.

"Oleh karena itu, kemudian dibikin penanggalan, ditetapkan sekarang tahun apa," kata Ustadz Sarwat.

Kemudian Khalifah Umar mengumpulkan para sahabat untuk melakukan musyawarah. Pada saat musyawarah, muncul berbagai usulan untuk menetapkan awal tahun hijriyah.

Sebagian sahabat mengusulkan, awal tahun hijriyah dimulai sejak kelahiran Nabi Muhammad SAW, sebagian lagi mengusulkan sejak pertama turunnya wahyu, serta ada juga yang mengusulkan pada saat Nabi Muhammad wafat. Tapi kemudian berdasarkan kesepakatan, tahun hijriyah dimulai sejak hijrahnya Nabi dari Makkah ke Madinah.

"Jadi tahun 1 itu dihitung sejak Nabi ke Madinah. Kenapa itu? Salah satu analisanya adalah ini untuk urusan negara karena mau korespondensi antara khalifah dan gubernur-gubernurnya maka dihitung sejak negara ini berdiri," kata Sarwat.

"Jadi 1 hijriyah dimulai sejak dibentuknya kota Madinah, walaupun peristiwa hijrahnya sendiri bukan pada 1 Muharram. Tapi malah pada bulan Maulid atau Robiul Awal," sambungnya.

Ustadz Sarwat menambahkan, bahwa tidak ada amalan-amalan yang disyariatkan untuk memperingati setiap tahun baru hijriyah. Tapi juga tidak diharamkan jika di tahun-tahun berikutnya setiap tahun baru hijriyah dilakukan perayaan oleh umat Islam.

"Tapi apakah hukumnya jadi haram kalau kita merayakan? Itu bab yang berbeda lagi. Kalau 1 Muharram mengadakan lomba gerak jalan atau lainnya itu silahkan saja. Karena tidak ada larangan dan tidak ada perintah secara khusus," kata Ustadz Sarwat.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA