Mengapa perintah puasa ditujukan kepada orang orang yang beriman

USTADZ CHOLIL NAFIS - Satu di antara tokoh-tokoh muda NU yang menjadi harapan nahdliyin pada umumnya dan para kiai pada khususnya untuk mengimbangi bahkan meng-counter arus pemikiran bebas dari sebagian intelektual muda NU yang beraliran liberal. Senin (29/7/3013) memberikan Tausiah di hadapan puluhan karyawan dan karyawati Tribun serta Warta Kota dalam acara buka Bersama. Hadir dalam acara Direktur Kelompok Group of Regional Newspapaer Herman Darmo, Editor & Chief Group of Regional Newspaper Febby Mahendra Putra, Wapemred Warkot Soetarjo dan pejabat lainnya. (TRIBUNNEWS.COM/FX ISMANTO)

 

Oleh: KH. Cholil Nafis, Lc., Ph D
Ketua Komisi Dakwah MUI Pusat
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PB NU

Walhamdulillah, Allah SWT mempertemukan kembali umat muslim dengan bulan Ramadan yang penuh rahmah, maghfirah dan pembebasan dari api neraka. Keistimewaan bulan Ramadan, setan dibelenggu, pintu neraka dikunci dan pintu surga dibuka. Semua perbuatan baik akan dilipatgandakan pahalanya minimal sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat. Selama menjalankan puasa wajib, disunnahkan shalat tarawih di malam harinya dan hadiah Lailatul Qadar yang kualitasnya melebih dari delapan puluh tiga tahun.

Allah memerintahkan berpuasa kepada umat Muhammad SAW dengan panggilan, "Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu menjadi orang yang bertakwa". (Al-Baqarah: 183)

Panggilan orang-orang yang beriman dalam perintah puasa Ramadan menunjukkan beberapa rahasia. Pertama, bahwa yang diperintah berpuasa hanya orang yang beriman dan menjalankannya berdasarkan ketakwaan sehingga mendapat pahala dan ampunan dosa. Jika puasanya hanya karena ikut-ikutan teman sekitar atau karena tujuan mengurangi berat badan dan kesehatan tubuhnya maka yang didapat hanya lapar dan haus. Puasa orang yang beriman, selain menahan lapar haus dan nafsu seks juga puasa anggota tubuhnya dari maksiat dan puasa hatinya dari mengingat selain Allah SWT.

Kedua, seruan puasa Ramadan kepada orang-orang beriman sebagai bukti kedekatan dan sentuhan Allah SAW terhadap hamba-Nya yang beriman dengan mewajibkan mereka berpuasa, agar meningkatkan derajatnya menuju pribadi yang bertakwa. Ibnu Mas'ud r.a. merumuskan sebuah kaidah dalam memahami ayat Al-Qur'an yang diawali dengan seruan 'Hai orang-orang yang beriman', bahwa setelah seruan itu adalah sebuah kebaikan yang Allah SAW perintahkan, atau sebuah keburukan yang Allah SAW larang." Kedua perintah dan larangan itu diperuntukkan untuk kebaikan orang-orang yang beriman. Karenanya, memang hanya orang yang beriman yang mampu berpuasa dengan baik dan benar.

Ketiga, menjalankan ibadah puasa Ramadan atas motivasi cinta kepada Allah SWT semata, bukan karena pamrih Surga dan takut neraka. Sebab pahala itu rahasia Allah SWT yang memberi dan melipat gandakan sesuai kehendak dan ridhanya. Pahala puasa yang paling utama bagi orang yang iman adalah ampunan dosa yang terdahulu dan dosa yang akan datang.

Puasa itu sesuatu yang niscaya bagi orang-orang yang beriman, baik bagi umat Nabi Muhammad saw atau umat nabi-nabi terdahulu. Karenanya, semua agama Samawi mengajarkan ibadah puasa dengan cara-cara dan waktu yang berbeda-beda. Puasa menjadi sarana olah batin dan fisik (riyadhah ruhiyah wa jasadiyah) untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan menggapai derajat takwa.

Secara historis, puasa merupakan sarana peningkatan kualitas iman seseorang kepada Allah SWT yang telah berlangsung sekian lama dalam seluruh ajaran agama samawi. Puasa yang telah mampu mempertahankan dan bahkan meningkatkan sisi kebaikan umat terdahulu yang kemudian ditetapkan dalam syariat Islam sampai umat akhir zaman. Prof. Mutawalli Sya'rawi menyimpulkan bahwa syariat puasa telah lama menjadi pondasi penghambaan (rukun ta'abbudi) kepada Allah dan merupakan instrumen utama dalam pembinaan umat terdahulu. Sebab, puasa adalah senjata untuk membuat ketahanan diri manusia dari berbagai godaan.

Itulah makna dan hakikat perintah puasa yang termaktub pada ayat pertama kewajiban puasa (ayatush shiyam) adalah untuk memastikan keimanan dan ketakwaan hamba-Nya. Perintah puasa adalah ditujukan untuk orang yang beriman. Berpuasa hanya akan mampu dijalankan dengan baik dan benar oleh orang-orang yang benar-benar beriman. Motivasi menjalankan amaliah Ramadhan juga karena iman dan mendapatkan predikat muttaqin.

Surat Al Baqarah ayat 183 berisi tentang dalil kewajiban untuk berpuasa. Surat Al Baqarah sendiri merupakan surat kedua dalam urutan mushaf Al Quran yang terdiri dari 286 ayat.

Al Baqarah ( البقرة ) artinya Sapi Betina. Surat ini diturunkan di Kota Madinah, sehingga tergolong surat Madaniyah. Namun, ada satu ayat dalam surat Al Baqarah yang diturunkan di Mina yaitu ayat 281. Ayat tersebut diturunkan saat haji Wada, haji terakhir Rasulullah SAW.

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

Surat Al Baqarah ayat 183 di atas menjelaskan tentang perintah untuk berpuasa. Dalam bahasa Arab, puasa berasal dari kata shaum atau shiyam yang artinya menahan. Sedangkan menurut istilah, puasa adalah menahan diri dari segala yang membatalkannya dengan cara-cara yang khusus. Puasa dilakukan mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari.

Kewajiban puasa dalam ayat di atas dilakukan untuk mendidik jiwa, mengendalikan syahwat, dan menyadarkan bahwa manusia memiliki kelebihan dibandingkan hewan. Selain itu, puasa dilakukan agar manusia senantiasa bertakwa dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangannya. Puasa ini juga telah diwajibkan atas umat para nabi terdahulu.

Perintah puasa yang terdapat pada surat Al Baqarah ayat 183 ini ditujukan kepada orang yang beriman. Sebagaimana terdapat pada permulaan ayat yang berbunyi “yā ayyuhallażīna āmanụ” atau dalam bahasa Indonesia diartikan “Wahai orang-orang yang beriman”.

“Orang yang beriman akan patuh melaksanakan perintah berpuasa dengan sepenuh hari, karena ia merasa kebutuhan jasmaniah dan rohaniah adalah dua unsur pokok bagi kehidupan manusia yang harus dikembangkan dengan bermacam-macam latihan, agar dapat dimanfaatkan untuk ketenteraman hidup yang bahagia di dunia dan akhirat,”

By Dinda Febrianti Last updated 9 Jun , 2017

Jika  tidak salah hitung, Sabtu (27/5) mendatang, umat Islam yang beriman di seluruh penjuru dunia mulai melaksanakan ibadah puasa, 1438 H. Termasuk kaum muslimin di  Kabupaten Sijunjung. Tentunya juga  yang beriman.

Kenapa hanya orang yang beriman, karena hanya orang itu yang diseruh oleh Allah SWT untuk menunaikan sahum ini lewat ayat suci Al Quran, “yaayyuhallazi na’amanu kutibaalaikum mussiham kama kutiba alallazina mingkablikum laallakum tattakun. Hai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu bersahum (berpuasa) sebagaimana orang-orang sebelum kamu, mudah-mudahan kamu bertaqwa.

Bila Surat Al Baqarah (ayat 183) ini dicermati, yang diseruh Allah SWT untuk berpuasa, jelas hanya orang yang beriman. Justru itu, kalau nanti  ada masyarakat Kabupaten Sijunjung yang tidak menunaikan ibadah puasa pada Ramadhan 1438 H, jangan salahkan mereka, sebab orang itu tidak diseruh oleh Allah SWT, karena tidak beriman.

Ramadhan memang hanya dirindukan oleh orang yang beriman, karena bulan itu sarat dengan kemuliaan dan keagungan serta penuh rahmad dan berkah bila diisi dengan kebajikan dan kebaikan yang penuh  perhitungan.

Salah satu kemulian dan keagungan Ramadhan, adalah Lailatul Qadr. Allah SWT  dalam firman-Nya menjelaskan, ”sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada Lailatul Qadr (QS al-Qadr:1).

Secara harfiyah laila berarti malam. Sedangkan Qadr  berarti takaran, ukuran serta sesuatu yang bernilai dan sesuatu yang terbatas. Sebetulnya para ulama beragam dalam mengartikan dan menafsirkannya.

Ada yang menyebutnya dengan malam kemuliaan, karena pada malam itu Allah SWT menurunkan kitab suci Al Quran yang merupakan sumber kemuliaan manusia, sesuai firman Allah SWT yang artinya “sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagi kamu. Maka apakah kamu tidak memahaminya?” (QS al-Anbiyaa:10).

Sebagian ulama juga mengartikan sebagai malam yang sangat bernilai. Sebab pada malam itu ketaatan manusia akan mendapat nilai yang tinggi dan pahala yang besar, yaitu senilai seribu bulan. Bila dihitung dengan kacamata bisnis, keuntungan yang diperoleh 300.000 persen (1.000 bulan x 30 hari x 10 kebaikan).

Justru itu, Rasulullah SAW bersabda, “sesunguhnya bulan Ramadhan telah hadir di tengah-tengah kalian. Di dalamnya terdapat satu malam yang nilainya lebih baik dari seribu bulan.

Siapa yang diharamkan dari malam tersebut, berarti ia telah diharamkan dari semua kebaikan, dan tidak ada yang diharamkannya melainkan orang-orang yang benar-benar merugi.” (HR Ibnu Majah dengan Sanad Hasan).

Cukup banyak sebenarnya ayat dan hadist yang menyebutkan keutamaan dan keagungan Lailatul Qadr. Diantaranya, Lailatul Qadr nilainya lebih baik dari seribu bulan. Artinya, ibadah yang dilakukan pada malam itu jauh lebih baik dari beribadah seribu bulan (QS al-Qadr:3).

Masalahnya sekarang, siapa orang yang mungkin akan memperoleh kesempatan untuk mendapat malam Lailatul Qadr itu? Tentu orang yang beriman, karena sesuai surat Al Baqarah ayat 183, yang diseruh Allah SWT untuk berpuasa, hanyalah orang yang beriman.

“Mungkinkah orang yang tidak diseruh Allah SWT, karena tidak beriman, memperoleh malam  Lailatul Qadr? Marilah kita bertanya kepada rumput yang bergoyang, mungkin disana ada jawabnya.”

Kepada  yang beriman dan diseruh Allah SWT, diucapkan selamat menunaikan ibadah puasa, mudah-mudahan memperoleh malam Lailatul Qadr dan menjadi orang yang bertaqwa. Amin Ya Rabal alamin.

Prev Post

WALINAGARI SERTA TOKOH MASYARAKAT TEMUI DPRD SIJUNJUNG

Next Post

SENIN INI, BAZNAS BAGIKAN 180 PAKET SEMBAKO

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA